Anda di halaman 1dari 11

Indonesia salah satu negara dengan keberagaman yang begitu banyak.

Keberagaman Indonesia
tidak akan berjalan dengan baik jika masyarakatnya terlalu diam. Justru, masyarakat Indonesia
memiliki sifat yang memang sangat mencintai keberagaman ini. Keberagaman bukanlah penghalang
untuk bisa bekerjasama dalam mewujudkan Indonesia yang lebih baik.
Ditengah situasi pandemi Covid-19 yang mewabah di Indonesia seperti ini menjadikan momen untuk
masyarakat Indonesia bisa saling membantu satu sama lainnya tanpa memandang suku, agama,
ras dan antar golongan. Tentunya, banyak sekali cara yang bisa dilakukan untuk menjalin
keberagaman tersebut agar tetap ada.
Berikut ini 4 tips untuk menjaga keberagaman di Indonesia agar semakin menjadikan Indonesia
sebagai negara maju di masa depan.
1. Saling Menghargai
Hal utama yang paling penting untuk bisa dilakukan yaitu dengan saling menghargai. Dengan saling
menghargai, maka akan memberikan manfaat yang baik. Serta, tidak terjadi permasalahan yang
memang tidak diperlukan. Tidak ada manfaat dari permasalahan yang terjadi. Sebaliknya, jika saling
menghargai satu sama lain maka akan sangat bermanfaat.
Cobalah untuk bisa menghargai baik Agama, suku, ras dan golongannya. Jangan jadikan hal
tersebut sebagai perbedaan yang mendalam. Justru, sebaiknya bisa digunakan untuk membuktikan
bahwa masyarakat Indonesia mencintai keberagaman. Dimanapun anda berada, tetaplah miliki rasa
untuk bisa saling menghargai!
2. Membantu Satu Sama Lain
Sejatinya, manusia merupakan makhluk sosial yang memang membutuhkan satu sama lainnya.
Termasuk dalam hal menjalin keberagaman di Indonesia. Dengan membantu satu sama lainnya
akan memberikan efek yang sangat besar. Terlebih, sesama masyarakat Indonesia memang
seharusnya melakukan hal ini.
Seperti saat terdapat musibah maka bisa membantu satu sama lainnya. Bersikaplah baik untuk
tetap membantu lainnya. Jangan jadikan perbedaan sebagai alasan untuk tidak membantu. Tetapi,
tetap berikan bantuan yang memang bisa bermanfaat untuk digunakan. Hal ini akan membuat pola
kehidupan yang lebih baik.
3. Tidak Saling Menjatuhkan
Sebagaimana mestinya seorang saudara, maka tidak boleh untuk saling menjatuhkan. Terutama,
untuk membuat keberagaman di Indonesia tetap berjalan. Di Negara yang lainnya, tentu tidak
memiliki keberagaman yang begitu banyak. Memang, tugas masyarakat Indonesia saat ini cukup
berat. Karena, harus menjaga keberagaman ini agar tetap lestari.
Sebenarnya, hal tersebut berat jika dilakukan sendiri. Sebaliknya, jika dilakukan bersama-sama
tentu tidak. Justru, akan sangat menyenangkan untuk dilakukan. Mulai dengan lingkungan sekitar
terlebih dahulu. Buat lingkungan masyarakat yang nyaman, tentram dan aman. Kemudian,
sampaikan kepada saudara yang lainnya bahwa hal ini penting untuk dilakukan!
4. Saling Menjalin Kebersamaan
Baik dalam kondisi susah maupun senang, maka bisa untuk tetap menjalin kebersamaan. Jangan
biarkan, saudara yang disana sedang susah maka tidak diberikan bantuan yang sesuai. Harus
diberikan penanganan yang memang tepat. Padahal, saat ini sudah begitu banyak akses yang bisa
dilakukan untuk tetap menjalin kebersamaan.
Tidak hanya pada kondisi senang saja, tetapi saat kondisi susah juga. Tetaplah menjadi bagian dari
masyarakat yang memang siap membantu sesama. Jalin kebersamaan sesama masyarakat
Indonesia. Jangan sampai, keberagaman ini hilang karena tidak ada jalinan kebersamaan satu
sama lainnya. Mulailah dari sekarang!

Multikulturalisme adalah suatu pandangan dunia yang menghargai dan


mengakui keberagaman budaya, agama, etnis, dan latar belakang lainnya
dalam masyarakat. Multikulturalisme bertujuan untuk menciptakan harmoni,
toleransi, dan kerjasama antara kelompok-kelompok yang berbeda, serta
menghindari diskriminasi, konflik, dan ketidakadilan. Multikulturalisme juga
dapat memberikan manfaat bagi perkembangan sosial, ekonomi, dan kreatif
masyarakat yang majemuk.

Namun, multikulturalisme bukanlah sesuatu yang terwujud dengan mudah.


Multikulturalisme membutuhkan upaya yang serius dan berkelanjutan dari
berbagai pihak, baik pemerintah, masyarakat sipil, media, pendidikan, maupun
individu. Berikut ini adalah beberapa upaya yang dapat dilakukan untuk
mewujudkan multikulturalisme:

1. Membangun kesadaran dan apresiasi


terhadap keberagaman
Langkah pertama untuk mewujudkan multikulturalisme adalah membangun
kesadaran dan apresiasi terhadap keberagaman yang ada di masyarakat. Hal
ini dapat dilakukan dengan cara:

 Menyediakan informasi dan pengetahuan yang akurat dan objektif


tentang berbagai budaya, agama, etnis, dan latar belakang lainnya yang
ada di masyarakat.
 Menyelenggarakan kegiatan-kegiatan yang melibatkan partisipasi dan
interaksi antara kelompok-kelompok yang berbeda, seperti festival
budaya, dialog lintas iman, pertukaran pelajar, kerjasama sosial, dll.
 Menghormati hak-hak dasar dan kebebasan setiap individu dan
kelompok untuk memelihara dan mengembangkan identitasnya tanpa
mengganggu hak-hak dan kebebasan orang lain.
2. Mendorong inklusi dan partisipasi
dalam proses demokrasi
Langkah kedua untuk mewujudkan multikulturalisme adalah mendorong
inklusi dan partisipasi dalam proses demokrasi. Hal ini dapat dilakukan dengan
cara:

 Menjamin kesetaraan hak dan kewajiban bagi semua warga negara tanpa
membedakan budaya, agama, etnis, gender, dll.
 Memberikan ruang bagi perwakilan dan aspirasi dari berbagai kelompok
dalam proses pengambilan keputusan publik.
 Menegakkan hukum dan keadilan secara adil dan transparan bagi semua
warga negara tanpa diskriminasi.
 Mencegah dan menyelesaikan konflik-konflik yang berkaitan dengan isu-
isu multikultural secara damai dan dialogis.

3. Meningkatkan kerjasama dan


solidaritas antara kelompok-kelompok
yang berbeda
Langkah ketiga untuk mewujudkan multikulturalisme adalah meningkatkan
kerjasama dan solidaritas antara kelompok-kelompok yang berbeda. Hal ini
dapat dilakukan dengan cara:

 Membangun jaringan dan aliansi antara organisasi-organisasi masyarakat


sipil yang bergerak di bidang multikulturalisme.
 Mendorong kolaborasi antara sektor-sektor publik, swasta, akademik,
media, dll. dalam mengembangkan program-program yang mendukung
multikulturalisme.
 Menggalang dukungan dari komunitas internasional untuk
mempromosikan multikulturalisme sebagai salah satu nilai universal.
Demikianlah beberapa upaya yang dapat dilakukan untuk mewujudkan
multikulturalisme. Multikulturalisme bukanlah suatu tujuan akhir, melainkan
suatu proses dinamis yang memerlukan komitmen dan keterbukaan dari
semua pihak. Dengan multikulturalisme, kita dapat menjadikan perbedaan
sebagai kekayaan, bukan sebagai ancaman.

Dunia akan menjadi lebih buruk jika agama mengajarkan para pengikutnya
untuk membenci atau menyerang orang-orang beriman yang setia.

Bangsa Indonesia yang Multikultural

Sebuah realitas sosiologis, bahwa bangsa Indonesia terdiri dari masyarakat


multikultural yang harus dijunjung tinggi, dihormati, dan dipelihara. Justru
dengan mengakui keanekaragaman itulah bangsa Indonesia terbentuk.

Salah satu bentuk keberagaman di Indonesia adalah masalah agama. Indonesia


bukan negara sekuler, bukan pula negara agama, tetapi pengakuan agama oleh
negara hanya mencakup enam agama, yaitu Islam, Hindu, Budha, Kristen,
Katolik, dan Kong Hu Chu.

Ketika melihat dari sisi kebebasan beragama dalam konstitusi, sebenarnya apa
yang ditentukan oleh negara ini bertentangan dengan kebebasan hak warga
negara, karena negara memberikan batasan jumlah keyakinan yang harus
dianut. Dengan kata lain, agama selain yang ditentukan tersebut tidak boleh
tinggal di Indonesia.

Indonesia, secara tipikal merupakan masyarakat yang plural. Pluralitas


masyarakat Indonesia tidak saja karena keanekaragaman suku, ras, dan bahasa,
tetapi juga dalam agama. Dalam hubungannya dengan agama, beberapa waktu
terakhir memberikan kesan yang kuat akan mudahnya agama menjadi alat
provokasi dalam menimbulkan ketegangan dan kekerasan, baik intern maupun
antarumat beragama.

Penyebab Ketegangan dalam Beragama

Ketegangan dalam beragama antara lain disebabkan karena:


Pertama, umat beragama seringkali bersikap untuk memonopoli kebenaran
ajaran agamanya. Sementara, agama lain diberi label tidak benar.

Kedua, umat beragama seringkali bersikap konservatif, merasa benar sendiri


(dogmatis), sehingga tidak ada ruang untuk melakukan dialog yang kritis dan
bersikap toleran terhadap agama lain.

Dua sikap keagamaan seperti itu membawa implikasi adanya beragama tanpa
memedulikan keberagamaan orang lain. Sikap ini juga akan menyebabkan
keretakan hubungan antarumat beragama.

Baca Juga MUI: Menguatkan Nasionalisme, Mengedepankan Islam Wasathiyah

Hubungan antarumat beragama pada skala nasional, terwakili dengan mereka


para tokoh-tokoh agung, pemimpin bangsa dengan segala aktivitasnya.
Kehidupan yang beragam dalam aras nasional belum tentu merasa bahagia
pada aras lokal.

Hidup bersaudara dengan beragamnya agama, etnis, ras, dan suku di Indonesia
memberikan sebuah pelajaran yang amat sangat penting, yakni menciptakan
suatu ruang yang dapat difungsikan untuk saling bertukar pikiran dalam
membangun dan merawat keharmonisan.

Indikasinya ialah terletak pada insan yang berperan dalam perawatan


kehidupan yang majemuk. Karena tatanan yang berada di tingkat negara belum
sampai pada tingkat lokal, hal itu memungkinkan adanya daya besar untuk
mendayagunakan bahu-bahu setempat untuk bergerak dalam mendakukan diri
sebagai dalang keharmonisan.

Sebenarnya, keadaan yang hari ini dipandang biasa akan menimbulkan bercak-
bercak sejarah ketika bisa didaulat menjadi lokus perdamaian, semua itu
dimulai dari sumber daya manusianya. Perlu ditekan, kenapa? Karena
persaudaraan (ukhuwah) pada ranah apapun itu, baik agama, ras, suku, dan
etnis, perlu terus terjalin demi kelangsungan hidup dalam keberbedaan dengan
penuh keindahan.
Trilogi Persaudaraan

Dalam kubangan sesama umat, kita harus membangun keumatan yang indah,
karena itu akan membangun konsep hidup beragama. Ukhuwah tersebut bisa
disebut dengan ukhuwah islamiyah.

Persaudaraan atas dasar keyakinan keagamaan ini menyebabkan seorang


muslim mempunyai saudara yang jumlahnya sangat banyak. Ia memiliki
saudara yang bertebaran di muka bumi, di berbagai desa, kota, bahkan negara.
Dengan demikian, umat Islam mempunyai potensi yang besar untuk memberi
konstribusi nyata bagi terciptanya tatanan kehidupan sosial yang tenteram dan
damai.

Islam mengajarkan kepada pemeluknya agar berbuat baik kepada sesama


manusia. Tuntunan itu menjadi lebih besar lagi bila di antara manusia terdapat
ikatan yang lain, seperti kekerabatan dan ketetanggaan.

Baca Juga Politik Identitas No, Politik Programatik Yes

Ikatan-ikatan tersebut dalam Islam harus dijaga dan dipelihara agar tercipta
suasana yang rukun, kerja sama, dan tolong menolong antarmanusia, terlebih
antarumat Islam. Semua itu perlu di rajut untuk membentuk kehidupan yang
terikat pada sebuah persaudaraan yakni ukhuwah islamiyah.

Pada pembentukan sumber daya manusia lebih lanjut ialah membangun


persaudaraan pada umat seluruh bangsa dan setanah air, yakni ukhuwah
wathaniyah. Bangsa Indonesia merasa senasib dan sepenanggungan, berjuang
melawan penjajahan Belanda dan Jepang, untuk mencapai kemerdekaan yang
didambakan dan dicita-citakan.

Semua perjuangan Indonesia dari berbagai latar belakang, etnis, suku, agama,
sosial, dan budaya, melancarkan perjuang melawan penjajah untuk meraih
kemerdekaan Indonesia.

Pengorbanan jiwa, raga, dan harta yang diwarnai oleh kucuran darah dan air
mata menjadi saksi sejarah para pejuang untuk merebut kemerdekaan
Indonesia. Semua itu karena disatukan oleh ukhuwah wathaniyah. Meskipun
berbeda latar belakang, tapi perjuangan untuk mempersatukan bangsa ialah
perjuangan yang digagas dengan persatuan manusia seluruh Indonesia.

***

Selanjutnya, dalam menyatukan diri antarsesama manusia, harus mempunyai


jiwa yang bersatu untuk maju karena perdamaian. Sehingga, persatuan dalam
saudara antarsesama manusia harus terjalin, maka dibangunkanlah yang
namanya ukhuwah insaniyah.

Ukhuwah insaniyah (persaudaraan sesama manusia) merupakan konsep


bersaudara untuk menyatukan keberbedaan yang perlu dirajut untuk
membangun perdamaian negeri. Adam dan Hawa melahirkan keturunan,
keturunannya melahirkan keturunan lagi, dan begitu seterusnya hingga
menyebar ke seluruh dunia.

Maka, terbentuklah kelompok-kelompok masyarakat yang disebut bangsa, suku


bangsa, etnis, dan ras, dengan warna kulit yang berbeda, serta bahasa, tradisi,
seni dan budaya yang berbeda pula. Perbedaan dan keberagaman bangsa
merupakan sunatullah yang memang dikehendaki oleh Tuhan Yang Maha Esa
sebagai ciri khas manusia untuk saling mengenal satu sama lain.

Baca Juga Obesitas Informasi dan Influencer yang Bising

Dengan mengajarkan trilogi persaudaraan (ukhuwah islamiyah, ukhuwah


wathaniyah, dan ukhuwah insaniyah), khususnya untuk konteks Indonesia, trilogi
ajaran Islam tersebut sangat relevan dan ikut memberikan konstribusi
signifikan bagi penguatan dan penegakan pilar-pilar nasionalisme,
konstitusionalisme, multikulturalisme, dan pluralisme di bawah naungan sejuk
Pancasila sebagai dasar dan ideologi Negara Kesatuan Republik Indonesia.

MERAWAT KERUKUNAN UMAT BERAGAMA


Oleh Masykuri Abdillah
Bangsa Indonesia adalah bangsa yang majemuk, terdiri dari berbagai suku,
agama dan ras, tetapi dikenal sebagai bangsa yang ramah dan toleran,
termasuk dalam hal kehidupan beragama. Kemajemukan (pluralisme) agama
di Indonesia telah berlangsung lama dan lebih dahulu dibandingkan dengan di
negara-negara di dunia pada umumnya. Hanya saja, dalam beberapa tahun
terakhir ini (terutama sebelum 2014) terjadi sejumah peristiwa yang
menunjukkan prilaku keagamaan sebagian masyarakat Indonesia yang tidak
atau kurang toleran. Hal ini masih mendapatkan sorotan dari berbagai
lembaga internasioanl, seperti UN Human Rights Council (UNHRC), Asian
Human Rights Commission (AHRC), U.S. Commission on International
Religious Freedom (USCIRF), dan sebagainya.

Gejala tersebut sebenarnya tidak hanya terjadi di Indonesia, tetapi juga di


negara-negara demokratis lainnya, termasuk negara-negara Barat yang
selama ini masyarakatnya dikenal sangat toleran. Secara sosiologis hal ini
merupakan ekses dari mobilitas sosial yang sangat dinamis sejalan dengan
proses globalisasi, sehingga para pendatang dan penduduk asli dengan
berbagai macam latar belakang kebudayaan dan keyakinan mereka
berinteraksi di suatu tempat. Dalam interaksi ini bisa terjadi hubungan
integrasi, damai dan kerjasama, tetapi bisa juga terjadi prasangka,
ketegangan, persaingan, intoleransi, konflik, dan bahkan disintegrasi. Yang
terakhir ini terjadi jika yang ditonjolkan dalam interaksi itu adalah politik
identitas (identity politics) secara eksklusif. Politik identitas ini kini tidak hanya
diekspresikan sebagai perjuangan kelompok minoritas seperti ketika istilah ini
dimunculkan pada awal 1970-an, tetapi juga oleh sebagian kelompok
mainstream atau mayoritas untuk mempertahankan identitas mereka
mewarnai kehidupan masyarakat.

Toleransi dan Kerukunan


Toleransi mengadung pengertian adanya sikap seseorang untuk menerima
perasaan, kebiasaan, pendapat atau kepercayaan yang berbeda dengan
yang dimilikinya. Namun Susan Mendus dalam bukunya, Toleration and the
Limit of Liberalism membagi toleransi menjadi dua macam, yakni toleransi
negatif (negative interpretation of tolerance) dan toleransi positif (positive
interpretation of tolerance). Yang pertama menyatakan bahwa toleransi itu
hanya mensyaratkan cukup dengan membiarkan dan tidak menyakiti
orang/kelompok lain. Yang kedua menyatakan bahwa toleransi itu
membutuhkan lebih dari sekedar ini, meliputi juga bantuan dan kerjasama
dengan kelompok lain. Konsep toleransi positif inilah yang dikembangkan
dalam hubungan sosial di negara ini dengan istilah kerukunan (harmony).
Jadi, kerukunan beragama adalah keadaan hubungan antarumat beragama
yang dilandasi toleransi, saling pengertian dan saling menghormati dalam
pengamalan ajaran agama serta kerjasama dalam kehidupan bermasyarakat.
Eksistensi kerukunan ini sangat penitng, di samping karena merupakan
keniscayaan dalam konteks perlindungan hak asasi manusia (HAM), juga
karena kerukunan ini menjadi prasyarat bagi terwujudnya integrasi nasional,
dan integrasi ini menjadi prasyarat bagi keberhasilan pembangunan nasional.

Kerukunan umat beragama itu ditentukan oleh dua faktor, yakni sikap dan
prilaku umat beragama serta kebijakan negara/pemerintah yang kondusif bagi
kerukunan. Semua agama mengajarkan kerukunan ini, sehingga agama
idealnya berfungsi sebagai faktor integratif. Dan dalam kenyataannya,
hubungan antarpemeluk agama di Indoensia selama ini sangat harmonis.
Hanya saja, di era reformasi, yang notabene mendukung kebebasan ini,
muncul berbagai ekspresi kebebasan, baik dalam bentuk pikiran, ideologi
politik, faham keagamaan, maupun dalam ekspresi hak-hak asasi. Dalam
iklim seperti ini mucul pula ekspresi kelompok yang berfaham radikal atau
intoleran, yang walaupun jumlahnya sangat sedikit tetapi dalam kasus-kasus
tertentu mengatasnamakan kelompok mayoriras.

Adapun kebijakan negara tentang hubungan antaragama termasuk yang


terbaik dan menjadi model di dunia. Hanya saja, sebagian oknum pemerintah
di daerah dengan pertimbangan politik kadang-kadang mendukung sikap
intoleran kelompok tertentu atas nama pemenuhan aspirasi kelompok
mayoritas. Klaim aspirasi kelompok mayoritas ini pun tidak selalu sesuai
kenyataan, karena suatu tindakan intoleran itu seringkali hanya digerakkan
oleh kelompok tertentu dengan mengatasnamakan mayoritas. Meski
demikian, kebijakan Pemda yang cukup arif dan adil, termasuk dalam konteks
menjaga kerukunan umat beragama, jauh lebih banyak dari pada kebijakan
yang dianggap mendukung sikap intoleran ini.

Pencegahan dan Penyelesaian Konflik


Konflik antar-umat beragama umumnya tidak murni disebabkan oleh faktor
agama, tetapi oleh faktor politik, ekonomi atau lainnya yang kemudian
dikaitkan dengan agama. Sedangkan yang terkait dengan persoalan agama,
di samping karena munculnya sikap keagamaan secara radikal dan intoleran
pada sebagian kecil kelompok agama, juga dipicu oleh persoalan tentang
pendirian rumah ibadah dan penyiaran agama serta tuduhan penodaan
agama. Persoalan pendirian rumah ibadah merupakan faktor yang paling
banyak mempengaruhi terjadinya perselisihan atau sikap intoleransi. Memang
tahun 2014 toleransi beragama ini berkembang lebih baik dari pada tahun-
tahun sebelumnya, tetapi masih ada beberapa peristiwa gangguan atau
penghentian pembangunan rumah ibadah yang sudah mendapatkan izin
secara sah.

Di antara kasus pendirian rumah ibadah yang kini belum ada penyelesaian
final adalah pendirian gereja GKI Yasmin di Bogor, pendirian gereja HKBP
Filadelfia di Bekasi, dan pendirian masjid Nur Musafir di Kupang. Sebenarnya
perselisihan tentang pendirian rumah ibadah yang bisa diselesaikan secara
arif dan damai jauh lebih banyak dibandingkan dengan penyelesaian yang
berlarut-larut atau yang kemudian menjadi konflik. Namun, karena persoalan
pendirian rumah ibadah ini dikaitkan dengan perlindungan kebebasan
beragama, maka hal ini pun mendapatkan catatan dari badan-badan HAM
dunia.

Sedangkan persoalan konflik dan ketegangan internal agama, tertama Islam,


umumnya dipicu oleh adanya perbedaan paham keagamaan dalam hal yang
sangat mendasar (pokok-pokok ajaran agama) dan munculnya aliran
kepercayaan (cult) yang mengaitkan dirinya dengan agama Islam, serta
penghinaan agama, seperti kasus Ahmadiyah, Jamaah Salamullah dan Al-
Qiyadah al-Islamiyyah. Sampai kini masalah Ahmadiyah belum selesai
sepenuhnya, bahkan di Mataram kini masih ada pengungsi Ahmadiyah yang
ditampung di Asrama Transito Mataram sejak 2006. Di samping itu, kasus
perbedaan yang berkembang menjadi kekerasan adalah kasus yang
menimpa penganut Syi’ah Sampang, yang sejak 2012 sampai kini masih
diungsikan di rumah susun Puspo AgroSidoarjo.

Jika kasus-kasus semacam di atas terus berlangsung, dikhawatirkan kondisi


kerukunan umat beragama ini akan rusak. Oleh karena itu, penguatan
kerukunan dan toleransi itu perlu terus-menerus dilakukan, teterutama melalui
sosialisasi pemahaman keagamaan yang moderat dan menekankan
pentingnya toleransi dan kedamaian dalam kehidupan masyarakat yang
majemuk. Juga, perlu dilakukan upaya-upaya penguatan wawasan
kebangsaan dan integrasi nasional, yang meliputi sosialisasi Pancasila, UUD
1945, NKRI dan Kebhinnekaan. Dan tak kalah pentingnya adalah penguatan
kesadaran dan penegakan hukum, baik bagi aparatur negara, tokoh politik
maupun tokoh agama.

Di samping upaya-upaya tersebut, perlu dilakukan pula upaya-upaya


pencegahan konflik (conflict prevention) melalui peningkatan dialog antarumat
beragama dengan melibatkan tokoh agama dan Forum Kerukunan Umat
Beragama (FKUB). Sejalan dengan ini, perlu antisapasi dini terhadap potensi
konflik atau ketegangan itu, sehingga potensi itu tidak berkembang menjadi
konflik nyata dan kekerasan. Hal ini perlu disertai dengan langkah-langkah
penyelesaian perselisihan atau konflik yang terjadi melalui musyawarah atau
mediasi dengan melibatkan FKUB. Sedangkan pemerintah (Pemda)
menfasilitasinya sebagai bagian dari kewajibannya dalam penyelenggaraan
ketertiban umum dan ketenteraman masyarakat.

Tentu saja, kasus-kasus konflik atau perselisihan sekecil apapun harus


diselesaikan dengan cepat dan bijaksana. Namun yang lebih mendesak
adalah penyelesaian terhadap kasus-kasus yang sudah menjadi sorotan
dunia internasional tetapi sampai kini belum diselesaikan dengan baik, seperti
persoalan pendirian gereja GKI Yasmin di Bogor, pendirian gereja HKBP
Filadelfia di Bekasi, atau pendirian masjid Nur Musafir di Kupang. Demikian
pula, penyelesaian kasus-kasus konflik internal agama, terutama
pengungsian Ahmadiyah di Mataram dan pengungsian Syi’ah Sampang di
Sidoarjo.

Menurut hemat saya, yang kebetulan pernah mengunjungi tempat-tempat


konflik tersebut, penyelesaian itu sebenarnya tidak terlalu sulit. Yang
terpenting adalah komitmen Pemda/Pemkot terhadap kerukunan serta
adanya mediator yang bisa meyakinkan semua pihak yang terlibat dalam
konflik atau perselisihan dengan mengakomodasi aspirasi mereka. Dalam
kondisi tertentu memang diperlukan adanya kompensasi bagi pihak-pihak
tertentu untuk memudahkan penyelesaian berdasarkan kerangka win win
solution. Kita berharap pemerintahan Jokowi-JK bisa menjaga toleransi dan
kerukunan ini serta menyelesaikan konflik atau perselisihan yang belum
terselesaikan pada masa lalu.

* Masykuri Abdillah, Direktur Sekolah Pascasarjana dan Guru Besar UIN


Jakarta.
Artikel ini telah dimuat dalam Kompas, 12 Januari 2015.

Anda mungkin juga menyukai