Anda di halaman 1dari 5

REFERENSI 1 (ciko unlock)

Menjadi korban pelecehan seksual merupakan sebuah aib, bukan hanya bagi diri sendiri tetapi juga
aib bagi keluarga.

Pelecehan seksual yang menimpa anak tentu akan berdampak negatif pada psikologisnya (ditambah
dampak negative kekerasan seksual)

Dampak-dampak negatif psikologis tersebut tentu saja dapat mengubah perilaku anak yang
seharusnya merupakan masa yang penuh keceriaan, canda tawa dan penuh dengan permainan. Hal
tersebut juga tentunya berdampak buruk pada perilaku komunikasinya. Karena hambatan utama
dari pengungkapan kasus ini adalah faktor trauma mendalam dari para korban, sehingga korban sulit
menceritakan kasus kekerasan seksual yang dialaminya, sekalipun kepada orang tuanya sendiri.

Pengungkapan diri yang terhambat ini menyebabkan anak menjadi tertutup. Tertutupnya anak
ketika menjadi korban bisa terjadi karena mereka bingung, takut, atau merasa bersalah.

Menurut Anne Lee pendiri Darkness to Light, peleceh kerap membuat korban merasa malu dan
menjatuhkan harga diri mereka. Ia juga biasanya mengancam anak supaya mereka tak mengadukan
kejadian itu ke orang lain. (Parentsindonesia.com. Pelaku Pelecehan dari Lingkungan Terdekat
http://www.parentsindonesia.com/article.php?type=article&cat=feature&id=2184 (diakses tanggal
06 Juni 2014)

Dari ancaman tersebut maka membuat anak semakin apatis, ia akan berpersepsi jika bercerita
tentang apa yang terjadi pada dirinya kepada orangtua, maka orangtuanya akan memarahinya,
menyalahkannya, bahkan ia takut orang tuanya pun acuh tidak mempedulikannya. Yang demikian
tentu saja akan menghambat pengungkapan diri anak korban pelecehan seksual , sehingga menjadi
lebih tertutup dan mungkin korban tersebut akan merasa lebih baik untuk menyimpan
penderitaannya sendiri. (masukin wawancara valen yang diacam mau dibunuh).
REFERENSI 2 (isi-1541 unlock)
Dengan meningkatnya data mengenai kasus kekerasan seksual yang terjadi baik pada perempuan
dan juga anak, menunjukkan bahwa objek kekerasan seksual merupakan anak anak dan juga
perempuan. Hal tersebut dapat terjadi dikarenakan relasi kekuasaan yang tidak seimbang dimana
seorang perempuan dan anak memiliki kedudukan yang inferior (Dwiyanti, 2014). ( Dwiyanti F.
(2014) Pelecehan Seksual Pada Perempuan Di Tempat Kerja (Studi Kasus Kantor Satpol PP Provinsi
DKI Jakarta). Jurnal Kriminologi Indonesia Volume 10 Nomer 1, Mei 2014 29-36. Universitas
Indonesia)

Anak yang menjadi obyek kekerasan seksual cenderung lebih lemah baik secara fisik, psikologis,
ekonomi maupun kondisi sosialnya dibandingkan dengan pelaku, sehingga mereka cenderung tidak
memiliki kemampuan untuk menentang atau melawan pelaku kejahatan tersebut (Humairo B,
Diesmy dkk, 2015). (Humairo B, Diesmy dkk. (2015) KEKERASAN SEKSUAL PADA ANAK: TELAAH
RELASI PELAKU KORBAN DAN KERENTANAN PADA ANAK. Jurnal Psikoislamika. Volume 12 Nomor 2
Tahun 2015. Fakultas Psikologi Universitas Islam Negeri (UIN)Maulana Malik Ibrahim Malang)

Anak yang menjadi korban kekerasan seksual akan memiliki berbagai dampak dari peristiwa yang
terjadi. Fuadi (2011) menyebutkan dalam hasil penelitiannya bahwa subyeknya setelah mengalami
peristiwa kekerasan seksual cenderung diliputi perasaan dendam, marah, penuh kebencian yang
ditujukan pada orang yg melakukan kekerasan seksual kepadanya (Fuadi, M. Anwar. (2011).
Dinamika Psikologis Kekerasan Seksual: Sebuah Studi Fenomenologi. Jurnal Psikologi Islam (JPI). Vol
8 No.2). Disamping itu, perasaan sedih, tidak nyaman, lelah, kesal dan bingung hingga rasa tidak
berdaya muncul menghantui dirinya. Bagi korban kekerasan seksual yang telah mengalami trauma
psikologis berat, ada kemungkinan akan merasakan dorongan yang kuat untuk bunuh diri (Anshor,
dalam Ningsih dan Hennyati, 2018). (Ningsih, E. S. Hennyati, S. (2018). Kekerasan seksual pada anak
di Kabupaten Karawang. Jurnal Bidan “Midwife Journal”, 4(2), 56-65.)

Dampak dari kekerasan seksual sendiri tidak langsung muncul ketika korban mengalami kejadian.
Dampak pelecehan seksual tidak langsung muncul seketika setelah kejadian yang di alami anak-anak.
Dampaknya akan muncul atau dapat diketahui setelah beberapa bulan atau tahun lamanya. Hal ini
karena, kebanyakan anak tidak mampu mengungkapkan apa yang sebenarnya telah mereka alami,
sehingga menjadikannya bungkam dan lebih memilih diam hingga pada waktunya tiba orang lain
mengetahuinya sendiri (novitasari, 2018) (novitasari i.i. (2018) PENCEGAHAN PELECEHAN SEKSUAL
PADA ANAK MELALUI MATERI TUBUHKU DI SD MUHAMMADIYAH PANGKALPINANG. Skripsi.
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU
PENDIDIKAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA)

Diam merupakan suatu bentuk resistensi atau pertahanan yang bertujuan untuk memperkecil atau
menolak klaim-klaim yang diajukan kelas dominan atau mengajukan klaim-klaim dalam menghadapi
kelas-kelas yang lebih dominan (Scott, 1985). Tidak semua orang mampu menceritakan apapun yang
terjadi di dalam dirinya secara terbuka, khususnya bagi orang yang memiliki masalah terkait
kekerasan seksual. Seperti halnya korban kekerasan seksual, menjadi terbuka kepada orang lain
mengenai apa yang dialaminya sering kali menjadi hal yang sangat sulit mereka lakukan. Kasus
kekerasan seksual di Indonesia masih dianggap sebagai hal yang wajib disembunyikan. Padahal hal
tersebut menjadi suatu yang berbahaya jika sebagai manusia menutup mata mengenai kasus ini.
Kebutaan masyarakat mengenai kekerasan seksual menjadikan kasus ini semakin marak di
Indonesia.
Komunikasi merupakan aktivitas penyampaian informasi dari satu pihak ke pihak lainnya
yang berupa pesan, ide, maupun gagasan. Dengan berkomunikasi seorang individu akan melihat
orang lain atau situasi yang dihadapi berdasarkan perspektifnya. Selain itu, ada beberapa kebutuhan
di dalam diri manusia yang dapat diwujudkan hanya dengan komunikasi. Komunikasi maupun
hubungan interpersonal akan lebih dekat dan lebih mendalam jika antar individu mampu membuka
dirinya. Membuka diri disini dimaksudkan dengan menyampaikan berbagai informasi yang bersifat
pribadi dalam hal ini disebut dengan self disclosure. Self disclosure merupakan kesediaan untuk
menceritakan kepada orang lain tentang pikiran dan perasaan diri sendiri dengan harapan bahwa
komunikasi benar-benar terbuka (Benokraitis, 1996).

Self disclosure ini mempengaruhi penerimaan orang lain terhadap diri individu. Bukan hanya
penerimaan tapi juga bagaimana individu tersebut diakui, dikenal, dan dianggap sesuai dengan apa
yang sudah diungkapkan.

esehatan mental sebagian besar juga ditentukan oleh kualitas komunikasi atau hubungan dengan
orang lain, terlebih lagi dengan orang-orang yang merupakan tokoh-tokoh signifikan (significan
figures) dalam hidup (Johnson, 1981). Bila hubungan manusia satu dengan orang lain diliputi
masalah maka hidup cenderung merasa sedih, cemas, frustasi, atau bahkan menarik diri dengan
orang lain. Berbeda jika mendapatkan tanggapan yang baik dari orang lain akan membuat diri lebih
bahagia. Terdapat beberapa keuntungan yang akan diperoleh seseorang jika mau mengungkap
informasi diri kepada orang lain antara lain: (1) tentang diri sendiri, (2) adanya kemampuan
menanggulangi masalah, (3) mengurangi beban (Devito, 1989).

Korban kekerasan seksual seringkali menutup dirinya dan enggan untuk berbagi kisah yang
dialaminya. Tidak semua korban kekerasan seksual memiliki perjalanan dinamika yang baik untuk
mampu membuka dirinya kepada orang lain. Banyak penelitian mengenai self disclosure akan tetapi
hanya sebatas hubungan self disclosure dengan beberapa variabel lain dan juga self disclosure anak
terhadap orang tua. Peneliti belum menemukan penelitian yang secara mendalam meneliti dinamika
psikologis self disclosure pada mahasiswa yang mengalami kekerasan seksual.
REFERENSI 3 (DEVI)
Kekerasan seksual merupakan trauma besar yang dapat mengganggu kehidupan korban. Korban
berada dalam resiko tinggi untuk mengalami berbagai macam masalah kesehatan baik fisik maupun
mental seperti, kecemasan, depresi, sulit mempercayai orang lain, penggunaan narkoba, dan
kemungkinan mengalami gangguan stress pasca trauma atau PTSD (Campbell 2 dkk., 2008).

Ketika korban kekerasan seksual mencoba untuk mengungkapkan pengalamannya kepada orang lain
untuk mendapatkan dukungan, akan tetapi yang mereka terima adalah tanggapan negatif, mereka
akan cenderung mengalami trauma psikologis tambahan. Karena itu, penting untuk mengeksplorasi
peran pengungkapan dalam proses pemulihan.

Korban kekerasan seksual dapat mengungkapkan pengalaman mereka ke beberapa sumber yang
berpotensial akan mendukung mereka. Penelitian sebelumnya menemukan bahwa sebagian korban
mengungkapkan pengalaman mereka ke sistem pendukung informal seperti keluarga dan teman.
Pengungkapan kepada dukungan formal, termasuk perawat kesehatan profesional, konselor, atau
lembaga penegak hukum jauh lebih jarang terjadi.

Kasus kekerasan seksual terhadap anak sebenarnya sudah ada dalam waktu yang cukup lama,
namun kasus ini masih dianggap tabu dan sensitif sehingga tidak banyak terekspos. Masyarakat
Indonesia sendiri masih banyak yang menganggap kasus ini adalah kasus yang memalukan sehingga
kebanyakan masyarakat yang menjadi korban kemudian dengan sengaja menutup-nutupinya dan
tidak melaporkannya ke pihak yang berwenang. Selain itu juga faktor yang membuat kasus
kekerasan seksual ini terkesan ditutup-tutupi dikarenakan tidak adanya tempat perlindungan bagi
korban kekerasan seksual, baik itu perlindungan secara mental maupun secara hukum

Permasalahan utama yang sering kali dialami oleh keluarga korban atau saksi korban kekerasan
seksual adalah mereka sering mendapatkan ancaman atau bahkan kekerasan untuk membungkam
kesaksian mereka. Korban kekerasan seksual memerlukan kepastian hukum atas tindak pidana yang
dilakukan oleh pelaku.

Walaupun sangat sulit bagi anak atau remaja untuk mengenali bentukbentuk kekerasan seksual yang
dialaminya, namun masih banyak upaya yang dapat membantu mereka mengenali kekerasan seksual
dan berani mencegahnya.

Pengungkapan diri (self disclosure) telah dikaitkan dengan peningkatan kesejahteraan mental dan
fisik dari berbagai jenis trauma, termasuk korban kekerasan seksual (Broman-Fulks et al., 2007).
Manfaat keterbukaan itu sendiri muncul dari berbagai mekanisme, termasuk dukungan sosial, dalam
studi tentang korban kekerasan seksual. Menerima dukungan sosial telah dikaitkan dengan sejumlah
hasil positif, termasuk kehidupan positif dan perubahan pertumbuhan, serta pengurangan PTSD dan
gejala depresi.

Seperti dalam studi yang ditinjau oleh Filipas dan Ullman, ditemukan bahwa semakin besar
dukungan korban, semakin besar efek positifnya, semakin kecil efek negatifnya, dan semakin sedikit
gejala PTSD yang mereka miliki. Namun, pengungkapan tidak selalu mengarah pada respons yang
mendukung (Starzynski et al., 2005). Banyak korban berbagi pengalaman mereka dan menerima
komentar menghakimi dari teman dan keluarga yang meningkatkan pengaruh negatif dan perasaan
terisolasi (Golding, Wilsnack & Cooper, 2002)

Penelitian tentang Social Reactions to Disclosure of Sexual Victimization and Adjustment Among
Survivors of Sexual Assault, hasil yang diperoleh adalah reaksi sosial terhadap pengungkapan diri
yang dilakukan oleh korban dikaitkan dengan meningkatnya gejala stres pasca-trauma, depresi, dan
kecemasan, serta persepsi yang lebih rendah tentang nilai dari orang lain. Reaksi sosial yang negatif
membuat korban menjadi kehilangan harga diri dan membuat mereka tidak menemukan
pemecahan solusi atas masalah yang mereka hadapi. Sedangkan reaksi sosial berupa dukungan
terhadap korban dikaitkan dengan meningkatnya coping bagi para korban serta membuat mereka
memiliki harga diri yang lebih tinggi (Lindsay, Amy dan Christine, 2006)

Penelitian tentang Disclosure of Sexual Violence Among Girls and Young Women Aged 13 to 24
Years: Results From the Violence Against Children Surveys in Nigeria and Malawi, penelitian di dua
negara Afrika ini mendeteksi tingginya tingkat kekerasan seksual yang dilaporkan diantara anak
perempuan dan perempuan muda, namun tingkat pengungkapan kekerasan seksual, pengetahuan di
mana mencari bantuan, dan pencarian layanan disana masih tergolong rendah. Hal ini menunjukkan
bahwa banyak wanita yang mengalami kekerasan seksual mungkin tidak menerima layanan
kesehatan, sosial, dan lainnya yang diperlukan. Satu penjelasan yang mungkin untuk tingkat
pengungkapan yang rendah di kedua negara adalah bahwa relatif sedikit anak perempuan dan
perempuan muda yang tahu di mana harus menerima bantuan (14% di Nigeria dan 23% di Malawi).
Meskipun tingkat kekerasan seksual yang tinggi, perilaku pengungkapan dan pencarian layanan yang
dapat mencegah pemulihan dan pengobatan tetap rendah untuk perempuan di negara-negara Afrika
ini (Kimberly H. Nguyen, 2018). Nguyen, Kimberly H., Kress, Howard. (2018). Disclosure of Sexual
Violence Among Girls and Young Women Aged 13 to 24 Years: Results From the Violence Against
Children Surveys in Nigeria and Malawi. Journal of Interpersonal Violence, 00(0): 1-17.

Sebab dari self disclosure yang korban lakukan, artinya korban melakukan satu hal yang dapat
meringankan beban psikologis yang ia miliki. Selain dari sudut pandang sang korban, para pembaca
ataupun pelaku dari kekerasan seksual nantinya akan memahami bahwa perilaku kekerasan seksual
bukanlah hal yang dapat dianggap hal biasa atau remeh. Tentunya agar orang-orang disekitar korban
dapat lebih memahami perasaan korban dan apa yang harus mereka lakukan pada korban, serta
dapat mengurangi atau meminimalisir pelaku kekerasan seksual. Para korban kekerasan seksual
terhambat dalam hal pengungkapan diri. Pengungkapan diri ini berhubungan dengan komunikasi
antarpribadi.

hubungan antarpribadi yang sehat ditandai dengan keseimbangan pengungkapan diri atau self
disclosure yang tepat, yakni saling mengungkapkan apa yang sedang dialami, gagasan-gagasa pribadi
dan perasaan-perasaan yang tidak diketahui bagi orang lain, serta umpan balik berupa verbal dan
respon-respon fisik kepada orang lain atau pesan-pesan mereka di dalam suatu hubungan.
Pengungkapan diri yang terhambat ini menyebabkan korban menjadi tertutup. Hal ini dapat terjadi
karena perasaan takut, bingung, cemas, atau merasa bersalah. Menurut Anne Lee, bahwa kekerasan
seksual seringkali membuat korban merasa malu dan menjatuhkan harga diri mereka. Pelaku juga
memberikan ancaman kepada korban agar tidak melaporkan kasus kekerasan seksual yang mereka
alami kepada orang lain. Ancaman tersebut membuat korban semakin apatis. Ia akan berpikir jika
kekerasan seksual yang ia alami diungkapkan kepada orang lain misalnya kepada orangtuanya, maka
mereka akan memarahi, menyalahkan, bahkan tidak mempedulikan dirinya sebagai korban. Hal
tersebut tentunya dapat menghambat perilaku self disclosure pada setiap korban kekerasan seksual,
sehingga menjadi lebih tertutup dan menyimpan semua perasaan yang ia rasakan akibat dari
kekerasan seksual yang dialaminya. Perlu banyak dukungan yang diterima oleh korban kekerasan
seksual, seperti pada kedua informan dalam penelitian ini.

Anda mungkin juga menyukai