Anda di halaman 1dari 6

BAB I

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Indonesia adalah sebuah negara kepualuan yang memiliki lebih dari
17.000 pulau dengan 1.331 kelompok suku, 652 bahasa daerah, dan 6 agama yang
diakui secara resmi oleh pemerintah. Keberagaman suku, bahasa, dan agama
tersebut menghasilkan sebuah negara yang penuh dengan berbagai kebudayaan.
Kebudayaan-kebudayaan tersebut dapat dilihat melalui tiga wujud yaitu: ide-ide,
gagasan, norma; aktivitas atau tindakan berpola; benda-benda hasil karya manusia
(Koentjaraningrat, 1985). Sebagai contoh, perbedaan kebudayaan Suku Jawa dan
Minangkabau dapat dilihat dari ide-ide, gagasan, norma yaitu Suku Jawa
menganut patrilineal sedangkan Suku Minangkabau menganut matrilineal.
Kemudian perbedaan aktivitas dapat dilihat melalui Suku Batak dan Suku Cina
yaitu Suku Batak cenderung terjun dalam dunia professional seperti pengacara,
hakim, dll. Sedangkan Suku Cina cenderung terjun dalam dunia perdagangan.
Perbedaan benda-benda hasil karya manusia dapat dilihat melalui berbagai macam
alat musik, rumah adat, pakaian adat yang ada di Indonesia.
Kebudayaan yang beragam telah menjadi identitas Indonesia sejak dahulu,
The Founding Fathers memahami betapa pentingnya menjaga identitas tersebut
sehingga konsep dari keberagaman dimasukkan dalam ideologi negara yaitu
Bhineka Tunggal Ika yang artinya berbeda-beda tetapi tetap satu.
Keanekaragaman budaya memiliki nama lain yaitu multikulturual yang
merupakan akar kata dari multikulturalisme. Walaupun sama-sama memiliki
unsur kebudayaan, namun konsep keanekaragaman budaya dan konsep
multikulturalisme adalah berbeda. Konsep multikulturalisme menekankan
keanekaragaman budaya dalam kesederajatan sehingga dapat dikatakan bahwa
multikulturalisme adalah sebuah ideologi dan alat untuk meningkatkan derajat
manusia dan kemanusiaannya. Oleh karena itu, ketika membahas
multikulturalisme akan dibahas mengenai permasalahan-permasalahan seperti
politik dan demokrasi, keadilan dan penegakan hukum, HAM, dll (Suryana &
Rusdiana, 2015). Multikulturalisme juga mengajarkan bahwa perbedaan-
perbedaan yang ada (ras, etnis, gender, agama), tidak menjadi halangan bagi
masyarakat untuk hidup damai, berdampingan, dan sederajat. Selain itu,
multikulturalisme juga merujuk pada tiga hal yaitu: berkenaan dengan budaya;
keragaman budaya; dan tindakan spesifik pada respon atas keberagaman tersebut.
Respon atas keberagaman yang ada tidak selalu berupa respon yang baik.
Sering juga muncul konflik sebagai respon negatif terhadap budaya, agama, atau
etnis yang berbeda. Berdasarkan bentuk dan karakterisiknya, konflik antaretnis
dan antaragama dibedakan menjadi: konflik laten; dan konflik terbuka. Konflik
laten adalah konflik yang cenderung tertutup dan bersifat mengakar dalam
masyarakat seperti anggapan negatif terhadap sebuah etnis atau agama,
kecurigaan. Konflik terbuka adalah konflik yang muncul di permukaan, baik
berupa sikap, perilaku, serta tindakan-tindakan tertentu (Suryana & Rusdiana,
2015). Salah satu contoh dari konflik terbuka dalam konteks konflik antar agama
adalah pengeboman tiga gereja di Surabaya pada Mei 2018.
Kasus pengeboman tiga gereja ini menarik karena pelaku dari pengeboman
adalah satu keluarga. Ayahnya melakukan bom bunuh diri di Gereja Pantekosta
Pusat. Ibu dan dua anaknya yang masih duduk di bangku SD melakukan bom
bunuh diri di Gereja Kristen Indonesia. Kemudian dua anaknya yang remaja
melakukan bom bunuh diri di Gereja Katolik Santa Maria Tak Bercela di Jalan
Ngagel. Pengeboman tersebut dilakukan pada Minggu 13 Mei 2018 pagi.
Kemudian walikota Surabaya, mengeluarkan surat keputusan agar seluruh
kegiatan ibadah ditiadakan pada hari tersebut. Kejadian ini memunculkan
pertanyaan mengenai peran pendidikan multikulturalisme dalam mencegah
munculnya konflik-konflik multikulturalisme. Oleh karena itu, pada makalah ini
akan dibahas mengenai bagaimana peran pendidikan multikulturalisme, dalam
mencegah munculnya konflik keagamaan agar hal seperti pengeboman ini tidak
terulang kembali.

Rumusan Masalah
1. Bagaimana peran pendidikan multikulturalisme dalam mencegah munculnya
konflik keagamaan?

1
BAB II
PEMBAHASAN
Agama adalah kepercayaan umat manusia kepada Tuhan atau Dewa yang
di dalamnya terdapat ajaran-ajaran mengenai cara-cara beribadah kepada
Tuhannya dan cara bertindak kepada sesamanya. Agama seharusnya menjadi
sesuatu yang privat karena menyangkut hubungan orang perseorangan dengan
Tuhannya. Namun yang terjadi malah agama ini dibawa ke ranah publik karena
fanatisme, ekstrimisme, eksklusivisme, dll seperti kasus pengeboman gereja yang
merupakan bentuk ekstrimisme agama tertentu. Dari fakta yang Penulis baca
dalam berita, ayah dari keluarga bom bunuh diri telah menerima doktrin
ekstrimisme sejak berada di bangku SMA. Kemudian doktrin tersebut diajarkan
kepada anak-anaknya. Beberapa berita menyebutkan bahwa anak-anak yang
melakukan bom ini merupakan anak-anak yang aktif di sekolah. Walaupun aktif
dan terlihat baik-baik saja, sekolah-sekolah tersebut gagal untuk mendeteksi benih
ekstrimisme yang tertanam di dalam diri anak-anak tersebut.
Sebuah survei toleransi pelajar Indonesia dilakukan oleh Setara Institute
(2016) menyimpulkan bahwa 35,7 persen siswa memiliki paham intoleran yang
baru dalam tataran pemikiran; 2,4 persen sudah menunjukkan sikap intoleran
dalam tindakan dan perkataan; dan 0,3 persen berpotensi menjadi teroris. Survei
ini dilakukan atas 760 responden yang sedang menempuh pendidikan SMA
Negeri di Jakarta dan Bandung (Indahri, 2018). Melalui survei tersebut dapat
dilihat bahwa sebenarnya institusi pendidikan juga berperan dalam menciptakan
konflik multikultural. Ketika guru-guru di sekolah mengajarkan paham
eksklusivisme, absulutisme, fanatisme, maka mereka menanamkan bibit-bibit
konflik multikulturalisme. Padahal pendidikan adalah suatu proses yang penting
bagi seorang manusia.
Pendidikan membuat seorang manusia menjadi dewasa dan berbudaya.
Berbudaya maksudnya proses pendidikan membuat seseorang berperilaku,
berpikir, bertindak sesuai budaya yang disepakati masyarakat. Jadi terdapat
korelasi antara budaya di masyarakat dan pendidikan. Jika pendidikan berubah,
budaya ikut berubah, demikian sebaliknya (Suryana & Rusdiana, 2015). Oleh

2
karena itu, ketika pendidikan menanamkan konsep-konsep fanatisme,
eksklusivisme, ekstrimisme, maka akan mengubah atau bahkan menciptakan
budaya yang intoleran, yang pada akhirnya menciptakan konflik
multikulturalisme. Sebaliknya, bila pendidikan menanamkan konsep
multikulturalisme, maka budaya dapat berubah menjadi budaya yang toleran
terhadap perbedaan sehingga konflik multikulturalisme dapat dihindari. Bahkan
bila pendidikan multikulturalisme ini berhasil dengan baik, maka bisa saja tidak
akan ada konflik multikulturalisme.
Telah dijelaskan bahwa pendidikan multikulturalisme mampu menjadikan
budaya yang ada sekarang menjadi lebih toleran dan damai. Namun perlu
ditekankan bahwa pendidikan multikulturalisme ini tidak dapat dilakukan hanya
di sekolah saja. Tak jarang juga ceramah atau kotbah di rumah ibadah malah
mengajarkan paham intoleransi. Kotbah-kotbah seperti ini juga memicu
munculnya konflik multikulturalisme sehingga pendidikan multikulturalisme juga
harus dilakukan oleh instansi keagamaan. Pendidikan multikulturalisme di tingkat
instansi keagamaan tidak mudah dilakukan. Hal ini dikarenakan beberapa pakar
agama mempercayai bahwa agama dan multikulturalisme ini tidak bisa disatukan.
Padahal agama dan multikulturalisme dapat bersinergi dengan cara: perlu
dilakukan penafsiran ulang terhadap doktrin-doktrin yang bersifat eksklusif dan
opresif; mendialogkan agama dengan gagasan modern karena dengan
perkembangan zaman banyak gagasan-gagasan modern yang tidak mendasarkan
pada agama (Mubit, 2016).
Selain instansi pendidikan dan keagamaan, keluarga juga berperan dalam
melakukan pendidikan multikulturalisme. Seperti kasus pengeboman Surabaya
yang mana doktrin ekstrimisme diterima dari keluarga sehingga keluarga juga
memiliki tugas untuk melakukan pendidikan multikulturalisme. Pendidikan
multikulturalisme yang dilakukan di keluarga merupakan pendidikan
multikulturalisme yang dapat dilihat secara nyata dan diperankan secara langsung.
Dari tindakan orang tua yang mencerminkan multikulturalisme, anak-anak dalam
keluarga dapat mengerti bagaimana hidup berdampingan dan damai dengan orang
yang berbeda dengan mereka. Oleh karena itu, pendidikan multikulturalisme ini
sebenarnya tidak hanya menjadi tugas sekolah saja atau tugas pemerintah saja.

3
Tetapi setiap institusi agama dan keluarga juga mempunyai tugas untuk
mengajarkan pendidikan multikulturalisme.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Pendidikan merupakan proses penting dalam kehidupan manusia karena
melalui pendidikan seorang manusia dapat menjadi dewasa dan berbudaya.
Berbudaya artinya proses pendidikan membuat seseorang berperilaku, berpikir,
bertindak sesuai budaya yang disepakati masyarakat sehingga terdapat korelasi
antara budaya di masyarakat dan pendidikan. Ketika sebuah pendidikan berubah
maka budaya ikut berubah, begitu juga sebaliknya. Oleh karena itu, pendidikan
multikulturalisme berperan dalam menciptakan budaya yang toleran dan damai.
Ketika budaya seperti itu tercipta, konflik multikultural dapat dihindari agar tidak
terjadi.
Pendidikan multikulturalisme merupakan tugas seluruh lapisan masyarakat
mulai dari pemerintah, institusi pendidikan seperti sekolah dan universitas,
institusi agama seperti rumah ibadah, dan keluarga. Dari kasus pengeboman
Surabaya dapat dilihat bahwa tidak bisa hanya pemerintah dan institusi
pendidikan saja yang melalukan pendidikan multikulturalisme. Namun keluarga
dan bahkan institusi agama juga harus mengambil peran dalam melakukan
pendidikan multikulturalisme. Ketika pendidikan multikulturalisme ini dilakukan
dengan baik oleh seluruh lapisan masyarakat, maka dapat tercipta masyarakat
yang benar-benar paham akan multikulturalisme. Ketika tercipta masyarakat yang
seperti itu, maka dapat dipastikan bahwa konflik multikulturalisme tidak akan
terjadi. Oleh karena itu, melalui makalah ini telah terjawabkan bahwa pendidikan
multikulturalisme, baik yang dalam institusi pendidikan; institusi agama; dan
keluarga, penting untuk dilakukan agar dapat mencegah konflik
multikulturalisme.

Saran
Pendidikan multikmulultural dapat digunakan sebagai alat untuk
mencegah konflik multikulturalisme. Oleh karena itu, seluruh lapisan masyarakat

4
hendaknya menanamkan dan melaksanakan konsep multikulturalisme. Ketika
semua lapisan masyarakat paham akan konsep tersebut, di situlah dapat diciptakan
budaya masyarakat yang toleran, damai, dan dapat hidup berdampinga
DAFTAR PUSTAKA

Jurnal:
Indahri, Y. (2018). Peran Lembaga Pendidikan Dalam Upaya Memberantas
Terorisme. Puslit, 14.
Mubit, R. (2016). Peran Agama Dalam Multikulturalisme Masyarakat Indonesia.
Episteme, 178-179.

Buku:
Koentjaraningrat. (1985). Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Aksara Baru.
Suryana, Y., & Rusdiana, H. (2015). Pendidikan Multikultural: Suatu Upaya
Penguatan Jati Diri Bangsa. Bandung: Pustaka Setia.

Anda mungkin juga menyukai