Anda di halaman 1dari 22

REFRAT

FAKTOR KETERLAMBATAN PELAPORAN KEKERASAN


TERHADAP PEREMPUAN DAN ANAK

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Kepaniteraan Klinik

Ilmu Forensik dan Medikolegal di RS Aisyiyah

Kudus

Dokter Pembimbing:

Disusun oleh:
Rizky

KEPANITERAAN KLINIK ILMU FORENSIK


DAN MEDIKOLEGAL FAKULTAS
KEDOKTERAN 2022

ii
LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING KLINIK

ILMU OBSTETRI DAN GINEKOLOGI

REFRAT
FAKTOR KETERLAMBATAN PELAPORAN KEKERASAN
TERHADAP PEREMPUAN DAN ANAK

Disusun untuk Memenuhi Syarat Mengikuti Ujian Kepaniteraan


Klinik di Bagian Ilmu Forensik dan medikolegal

Disusun Oleh:

Telah disetujui oleh


pembimbing: Tanggal:
September 2022

Pembimbing Klinik
Ilmu Forensik dan medikolegal

ii
BAB I
PENDAHULUAN

Perempuan dan anak sering berada pada dalam bahaya baik di dalam rumah
maupun di luar rumah. Rumah atau keluarga dimana perempuan dan anak seharusnya
merupakan tempat yang paling aman, bagi banyak perempuan dan anak rumah justru
menjadi tempat dimana mereka menghadapi kekerasan. Di luar rumah perempuan dan
anak juga sering mendapatkan kekerasan baik kekerasan fisik maupun seksual
termasuk diskriminasi.1
Kasus kekerasan kekerasan terhadap perempuan dan anak masih banyak
terjadi, kementerian pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak (kemen PPPA)
berdasarkan data sistem informasi perempuan dan anak [ada periode 1 januari -9 juni
2021 terjadi2.319 kasus kekerasan terhadap perempuan dewasa dengn 2.347 korban
dan 3.314 kasus kekerasan terhadap anak dengan 3.683 korban.2
Tingkat kekerasan terhadap anak diperkirakan mencapai 1 miliar anak
dengan rentang usia 2-17 tahun, pernah mengalami kekerasan fisik,kekerasan
seksual, atau emosional, baik dilakukan oleh orangtua, guru atau pengasuh
murid, dan juga dari murid lainya (WHO, 2020), pravelensi terbanyak
seorang murid mendapatkan kekerasan fisik dikarenakan mendapatkan
sistim hukuman akibat suatu tindakan pelanggaran disiplin (UNICEF, 2016). 3

1
BAB II
PEMABAHASAN
2.1 Konsep dan definisi kekerasan
a. Definisi
Kejahatan kekerasan ialah suatu istilah yang dipergunakan bagi
terjadinya cidera mental atau fisik. Kejahatan kekerasan sebenarnya
merupakan bagian dari kekerasan, yang kadang-kadang diperbolehkan,
sehingga jarang disebut sebagai kekerasan. Masyarakat biasanya membuat
kategori-kategori tertentu mengenai tingkah laku yang dianggap keras dan
tidak. Semakin sedikit terjadinya kekerasan dalam suatu masyarakat,
semakin besar kekhawatiran yang ada bila terjadi.3
Avia dan Aisya (2020) menjelaskan bahwa secara luas, makna
kekerasan adalah penggunaan kekuatan fisik dan kekuasaan, ancaman atau
tindakan yang mengakibatkan memar atau trauma, kematian, kerugian
secara psikologis, hingga kelainan perkembangan atau perampasan hak.
Jadi kekerasan diartikan sebagai penggunaan kekuatan fisik secara paksa
terhadap orang atau benda.4
Kekerasan terhadap perempuan dan anak adalah setiap tindakan
berdasarkan pada perbedaan jenis kelamin yang berakibat timbulnya
kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, mental, psikologis,
termasuk intimidasi, pengusiran paksa, ancaman tindakan tertentu,
pemaksaan atau perampasan kemerdekaan, penelantaran serta menghalangi
kemampuan perempuan dan anak untuk menikmati semua hak dan
kebebasannya.5

2
b. Bentuk-bentuk kekerasan
John Galtung dalam I Marsana Windu (1992 : 68-71) membagi menjadi 6
dimensi penting dari kekerasan, yaitu :
1) Pembedaan pertama : Kekerasan fisik dan psikologi Dalam
kekerasan fisik tubuh manusia disakiti secara jasmani bahkan bisa
sampai pada pembunuhan.
2) Pembedaan kedua : Pengaruh positif dan negatif Seseorang dapat
dipengaruhi tidak hanya dengan menghukum apabila dia bersalah,
tetapi juga dengan memberi imbalan.
3) Pembedaan Ketiga : ada obyek atau tidak Galtung mengatakan
dapatkah dikatakan suatu kekerasan terjadi jika tidak ada obyek fisik
atau biologis yang disakiti.
4) Pembedaan keempat : ada subyek atau tidak Sebuah kekerasan
disebut langsung atau personal jika ada pelakunya dan bila tidak ada
pelakunya disebut struktural atau tidak langsung.
5) Pembedaan kelima : disengaja atau tidak Pembedaan ini penting
ketika orang harus mengambil keputusan mengenai ‘kesalahan’, dan
mengungkapkan berbagai kemencengan pemahaman mengenai
kekerasan, perdamaian serta sistem etika yang dimaksud untuk
memerangi kekerasan yang dilakukan dengan sengaja.
6) Pembedaan keenam : Yang tampak dan tersembunyi Kekerasan
yang tampak nyata dan personal atau struktural dapat dilihat
meskipun secara tidak langsung.3

3
2.2 Definisi Kekerasan terhadap perempuan
Kekerasan terhadap perempuan merujuk pada setiap perbuatan terhadap
seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya penderitaan secara
fisik maupun psikologis. Kekerasan terhadap perempuan sebagai suatu bentuk
rintangan atau hambatan terhadap pembangunan, karena akan mengurangi rasa
percaya diri dari perempuan, menghambat kemampuan wanita untuk
berpartisipasi penuh dalam kegiatan sosial, mengganggu kesehatan wanita,
mengurangi otonomi wanita baik dalam bidang ekonomi, politik, sosial, budaya
dan fisik.2
Secara umum, definisi kekerasan mencakup antara lain: (i) kekerasan yang
terjadi dalam keluarga, (ii) kekerasan yang terjadi di masyarakat umum, dan
(iii) kekerasan yang dilakukan oleh Negara.1,2
1) Kekerasan dalam rumah tangga mencakup kekerasan yang dilakukan
oleh pasangan dan anggota keluarga lainnya, dan diwujudkan melalui:
 Kekerasan fisik seperti menampar, memukul, memutar lengan,
menikam, mencekik, membakar, menendang, ancaman dengan
benda atau senjata, dan pembunuhan. Ini juga termasuk praktek
berbahaya bagi perempuan seperti mutilasi alat kelamin
perempuan.2
 Kekerasan seksual adalah setiap penyerangan yang bersifat seksual
terhadap perempuan, baik telah terjadi persetubuhan atau tidak, dan
tanpa memperdulikan hubungan antara pelaku dan korban.
Kekerasan seksual seperti pemaksaan hubungan seksual melalui
ancaman, intimidasi atau kekuatan fisik, memaksakan hubungan
seksual yang tidak diinginkan atau memaksa hubungan seksual
dengan orang lain.1,2

4
 Pada kekerasan psikologi, sebenarnya dampak yang dirasakan lebih
menyakitkan daripada kekerasan secara fisik. Bentuk tindakan ini
sulit untuk dibatasi pengertiannya karena sensitivisme emosi
seseorang sangat bervariasi. Identifikasi akibat yang timbul pada
kekerasan psikis sulit diukur. Kekerasan psikologis yang meliputi
perilaku yang dimaksudkan untuk mengintimidasi dan menganiaya,
dan bentuk ancaman berupa ditinggalkan atau disiksa, dikurung di
rumah, ancaman untuk mengambil hak asuh anak-anak,
penghancuran benda-benda, isolasi, agresi verbal dan penghinaan
terus menerus.1,2
 Kekerasan ekonomi termasuk tindakan menolak memberikan uang
belanja, menolak memberikan makan dan kebutuhan dasar, dan
mengendalikan akses terhadap pekerjaan, dll.1,2
2) Kekerasan yang terjadi di masyarakat umum mencakup pemerkosaan,
pelecehan seksual, dan intimidasi di tempat kerja, institusi pendidikan
dan tempat lain; perdagangan wanita dan pelacuran paksa, sedangkan
kekerasan yang dilakukan oleh Negara dapat berupa kekerasan fisik,
seksual dan psikologis secara institusi/kelembagaan, dimanapun itu
terjadi.1,2

5
2.3 Definisi Kekerasan terhadap Anak
Kekerasan pada anak adalah setiap perbuatan pada anak yang berakibat
timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, psikis, seksual, dan/atau
penelantaran, termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau
perampasan kemerdekaan secara melawan hukum. (UU 35 Tahun 2014,
Tentang Perlindungan Anak). 6
Definisi kekerasan terhadap anak menurut WHO mencakup semua bentuk
perlakuan yang salah baik secara fisik dan atau emosional, seksual,
penelantaran, dan eksploitasi yang berdampak atau berpotensi membahayakan
kesehatan anak, perkembangan anak, atau harga diri anak dalam konteks
hubungan tanggung jawab. Berdasarkan definisi tersebut, kekerasan anak dapat
berupa kekerasan fisik, kekerasan seksual dan kekerasan emosional atau psikis.
Kekerasan fisik terhadap anak merupakan kekerasan yang kemungkinan besar
terjadi. Termasuk dalam kekerasan fisik adalah ketika seseorang menggunakan
anggota tubuhnya atau obyek yang bisa membahayakan seorang anak atau
mengontrol kegiatan/tindakan anak. Kekerasan fisik dapat berupa mendorong,
menarik rambut, menedang, menggigit, menonjok, membakar, melukai dengan
benda, dan jenis kekerasan fisik lain termasuk membunuh.1
Kekerasan terhadap anak juga dapat dipandang dari sisi perlindungan anak.
UNICEF mendefiniskan ‘perlindungan anak’ sebagai cara yang terukur untuk
mencegah dan memerangi kekerasan, eksploitasi, memperlakukan tidak
semestinya terhadap anak termasuk eksploitasi seksual untuk tujuan komersial,
perdagangan anak, pekerja anak dan tradisi yang membahayakan anak seperti
sunat perempuan dan perkawinan anak. Dalam kontek tersebut jelas bahwa
kekerasan anak tercermin dalam berbagai aspek terkait perlindungan anak
sesuai dengan definisi dari UNICEF.1,2
Jenis kekerasan terhadap anak berikutnya adalah kekerasan seksual dan psikis.
Kekerasan seksual terhadap anak mencakup beberapa hal seperti menyentuh

6
anak yang bermodus seksual, memaksa hubungan seksual, memaksa anak untuk
melakukan tindakan secara seksual, memperlihatkan bagian tubuh untuk
dipertontonkan, prostitusi dan eksploitasi seksual, dan lainlain. Selanjutnya
kekerasan psikis terjadi ketika seseorang menggunakan ancaman dan menakut-
nakuti seorang anak termasuk mengisolasi dari keluarga dan teman. Kekerasan
yang juga sangat dekat dengan kekerasan psikis adalah kekerasan emosional
melalui perkataan atau perbuatan yang membuat anak merasa bodoh atau tak
berharga. Kekerasan emosional mencakup antara lain mengkritik terus menerus,
menyalahkan semua masalah keluarga kepada anak, memalukan anak di depan
orang lain, intimidasi, dan lain-lain.6,1,2
Beberapa jenis kekerasan lain terhadap anak mencakup kekerasan verbal,
kekerasan bersifat budaya, ekonoi dan penelantaran. Kekerasan verbal terjadi
melalui perkataan atau tulisan yang membuat anak tersakiti. Kekerasan yang
bersifat budaya seperti pernikahan anak, sementara kekerasan secara finansial
seperti tidak memberikan akses terhadap kebutuhan dasar seperti makanan dan
kesehatan. Penelantaran anak adalah praktik melepaskan tanggung jawab dan
klaim atas keturunan dengan cara illegal. Jadi seorang anak yang ditinggalkan
dan tidak diurus oleh orangtuanya disebut sebagai anak terlantar.6,1
Aspek medikolegal kekerasan pada anak, Dalam hal item perlindungan pada
anak, dicantumkan bahwa anak berhak memperoleh perlindungan dari 6 hal
tercantum dalam pasal 15 dan 16 UU RI 35 tahun 2014 tentang perlindungan
anak yang termasuk perlindungan dari pelibatan dalam peristiwa yang
mengandung unsur kekerasan.Dalam hal kekerasan pada anak, diatur tersendiri
dalam pasal 76C-F. Dengan ketentuan sanksi pidana diatur dalam pasal 80-83.
Adapun kekerasan atau trauma yang timbul dapat menyebabkan luka dan
sampai kematian. Dalam hubungan dengan aspek hukum, akibat luka juga
tercantum dalam.6

7
1. KUHP pasal 352 yaitu : penganiayaan yang tidak menimbulkan
penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau mata
pencaharian (sebagai penganiayaan ringan).
2. KUHP pasal 351:1 yaitu penganiayaan yang menimbulkan penyakit
atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau mata
pencaharian.
3. KUHP pasal 351:2 yaitu penganiayaan yang menimbulkan luka berat.
4. KUHP pasal 90 terkait kriteria luka berat 5. KUHP pasal
338,340,355,359 (mati). 6

2.4 Penyebab terjadinya kekerasan


secara umum penyebab terjadinya tindak kekerasan dapat dikelompokkan
menjadi dua yaitu faktor individu dan faktor sosial. Faktor individu berkaitan
erat dengan kecendrungan individu untuk berbuat kekerasan. Sementara itu,
faktor sosial merupakan kondisi lingkungan yang mendorong seseorang berbuat
kekerasan.1
a. Faktor Individu
Dari sisi psikologis, motivasi utama untuk melakukan tindak kekerasan
dapat dipandang sebagai ketidakmampuan untuk menahan emosi, bahkan
kekerasan digunakan media mengeskpresikan perasaan seseorang seperti
marah, frustasi atau sedih.Kesulitan mengontrol emosi sering menjadikan
seseorang berbuat kekerasan. Perilaku kekerasan terkadang juga disebabkan
karena orang tumbuh di lingkungan dimana kekerasan sering
dipertontonkan, sehingga kekerasan dipahami sebagai perilaku yang wajar.
Terkadang kekerasan yang dilakukan individu digunakan sebagai cara-cara
memengaruhi orang lain untuk mengendalikan situasi.1,2
Beberapa faktor yang melekat pada individu pelaku kekerasan juga
dapat dipengaruhi oleh berbagai hal seperti pengaruh teman sejawat, kurang

8
perhatian, merasa tidak berharga keberadaannya, pernah mengalami
perlakuan buruk, dan menyaksikan kekerasan di rumah atau di luar rumah.1
Menurut Hosking (2005), faktor utama akan kecenderungan seseorang
untuk berbuat kekerasan adalah kurangnya rasa empati. Meskipun seorang
bayi yang lahir dipenuhi kapasitas empati pada dirinya, akan tetapi
tumbuhnya rasa empati tersebut bergantung pada apa yang dia pelajarai dan
lihat dari reaksi orang dewasa terhadap penderitaan atau rasa sakit orang
lain.1
b. Faktor Sosial budaya
Kondisi sosial yang dapat mendorong terjadinya kekerasan sering
merefleksikan adanya ketimpangan sosial atau ekonomi antar kelompok
masyarakat. Terkait dengan kekerasan terhadap perempuan Hosking (2005)
menyatakan bahwa sejumlah penelitian mengidentifikasi keterkaitan antara
ketimpangan gender dengan tingkat kekerasan terhadap perempuan.
Jacobson (2011) mengidentifikasi beberapa faktor sosial yang mungkin
menciptakan kondisi yang mengantarkan pada terjadinya kekerasan antara
lain:1
a) Sikap permisif masyarakat akan kekerasan terhadap perempuan
b) Kontrol laki-laki dalam pengambilan keputusan dan pembatasan
terhadap kebebasan perempuan
c) Identitas dan peran laki-laki dan perempuan yang kaku di masyarakat
d) Hubungan antar sesama yang merendahkan perempuan
e) Lingkungan kumuh dan padat penduduk
f) Keterpaparan pada kekerasan1

9
2.5 Dampak kekerasan terhadap perempuan dan anak
Kekerasan terhadap perempuan dan anak dapat meningkatkan risiko kesehatan
yang buruk. Banyak studi yang mengekplorasi hubungan antara kekerasan dan
kesehatan secara konsisten memperlihatkan efek negatif. Dampak kekerasan
terhadap perempuan dan anak dapat berupa perilaku, kesehatan mental, dan
kesehatan fisik.1,3
a. Dampak Kekerasan Terhadap Perempuan
kekerasan terhadap perempuan dapat berakibat pada kesehatan dan
kesejahteraan hidup perempuan baik alam jangka pendek maupun jangka
panjang. Johnson dkk (2008) juga menyatakan bahwa selain dampak
langsung secara fisik dan emosional dari kekerasan, kualitas hidup
perempuan secara keseluruhan juga dapat dirasakan selama hidupnya. Hal
ini pada gilirannya akan berpengaruh pada partisipasi dan keterlibatan
perempuan dalam berbagai aspek kehidupan di masyarakat. WHO (2012)
secara spesifik menyoroti dampak kekerasan terhadap perempuan oleh
pasangan (intimate partner violence). Kekerasan terhadap perempuan oleh
pasangan berdampak secara langsung seperti cidera dan dampak tidak
langsung seperti masalah kesehatan yang bersifat kronis akibat stress
berkepanjangan.1,3
secara umum dampak kekerasan terhadap perempuan dapat dilihat dari
berbagai aspek seperti kesehatan mental, perilaku, kesehatan fisik, ekonomi
dan sosial. Terkait dengan kesehatan mental, perempuan yang mengalami
kekerasan mungkin dapat mengalami berbagai gangguan mental seperti
depresi, kehilangan rasa percaya diri, malu, trauma, stress, merasa terasing,
suka marah, kesepian, dan merasa tak berguna atau tanpa harapan dalam
hidupnya. Terkait tingkah laku, kekerasan terhadap perempuan dapat
memengaruhi perilaku perempuan seperti berfikir atau melakukan tindakan
untuk mengakhiri hidupnya, penyalahgunan alkohol dan obat-obatan

1
terlarang, dan makan yang tidak teratur. Permasalahan kesehatan fisik yang
umumnya terjadi akibat kekerasan terhadap perempuan antara lain
mencakup cedera fisik berupa luka, patah tulang, atau lebam, sakit
punggung, sakit kronis, sulit tidur, tekanan darah tinggi, keguguran
kandungan dan sebagainya.1,36
Dari sisi ekonomi, kekerasan terhadap perempuan dapat berakibat
pada kesulitan ekonomi seperti kehilangan pendapatan karena kehilangan
pekerjaan, biaya perawatan kesehatan, dan biaya-biaya lain yang mungkin
harus dikeluarkan. Sementara itu, dampak sosial dari kekerasan terhadap
perempuan yang mungkin langsung dirasakan oleh perempuan dalam
berbagai aspek. Stigmatisasi dan diskriminasi mungkin bisa terjadi pada
perempuan yang mengalami kekerasan. Selain itu, perempuan korban
kekerasan juga mungkin bisa merasa asing atau khawatir dalam
berhubungan dengan teman atau keluarga, atau bahkan terisolasi dari
keluarga dan temantemannya.1
Kekerasan dalam rumahtangga khususnya oleh pasangan terhadap
perempuan juga bisa berdampak terhadap anak (UNICEF 2000). Anak-anak
yang menyaksikan kekerasan dalam rumahtangga bisa mengalami masalah
kesehatan dan perilaku termasuk pola makan dan pola tidur mereka. Mereka
mungkin juga mengalami kesulitan di sekolah dan sulit bergaul dengan
teman.1
b. Dampak Kekerasan Terhadap Anak
Konsekuensi dari kekerasan terhadap anak mungkin bervariasi
tergantung pada jenis kekerasan dan keparahannya, tetapi seperti halnya
pada kekerasan terhadap perempuan, dampak dari kekerasan terhadap anak
dan masyarakat secara umum bisa serius dan membahayakan baik dalam
jangka pendek maupun jangka panjang. kekerasan yang dialami oleh anak
dalam berbagai jenisnya akan memengaruhi perkembangan kognitif, social,
emosional dan fisik anak. Secara lebih detil, dampak dari kekerasan yang

1
terjadi untuk setiap jenis kekerasan dapat dilihat dari berbagai tanda atau
ciri-ciri sebagai berikut:1,6
a) Kekerasan fisik
o Adanya luka lebam, bekas gigitan atau patah tulang yang tidak
terjelaskan o Sering tidak masuk sekolah
o Cedera tetapi sering ditutup-tutupi
o Tampak ketakutan ketika ada kehadiran orang tertentu
o Sering lari dari rumah
b) Kekerasan seksual
o Sering mimpi buruk
o Adanya perubahan nafsu makan anak
o Anak memperlihatkan perilaku seksual yang aneh/tidak pantas
o Memperlihatkan kurang rasa percaya pada seseorang
o Perubahan yang tiba-tiba pada kepribadian anak
c) Kekerasan emosional
o Anak memperlihatkan perilaku yang ekstrim
o Perkembangan fisik dan emosional anak lambat
o Anak sering complain sakit kepala atau perut sakit karena alasan
yang tidak jelas
o Anak terlihat frustasi ketika mengerjakan tugas
o Anak mencoba bunuh diri
d) Penelantaran anak
o Tidak masuk sekolah tanpa keterangan
o Anak terlibat dalam kegiatan illegal untuk memperoleh kebutuhan
dasar hidupnya
o Anak terlihat kotor
o Anak kekurangan pakaian yang pantas dan tampak tidak berenergi
e) Anak terpapar kekerasan dalam rumah tangga

1
o Meskipun anak tidak mengalami kekerasan, tetapi dia sering
melihat atau menyaksikan kekerasan yang terjadi dalam
rumahtangga, maka dampaknya dapat dilihat pada perubahan
perilaku anak seperti anak terlihat agresif, depresi, suka marah, dan
suka ketakutan.
o Dampak social dari anak menyaksikan kekerasan bisa berupa
kesulitan dalam bergaul, berpotensi merasa terisolasi dan
terpinggirkan, dan masalah kepercayaan pada seseorang.
o Selanjutnya dari aspek psikologis, anak yang terpapar kekerasan
dalam rumahtangga bisa berdampak pada stress, tidur tidak teratur
dan trauma.1,6

2.6 Upaya pencegahan dan Penanggulangan Tindak Kekerasan Terhadap


Perempuan
Penanganan berarti proses, perbuatan, cara, menanganai, penggarapan.
Penanganan kekerasan terhadap perempuan dapat disimpulkan sebagai suatu
proses, cara menangani perbuatan-perbuatan kekerasan yang dilakukan oleh
pelaku tindak kekerasan yang tergolong tindakan pelanggaran kaidah-kaidah,
nilai-nilai maupun hukum, yang berlaku dalam kehidupan bermasyarakat.
Secara teoritis, usaha penanggulangan dan pencegahan kejahatan dengan
kekerasan dapat diawali dengan penciptaan dan pembinaan sistematik
lingkungan, yang dapat mengurangi tahap-tahap kekerasan dari orang-orang
yang telah siap atau yang potensial melakukan kekerasan, setidak-tidaknya
untuk mengurangi jarak antara kekerasan yang diharapkan dengan kekerasan
aktual.2
Mengintegrasikan kembali norma-norma yang mengijinkan atau mendukung
kekerasan ke dalam norma-norma dalam sistem-sistem budaya kita, adalah
usaha tindak lanjut yang sungguhpun amat problematik, namun mau tidak mau
harus di programkan guna mengurangi kejahatan-kejahatan dengan kekerasan.

1
Mengfungsionalisasikan sistem peradilan pidana serta mekanisme kerja
unsur-unsurnya adalah salah satu usaha dalam Upaya pencegahan dan
Penanggulangan Tindak Kekerasan Terhadap Perempuan.Berbagai tindak
kekerasan yang dialami kaum perempuan membawa dampak pada beban fisik,
psikis serta kesengsaraan bagi korban tersebut. Maka masyarakat, aparat
penegak hukum dan pemerintah dituntut untuk melakukan tindakan-tindakan
tertentu dalam upaya menangani kasus ini.3,4
G.P. Hoefnagels mengutarakan bahwa upaya penaggulangan kejahatan dapat
ditempuh dengan cara :
a. Penerapan hukum pidana (crimr law aplication)
b. pencegahan tanpa pidana (prevention without punishment)
c. mempengaruhi pandangan masyarakat mengenai kejahatan dan
pemidanaan melalui mass media (influencing view of society on crime
and punishment/mass media)3
Barda Nawawi, juga mengkonstantasi bahwa upaya penanggulangan
kejahatan secara garis besar dapat dibagi 2, yaitu melalui jalur penal (hukum
pidana), dan jalur non penal (bukan hukum pidana). Butir (a) di atas merupakan
jalur penal, sedangkan butir (b) dan (c) adalah kelompok sarana non penal.
Masalah kejahatan tidak dapat dilepasakan dari masalah sosial dan masalah
kemanusiaan. Sehubungan dengan hal tersebut dikemukakan oleh Satdjipto
Rahardjo sebagai berikut. “Sekarang hukum tidak lagi dilihat sebagai suatu hal
yang otonom dan independen, melainkan dipahami secara fungsional dan
dilihat senantiasa berada dalam kaitan interdependen dengan sub-sistem lain
dalam masyarakat.4

1
2.7 Faktor keterlambatan pelaporan kekerasan terhadap perempuan dan
anak.
ada beberapa faktor yang menghambat seorang wanita dalam pelaporan pada
pihak kepolisian. Faktor penghambat tersebut antara lain kurangnya akses
informasi, ancaman, sosial yaitu malu akan status sosial, budaya ekonomi,
ketakutan akan penelantaran rumah tangga, serta menjaga nama baik keluarga.7
a. Kurangya akses informasi
Kurangnya akses informasi korban mengengai kekerasan terhadap
anak dan perempuan dan kurang nya informasi tentang bagaimana
melaporkan kasus nya ke pihak kepolisian. Seperti tertera pada undang-
undang no 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah
Tangga (UU PKDRT) disahkan ternyata tidak bisa menjamin para korban
untuk mencari keadilan terutama mengenai pembuktian dalam kasus-kasus
KDRT. Kedudukan saksi korban yang merupakan satu-satunya saksi dalam
kasus KDRT sebagai kasus domestik mempunyai keutamaan tanpa ada
keharusan saksi lain.tanapa adanya penegtahuan sehingga korban tidak
melaporkan kasus atau takut untuk melaporkan kasus. 6,7
b. Ancaman
Ancaman yang dilakukan dapat berupa upaya untuk membunuh korban,
upaya melukai korban maupun anggota keluarga lain, ancaman untuk
membawa kabur anak, ancaman untuk memasukkan korban dalam rumah
sakit jiwa, dan sebagainya.8,14
c. Sosial
Pengaruh sosial dalam terjadinya kekerasan terhadap perempuan dan anak
cukup besar dan memengaruhi keputusan korban untuk melaporkan
kekerasan yang diterimanya pada pihak kepolisian. Korban khawatir akan
adanya penolakan maupun citra negatif yang diberikan masyarakat terhadap
korban maupun pelaku. Adanya stereotipe negatif dari masyarakat membuat

1
korban kekerasan merasa kurang percaya diri, depresi, dan cenderung
menyalahkan dirinya sendiri sebagai pihak yang pantas menerima
kekerasan dari pelaku.9
d. Budaya
Konsep budaya dominasi laki-laki (patriarki) dalam segala aspek kehidupan
sudah berlaku sejak jaman dahulu dan masih tetap berkembang hingga
dewasa ini. Akibatnya masih banyak kaum perempuan yang mengalami
subordinasi, marginalisasi, pelecehan, diskriminasi, eksploitasi, dan lain-
lain. Perilaku kekerasan seringkali dikaitkan sebagai salah satu cara kaum
pria untuk menyelesaikan masalah.7
Kekerasan dilakukan sebagai wujud tindakan intimidatif terhadap
perempuan sehingga dapat melakukan hal yang dikehendaki oleh
pasangannya. Budaya patriarki juga memberikan dampak berupa pola pikir
pada perempuan untuk selalu bersikap pasrah, mengalah, mendahulukan
kepentingan orang lain, mempertahankan ketergantungannya pada kaum
pria, dan selalu mengutamakan peran sebagai pendamping suami dan
pengasuh anakanak.7
e. Ketakutan akan perceraian bagi perempuan yang telah menikah
Bagi perempuan yang sudah menikah memiliki rasa ketakutan akan terjadi
ancaman perceraian jika dilakukan pelaporan kekerasan terhadap
perempuan yang dilakukan oleh suaminya terhadapnya. Karena Dampak
terbesar pasca perceraian terjadi pada aspek psikologis yang biasanya
dirasakan lebih berat oleh pihak istri. Efek psikologis yang sering
ditimbulkan adalah kecemasan, depresi, ketidakstabilan emosi, kesepian
dan kesedihan mendalam.8,12
f. Ekonomi
Kekerasan ekonomi adalah pihak yang sering menjadi korban pada
bentuk kekerasan ekonomi adalah istri. Bagi istri yang memiliki pekerjaan
mungkin tidak terlalu besar dampaknya, akan lain ceritanya jika istri hanya

1
menjadi ibu rumah tangga. Biasanya berbentuk pembiaran, tidak diberi
nafkah atau biaya hidup oleh suami. Masalah ekonomi sering menjadi
penghambat dalam kasus penyelesaian kekerasan dalam rumah tangga
terutama istri dan anak. Ada keengganan dari salah satu pasangan untuk
melaporkan pasangannya kepada pihak yang berwenang, situasi ini
mengakibatkan korban berada dalam posisi yang sangat lemah. Karena jika
ia melaporkan pasangannya maka akan muncul masalah baru yakni masalah
ekonomi. Sehingga tidak jarang ditemui korban yang sebelumnya
melaporkan pasangannya pada akhirnya menarik kembali laporannya.7,2
g. Jumlah anak
Kedua kasus yang didapat berkaitan dengan problem infertilitas. Pihak
wanita cenderung mengalami dampak psikologis yang lebih besar dalam
menghadapi problem infertilitas dibandingkan pria. Dampak yang sering
terjadi adalah depresi, kecemasan, merasa tidak berdaya, menutup diri dari
kehidupan sosial akibat malu, dan memicu timbulnya masalah rumah
tangga seperti KDRT.7,13
Data yang didapatkan menunjukkan bahwa tidak ada korelasi antara
jumlah anak dengan pelaporan kasus kekerasan dalam rumah tangga pada
pihak kepolisian. Hal ini dikarenakan adanya kecenderungan pihak korban
untuk menyalahkan diri sendiri dan layak menerima kekerasan atas masalah
infertilitas yang dihadapinya.Paradigma negatif yang beredar akan
memengaruhi kehidupan korban beserta keluarganya karena dianggap
mandul sehingga menimbulkan rasa malu.7
Paradigma inilah yang menyebabkan seorang wanita yang belum
dikaruniai anak akan merasa takut untuk melaporkan kekerasan yang
diterimanya pada pihak kepolisian.7

1
KESIMPULAN

Kekerasan pada anak adalah setiap perbuatan pada anak yang berakibat
timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, psikis, seksual, dan/atau
penelantaran, termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau
perampasan kemerdekaan secara melawan hukum.
Kekerasan terhadap perempuan merujuk pada setiap perbuatan terhadap
seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya penderitaan secara fisik
maupun psikologis.
ada beberapa faktor yang menghambat seorang wanita dalam pelaporan pada
pihak kepolisian. Faktor penghambat tersebut antara lain kurangnya akses informasi,
ancaman, sosial yaitu malu akan status sosial, budaya ekonomi, ketakutan akan
penelantaran rumah tangga, serta menjaga nama baik keluarga.

1
DAFTAR PUSTAKA

1. Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Provinsi sulawesi


selatan. 2018. Profil Gender dan Anak Provinsi sulawesi selatan 2018.
2. Putu Ni. 2021. MENYELISIK MAKNA TEKS BERITA KEKERASAN
TERHADAP PEREMPUAN. IJFL (International Journal of Forensic
Linguistics), 2 (1) (2021), 4–10
3. Hartati M. 2013. Studi Tentang Upaya Penanganan Tindak Kekerasan
Terhadap Perempuan dan Anak (Studi Kasus Pada Pusat Pelayanan Terpadu
Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Provinsi Kalimantan Timur.
eJournal lmu Pemerintahan, 2013, 1 (3): 1094-1106
4. Avia Sarah Day and Aisha K. Gill. (2020), Applying intersectionality to
partnership between women’s Organizations and the Criminal Justice System
in Relation to do Domestic Violence. Britania Journal Criminology, (2020)
60, 830-850
5. Kementerian PPA. (2011). Prosedur Standar Operasional: Penanganan
Pengaduan Perempuan dan Anak Korban Kekerasan, Jakarta: Kementerian
Permberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak
6. Prawestiningtyas E. 2017. KEKERASAN PADA ANAK DAN ASPEK
MEDIKOLEGAL. Perhimpunan Dokter Forensik Indonesia The Indonesian
Association Of Forensic Medicine. Proceeding Annual Scientific Meeting,
(2017) . 112-117
7. Nathania. C. 2018. Faktor-Faktor Yang Memengaruhi Kejadian Kekerasan
Dalam Rumah Tangga Dan Pelaporan Pada Pihak Kepolisian. Jurnal
Kedokteran Diponegoro. Volume 7, Nomor 1, Januari 2018.
8. Hidden Hurt Domestic Violence Information.Domestic Violence
Threats.Tersedia:Http://Www.Hiddenhurt.Co.Uk/Domesti_Violence_Threats.
Html. Diakses Pada Tanggal 20 Agustus 2017

1
9. Drapalski,Ami L, Dkk.2013. A Model Of Internalized Stigma And Its Effects
OnPeopleWithMentalIlness.Tersedia: Http://Ps.Psychiatryonline.Org/Doi/Pdf/
10.1176/Appi.Ps.001322012. Diakses Pada Tanggal 22 Agustus 2017.
10. Prahlow, Joseph A. 2016. Forensic Autopsy of Sharp Force Injuries. Tersedia
http://emedicine.medscape.com/public/vptr ack_iframe.html. Diakses tanggal 2
Mei 2017.
11. Sharma, Mukesh; Khajja, B.S.; Jha, Shainendra; Mathur, G.K.; dan Mathur,
V.N. 2011. Forensic Interpretation Of Injuries / Wounds Found On The
Human Body. J Punjab Acad Forensic Med Toxicol 2011;11(2).
12. dries, Abdul Munim dan Tjiptomartono, Agung Legowo. 2013. Penerapan
Ilmu Kedokteran Forensik dalam Proses Penyidikan Edisi Revisi. Jakarta:
CV. Sagung Seto.
13. Hidayat, A. (2021). Kekerasan terhadap Anak dan Perempuan. AL-
MURABBI: Jurnal Studi Kependidikan Dan Keislaman, 8(1), 22–33.
https://doi.org/10.53627/jam.v8i1.4260
14. Rifa’at Muhammad, A. F. (2019). Kekerasan Terhadap Perempuan dalam
Ketimpangan Relasi Kuasa: Studi Kasus di Rifka Annisa Women’s Crisis
Center. Sawwa: Jurnal Studi Gender, 14(2), 175–190.
https://doi.org/10.21580/sa.v14i2.4062

Anda mungkin juga menyukai