Anda di halaman 1dari 19

MAKALAH

FENOMENA PERILAKU BULLYING DI


SEKOLAH

Disusun Oleh:

Anastasia Marta Bare Hokeng (322101685)

Alya Faiza Nuhaana Maharani (322101686)

Ankha Alif Khoiru Mantasya (322101687)

1
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT dengan rahmat dan Ridho-Nya penulis dapat

menyelesaikan Makalah Pendidikan Pancasila yang berjudul “Fenomena Perilaku Bullying di

Sekolah” sebagai tugas mata kuliah Pendidikan Pancasila. Adapun isi dari makalah ini adalah

tentang pencegahan pembullying di lingkungan sekolah. Semoga makalah ini dapat menambah

wawasan kita semua.

2
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI...................................................................................................................................3
BAB I PENDAHULUAN................................................................................................................4
1. Latar Belakang Masalah...........................................................................................................4
1.2 Rumusan Masalah......................................................................................................................7
1.3 Tujuan........................................................................................................................................7
1.4 Manfaat......................................................................................................................................8
BAB II PEMBAHASAN.................................................................................................................9
2.1 Definisi Bullying.......................................................................................................................9
2.2 Bentuk Bullying.......................................................................................................................10
2.3 Dampak dari Bullying..............................................................................................................12
2.4 Pencegahan Fenomena Bullying di Sekolah............................................................................14
BAB III PENUTUP.......................................................................................................................17
3.1 Kesimpulan..............................................................................................................................17
3.2 Saran........................................................................................................................................17
DAFTAR PUSTAKA....................................................................................................................18

3
BAB I
PENDAHULUAN

1. Latar Belakang Masalah

Permasalahan bullying di bidang Pendidikan Indonesia merupakan bukan hal yang baru.
Kerap kali media massa menyiarkan berita tentang kasus bullying di sekolah. Banyaknya
kasus kekerasan di lingkungan Pendidikan tidak hanya berupa fisik namun secara verbal juga
sering kali terjadi. Hal ini tentunya memperihatinkan bagi Pendidikan & orang tua di
Indonesia, pasalnya pendidikan yang diharapkan menjadi sarana siswa untuk belajar yang
nyaman dan aman tanpa kekerasan. Survei yang dilakukan oleh Plan Indonesia dan Semai
Jiwa Amini (SEJIWA) pada tahun 2008, membuktikan bahwa tindak bullying pernah terjadi
di sekolah. Survei ini melibatkan 1.500 siswa SMP dan SMA di tiga kota besar di Indonesia
yakni Jakarta, Surabaya dan Yogyakarta, yang mencatat terjadinya tingkat kekerasan sebesar
67.9 persen di tingkat SMA dan 66,1 persen di tingkat SMP. Bullying tercatat sebesar 43,7
persen untuk tingkat SMA dan 41,2 persen untuk tingkat SMP, dengan kategori tertinggi
bullying secara psikologis berupa pengucilan. Peringkat kedua ditempati bullying secara
verbal berupa ejekan, dan terakhir bullying secara fisik berupa pukulan.

Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI, 2016) mengidentifikasi kasus yang


mengacu pada klaster perlindungan anak dari tahun 2011-2016. KPAI menyebutkan angka
korban bullying di atas 50 sejak 2011-2016. Terakhir, pada tahun 2016 angka korban
mencapai 81. Angka tersebut ditemukan pada kasus bullying yang terjadi di lingkungan
sekolah. Untuk angka pelaku bullying, KPAI (2016) menemukan jumlah di atas 40 orang.
Pada tahun 2016, jumlah pelaku bullying di lingkungan sekolah mengalami kenaikan menjadi
93 orang. Bullying yang disebut KPAI sebagai bentuk kekerasan di sekolah mengalahkan
tawuran pelajar, diskriminasi pendidikan, ataupun aduan pungutan liar. Berbagai cara
dilakukan untuk meminimalisir kejadian bullying di sekolah termasuk salah satunya Komnas
Perlindungan Anak mendesak ke pihak sekolah untuk lebih melindungi dan memperhatikan
murid-muridnya. Sedangkan tindakan bullying hanyalah bagian dari cara anakanak bermain.
Tidak ada peraturan khusus yang mewajibkan sekolah harus memiliki kebijakan program anti

4
bullying, tetapi dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak,
Pasal 54 ditentukan “Anak di dalam dan di lingkungan sekolah wajib dilindungi dari
tindakan kekerasan yang dilakukan oleh guru, pengelola sekolah atau temantemannya di
dalam sekolah yang bersangkutan, atau Lembaga pendidikan lainnya”.

Bullying harus segera dihilangkan karena dapat menyebabkan efek yang sangat serius
baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang bagi para korbannya. Dalam jangka
pendek bullying dapat menimbulkan luka akibat kekerasan fisik, menimbulkan perasaaan
tidak aman, takut pergi ke sekolah, merasa terisolasi. Anak-anak yang diganggu sering
menderita akademis karena bahwa mereka takut pergi ke sekolah di mana sekolah adalah
sumber stres dan ketakutan mereka. Sedangkan dalam jangka panjang hingga berlangsung
efek seumur hidup pada korban, korban bullying dapat menderita masalah gangguan
emosional dan perilaku seperti perasaan harga diri yang rendah, ketidakmampuan
bersosialisasi, depresi, bahkan dapat berakhir dengan bunuh diri bagi korban.

Besarnya angka pelaku bullying dibandingkan angka korban bullying merupakan


indikator bahwa bullying dilakukan oleh beberapa orang dengan korban yang tidak sebanding
dengan kelompok yang melakukan bullying. Bullying tidak sekedar mencermati pelaku
bullying dan korbannya (Schott, 2014). Fenomena bullying tidak hanya dilihat dari sudut
pandang individu pelaku dan korban, tetapi hal itu lebih menitikberatkan pada aspek sosial
yang melatarbelakangi fenomena tersebut terjadi (Schott, 2014). Iklim sosial sering menjadi
indikator beberapa fenomena yang muncul di masyarakat. Termasuk bullying, korban
mengalami kekerasan karena dianggap di luar lingkaran sosial pelaku bullying.

Tattum, Delwyn & Herbert (1993) mengungkapkan ditemukan bahwa anak-anak yang
menjadi korban bullying memiliki harga diri yang rendah, dan melihat diri mereka dalam hal
negatif menjadi beberapa masalah, lebih cemas, popular, dan kurang bahagia dibandingkan
anak-anak yang tidak pernah diganggu. Tindakan bullying di kalangan pelajar sangat
mengganggu kesehatan mental bagi pelakunya juga, dan akan berpengaruh pada kehidupan
dewasa yang akan dijalaninya. Pelaku bullying akan merasa lebih memiliki rasa percaya
yang tinggi dan dapat menimbulkan perilaku yang mengarah pada tindak kekerasan. Perilaku
bullying yang tidak ditangani dengan baik pada masa anak-anak justru dapat menyebabkan
gangguan perilaku yang lebih serius di masa remaja dan dewasa, seperti: pelecehan seksual,

5
kenakalan remaja, keterlibatan dalam geng kriminal, pelecehan atau bullying ditempat kerja,
kekerasan dalam rumah tangga, pelecehan/kekerasan terhadap anak, kekerasan terhadap
orang tua sendiri.

Karena poin bullying terletak pada fenomena sosial, Olweus (1999) mendefinisikan
bullying sebagai masalah psikososial dengan menghina dan merendahkan orang lain secara
berulang-ulang dengan dampak negatif terhadap pelaku dan korban bullying di mana pelaku
mempunyai kekuatan yang lebih dibandingkan korban. Mengacu pada definisi bullying
menurut Olweus (1999), Schott (2014) memetakan tiga poin yang terdapat pada definisi
tersebut. Diantaranya adalah terkait bullying sebagai tindakan agresi individu, bullying
sebagai kekerasan sosial, dan bullying sebagai dinamika kelompok disfungsional (Schott,
2014). Bullying merupakan tindakan agresif, baik secara fisik maupun verbal, yang dilakukan
oleh individu (Schott, 2014). Tindakan tersebut dilakukan secara berulang kali, dan terdapat
perbedaan kekuatan antara pelaku dan korban (Schott, 2014). Perbedaan kekuatan dalam hal
ini merujuk pada sebuah persepsi terhadap kapasitas fisik dan mental (Schott, 2014). Selain
itu, perbedaan kekuatan juga terdapat pada jumlah pelaku dan korban (Schott, 2014).

Bullying menurut Komnas HAM (Hak Asasi Manusia) adalah sebagai suatu bentuk
kekerasan fisik dan psikologis berjangka panjang yang dilakukan seseorang atau kelompok
terhadap seseorang yang tidak mampu mempertahankan diri dalam situasi ada hasrat untuk
melukai atau menakuti orang atau membuat orang tertekan, trauma atau depresi dan tidak
berdaya. Kebiasaan pengeroyokan sebagai bentuk main hakim sendiri dalam menyelesaikan
pertikaian atau konflik juga tampak sangat kuat di kalangan pelajar. Fenomena bullying bisa
juga diartikan sebagai perbuatan atau perkataan seseorang kepada orang lain yang dapat
menimbulkan rasa takut, sakit dan tertekan baik secara fisik maupun mental yang telah
direncanakan oleh pihak yang lebih kuat dan berkuasa terhadap pihak yang dianggap lebih
lemah darinya. Bullying biasanya dilakukan dengan alasan pembentukan mental si yunior.
Tetapi, bullying biasanya terjadi atas dasar “balas dendam” si senior karena mereka juga
pernah menjadi korban bullying senior sebelum mereka. Akibat dari perilaku tersebut banyak
siswa yang merasa terkucil, sehingga ia selalu merasa gelisah ketika bertemu dengan orang
lain. Bullying tidak juga hanya dilakukan dengan kekerasan, melainkan bisa juga dilakukan
dengan mengejek, memaki, menghakimi dan menggosipi orang lain. Dan beberapa korban

6
bullying memiliki karakter yang berbeda dengan yang lainnya, seperti selalu cemas, tidak
percaya diri, dan memiliki kemampuan bersosialisasi yang kurang. Siswa mempunyai hak
untuk mendapat pendidikan dalam lingkungan yang aman dan bebas dari rasa takut.
Pengelola Sekolah dan pihak lain yang bertanggung jawab dalam penyelengaraan Pendidikan
mempunyai tugas untuk melindungi siswa dari intimidasi, penyerangan, kekerasan atau
gangguan. Tindakan bullying mengakibatkan konsentrasi siswa berkurang, kehilangan
percaya diri, stress dan sakit hati, trauma berkepanjangan, membalas bullying, merasa tidak
berguna, kasar dan dendam, berbohong dan takut kesekolah.

Atas dasar latar belakang tersebut bullying menjadi pembahasan penting dalam fenomena
social yang terjadi. Maka makalah ini disusun untuk membedah dan mengulas secara
mendetail tentang fenomena perilaku bullying di sekolah, mulai dari penyebab, dampak, dan
bagaimana cara menanggulanginya & harapannya dapat menjadi studi literature yang
kemudian menjadi langkah edukasi sehingga angka bullying di sekolah dapat ditekan.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang yang telah diuraikan penulis dalam penelitian ini sebelumnya
maka dapat dirumuskan masalah

a. Apa definisi bullying?


b. Apa saja bentuk-bentuk bullying yang terjadi di sekolah?
c. Bagaimana dampak bullying di sekolah?
d. Bagaimana cara mencegah fenomena bullying di sekolah?

1.3 Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah dalam penelitian ini, maka dapat diketahui bahwa tujuan dari
penelitian ini adalah untuk,

a. Untuk mengetahui definisi bullying


b. Untuk mengetahui bentuk-bentuk bullying yang terjadi di sekolah
c. Untuk mengetahui dampak bullying di sekolah
d. Untuk mengetahui pencegahan fenomena bullying di sekolah

7
1.4 Manfaat

Adapun manfaat yang dapat diperoleh dari hasil penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Bagi akademisi

Penulis mengharapkan pengkajian tugas makalah ini dapat digunakan menjadi literatur dari
kepustakaan tentang fenomena perilaku bullying di sekolah mulai dari penyebab, dampak, dan
bagaimana cara menanggulanginya

2. Bagi penyusun

Tugas makalah ini meningkatkan wawasan serta ilmu pengetahuan terhadap fenomena bullying
yang terjadi di sekolah, sehingga dapat menjadi pengembangan teori kedepannya.

3. Bagi Institusi Pendidikan

Pengkajian tugas makalah ini yang kami kaji dapat dijadikan sebagai sumbang saran dan
informasi tambahan sebagai landasan menanggulangi fenomena bullying yang ada di sekolah.

8
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Definisi Bullying

Kata bully secara harfiah memiliki arti menggertak dan mengganggu orang yang lebih
lemah. Istilah ini kemudian digunakan hal yang merujuk pada perilaku agresif seseorang atau
sekelompok orang yang dilakukan secara berulang-ulang terhadap orang atau sekelompok orang
lain yang lebih lemah untuk menyakiti korban baik secara mental maupun fisik. Adapun menurut
Olweus (1998), Bullying dapat berupa kekerasan dalam bentuk fisik (misal: menampar,
memukul, menganiaya, menciderai), verbal (misal: mengejek, mengolok-olok, memaki), dan
mental/psikis (misal: memalak, mengancam, mengintimidasi, mengucilkan) atau gabungan di
antara ketiganya. Selain itu, Beberapa istilah dalam bahasa Indonesia yang seringkali dipakai
masyarakat untuk menggambarkan fenomena bullying di antaranya adalah penindasan,
penggencetan, perpeloncoan, pemalakan, pengucilan, atau intimidasi (Susanti, 2006).

Barbara Coloroso (2003:44) : “Bullying adalah tindakan bermusuhan yang dilakukan


secara sadar dan disengaja yang bertujuan untuk menyakiti, seperti menakuti melalui ancaman
agresi dan menimbulkan terror. Termasuk juga tindakan yang direncanakan maupun yang
spontan bersifat nyata atau hampir tidak terlihat, dihadapan seseorang atau di belakang
seseorang, mudah untuk diidentifikasi atau terselubung dibalik persahabatan, dilakukan oleh
seorang anak atau kelompok anak.

Banyak para ahli yang mengemukakan pendapatnya mengenai bullying. Seperti pendapat
Olweus (1993) dalam pikiran rakyat, 5 Juli 2007: “Bullying can consist of any action that is used
to hurt another child repeatedly and without cause”. Bullying merupakan perilaku yang
ditujukan untuk melukai siswa lain secara terus-menerus dan tanpa sebab. Sedangkan menurut
Rigby (2005; dalam Anesty, 2009) merumuskan bahwa “bullying” merupakan sebuah hasrat
untuk menyakiti. Hasrat ini diperlihatkan dalam aksi, menyebabkan seseorang menderita. Aksi
ini dilakukan secara langsung oleh seseorang atau sekelompok orang yang lebih kuat, tidak
bertanggung jawab, biasanya berulang dan dilakukan dengan perasaan senang (Retno Astuti,
2008: 3).Riauskina, Djuwita, dan Soesetio (2001) mendefinisikan school bullying sebagai
perilaku agresif kekuasaan terhadap siswa yang dilakukan berulang-ulang oleh

9
seorang/kelompok siswa yang memiliki kekuasaan, terhadap siswa lain yang lebih lemah dengan
tujuan menyakiti orang tersebut.

Beberapa ahli meragukan pengertian-pengertian di atas bahwa bullying hanya sekedar


keinginan untuk menyakiti orang lain, mereka memandang bahwa “keinginan untuk menyakiti
seseorang” dan “benar-benar menyakiti seseorang” merupakan dua hal yang jelas berbeda. Oleh
karena itu beberapa ahli psikologi menambahkan bahwa bullying merupakan sesuatu yang
dilakukan bukan sekedar dipikirkan oleh pelakunya, keinginan untuk menyakiti orang lain dalam
bullying selalu diikuti oleh tindakan negatif.

Dari berbagai definisi di atas dapat disimpulkan bahwa bullying merupakan serangan
berulang secara fisik, psikologis, sosial, ataupun verbal, yang dilakukan dalam posisi kekuatan
yang secara situasional didefinisikan untuk keuntungan atau kepuasan mereka sendiri. Bullying
merupakan bentuk awal dari perilaku agresif yaitu tingkah laku yang kasar. Bisa secara fisik,
psikis, melalui kata-kata, ataupun kombinasi dari ketiganya. Hal itu bisa dilakukan oleh
kelompok atau individu. Pelaku mengambil keuntungan dari orang lain yang dilihatnya mudah
diserang. Tindakannya bisa dengan mengejek nama, korban diganggu atau diasingkan dan dapat
merugikan korban

2.2 Bentuk Bullying

Barbara Coloroso (2006:47-50) membagi jenis-jenis bullying kedalam empat jenis, yaitu
sebagai berikut:

1. Bullying secara verbal; perilaku ini dapat berupa julukan nama, celaan, fitnah,
kritikan kejam, penghinaan, pernyataan-pernyataan yang bernuansa ajakan
seksual atau pelecehan seksual, terror, surat-surat yang mengintimidasi, tuduhan-
tuduhan yang tidak benar kasak-kusuk yang keji dan keliru, gosip dan sebagainya.
Dari ketiga jenis bullying, bullying dalam bentuk verbal adalah salah satu jenis
yang paling mudah dilakukan dan bullying bentuk verbal akan menjadi awal dari
perilaku bullying yang lainnya serta dapat menjadi langkah pertama menuju pada
kekerasan yang lebih lanjut.
2. Bullying secara fisik; yang termasuk dalam jenis ini ialah memukuli, menendang,
menampar, mencekik, menggigit, mencakar, meludahi, dan merusak serta

10
menghancurkan barang-barang milik anak yang tertindas. Kendati bullying jenis
ini adalah yang paling tampak dan mudah untuk diidentifikasi, namun kejadian
bullying secara fisik tidak sebanyak bullying dalam bentuk lain. Remaja yang
secara teratur melakukan bullying dalam bentuk fisik kerap merupakan remaja
yang paling bermasalah dan cenderung akan beralih pada tindakantindakan
kriminal yang lebih lanjut.
3. Bullying secara relasional; adalah pelemahan harga diri korban secara sistematis
melalui pengabaian, pengucilan atau penghindaran. Perilaku ini dapat mencakup
sikap-sikap yang tersembunyi seperti pandangan yang agresif, lirikan mata,
helaan nafas, cibiran, tawa mengejek dan bahasa tubuh yang mengejek. Bullying
dalam bentuk ini cenderung perilaku bullying yang paling sulit dideteksi dari luar.
Bullying secara relasional mencapai puncak kekuatannya diawal masa remaja,
karena saat itu tejadi perubahan fisik, mental emosional dan seksual remaja. Ini
adalah saat ketika remaja mencoba untuk mengetahui diri mereka dan
menyesuaikan diri dengan teman sebaya.
4. Bullying elektronik; merupakan bentuk perilaku bullying yang dilakukan
pelakunya melalui sarana elektronik seperti komputer, handphone, internet,
website, chatting room, e-mail, SMS dan sebagainya. Biasanya ditujukan untuk
meneror korban dengan menggunakan tulisan, animasi, gambar dan rekaman
video atau film yang sifatnya mengintimidasi, menyakiti atau menyudutkan.
Bullying jenis ini biasanya dilakukan oleh kelompok remaja yang telah memiliki
pemahaman cukup baik terhadap sarana teknologi informasi dan media elektronik
lainnya.

Pada umumnya, anak laki-laki lebih banyak menggunakan bullying secara fisik dan anak
wanita banyak menggunakan bullying relasional/emosional, namun keduanya sama-sama
menggunakan bullying verbal. Perbedaan ini, lebih berkaitan dengan pola sosialisasi yang terjadi
antara anak laki-laki dan perempuan (Coloroso, 2006:51).
Bullying dapat terjadi dimana saja, di perkotaan, pedesaan, sekolah negeri, sekolah
swasta, di waktu sekolah maupun di luar waktu sekolah. Bullying terjadi karena interaksi dari
berbagai faktor yang dapat berasal dari pelaku, korban, dan lingkungan dimana bullying tersebut
terjadi. Pada umumnya, anak-anak korban bullying memiliki salah satu atau beberapa faktor

11
resiko berikut: 1) Dianggap “berbeda”, misalnya memiliki ciri fisik tertentu yang mencolok
seperti lebih kurus, gemuk, tinggi, atau pendek dibandingkan dengan yang lain, berbeda dalam
status ekonomi, memiliki hobi yang tidak lazim, atau menjadi siswa/siswi baru, 2) Dianggap
lemah atau tidak dapat membela dirinya. 3) Memiliki rasa percaya diri yang rendah. 4) Kurang
populer dibandingkan dengan yang lain, tidak memiliki banyak teman.
Sedangkan untuk pelaku bullying, Ada beberapa karakteristik anak yang memiliki
kecenderungan lebih besar untuk menjadi pelaku bullying, yaitu mereka yang: 1) Peduli dengan
popularitas, memiliki banyak teman, dan senang menjadi pemimpin diantara teman-temannya.
Mereka dapat berasal dari keluarga yang berkecukupan, memiliki rasa percaya diri tinggi, dan
memiliki prestasi bagus di sekolah. Biasanya mereka melakukan bullying untuk meningkatkan
status dan popularitas di antara teman-teman mereka. 2) Pernah menjadi korban bullying.
Mereka juga mungkin mengalami kesulitan diterima dalam pergaulan, kesulitan dalam mengikuti
pelajaran di sekolah, mudah terbawa emosi, merasa kesepian dan mengalami depresi. 3)Memiliki
rasa percaya diri yang rendah, atau mudah dipengaruhi oleh teman-temannya. Mereka dapat
menjadi pelaku bullying karena mengikuti perilaku teman-teman mereka yang melakukan
bullying, baik secara sadar maupun tidak sadar.

2.3 Dampak dari Bullying

Dampak tindakan bullying tidak hanya pada korban, tetapi dampak tersebut juga
mengenai pelaku bullying dan korban-pelaku bullying. Penelitian yang dilakukan oleh Skrzypiec
et al. (2012) menghasilkan pemahaman bahwa dampak negatif bullying dirasakan oleh korban,
pelaku, korban-pelaku bullying. Penelitian tersebut menggunakan alat ukur Strengths and
Difficulties Questionnaire (SDQ, Goodman, 1997 dalam Skrzypiec et al., 2012). Korban, pelaku,
korban-pelaku bullying mengalami gangguan kesehatan mental (Skrzypiec et al., 2012).
Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya bahwa pelaku bullying mempunyai intensitas empati
yang minim dalam fenomena interaksi sosial. Skrzypiec et al. (2012) menyebutkan bahwa
mereka mengalami permasalahan perilaku abnormal, hiperaktif, dan pro-sosial ketika terlibat
dalam proses interaksi sosial. Baik empati maupun perilaku abnormal, perilaku hiperaktif, dan
pro-sosial sangat berkaitan dengan respon pelaku ketika dirinya terlibat dengan lingkungan sosial
sekitar. Berbeda dengan korban-pelaku, tingkat gangguan kesehatan mental mereka lebih besar
dibandingkan pelaku dan korban bullying. Mereka adalah individu yang melakukan tindakan

12
bullying, namun mereka juga menjadi korban bullying (Slee & Skrzypiec, 2016). Mereka
mengalami permasalahan pro-sosial, hiperaktif, dan perilaku (Skrzypiec et al., 2012). Untuk
korban bullying, penelitian Skrzypiec et al. (2012) menjelaskan bahwa mereka berada pada
rating antara pelaku dan korban-pelaku bullying. Mereka mempunyai masalah dengan kesehatan
mental, terutama gejala emosional (Skrzypiec et al., 2012). Hal yang sering ditemukan adalah
mereka sering terisolasi secara sosial, tidak mempunyai teman dekat atau sahabat, dan tidak
memiliki hubungan baik dengan orang tua (Rosen et al., 2017).

Korban bullying juga mengalami kekerasan fisik, untuk bullying yang bersifat kekerasan
secara fisik. Tindakan kekerasan secara fisik dan verbal yang mereka terima sering menjadi
faktor trauma untuk jangka pendek dan jangka panjang. Trauma memengaruhi terhadap
penyesuaian diri dengan lingkungan, yaitu dalam hal ini adalah lingkungan sekolah (Modecki et
al., 2014). Bahkan, penelitian yang dilakukan oleh Cornell et al. (2013) menemukan bahwa
bullying merupakan prediktor untuk tingkat prestasi akademik dan putus sekolah siswa Sekolah
Menengah Atas (SMA).

Apabila penelitian Cornell et al. (2013) dilakukan pada siswa SMA, partisipan penelitian
Takizawa et al. (2014) berusia 7, 11, 16, 23, 33, 42, 45, dan 50 tahun yang berjalan selama 50
tahun sejak tahun 1958. Penelitian tersebut menyimpulkan bahwa bullying yang terjadi pada
anak-anak mengakibatkan tingginya tingkat depresi, kecemasan, dan bunuh diri ketika dewasa
(Takizawa et al., 2014). Tidak hanya itu, mereka bahkan mengalami permasalahan dalam
hubungan sosial, kondisi ekonomi yang memburuk, dan rendahnya well-being ketika menginjak
usia 50 tahun (Takizawa et al., 2014; Slee & Skrzypiec, 2016). Demikian, bullying berdampak
pada rendahnya tingkat hubungan sosial korban, kesehatan mental dan fisik, dan persoalan
ekonomi (Takizawa et al., 2014).

Lebih lanjut, penelitian Wolke et al. (2013) menemukan bahwa bullying berdampak pada
kapasitas kesehatan, perilaku ilegal, ekonomi, dan hubungan sosial. Angold et al. (2012)
mengkonsepkan keempat dampak dari bullying, bahwa secara fisik korban bullying mengalami
cedera fisik yang serius dan beberapa penyakit seksual (seperti: HIV). Dari segi kesehatan psikis,
korban mengalami gangguan kecemasan, gangguan depresi, dan gangguan kepribadian antisosial
(Angold et al., 2012). Perilaku ilegal yang dilakukan oleh pelaku bullying sebagaimana
berbohong terhadap orang lain, sering berkelahi, merampok rumah, toko, atau hal lain yang

13
berkaitan dengan properti, mabuk, konsumsi narkotika dan obat-obatan terlarang lainnya, dan
aktivitas seksual di luar pernikahan (Angold et al., 2012). Korban mengalami putus sekolah dan
tidak melanjutkan sekolah merupakan indikator status sosial ekonomi (Angold et al., 2012).
Selain itu, problematika dalam hal pekerjaan dinilai dengan putusnya hubungan kerja dan keluar
dari pekerjaan tanpa adanya kesiapan finansial (Angold et al., 2012). Akibatnya, permasalahan
keuangan yang lainnya muncul, seperti tidak bisa menyelesaikan tagihan hutang dan buruknya
pengelolaan keuangan (Angold et al., 2012). Sementara untuk hubungan sosial, Angold et al.
(2012) tertuju pada perilaku kekerasan dalam hubungan sosial, meliputi: hubungan romantis,
hubungan yang tidak baik terhadap orang tua, teman dan orang kepercayaan, dan permasalahan
dalam pertemanan dan mempertahankan teman.

2.4 Pencegahan Fenomena Bullying di Sekolah

Setelah mengetahui definisi, dampak, & bentuk-bentuk bullying, perlu adanya pencegahan
berupa langkah preventif dan intervensi dari sekolah. Sekolah dapat mulai menerapkan program
pencegahan primer yang diarahkan untuk mengurangi insiden traditional bullying dan
cyberbullying, dan selanjutnya menyusun program-program intervensi untuk menanggulangi
kasus yang telah terjadi (Kowalski & Morgan, 2017). Pengembangan program pencegahan dan
intervensi yang efektif dalam mengurangi perilaku bullying, diperlukan suatu pendekatan yang
komprehensif mencakup seluruh sistem, termasuk orang tua, teman sebaya, pendidik, konselor
sekolah, administrator sekolah, dan warga sekolah.

Pengembangan program pencegahan dan intervensi yang efektif dalam mengurangi


perilaku bullying, diperlukan suatu pendekatan yang komprehensif mencakup seluruh sistem,
termasuk orang tua, teman sebaya, pendidik, konselor sekolah, administrator sekolah, dan warga
sekolah.

Pertama, sekolah harus melakukan asesmen (Kowalski & Morgan, 2017). Dalam hal ini,
sekolah dapat memberikan kuesioner singkat kepada siswa untuk mengetahui kecenderungan
siapa yang mengalami bullying. Siswa dari jenis kelamin dan tingkat kelas tertentu dapat
diidentifikasi sebagai pelaku dan / atau korban. Kedua, sekolah dapat melakukan FGD kepada
para siswa untuk mengumpulkan informasi yang berguna tentang berbagai informasi terkait
bullying yang terjadi di sekolah, baik itu melalui traditional bullying maupun cyberbullying.

14
Melalui FGD tersebut, sekolah dapat mengetahui konten dan platform (yaitu, aplikasi dan situs
web) apa saja yang dijadikan sebagai sarana untuk melakukan cyber bullying. Asesmen yang
dilakukan oleh sekolah tersebut dapat sangat bermanfaat, karena biasanya tidak semua orang
memiliki konsep yang akurat tentang bullying di sekolah.

Selain itu, “upaya efektif untuk mencegah dan mengatasi bullying membutuhkan perhatian
terhadap faktor-faktor individu yang dapat berkontribusi pada kemungkinan bullying, seperti
karakteristik, dan tantangan anak-anak dan remaja, serta faktor dalam ekologi sosial individu,
termasuk keluarga anak, sekolah, kelompok sebaya, dan komunitas” (Limber et al., 2016). Setiap
anak memiliki pengalaman sosial yang unik, lebih lanjut menandakan kebutuhan untuk perhatian
individual. Antara lain, keterlibatan siswa dalam jenis-jenis bullying lainnya (sebagai pelaku,
maupun korban), status sosial di sekolah, tingkat kelas, dan sebagainya adalah variabel yang
relevan.

Faktor iklim sekolah juga harus diperhatikan dalam program pencegahan dan intervensi.
Iklim kebaikan, kasih sayang, dan empati perlu ditekankan sebagai norma, dan siswa perlu
diajari bahwa bullying adalah pilihan perilaku buruk yang tidak akan dihargai oleh siapapun
(Kowalski, et al., 2012; Simon & Olson, 2014).

Titik awal yang baik untuk diskusi mengenai bullying dan kesejahteraan digital adalah di
dalam kelas. Program pencegahan dan intervensi terhadap bullying yang paling efektif bukanlah
yang berhasil mengundang seorang pembicara yang berpengetahuan luas untuk sebuah
pertemuan para siswa tentang bullying. Rancangan seperti ini sering digunakan di sekolah-
sekolah, tetapi tidak secara efektif memberikan perhatian dan memfokuskan di tiap tingkatan
kelas yang ada. Meskipun informasi yang diberikan oleh pembicara itu bermanfaat, program
yang paling efektif adalah program yang waktu kelasnya dikhususkan untuk diskusi dan kegiatan
tentang bullying (Limber, Kowalski, & Agatston, 2014a). Situasi dapat disajikan kepada siswa
dan siswa diminta untuk mengidentifikasi apakah situasinya tersebut mengandung unsur bullying
atau tidak, Dalam diskusi kelas ini, siswa dapat diberikan pertanyaan mengenai apa yang mereka
ketahui tentang kebijakan sekolah tentang bullying, bagaimana siswa melaporkan bullying, dan
bagaimana mereka seharusnya menanggapi dengan baik dalam situasi bullying yang mereka
terima. Ini dapat memberikan siswa kesempatan untuk terlibat dalam dialog terbuka di

15
lingkungan yang aman. Selain itu, dapat membantu para siswa untuk mengenali perilaku
bullying yang sebenarnya.

Orang tua sering kali diabaikan dan tidak diikutsertakan dalam program penanggulangan
terhadap bullying seperti ini, seharusnya mereka perlu terlibat aktif (Simon & Olson, 2014).
Mengingat bahwa jumlah cyberbullying yang signifikan terjadi di luar sekolah (yang masih
memengaruhi siswa selama hari sekolah), orang tua perlu dilatih untuk mengenali cyberbullying
dan untuk berkomunikasi dengan anak mereka tentang hal ini. Orang tua juga harus didorong
untuk terlibat dalam pengembangan program dan kebijakan yang berkaitan dengan pencegahan
bullying (Limber et al., 2016). Siswa yang melihat bahwa orang tua mereka secara aktif terlibat
dalam upaya penanggulangan bullying di sekolah mereka, akan lebih cenderung mendekati orang
tua mereka sebagai titik kontak pertama dalam peristiwa yang terjadi di dalam cyberbullying itu
sendiri.

16
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan

3.2 Saran

17
DAFTAR PUSTAKA

Casas, J. A., Del Rey, R., & Ortega-Ruiz, R. (2013). Bullying and cyberbullying: Convergent and
divergent predictor variables. Computers in Human Behavior, 29(3), 580-587.
https://doi.org/10.1016/j.chb.2012.11.015.

Darmayanti, K. K. H., Kurniawati, F., & Situmorang, D. D. B. (2019). Bullying di sekolah:


Pengertian, dampak, pembagian dan cara menanggulanginya. PEDAGOGIA, 17(1), 55-66.’

Kartika, K., Darmayanti, H., & Kurniawati, F. (2019). Fenomena Bullying di Sekolah: Apa dan
Bagaimana?. Pedagogia Social, 17(1), 55-66.

Komisi Perlindungan Anak Indonesia. (2016). Rincian Data Kasus Berdasarkan Klaster
Perlindungan Anak, 2011-2016 [Tabel Ilustrasi KPAI Juli 17, 2016]. Retrieved from
http://bankdata.kpai.go.id/tabulasi-data/data-kasus-per-tahun/rincian-data-kasus-berdasarkan-
klaster-perlindungan-anak-2011-2016.

Kowalski, R. M., & Limber, S. P. (2013). Psychological, physical, and academic correlates of
cyberbullying and traditional bullying. Journal of Adolescent Health, 53, S13–S20.

Kowalski, R. M., & Morgan, M. E. (2017). Cyberbullying in Schools. The Wiley Handbook of
Violence and Aggression, 1-12.

Olweus, D. (1999). Sweden. The nature of school bullying: A cross-national perspective. London
& New York: Routledge.

Olweus, D. (2012). Cyberbullying: An overrated phenomenon? European Journal of


Developmental Psychology, 9, 520–538. doi:10.1080/17405629.2012.682358.

Prasetyo, A. B. E. (2011). Bullying di sekolah dan dampaknya bagi masa depan anak. El-
Tarbawi, 4(1), 19-26.

18
19

Anda mungkin juga menyukai