Anda di halaman 1dari 4

Nama : Asthony Purwanda Febriawan

NIM : 17/412782/PN/15104
Fakultas : Pertanian

RADIKALISME SANG PENYAYAT TOLERANSI

Indonesia merupakan negara dengan penduduk terbanyak keempat di dunia (Devi, et al.,
2016). Bahkan menurut BPS (2010), Indonesia memiliki 1.340 suku bangsa yang tersebar di
seluruh pulau-pulau di Indonesia. Agama resmi di Indonesia pula ada 6 yaitu Islam sebagai
mayoritas, Hindu, Budha, Kristen, Katholik, dan Konghucu. Begitu banyak keragaman di
Indonesia ini, menuntut seluruh masyarakat yang tersematkan “Bangsa Indonesia” di dadanya
membutuhkan toleransi yang amat sangat besar. Toleransi tersebut dibutuhkan untuk menjaga
keutuhan bangsa Indonesia dalam satu kesatuan yaitu Persatuan Indonesia. Halangan yang saat ini
sangat marak adalah munculnya golongan-golongan dan tindakan-tindakan separatis yaitu
radikalisme, intoleransi, dan terorisme. Menurut Ariwidodo (2017), radikalisme adalah suatu
paham yang dibuat oleh sekelompok orang yang menginginkan perubahan atau pembaharuan
sosial dan politik secara drastis dengan menggunakan cara-cara kekerasan. Menurut Mauludy
(2018), radikalisme merupakan suatu bentuk akar dari terorisme. Dari sini dapat dikatakan bahwa
radikalisme merupakan cikal bakal dari terorisme di Indonesia. Cikal bakal terorisme dalam
radikalisme ini dibuktikan dengan adanya penolakan Pancasila oleh pemuka-pemuka agama dan
atau tokoh masyarakat yang mendorong tumbuhnya sikap seolah-olah “Menolak Indonesia” yang
mengorbankan nilai toleransi di Indonesia. Mengapa toleransi dikorbankan adalah karena
golongan “Radikalisme” sangat menjunjung tinggi paham-paham mereka sehingga keras menolak
paham-paham dan nilai-nilai lain di masyarakat yang sekilas terlihat berseberangan dengan paham
mereka.

Radikalisme sangat erat kaitannya dengan sikap intoleran dan terorisme. Sikap intoleran
menurut Qodir (2016) merupakan bentuk sikap yang bertolak belakang dengan toleransi, dimana
toleransi merupakan kesediaan untuk menerima adanya perbedaan teologi, perbedaan keyakinan,
menghargai, menghormati yang berbeda sebagai sesuatu yang nyata adanya dan diyakini oleh umat
lain. Dengan sikap toleransi inilah akan lahir sikap hidup rukun dalam perbedaan, tidak saling
menghujat, membenci, mengkafirkan apalagi hendak membunuhnya karena berbeda dengan kita
(Qodir, 2016). Mengapa radikalisme erat kaitannya dengan intoleransi adalah karena intoleransi
merupakan salah satu ciri yang muncul pada penganut paham radikal (Qodir, 2016). Penganut
paham radikal ini menolak untuk menerima dan menghargai pendapat dan keyakinan dari individu
lain walaupun memiliki hak dan kewajiban yang sama. Hanya karena perbedaan status inilah dapat
menimbulkan suatu bentuk tindakan separatis yang berujung kerusakan dan mencederai nila
toleransi yaitu terorisme. Terorisme menurut BNPT (2016) merupakan tindakan yang memiliki
akar keyakinan, doktrin dan ideologi yang dapat menyerang kesadaran masyarakat. Terorisme
yang tergambar dalam pemahaman masyarakat secara umum merupakan suatu tindakan yang
sangat keji dan sangat jauh dari nilai-nilai keagamaan manapun. Contoh kasus terorisme yang
menyerang Indonesia beberapa tahun terakhir adalah Bom Bali. Korban berjatuhan, bahkan tidak
hanya satu etnis, banyak masyarakat baik WNI maupun WNA yang terkena dampak pengeboman
tersebut. Contohnya yang terjadi pada Ibu Chusnul Chotimah. Penderitaan yang dilalui oleh Ibu
Chusnul Chotimah begitu berat. Kisah beliau merupakan salah satu contoh, bagaimana contoh-
contoh lain mengingat banyaknya korban dari tragedi Bom Bali. Dilihat dari manapun, suatu
tindak terorisme yang dapat mengorbankan banyak nyawa, membahayakan jiwa seseorang atau
kelompok, dan berbuat suatu kerusakan yang sangat merugikan merupakan suatu perbuatan yang
sangat keji, yang dapat “Menggeruss” keamanan dan kenyamanan di Indonesia, dan tidak ada
satupun golongan, agama, dan nilai-nilai kemanusiawian yang membenarkan tindakan tersebut
mengorbankan jiwa-jiwa orang yang tidak berdosa.

Intoleran dalam hal ini tidak memandang status, jabatan, maupun pekerjaan pada suatu
individu. Setiap individu dapat terpapar radikalisme dan intoleransi tergantung lingkungan,
wawasan, dan pandangan serta pedoman dari individu tersebut. Bahkan mahasiswa yang notabene
merupakan akademisi, individu terpelajar, kritis, dan pembawa “Genderang Perubahan” dapat
tercemar oleh radikalisme yang berakibat pada tindakan intoleran. Menurut Qadir (2016), bibit
toleransi kaum muda seperti dikemukakan para psikolog sosial dan ilmuwan sosial sekurang-
kurangnya disebabkan karena empat hal utama; yakni pertama, soal kesiapan mental yang belum
matang, sehingga anak anak muda gampang terpengaruh oleh hal-hal yang disampaikan dari orang
yang dianggap lebih tua, lebih pintar, serta lebih “berkuasa” dalam hal keagamaan. Kedua,
ketimpangan politik yang memunculkan spekulasi bahwa kaum muda kurang mendapatkan akses
memadai padahal mereka menjadi tulang punggung politik seperti di Indonesia Kondisi seperti ini
membuat kaum muda kecewa pada negaranya. Ketika kecewa dan mendapatkan siraman
kebencian maka yang muncul adalah kebencian pada salah satu agama tertentu padahal yang
berpolitik di Indonesia bukan hanya salah satu agama. Ketiga, persoalan ketimpangan ekonomi.
Ketimpangan ekonomi sering dikatakan oleh para ahli ekonomi politik dan sosiolog menjadi bibit
paling subur munculnya intoleransi dan kekerasan. Keempat, masalah pemahaman teks
keagamaan. Masalah ini menurut Qodir (2016), merupakan hal yang sudah lama terjadi dan masih
terjadi hingga sekarang. Memadukan kejahatan dengan nilai-nilai agamis untuk mengaburkan
suatu tindak kejahatan agar terlihat seperti suatu “Amal Baik” berujung pada suatu kebencian pada
golongan tertentu.

Untuk mencegah tumbuh suburnya radikalisme di masyarakat menurut Qodir (2016) para
pengelola negara dan pendakwah agama perlu merevisi kembali pemahamannya tentang doktrin
jihad, doktrin iman, doktrin, takwa bahkan doktrin surga dan neraka sehingga memberikan
kerangka yang relatif utuh pada kaum muda harapan bangsa kita. Agamawan harus mendorong
sikap dan tindakan toleransi antar umat beragama yang sekarang tampak semakin hampa.
Tegakkan toleransi maka paham-paham radikal akan runtuh seruntuh-runtuhnya. Kunci perubahan
yang di bawa oleh mahasiswa sebagai agen perubahan haruslah digunakan untuk membuka pintu
wawasan yang seluas-luasnya agar kebal akan sayatan-sayatan radikalisme yang memerihkan
toleransi. Toleransi harus dibangun dari pondasi ilmu pengetahuan, pilar keagamaan, dan beratap
persatuan yang saling melengkapi tiap-tiap suku, agama, dan golongan di masyarakat. Genderang
perubahan yang di bawa oleh mahasiswa selaku golongan masyarakat yang dekat dengan
masyarakat dan pemerintah itu haruslah ditabuh dengan semangat agar menggema di masyarakat
yang memiliki “lahan subur” radikalisme. Bantu pemerintah dengan meningkatkan minat baca dan
sikap kritis di masyarakat agar lebih kuat dan tahan terhadap “ombang-ambing” ideologi-ideologi
intoleran yang saat ini sangat marak dan rentan menyerang masyarakat. Mengembalikan jati diri
bangsa dengan menggenggam erat Pancasila. Dimana mahasiswa Indonesia merupakan pemuda
intelektual bangsa yang merupakan ujung tombak kejayaan Indonesia. Seperti pernyataan Presiden
Ir. Soekarno “Beri aku 10 pemuda niscaya akan kuguncangkan dunia”.
DAFTAR PUSTAKA

Ariwidodo, E. 2017. Shifting Paradigm of Modern Islam Fundamentalism as Islamized Space


Autonomy in Indonesia. Kars Journal of Social and Islamic Culture. 249-283

Badan Nasional Penanggulangan Terorisme, 2016. STRATEGI MENGHADAPI PAHAM


RADIKALISME TERORISME – ISIS. Konten Publikasi. pp. 1-6.

Badan Pusat Statistik. 2010. Sensus. Indonesia: BPS.

Devi, S., Fatchiya, A. & Susanto, D., 2016. Kapasitas Kader dalam Penyuluhan Keluarga
Berencana di Kota Palembang, Provinsi Sumatera Selatan. J. Penyuluhan, 12(2), pp. 144-
156.

Mauludy, A. H., 2018. MENGENAL RADIKALISME DI INDONESIA. pp. 1-9.

Qodir, Z., 2016. Kaum Muda, Intoleransi, dan Radikalisme Agama. JURNAL STUDI PEMUDA ,
5(1), pp. 429-445.

Anda mungkin juga menyukai