Disusun Oleh:
Dwi Sektiyono Cahyo
Ekshibisionisme
Ekshibisionisme melibatkan dorongan yang kuat dan berulang untuk
menunjukan alat genital kepada orang tak dikenal yang tidak menduganya, dengan
tujuan agar korban terkejut, syok, atau terangsang secara seksual. Orang tersebut
dapat bermasturbasi sambil membayangkan atau benar-benar menunjukan alat
genitalnya (Nevid, dkk, 2003:79). Seorang pengidap ekshibisionisme memperoleh
kepuasan seksual dari reaksi yang ditunjukan korbannya. Penderita gangguan
eksibisionisme disebut eksibisionis.
Eksibisionis adalah individu yang mendapatkan kepuasan seksual dengan
mempertunjukan geinatalnya. Ekshibisionis sering kali adalah seorang pria, dan
perbuatan tidak sopan dilakukan dengan menunjukan organ seksualnya kepada
wanita, kadang pada anak-anak, dan seringnya pada gadis kecil, sangat jarang pada
anak laki-laki. Tindakan mempertunjukan genitalnya biasanya disertai dengan
gerakan sugestif, seringnya dengan kepuasan diri sendiri (Edward, P, 2012: 343).
Halgin & Withbourne (2012:298) berpendapat bahwa ekshibisionis biasanya
tidak mengharapkan reaksi seksual dari orang lain, namun hal yang diharapkan
adalah keterkejutan dan ketakutan dari orang yang melihat hal tersebut. Selain untuk
mengejutkan korbannya, mereka juga berkhayal bahwa orang yang tanpa sengaja
melihat akan menjadi terangsang secara seksual. Ekshibisionisme hampir secara
eksklusif adalah gangguan laki-laki, kebanyakan mulai mempertontonkan diri ketika
mereka berumur belasan tahun atau awal dua puluhan (Oltman & Emery, 2013:106).
Sekitar separuh laki-laki mengalami ereksi sambil mempertontonkan diri, dan
sebagian pada saat yang sama bermasturbasi. Yang lain, biasanya bermasturbasi
tidak lama setelah pengalaman itu sambil mengkhayalkan tentang reaksi korban.
Berikut dijelaskan contoh kasus ekshibisionisme yang terjadi di Indonesia:
Contoh kasus ekshibisionisme di Indonesia terjadi daerah Kebumen Jawa
Tengah. Seorang pria bernama Darobi memamerkan alat kelaminnya kepada anak-
anak dan ibu rumah tangga pada bulan Desember 2011. Pengadilan Negeri
Kebumen menjatuhkan hukuman 1 tahun penjara atas perbuatannya tersebut. Akan
tetapi hukuman tersebut batal karena hasil visum menunjukan bahwa Darobi
menderita gangguan devisiasi seks jenis ekshibisionisme (detik.com).
Voyeurisme
Kata voyeurisme berasal dari bahasa Prancis voir yang berarti “melihat”.
Voyeurisme adalah gangguan seksual ketika individu memiliki suatu kompulsi untuk
1
mendapatkan kepuasan seksual dari mengobservasi ketelanjangan dan aktivitas
seksual orang lain yang tidak menyadari bahwa mereka sedang dilihat (Halgin &
Withbourne, 2012:305). Pengertian senada juga disampaikan oleh Nevid, dkk, (2003:
81) yang mendefinisikan voyeurisme sebagai suatu jenis parafilia yag ditandai oleh
adanya dorongan seksual berulang yang melibatkan menonton/memperhatikan
orang lain yang sedang berada pada situasi seksual dimana meraka tidak
menduganya.
Voyeur (pengintip) tidak terangsang dengan melihat orang yang tahu bahwa
dirinya sedang diamati, proses melihat (mengintip) itulah yang merangsang (Oltman
& Emery, 2013: 106). Pengintip mencapai orgasme dengan bermasturbasi selama
mengamati atau setelah itu, ketika mengingat-ingat apa yang dilihatnya. Penderita
gangguan voyeurisme tidak merasa bergairah dengan melihat perempuan yang
sengaja membuka pakainnya untuk kesenangan voyeuris. Elemen resiko tampaknya
penting karena mereka merasa bergairah dengan kemungkinan reaksi si perempuan
yang diintipnya jika ia mengetahuinya (Davidson, dkk, 2014:627).
B. Karakteristik Diagnostik
Tidak semua orang yang mempertontonkan alat genitalnya adalah pengidap
ekshibisionisme. Demikian juga tidak semua orang yang mengintip orang lain
merupakan seorang voyeuris. Seseorang disebut pengidap ekshibisionisme
ataupun voyeurisme haruslah memenuhi diagnostik karakter pengidap penyakit
tersebut. Berikut adalah dua karakteristik diagnostik pengidap ekshibisionisme dan
voyeurisme.
Terdapat dua karakteristik diagnostik bagi penderita gangguan
ekshibisionosme yang harus teridentifikasi, antara lain:
1. Orang yang dalam periode minimal enam bulan memiliki fantasi rangsangan
seksual yang intens, dorongan seksual, atau perilaku yang melihatkan,
mempertontonkan alat kelamin kepada orang asing yang tidak menaruh curiga
pada orang tersebut.
2. Orang tersebut melampiaskan dorongan seksual atau fantasi seksual
menyebabkan distres atau impairment yang signifikan (Halgin & Whithbourne,
2012: 299)
Setidaknya ada dua karakteristik diagnostik pada penderita gangguan voyeurisme
yang harus dipenuhi. Kedua karakteristik tersebut antara lain:
1. Orang yang dalam periode enam bulan atau lebih memiliki fantasi yang
membangkitkan gairah seksual secara intens dan berulang atau perilaku yang
melibatkan perilaku mengobservasi seseorang yang secara tidak sadar sedang
2
diobservasi yang sedang dalam keadaan telanjan, dalam proses membuka
baju, atau sedang melakukan aktivitas seksual.
2. Orang tersebut melampiaskan dorongannya atau dorongan seksual atau
fantasinya tersebut akan mengakibatkan distres atau impairment yang
signifikan (Halgin & Whithbourne, 2012: 306)
3
– sebagai contoh, pakaian dalam atau memperlihatkan/ menonton orang
lain (Nevid, dkk, 2003: 84).
b. Behavioral
Teoritis dengan pandangan behavioral berpendapat bahwa parafilia terjadi
karena pengkondisian klasik yang secara tidak sengaja menghubungkan
gairah seksual dengan sekelompok stimuli yang tidak tepat (Davidson, dkk,
2014:634). Perilaku ekshibisionisme sebagai hasil pengalaman
pembelajaran pada masa kanak-kanak, saat indivdu terangsang secara
seksual ketika mempertontonkan dirinya dan merasa senang karena melihat
distres pada orang lain yang disebabkan oleh perilakunya yang tidak tepat
tersebut. Dari waktu kewaktu, perulangan perilaku ini diperkuat hingga
menjadi kecanduan. (Halgin & Whithbourne, 2012: 298)
c. Kognitif
Sebagian besar teori kognitif mengenai parafilia yang ada saat ini bersifat
multidimensional dan berpendapat bahwa parafilia terjadi bila sejumlah
faktor terdapat dalam diri individu. Parafilia dianggap sebagai akibat dari
penyimpangan kognitif (Davidson, Neale & Kring, 2014:634). Pengidap
parafilia membenarkan tindakannya dan mengganggap bahwa korban
seolah sengaja memberi kesempatan mereka melakukan tindakan tersebut.
3. Sosiokultural
Meskipun fitur paling signifikan dari parafilia adalah rangsangan seksual.
Pada dasarnya parafilia adalah masalah dalam hubungan sosial. Keterampilan
interpersonal memainkan peran sepenting rangsangan seksual. Perilaku
seksual yang tidak lazim mungkin disebabkan kegagalan untuk mencapai
intimasi dalam hubungan dengan orang dewasa. Menurut perspektif ini, para
penderita parafilia kesepian, merasa tidak aman, terisolasi, dan memiliki defisit
signifikan dalam berbagai keterampilan sosial (Oltman & Emery, 2013:111).
Kondisi ini mendorong pengidap parafilia mengalihkan bentuk aktifitas seksual
normal menjadi aktfitas menyimpang sebagai akibat dari kurangnya
keterampilan interpersonal.
4. Transpersonal (Buddhisme)
Gangguan parafilia tidak secara spesifik dibahas dalam Buddhisme. Akan
tetapi, pandangan Buddhisme mengenai parafilia dapat dianalisis berdasarkan
karakteristik - karakteristik parafilia. Pada dasarnya, buddhisme mengajarkan
tentang pengendalian diri, baik batin dan jasmani. Penderita gangguan parafilia
secara umum mengalami gangguan pada pengendalian rangsangan
seksualnya. Dalam Buddhisne, seks adalah ekspresi -mungkin ekspresi utama
4
- dari tanha atau nafsu keinginan yang membawa dukkha, oleh karena itu cukup
logis bahwa kita harus mengendalikannya (Walshe & Wijaya, 2007: 20).
Maha Satipatthana Sutta, Digha Nikaya menjelaskan bahwa asal-mula
penderitaan (dukkha) adalah keinginan (tanha), yang bergabung dengan
kesenangan dan nafsu kenikmatan duniawi (kāma), mencari kesenangan baru
di sana-sini: yakni keinginan pada kesenangan-indria (Walshe, 2009: 345).
Dalam arti sederhana, penderitaan (dukkha) yang muncul akibat keinginan bisa
berupa kekecewaan, kesedihan (karena tidak mampu memenuhi keinginan
tersebut), dan sanksi sosial (jika keinginan kita merupakan sesuatu yang
melanggar moral dan norma sosial).
Terdapat enam bentuk nafsu keinginan indera antara lain: nafsu
keinginan akan bentuk, nafsu keinginan akan bunyi, nafsu keinginan akan bau-
bauan, nafsu keinginan atas cita-rasa, nafsu keinginan akan sentuhan dan
nafsu keinginan akan objek-objek pikiran. Ekshibisionisme bisa dikategorikan
sebagai ketidakmampuan untuk mengendalikan keinginan akan objek-objek
pikiran, yaitu keterangsangan ketika membayangkan korban terkejut saat
melihat alat genitalnya. Sementara voyeurisme lebih pada dorongan keinginan
yang kuat pada bentuk objek yang dilihatnya.
Secara khusus, eksibisionis adalah individu yang mendapatkan
kepuasan seksual dengan mempertunjukan genitalnya. Terdapat dua poin
penting berdasarkan fakta tersebut. Pertama, ekshibisionis memiliki pandangan
salah (ditthi) mengenai seksualitas, yaitu mendapatkan kepuasan seksual
dengan objek yang tidak semestinya. Kedua, tindakan mempertontonkan alat
genital di depan umum dan mengintip orang lain adalah tindakan yang tidak
sesuai dengan norma sosial di masyarakat. Tindakan seperti itu tentu
merupakan tindakan yang memalukan bagi masyarakat modern. Dalam
Dhammapada, Kuddhaka Nikaya: 316, Buddha menjelaskan:
“Alajjitāye lajjanti
lajjitāye na lajjare
micchādiṭṭhisamādānā
sattā gacchanti duggatiṁ.”
Artinya, mereka yang merasa malu terhadap apa yang sebenarnya tidak
memalukan, dan sebaliknya tidak merasa malu terhadap apa yang sebenarnya
memalukan; maka orang yang menganut pandangan salah seperti itu akan
masuk ke alam sengsara (Widya, 2001). Dapat dilihat akibat yang muncul dari
perilaku ekshibisionisme dan voyeurisme.
5
Kesimpulannya, kajian Buddhisme memberi penulis gambaran dan
memandang ekshibisionisme dan voyeurisme sebagai bentuk ketidakmampuan
mengendalikan nafsu keinginan (tanha) berupa kesenangan indera (kāma)
yang disebabkan oleh pandangan salah (ditthi) mengenai seksualitas. Agar
lebih kuat, pendapat ini tentu membutuhkan kajian lanjutan yang lebih dalam
dan komprehensif.
6
perilakunya terhadap orang lain dapat mengurangi kecenderungan penjahat
seksual untuk melakukan tindakan semacam itu (Davidson, dkk, 2014:637).
Terapi sosiokultur lebih memilih cara untuk melibatkan klien ke dalam suatu
terapi kelompok, ketika beberapa orang dengan pengalaman yang sama saling
menceritakan pengalaman serta usaha mereka untuk mencapai kontrol diri. Selain
itu, terapi keluarga dan pasangan juga dapat direkomendasikan dengan tujuan
untuk memperoleh dukungan dan bantuan dari para individu yang terdekat dengan
klien (Halgin & Whithbourne, 2012: 307).
Terapi Psikoanalisis sangat kecil kontribusinya terhadap kesembuhan
pasien penderita parafilia. Hal ini tidak terlepas dari pandangan awal bahwa
gangguan ini timbul karena adanya gangguan karakter atau gangguan kepribadian,
sehingga sangat sulit untuk ditangani dengan keberhasilan yang cukup memadai
(Davidson, dkk, 2014:637).
2. Terapi Biologis
Intervensi biologis yang paling umum digunakan melibatkan resep dari agen
farmasi, seperti obat-obatan anti depresi, SSRI, dan hormon-hormon yang
keseluruhannya ditunjukan untuk mengurangi hasrat seksual individu (Bradford
dalam Halgin & Whithbourne, 2012: 307). Terapi hormon dan pengobatan
melibatkan penggunaan obat-obatan untuk mengurangi kadar testosteron,
berdasarkan asumsi bahwa hormon laki-laki mengontrol selera seksual.
Penggunaan cyproterone acetate, obat yang menghambat efek-efek testosteron,
menghasilkan pengurangan signifikan pada beberapa aspek perilaku seksual,
khususnya fantasi seksual (Oltman & Emery, 2013:113). Rosler dan Witztum
(Durand & Barlow, 2007: 111) melaporkan bahwa kastrasi kimia yang sukses dari
30 laki-laki yang telah lama menferita parafilia dengan menggunakan triptorelin,
yang menghambat sekresi gonadotropin pada laki-laki. Obat anti depresan dan anti
cemas juga digunakan untuk menangani parafilia. Obat mungkin bekerja secara
langsung dengan menurunkan minat seksual menyimpang tanpa mempengaruhi
bentuk-bentuk rangsangan lain (Oltman & Emery, 2013:113).
3. Terapi Transpersonal (Buddhisme)
Seperti dijelaskan sebelumnya bahwa gangguan parafilia disebabkan oleh
ketidakmampuan untuk mengendalikan nafsu seksualnya. Buddhisme memandang
bahwa seseorang dengan nafsu seksual tinggi memiliki carita (temperamen/ watak)
ragacarita (penuh nafsu inderawi). Meditasi dengan objek hal-hal yang menjijikkan
direkomendasikan untuk menghilangkan nafsu inderawi (Anuruddha, 2011: 489-
490). Pendekatan kognitif bisa dilakukan dengan memberi stimuli nilai-nilai moral
dan pengetahuan benar tentang seksualitas. Penderita parafilia perlu
7
mengembangkan pikiran yang penuh karuna, yaitu kemampuan untuk ikut
merasakan penderitaan orang lain, dengan kata lain adalah “tidak-tahan”
menyaksikan penderitaan makhluk lain (Anuruddha, 2011: 113). Karuna penting
untuk dimiliki penderita parafilia agar mereka bisa berfikir dari sudut pandang
korban dari perilaku menyimpangnya.
E. Kesimpulan
Gangguan seksual ekshibisionisme dan voyeurisme merupakan beberapa
bentuk dari gangguan parafilia. Gangguan parafilia pada dasarnya adalah
ketidakmampuan individu untuk menempatkan ketertarikan seksual pada stimulus
maupun objek yang normal. Parafilia menggunakan pakaian dalam, anak-anak,
kekerasan, keterkejutan, dan objek tidak wajar lainnya sebagai stimulus kepuasan
seksualnya. Secara khusus, gangguan ekshibisionisme dan voyeurisme
menggunakan reaksi korban sebagai sumber kepuasan.
Ekshibisionisme memiliki dorongan yang kuat dan berulang untuk
menunjukan alat genital kepada orang tak dikenal yang tidak menduganya, dengan
tujuan agar korban terkejut, syok, atau terangsang secara seksual. Sebagian pelaku
ekshibisionis (pengidap ekshibisionisme) tidak mengharapkan reaksi seksual dari
orang lain, namun hal yang diharapkan adalah keterkejutan dan ketakutan dari
orang yang melihat hal tersebut. Sebagian ekshibisionis bermasturbasi pada saat
yang bersamaan. Sementara yang lain, biasanya bermasturbasi tidak lama setelah
pengalaman itu sambil mengkhayalkan tentang reaksi korban. Sementara itu,
voyeurisme adalah gangguan seksual ketika individu memiliki suatu kompulsi untuk
mendapatkan kepuasan seksual dari mengobservasi ketelanjangan dan aktivitas
seksual orang lain yang tidak menyadari bahwa mereka sedang dilihat. Pengintip
(voyeur) mencapai orgasme dengan bermasturbasi selama mengamati atau
setelah itu dengan mengingat-ingat apa yang telah dilihatnya.
Karakteristik diagnostik kedua gangguan ini hampir sama, yaitu dalam periode
minimal enam bulan memiliki fantasi rangsangan seksual yang intens, dorongan
seksual, untuk mempertunjukan genitalnya pada orang lain, atau keinginan
mengintip untuk pengidap voyeurisme. Kedua, orang tersebut melampiaskan
dorongan seksual atau fantasi seksual menyebabkan distres yang signifikan.
Dari berbagai pandangan teori, secara garis besar gangguan parafilia muncul
akibat beberapa kesalahan dalam memahami konsep-konsep seksual yang terjadi
sejak usia kanak-kanak sampai menginjak remaja. kesalahan konsep seksual sejak
awal masa perkembangan psikologis yang menyebabkan individu mengalami
ketidakmampuan untuk menyalurkan hasrat seksual pada objek seksual yang
8
sesuai. Dalam beberapa kasus, ketidakmampuan ini mendorong individu untuk
mengedepankan ego dan superioritasnya kepada objek yang dianggapnya lemah
(seperti wanita, anak-anak dan kekerasan pada pasangan seksual).
Terkait fenomena kasus parafilia yang terjadi di Indonesia, pencabutan status
hukum terhadap Darobi sudah sesuai dengan hukum yang berlaku. Dengan catatan
bahwa ia benar-benar adalah pengidap ekshibisionisme karena gangguan
ekshibisionisme-lah yang mendorong Darobi melakukan tindakan tersebut. Akan
tetapi, satu catatan yang harus diperhatikan oleh penegak hukum, dalam hal ini
Pengadilan Negeri Kebumen adalah, setelah mengetahui bahwa Darobi mengalami
gangguan parafilia akan lebih baik jika pihak pengadilan memberi rujukan agar
Darobi mendapatkan terapi penyembuhan yang sesuai.
Terapi penyembuhan parafilia yang paling alami adalah dengan memberikan
terapi kognitif, berupa pemberian pengetahuan tentang seksualitas yang normal.
Pelatihan empati agar pengidap parafilia mampu memahami tindakannya dari sudut
pandang korbannya. Selain itu, terapis bisa menggunakan pendekatan perilakuan
(behavioral). Terapi behavioral dilakukan dengan prinsip pembelajaran, berupa
aversive counterconditioning atau pengondisian asertif. Dasar terapi ini adalah
menghilangkan hubungan kesenangan seksual dengan menciptakan asosiasi baru
antara stimulus kesenangan ekshibisionisme/ voyeurisme dengan rasa sakit. Pada
tingkat yang lebih kompleks, penggunaan obat-obatan menjadi solusi
penyembuhan gangguan parafilia. Pengidap parafilia (ekshibisionisme dan
voyerisme) umumnya adalah laki-laki. Dengan asumsi bahwa hormon laki-laki yang
mengontrol selera seksual, obat digunakan untuk mengurangi kadar testosteron.
Penggunaan obat-obatan (cyproterone acetate, triptorelin) secara signifikan
mampu mengurangi aspek perilaku seksual maupun fantasi seksual.
Terakhir, sebagai masyarakat dengan adat ketimuran, pengidap parafilia
pada umumnya dianggap melanggar norma sosial budaya dan agama. Persoalan
mengenai aktifitas seksual masih menjadi hal yang tabu untuk dibicarakan oleh
masyarakat, terlebih lagi pelanggaran atau penyelewengan seksual.
Ekshibisionisme dan voyeurisme bisa dianggap perilaku yang tak beretika, kurang
ajar, serta melanggar norma agama dan adat ketimuran. Efeknya, pelaku
ekshibisionisme dan voyeurisme bisa mendapatkan sanksi sosial berupa dijauhi,
diperbincangkan, dimusuhi, dianggap rendah, dan dikesampingkan dari interaksi
sosial. Efek positifnya, norma sosial budaya dan agama bisa dijadikan stimulus
yang efektif untuk terapi kognitif pengidap parafilia. Pengetahuan tentang norma
sosial budaya dan agama diberikan sebagai stimulus pada pasien bahwa
ekshibisionisme dan voyeurisme melanggar norma sosial budaya, dengan
9
konsekuensinya adalah sanksi sosial. Hal ini tentu bisa menjadi pertimbangan
tersendiri bagi pengidap ekshibisionisme dan voyeurisme untuk sembuh dari
perilaku seksual yang menyimpang.
Daftar Pustaka
10