Anda di halaman 1dari 8

Gotong Royong sebagai Prinsip Masyarakat Indonesia untuk Menanggapi Konflik

Multikulturalisme

Sinta Cristin Panjaitan

STKIP Widya Yuwana Madiun

Abstrak

Indonesia merupakan negara berkembang yang sangat kaya akan sumber daya alam
dan sumber daya manusia. Keanekaragaman masyarakat Indonesia dapat dilihat dari adanya
berbagai suku, ras, budaya, adat istiadat dan berbagai agama yang dianut. Untuk itulah
Indonesia patut menyadari perlunya hidup dalam kemajemukan yang harusnya mampu
membangun bangsa ini agar semakin satu dalam pengamalan nilai-nilai Pancasila. Namun,
pada realitanya, kebanyakan orang memandang multikulturalisme sebagai sesuatu hal yang
harus disamakan. Artinya, masih ada beberapa kelompok tertentu mengharapkan keadaan
yang homogen sesuai dengan keinginan kelompoknya. Hal ini bertentangan dengan nilai-nilai
Pancasila dan banyak orang lupa bahwa sejak awal masyarakat Indonesia telah menjiwai
semangat gotong royong.

Kata kunci : Gotong royong, Pancasila, Multikulturalisme

I. Indonesia dan Konflik Multikultural


Merdeka adalah sebuah perjuangan besar bagi Indonesia untuk dapat mandiri
dan menunjukkan keberadaan diri di tengah-tengah dunia. Indonesia kini dikenal
dengan banyaknya pulau dan keanekaragaman yang dimiliki. Boleh kita berbangga diri
karena memang banyak orang telah memberikan dirinya untuk menjadikan Indonesia
semakin dikenal dan bergerak maju. Banyak prestasi yang boleh Indonesia dapat
melalui berbagai aspek yang masyarakat berikan. Baik itu dari kalangan muda maupun
dari orang-orang tua. Didasari semangat cinta tanah air, sebagai masyarakat Indonesia
sudah selayaknya kita berusaha untuk seiya sekata dalam mengembangkan Indonesia
baik di dalam maupun di luar negeri.
Jika memang telah berbangga karena banyaknya perkembangan yang terlihat
hingga sampai saat ini, kita juga tidak boleh puas diri. Perlu diingat bahwa Indonesia
bukan hanya kaya akan sumber daya alam dan manusia saja, melainkan Indonesia juga
merupakan negara yang kaya akan permasalahan. Permasalahan ekonomi, sosial,
politik, pendidikan, komunitas dan masih banyak lagi hal yang menjadi masalah dalam
kehidupan sehari-hari. Semua permasalahan yang muncul tentu harus disikapi dengan
bijaksana agar dapat menemukan penyelesaian yang tepat bagi kepentingan bersama.
Sejak semula, Indonesia merdeka untuk semua rakyat Indonesia. Dalam pidato
Soekarno dikatakan bahwa “semua untuk semua”, artinya kemerdekaan yang bisa kiat
rasakan hingga sampai detik ini adalah hak seluruh warga Indonesia. Negara Indonesia
ini lahir bukan hanya untuk ras tertentu, atau hanya untuk satu suku apalagi untuk
kepentingan pribadi. Indonesia lahir dari perjuangan bersama dan oleh karena
perjuangan bersama itu, sepantasnya kita melanjutkan perjuangan sesuai dengan peran
dan tanggung jawab masing-masing.
Hanya saja, relaita kehidupan bersama di Indonesia seringkali sangat
menyedihkan. Menjadi menyedihkan karena sampai saat ini masih banyak orang belum
memahami betul tentang pentingnya keberagaman. Bahwa masih ada orang-orang
dalam komunitas tertentu yang tidak menganggap multikultural sebagai hal yang baik.
Multikultural sendiri sering diartikan sebagai istilah yang digunakan untuk
menggambarkan keberagaman, menyangkut berbagai kebudayaan yang ada dalam
masyarakat dan menekankan pada penerimaan keberagaman tersebut. Konsep
multikulturalisme tidak dapat begitu saja disamakan dengan konsep keanekaragaman
suku bangsa atau kebudayaan yang menjadi ciri masyarakat majemuk. 1
Multikulturalisme menekankan keanekaragaman kebudayaan dalam kesederajatan. 2
Multikulturalisme akan juga berkaitan dengan HAM, politik, demokrasi dan
sebagainya. Tetapi ternyata dalam kehidupan sehari-hari banyak terjadi konfik-konflik
tentang keberagaman atau multikulturalisme ini. Hal ini menandakan bahwa tidak
semua masyarakat Indonesia memahami arti keberagaman, sebagian orang hanya
mengerti tetapi tidak memahami.
Ada banyak konflik multikultural yang pernah dan sedang terjadi di Indonesia.
Beberapa konflik multikultural yang pernah terjadi di Indonesia misalnya, perang
sampit yang merupakan perang antar suku. Adapun konflik multikultural yang dekat
dengan kehidupan kita saat ini adalah terjadinya tindakan-tindakan intoleran. Misalnya,
tragedi pengusiran seorang seniman Katolik dari desa Bantul. Warga Bantul sepakat

1
Bdk. Dewantara A, Pancasila dan Multikulturalisme Indonesia, Jurnal Filsafat vol 5, 2015, Hal 115
2
Bdk. Dewantara A, Pancasila dan Multikulturalisme Indonesia, Jurnal Filsafat vol 5, 2015, Hal 115
untuk tidak mengizinkan pemeluk agama lain tinggal di desa tersebut. Padahal sudah
jelas bahwa tidak ada pertatutan atau hukum yang mengatur tentang hal tersebut.
Tindakan intoleran lain saat ini banyak terjadi pada kaum minoritas, siapa yang lemah,
orang yang dibawah atau karena perbedaan pendapat.
Jika ingin ditarik lebih jauh, tidak ada orang yang tahu ia akan lahir dimana dan
dari keluarga yang seperti apa. Bisa jadi karena lahir di keluarga muslim maka ia
bergama muslim sebab, itu adalah keyakinan keluarga atau yang selama ini kita sebut
iman. Begitupun sebaliknya, orang katolik, budha, hindu, konghucu juga mengalami
hal yang sama. Orang tidak dapat menentukan apakah ia ingin lahir di keluarga dengan
suku tertentu, lahir dalam ras kulih putih atau hitam, lahir di kota atau desa, semua
bukan manusia yang menentukan. Artinya keberagaman ini bersumber dari Allah
sendiri. Harusnya sebagai manusia ciptaan Allah, kita dapat menerima keragaman yang
ada sebagai anugerah dan bersyukur atas hal itu, sebab dengan perbedaan orang dapat
saling bertukar pikiran dan belajar bersama.
Pendukung gagasan pluralisme sering digolongkan dalam penganut relativisme.
Bahkan tak jarang dari mereka yang dianggap sesat dan murtad. Sikap seperti itulah
yang nampaknya diyakini oleh mayoritas ulama yang ada di MUI (Majelis Ulama
Indonesia). MUI pun terdesak untuk mengeluarkan fatwa tentang haramnya pluralisme.
Fatwa anti pluralisme yang dikeluarkan oleh MUI berdampak luas dalam
mempengaruhi cara pandang masyarakat yang semakin kuat untuk memusuhi dan
menolak kelompok lain agama atau kepercayaan.3
Tindakan intoleran merujuk pada keengganan untuk atau ketidakmauan untuk
berbuat toleran, atau dengan kata lain tidak membiarkan orang atau kelompok lain
untuk berbeda. Perbedaan yang tidak diinginkan tersebut berupa beda pandangan
dengan dirinya ataupun dengan kelompoknya.4 Padahal negara-bangsa ini semenjak
pertama kali berdiri sudah dihadapkan dan disadarkan dengan fakta kemajemukan di
sana-sini, sehingga itu pula yang membuat para founding father melepaskan jubah-
jubah perbedaan mereka.5 Maka, seharusnya kita yang berjuang di era sekarang ini
haruslah meneruskan perjuangan funding fatehr dengan menjadi embrio yang baik
dalam menanggapi pluralisme di Indonesia.

3
Bdk. Dewantara A, Pancasila dan Multikulturalisme Indonesia, Jurnal Filsafat vol 5, 2015, Hal 116
4
Bdk. Sirait B, Ancaman Diskriminasi Minoritas Dan Hilangnya Multikulturalisme Di Indonesia: Studi Kasus
Penutupan Gki Yasmin Bogor, Jurnal Ilmu Politik vol 10, 2018, Hal.30
5
Bdk. Dewantara A, Pancasila dan Multikulturalisme Indonesia, Jurnal Filsafat vol 5, 2015, Hal 118
II. Nilai-Nilai Pancasila dalam Kemajemukan Bangsa Indonesia
Soekarno memimpikan terwujudnya “Indonesia bagi semua,” maka semua
warga harus merasa sebagai orang Indonesia dan membangun Indonesia yang sama.6
Indonesia sejak awal telah disatukan oleh Pancasila dan hendaknya nilai Pancasila
itulah yang menjadi jiwa yang sama bagi seluruh masyarakat. Indonesia yang sama
artinya seluruh rakyat Indonesia ini sederajat, semua memiliki hak dan tanggung jawab
yang sama sebagai warga negara.
Kemajemukan Bangsa Indonesia telah disatukan oleh nilai-nilai Pancasila.
Maka, apa yang sudah satu ini hendaknya jangan sampai dipecah belah. Lima dasar
yang begitu hebat membangun bangsa ini adalah tentang Tuhan, kemanusiaa,
persatuan, musyawarah mufakat dan keadilan. Kelimanya itu merupakan hal yang
sepantasnya menjadi roh bagi kehidupan bersama dalam negara ini. Dengan begitu
perlu menanamkan nilai-nilai yang telah mempersatukan Indonesia ini agar
kemajemukan tidak lagi dipandang sebagai sebuah permasalahan melainkan sebagai hal
yang memang harus ada untuk perkembangan bangsa negara kita. Namun, sampai saat
ini masih banyak orang yang muncul sebagai pemberontak dari adanya nilai-nilai
Pancasila.
Pancasila seakan-akan terhempas, bahkan tidak disegani lagi. Kaum agamis
tertentu dewasa ini masih mencita-citakan hal lama, yaitu berdirinya negara Islam,
bahkan kesannya tanpa toleransi lagi. Beberapa golongan nasionalis, termasuk kaum
kristiani, menganggap bahwa Pancasila harus direvitalisasi sebagai Welstanchauung
atau ‘filsafat hidup’ berbangsa dan bernegara yang selama ini ada.7 Perjuangan bangsa
sekarang berada di antara dua kutub, yakni antara ‘revitalisasi Pancasila’ atau
‘penggantian Pancasila dengan syariah.’ Kalau yang kedua benar terjadi pasti akan
muncul disintegrasi bangsa. Usaha-usaha segolongan kecil orang yang memunculkan
go- longannya sendiri pada masa reformasi ini terkesan menyimpan dendam historis
yang masih membara, meskipun para pendahulu kita secara sadar dan ikhlas ingin
bergotong royong membangun negara ini dari nol.8
Dihadapkan pada keadaan seperti sekarang ini, masyarakat Indonesia harus
mampu bersikap bijaksana. Jangan sampai orang semakin banyak terjebak dalam
pemikiran homogensi. Dalam melihat dan mencermati soal- soal kebangsaan yang

6
Dewantara A, Pancasila dan Multikulturalisme Indonesia, Jurnal Filsafat vol 5, 2015, Hal 119
7
Dewantara A, Pancasila dan Multikulturalisme Indonesia, Jurnal Filsafat vol 5, 2015, Hal 123
8
Dewantara A, Pancasila dan Multikulturalisme Indonesia, Jurnal Filsafat vol 5, 2015, Hal 123
belakangan ini muncul, ada alasan yang cukup kuat untuk kembali menggali nilai-nilai
filosofis yang dikandung Pancasila untuk kemudian ditransformasikan menjadi
landasan etik dalam menemukan solusi atas problem kebangsaan sekaligus
merumuskan visi masa depan.9
Nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila hanya akan terlihat atau terwujud
jika masyarakat membawa nilai tersebut melekat pada diri dan kesehariannya. Untuk
itu barulah nilai itu dapat muncul dan menjadi semangat bagi sesama untuk melihat
kembali tujuan bersama dibentuknya Bangsa Indonesia ini. Maka, kemajemukan
memang bukan sebuah permasalahan, tetapi dasar permasalahan itu adalah orang yang
membawa nilai tentang kemajemukan itu sendiri. Jika manusia telah mengerti tentang
baik dan buruk, maka sebenarnya masyarakat juga harusnya telah mengerti mana nilai
Pancasila dan mana nilai “mono-kulturalisme”.
Nilai-nilai Pancasila itu dapat diwujudkan dalam bentuk gotong royong. Di titik
ini semua pihak harus menghayati pemahaman para pendiri negara ini dalam hal
pengedepanan semangat kegotong-royongan, seperti yang diyakini Hatta. Prinsip
keislaman Hatta selalu dijiwai dengan keindonesiaan yang yang solid tanpa harus
disertai dengan pemaknaan ‘arabisasi’ secara formal dan berlebihan (seperti yang
terjadi pada generasi sekarang).10 Gotong royong telah menjadi ciri khas Indonesia yang
menyatukan berbagai ciri khas lainnya dalam daerah-daerah atau kelompok-kelompok.
Makna gotong royong begitu dalam dan memiliki kekuatan untuk mendorong Indonesia
menjadi lebih solid dan mampu hidup dalam kemajemukan. Untuk masa sekarang ini,
semangat gotong royong memang sangat diperlukan sebagai roh yang mendasari
kehidupan berbangsa dan bernegara.

III. Prinsip Gotong Royong sebagai Jawaban atas Konflik Multikulturalisme


Indonesia telah memiliki kemajemukan dalam berbagai aspek sejak dibentuk.
Dibalik kemajemukan itu, founding father menemukan bahwa gotong royonglah yang
menjadi jiwa bagi masyarakat Indonesia. Oleh karena semangat itulah, kita semua bisa
bersatu, merdeka dan menjadi negara berkembang hingga sampai saat ini. Gotong
royong telah menjadi konsep yang menggambarkan ciri Indonesia. Gotong royong juga
menjadi prinsip yang sejak semula telah menjadikan Indonesia bukan hanya milik satu

9
Bdk. Sirait B, Ancaman Diskriminasi Minoritas Dan Hilangnya Multikulturalisme Di Indonesia: Studi Kasus
Penutupan Gki Yasmin Bogor, Jurnal Ilmu Politik vol 10, 2018, Hal.33
10
Dewantara A, Pancasila dan Multikulturalisme Indonesia, Jurnal Filsafat vol 5, 2015, Hal 123
kelompok, melainkan Indonesia untuk ssemua. Semua berarti merujuk pada
multikulturalisme yang ada.
Realita tentang kemajemukan yang dulu dengan sekarang telah berbeda. Dulu,
kemajemukan menjadi semangat untuk bersatu sehingga muncul konsep gotong royong
tersebut. Namun sekarang, kemajemukan atau multikulturalisme dianggap menjadi
penghalang bagi kepentingan kelompok tertentu. Karena itulah banyak konflik
multikulturalisme bermunculan. Konflik-konflik tersebut banyak mengandung unsur
SARA, ekonomi, politik, HAM dan masih banyak lagi. Keadaan bisa jadi semakin
memburuk jika tidak segera mengembalikan konsep gotong royong sebagai jawaban
atas konflik multikulturalisme tersebut.
Dari hari ke hari semakin dirasakan adanya krisis dalam hidup berbangsa dan
bermasyarakat. Yang kerap dipersalahkan atas semua ini adalah Pancasila. Semua
pihak ramai-ramai menggugat Pancasila. Ia dianggap tidak pantas lagi digunakan
sebagai dasar negara.11 Bagitu banyak pola pikir yang sembarangan dan terlihat egois.
Untuk mendorong terwujudnya nilai Pancasila, harus didasari oleh kesadaran
dari akal budi terlebih dahulu. Sebab, pola pikir masyarakat yang sekarang ini
kebanyakan cenderung pada menganggap bahwa kelompoknya yang paling baik atau
paling benar. Pola pikir seperti ini harus diubah, untuk itu gotong royong dapat
diwujudkan pertama-tama melalui akal budi, dengan pemahaman yang baik dan benar
tentang Pancasila dan konsep gotong royong itu sendiri. Terkhusus untuk kaum-kaum
muda dan anak-anak rasanya sangat perlu menanamkan prinsip ini agar melekat pada
diri mereka, sehingga harapannya nilai gotong royong itu akan terlihat.
Penjelasan Soekarno (yang didukung oleh Supomo, Hatta, dan Yamin)
mengenai negara gotong royong diasalkan pada “kodrat” manusia/masyarakat
Indonesia yang selalu hidup dalam suasana kekeluargaan dan kegotong-royongan. 12
Jika dikaitkan dengan keadaan yang sekarang, ini menandakan bahwa bangsa kita
memiliki pekerjaan yang besar untuk dapat mengembalikan prinsip gotong royong itu.
Hal ini hanya bisa diperjuangkan jika semangat gotong royong dikedepankan.
Kebangsaan dengan demikian bukan cuma sekadar persamaan tumpah darah dan
tempat tinggal. Jauh melampaui itu, kebangsaan adalah soal bagaimana tiap warganya

11
Dewantara A, 2017, Alangkah Hebatnya Negara Gotong Royong (Indonesia dalam Kacamata Soekarno),
Kanisius, Jogjakarta, hlm.91
12
Dewantara A, 2017, Alangkah Hebatnya Negara Gotong Royong (Indonesia dalam Kacamata Soekarno),
Kanisius, Jogjakarta, hlm.92
diikat oleh perasaan dan kehendak yang sama untuk maju di tengah keberagaman.
Kebangsaan.13

IV. Kesimpulan
Bangsa Indonesia yang memiliki keberagaman dalam berbagai aspek. Sering
disebut dengan multikulturalisme, Indonesia terkenal sangat kaya akan budaya, suku,
ras, dan keberagaman lainnya. Begitupun dalam aspek sosial, ekonomi, politik juga
sangat beragam. Sejak dulu keberagaman ini telah disatukan oleh Pancasila dan
Soekarno menyebut bahwa konsep gotong royong juga menajdi jiwa dari masyarakat
Indonesia. Dalam pidatonya Soekarno juga mengatakan bahwa Indonesia bukanlah
untuk satu kelompok tertentu saja, melainkan karena adanya keberagaman yang
sederajat, Indonesia adalah untuk semua.
Dewasa ini, realitas multikultural yang terjadi justru berujung pada konflik-
konflik SARA. Kelompok-kelompok tertentu menganggap Pancassila tidak lagi cocok
digunakan Indonesia, mereka ingin menggantinya dengan apa yang mereka anngap baik
dan benar. Padahal, Indonesia bukanlah milik mayoritas saja. Indonesia milik semua
warganya, baik itu kaya atau miskin, muda atau tua atau berasal dari agama manapun.
Terlihat jelas melalui konflik-konflik yang ada bahwa nilai-nilai Pancasila tidak
lagi dihayati secara serius. Banyak orang menginginkan “mono-kulturalisme” agar
sesuai dengan apa yang dia inginkan. Prinsip gotong royong mulai memudar dan tidak
lagi terlihat dalam diri masyarakat Indonesia. Untuk itulah, Indonesia perlu lebih ekstra
untuk mengembalikan semangat gotong royong ini demi mencegaha dan melawan
konflik multikultural yang ada. Pendidikan yang tepat tentang Pancasila dan gotong
royong harus dilekatkan sejak dini. Maka, sudah selayaknya semua masyarakat
menjiwai kembali prinsip gotong royong itu sesuai dengan peran dan tugasnya baik
dalam keluarga maupun masyarakat.

13
Dewantara A, 2017, Alangkah Hebatnya Negara Gotong Royong (Indonesia dalam Kacamata Soekarno),
Kanisius, Jogjakarta, hlm.93
Daftar Pustaka

Dewantara A.2017.Alangkah Hebatnya Negara Gotong Royong (Indonesia dalam Kacamata

Soekarno).Kanisius:Jogjakarta

Dewantara A. (2005). Pancasila dan Multikulturalisme Indonesia. Jurnal Filsafat. Vol 5,115-123.

https://osf.io/preprints/inarxiv/8r7h9/

Sirait B. (2018). Ancaman Diskriminasi Minoritas Dan Hilangnya Multikulturalisme Di Indonesia: Studi

Kasus Penutupan Gki Yasmin Bogor. Jurnal Ilmu Politik. Vol 10,30-33.

10.14710/politika.10.1.2019.28-39

Anda mungkin juga menyukai