Anda di halaman 1dari 11

Rangkuman Perkara Nomor 91/Pid.Sus/2024/PN.

Dps
Terdakwa An.Ronny Ferdian S

Pasal – Pasal yang berkaitan terhadap Perlindungan Anak:

- Pasal 44 UU 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak “Pemerintah wajib menyediakan


fasilitas dan menyeleng-garakan upaya kesehatan yang komprehensif bagi anak, agar
setiap anak memperoleh derajat kesehatan yang optimal sejak dalam kandungan”.
- Pasal 48 UU 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak “Pemerintah wajib
menyelenggarakan pendidikan dasar minimal 9 (sembilan) tahun untuk semua anak”.
- Pasal 1 angka (6) UU Nomor 35 Thun 2014 “anak terlantar adalah anak yang tidak terpenuhi
kebutuhannya secara wajar, baik fisik, mental, spiritual, maupun sosial.
- Pasal 1 angka 15 UU No.35 Tahun 2014”Perlindungan Khusus adalah suatu bentuk
perlindungan yang diterima oleh anak dalam situasi dan kondisi tertentu untuk mendapatkan
jaminan rasa aman terhadap ancaman yang membahayakan diri dan jiwa dalam tumbuh
kembangnya.
- Pasal 14 ayat (1) UU 35 Tahun 2014 “Setiap Anak berhak untuk diasuh oleh orang tuanya
sendiri, kecuali jika ada alasan;

Pasal yang di Dakwakan oleh JPU terhadap Terdakwa :

1. Pasal 76B UU 35 Tahun 2014” Setiap orang dilarang menempatkan, membiarkan,


melibatkan, menyuruh melibatkan Anak dalam situasi perlakuan dan penelantaran”
Pasal 77B UU 35 Tahun 2014” Setiap Orang yang melanggar ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 76B, dipidana dengan pidana penjara paling lama (5) lima tahun
dan/atau denda paling banyak Rp.100.000.000,- (seratus juta rupiah)

2. Pasal 44 ayat (1) UU – PKDRT 23 Tahun 2004 “Setiap orang yang melakukan perbuatan
kekerasan fisik dalam lingkungan rumah tangga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5
huruf a (Kekerasan Fisik) dipidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling
banyak Rp.15.000.000,- (lima belas juta rupiah)

Apa itu Penelantaran Anak ?

Menelantarkan anak adalah praktik melepaskan tanggung jawab dan klaim atas keturunan
dengan cara ilegal. Hukum menelantarkan anak di Indonesia diatur secara tegas dalam Pasal 59
UU No. 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak.

Menurut Pasal 5 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam
Rumah Tangga, meliputi:

a. Kekerasan Fisik Kekerasan dalam rumah tangga secara fisik merupakan suatu perbuatan yang
mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit ataupun luka berat. Kekerasan fisik ini ada dua macam,
yaitu kekerasan fisik berat dan kekerasan fisik ringan :

1) Kekerasan fisik berat adalah berupa penganiayaan yang berat seperti menendang, memukul,
menyudut. Bisa juga melakukan percobaan pembunuhan ataupun melakukan pembunuhan serta
semua perbuatan lainya yang bisa mengakibatkan cedera berat, pingsan, luka berat pada tubuh
korbannya dan atau luka yang sulit utuk disembuhkan atau juga yang menimbulkan bahaya
kematian, membuat korban kehilangan salah satu panca indera, mendapatkan cacat, menderita
sakit lumpuh, terganggunya daya pikir korban selama 4 minggu lebih, gugur atau matinya
kandungan seorang wanita dan kematian korban.
2) Kekerasan fisik ringan adalah menampar, menjambak rambut, mendorong dan perbuatan lainya
yang dapat mengakibatkan cidera ringan, rasa sakit dan juga luka fisik, yang tidak masuk dalam
kategori kekerasan fisik berat. Adapun jika seseorang melakukan repitisi kekerasan fisik ringan,
maka dapat dimasukkan ke dalam kategori kekerasan berat.
3) Kekerasan Psikis sebagaimana kekerasan secara fisik, kekerasan psikis dibagi menjadi 2
macam, yaitu kekerasan psikis berat dan ringan.
a. Kekerasan psikis berat berupa tindakan pengendalian, tindakan manipulasi, tindakan
eksploitasi, kewenangan, tindakan kerendahan dan juga penghinaan. Bisa juga berupa
tindakan dan atau ucapan yang dapat merendahkan atau menghina, tindakan penguntitan,
berupa ancaman kekerasan fisik ancaman seksual dan juga ekonomis yang masing-
masingnya dapat mengakibatkan penderitaan psikis pada korban.

b. Kekerasan psikis ringan berupa tindakan pengendalian, tindakan manipulasi, tindakan


eksploitasi, kewenangan, tindakan kerendahan dan juga penghinaan. Baik itu tindakan
dalam bentuk pelanggaran, dalam bentuk pemaksaan dan 24 Rena Yulia Nuryani,
“Perlindungan Hukum Terhadap Korban Kekerasan dalam Rumah Tangga dalam
Penegakan Hukum,”

Mimbar: Jurnal Sosial dan Pembangunan 20, No. 3 (2004): 311- 326, hlm. 311. 29 juga isolasi sosial. Misalnya
berupa perasaan ketakutan daan perasaan terteror oleh si pelaku, rasa tidak berdaya, hilangnya rasa percaya diri
korban, hilangnya kemampuan korban untuk bertindak, gangguan tidur, gangguan makan, disfungsi seksual,
gangguan fungsi tubuh yang ringan (misalnya seperti sakit kepala, gangguan pada pencernaan tanpa adanya
indikasi medis).

d. Kekerasan Seksual
1) Kekerasan dalam rumah tangga secara seksual yang tergolong berat misalnya seperti
pelecehan seksual dengan secara kontak fisik, seperti dengan meraba, menyentuh bagian
organ seksual, mencium secara dengan paksa, merangkul serta perbuatan-perbuatan lain
yang menimbulkan rasa muak/jijik, rasa terteror, rasa terhina dan merasa dikendalikan. 2)
Kekerasan seksual yang tergolong kategori ringan berupa pelecehan seksual secara verbal
seperti komentar verbal, gurauan bernada porno, siulan, ejekan, julukan dan atau secara
pelecehan secara non verba, misalnya seperti ekspersi wajah, gerakan-gerakan tubuh dan
juga perbuatan lainya yang meminta perhatian secara seksual yang tidak dikehendaki oleh
korban, bersifat melecehkan dan atau menghina si korban.

Bentuk-bentuk Penelantaran Anak Pengertian anak terlantar tertera pada Undang-Undang No. 35
Tahun 2014 Pasal 1 Ayat 6 bahwa: “anak terlantar adalah anak yang tidak terpenuhi kebutuhannya
secara wajar, baik fisik, mental, spiritual, maupun sosial”. Selain diatur dalam UU No. 35 Tahun
2014 tentang Perubahan Atas UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak juga diatur dalam
UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Perlindungan
Hukum Terhadap Anak Korban Penelantaran Oleh Orang Tua di dalam KUHP, terdapat lima Pasal
yaitu Pasal 305, 306, 307, 309.

Kedudukan anak dalam hukum pidana telah dijelaskan KUHP diletakkan dalam pengertian seorang
anak yang belum dewasa, sebagai orang yang mempunyai hak-hak khusus dan perlu mendapatkan
perlindungan menurut ketentuan hukum yang berlaku.
B. Rudi Harnoko, “Dibalik Tindak Kekerasan Terhadap Perempuan,” Muwazah 2, No. 1 (2010): 181- 188,
hlm. 182. 30

Dalam rangka penegakan hak asasi manusia, perbedaan dan kebutuhan dalam masyarakat hukum
adat harus diperhatikan dan dilindungi oleh hukum, masyrarakat, dan pemerintah (Pasal 6 Ayat (1))
menjadi tanggung jawab pemerintah (Pasal 8). Berkaitan dengan penelantaran anak di dalam
Undang Undang Nomor 35 Tahun 2014 termasuk kedalam tindakan kekerasan terhadap anak,
secara jelas dinyatakan Pasal 1 Angka 15 a : “Kekerasan adalah setiap perbuatan terhadap Anak
yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, psikis, seksual, dan/atau
penelantaran, termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan
kemerdekaan secara melawan hukum.”. Peningkatan jumlah penelantaran anak oleh orang tua
disebabkan oleh Sedikitnya ada dua faktor penyebab kekerasan KDRT adalah Pertama, faktor
internal akibat melemahnya kemampuan adaptasi setiap anggota keluarga diantara sesamanya,
sehingga cenderung bertindak diskriminatif dan eksploitatif terhadap anggota keluarga yang lemah.
Kedua, faktor eksternal akibat dari intervensi lingkungan di luar keluarga yang secara langsung atau
tidak langsung mempengaruhi sikap anggota keluarga, yang terwujud dalam sikap eksploitatif
terhadap anggota keluarga lain, khususnya terjadi terhadap perempuan dan anak.

Cara melaporkan orang tua penelantaran anak tidak sesulit yang dibayangkan, lebih cepat maka
bisa segera menyelamatkan masa depannya. Seperti berikut :
- Meyakini serta memastikan jika telah terjadi adanya tindakan pelalaian terhadap seseorang ,
dengan melihat berbagai tandanya.
- Menyediakan segala bukti yang kuat sebagai pengajuan kepada pihak berwajib, entah
berupa foto, video, pakaian lusuh anak tersebut.
- Membuat laporan sesuai dengan fakta yang ada tanpa rekayasa, dan menambahkan hal
tidak benar.
- Ada dua pilihan yang bisa Anda ambil langkahnya, yaitu melalui Kantor Kepolisian, atau
langsung kepada KPAI.

Pernah mendengar istilah psikiatri?


Apa itu psikiatri?
Psikiatri merupakan cabang ilmu kedokteran yang fokus pada pencegahan, diagnosis, dan
pengobatan gangguan mental, perilaku dan emosional. Psikiater adalah seorang dokter medis yang
berspesialisasi dalam bidang kesehatan mental.
Meskipun profesi mereka sering dikira sama, tetapi psikiater tidak sama dengan psikolog.
Seorang psikiater telah melewati pelatihan medis yang memungkinkan mereka meresepkan obat
dan melakukan prosedur.
Sementara psikolog berfokus pada memberikan konseling dan dukungan non-medis lainnya.

Gangguan bipolar
- Gangguan terkait stres dan taruma
- Depresi dan kecemasan
- Gangguan tidur
- Disfungsi seksual
- Gangguan psikotik
- Gangguan kepribadian
- Skizofrenia
- Kecanduan obat-obatan dan minuman beralkohol
- F43.1 Post-traumatic stress disorder (PTSD)

PTSD (post-traumatic stress disorder) atau gangguan stres pascatrauma adalah gangguan mental
yang muncul setelah seseorang mengalami atau menyaksikan peristiwa yang bersifat traumatis
atau sangat tidak menyenangkan.
PTSD merupakan gangguan kecemasan yang membuat penderitanya teringat pada kejadian
traumatis. Beberapa peristiwa traumatis yang dapat memicu PTSD adalah perang, kecelakaan,
bencana alam, dan pelecehan seksual.
Penyebab PTSD
PTSD bisa muncul setelah mengalami atau menyaksikan peristiwa yang menakutkan atau
mengancam nyawa. Belum diketahui secara pasti mengapa peristiwa tersebut menyebabkan PTSD
pada sebagian orang. Namun, ada dugaan bahwa penyebabnya adalah kombinasi dari sejumlah
kondisi berikut:
- Pengalaman yang tidak menyenangkan
- Riwayat gangguan mental pada keluarga
- Kepribadian bawaan yang temperamen
- Peristiwa yang diketahui paling sering memicu PTSD meliputi:
- Perang
- Kecelakaan
- Bencana alam
- Perundungan (bullying)
- Kekerasan fisik
- Pelecehan seksual
- Prosedur medis tertentu, seperti operasi
- Penyakit yang mengancam nyawa, misalnya serangan jantung

Faktor risiko PTSD


Setiap orang bisa terserang PTSD setelah menyaksikan atau mengalami kejadian tragis. Akan
tetapi, PTSD lebih berisiko terjadi pada orang yang memiliki sejumlah faktor risiko berikut:
Kurang mendapat dukungan dari keluarga dan teman
Menderita kecanduan alkohol atau penyalahgunaan NAPZA
Menderita gangguan mental lain, misalnya gangguan kecemasan
Memiliki keluarga dengan riwayat gangguan mental, seperti depresi
Mendapat pengalaman traumatis sebelumnya, misalnya dirundung (bullying) pada masa kecil
Memiliki profesi tertentu, misalnya tentara atau relawan medis di daerah perang

Gejala PTSD
Gejala PTSD hampir mirip dengan Stockholm syndrome yang muncul setelah seseorang mengalami
peristiwa traumatis. Tingkat keparahan dan lamanya gejala juga berbeda-beda pada tiap penderita.
Beberapa gejala yang menunjukkan seseorang mengalami PTSD adalah:
1. Ingatan pada peristiwa traumatis
Penderita PTSD sering kali teringat pada peristiwa yang membuatnya trauma. Bahkan, penderita
merasa seakan mengulang kembali kejadian tersebut. Ingatan terhadap peristiwa traumatis juga
sering kali hadir dalam mimpi buruk sehingga penderita tertekan secara emosional.
2. Kecenderungan untuk mengelak
Penderita PTSD enggan memikirkan atau membicarakan peristiwa yang membuatnya trauma. Oleh
sebab itu, penderita akan menghindari tempat, aktivitas, dan seseorang yang terkait dengan
kejadian traumatis tersebut.
3. Pemikiran dan perasaan negatif
Penderita PTSD cenderung menyalahkan dirinya atau orang lain. Selain itu, penderita juga
kehilangan minat pada aktivitas yang dulu disukainya dan merasa putus asa. Penderita juga lebih
menyendiri dan sulit menjalin hubungan dengan orang lain.
4. Perubahan perilaku dan emosi
Penderita PTSD sering kali mudah takut atau marah meskipun tidak dipicu oleh ingatan pada
peristiwa traumatis. Perubahan perilaku ini kerap membahayakan dirinya atau orang lain. Penderita
juga sulit tidur dan berkonsentrasi.
PTSD dapat terjadi pada anak-anak dan orang dewasa. Namun, pada anak-anak, terdapat gejala
khusus, di antaranya:
Sering melakukan reka ulang peristiwa traumatis melalui permainan
Tidak berani berpisah dengan orang tua atau saudaranya, walaupun hanya sebentar
Sering mengompol walaupun sebelumnya sudah dapat buang air kecil di toilet

Kapan harus ke dokter ??


Konsultasikan dengan dokter bila muncul ingatan terhadap peristiwa traumatis yang sampai
mengganggu aktivitas, terutama bila berlangsung selama 1 bulan atau lebih.
Segera periksakan ke dokter apabila ingatan tentang kejadian traumatis sampai memicu Anda untuk
menyakiti diri sendiri atau orang lain, atau jika menimbulkan keinginan untuk melakukan percobaan
bunuh diri.

Diagnosis PTSD
Untuk mendiagnosis PTSD, dokter akan menanyakan gejala dan riwayat kesehatan pasien. Setelah
itu, dokter akan melakukan pemeriksaan fisik untuk mencari tahu apakah gejala yang dialami
disebabkan oleh penyakit fisik. Jika tidak terdapat penyakit fisik, dokter akan melakukan
pemeriksaan mental pasien.
Seseorang baru dapat dikatakan menderita PTSD bila pernah mengalami kondisi atau peristiwa
berikut sebelum gejala muncul:
- Mengalami peristiwa traumatis secara langsung
- Menyaksikan peristiwa traumatis yang menimpa orang lain
- Mendengar bahwa orang terdekat mengalami peristiwa traumatis
- Berulang kali terbayang pada kejadian traumatis secara tidak sengaja
Untuk dikategorikan sebagai PTSD, gejala yang dialami pascaperistiwa traumatis harus berlangsung
selama 1 bulan atau lebih. Seseorang juga dapat dinyatakan mengalami PTSD apabila gejala telah
mengganggu aktivitas sehari-hari, terutama dalam hubungan sosial dan pekerjaan.

Pengobatan PTSD
Pengobatan PTSD bertujuan untuk meredakan respons emosi pasien dan mengajarkan pasien cara
mengendalikan diri dengan baik ketika teringat pada kejadian traumatis. Metode pengobatan yang
dapat dilakukan meliputi:
Psikoterapi
Psikoterapi merupakan pilihan pertama dalam mengatasi PTSD. Jika gejala yang dialami pasien
tergolong parah, dokter akan menggabungkan psikoterapi dan obat-obatan.
Psikoterapi dapat dilakukan secara individual atau berkelompok dengan pasien PTSD lain. Ada
beberapa jenis psikoterapi yang biasanya digunakan untuk mengatasi PTSD, yaitu:
Terapi perilaku kognitif, untuk mengenali dan mengubah pola pikir pasien yang negatif menjadi
positif
Terapi eksposur, untuk membantu pasien menghadapi keadaan dan ingatan yang memicu trauma
secara efektif
Eye movement desensitization and reprocessing (EMDR), untuk mengarahkan fokus pasien ke
suara atau gerakan benda tertentu saat mengingat kejadian traumatis

Obat-obatan
Obat-obatan yang diberikan untuk mengatasi gejala PTSD tergantung pada gejala yang dialami
pasien, seperti:
Antidepresan, seperti sertraline dan paroxetine, untuk mengatasi depresi
Anticemas, untuk mengatasi kecemasan
Prazosin, untuk mencegah mimpi buruk
Dokter akan meningkatkan dosis bila obat tidak efektif dalam mengatasi gejala. Sebaliknya, jika
terbukti efektif, obat akan terus diberikan setidaknya sampai 1 tahun, kemudian dihentikan secara
bertahap.
Komplikasi PTSD
PTSD bisa mengganggu kehidupan penderitanya, baik di lingkup keluarga, orang terdekat, atau
pekerjaan. Jika tidak ditangani dengan tepat, penderita PTSD juga berisiko menderita gangguan
mental lain, seperti:
- Depresi
- Gangguan makan
- Gangguan kecemasan
- Kecanduan alkohol
- Penyalahgunaan NAPZA
- Penderita PTSD juga dapat memiliki keinginan untuk melukai diri sendiri, bahkan bunuh diri.

Pencegahan PTSD
PTSD tidak bisa dicegah, tetapi ada beberapa cara yang dapat dilakukan bila Anda mengalami
kejadian traumatis, misalnya:
Bicarakan kepada keluarga, teman, atau terapis mengenai kejadian traumatis yang Anda alami.
Konsultasikan ke dokter jika Anda tidak dapat mengatasi perasaan yang timbul setelah mengalami
kejadian tidak menyenangkan
Referensi
Pijpers, M., et aI. (2022). Risk Factors for PTSD Diagnosis in Young Victims of Recent Sexual
Assault. European Journal of Psychotraumatology, 13(1), pp. 2047293.
Zhou, Y.,et al. (2021). PTSD: Past, Present and Future Implications for China. Chinese Journal of
Traaumatology, 24(4), pp. 187–208.
National Health Service (2018). Health A to Z. Post-Traumatic Stress Disorder (PTSD).
National Institute of Health (2019). MedlinePlus. Post-Traumatic Stress Disorder.
National Institute of Health (2019). National Institute of Mental Health. Post-Traumatic Stress
Disorder.
Cleveland Clinic (2021). Disease & Conditions. Post-Traumatic Stress Disorder (PTSD).
Mayo Clinic (2018). Diseases & Conditions. Post-Traumatic Stress Disorder (PTSD).
Donohue, M. Healthline (2019). Post-Traumatic Stress Disorder (PTSD).
Smith, W. WebMD (2018). Posttraumatic Stress Disorder (PTSD).

Pertanyaan untuk Terdakwa :


Terdakwa sudah merasakan keanehan sejak anak berumur 5 tahun
Anak baru beberapa bulan bersama terdakwa, tetapi keluannya sudah aneh dan mencurigakan
Saat ditanya kenapa anak teriak ketakutan, karna merasa akan dibunuh oleh Sunani
Pasa saat istri meninggal, terdakwa pernah ingin mengajak anaknya tinggal dicirebon bersama
terdakwa dan orang tua terdakwa, tetapi dilarang oleh Landrawati (Nenek)
Landrawati pernah mendatangin kantor tempat terdakwa bekerja, dan meminta uang gaji terdakwa
untuk biaya anak
Laporan pertama di lakukan pada bulan maret.

Pertanyaan saksi verbal :


1. Kapan saksi menerima laporan ?
2. Apa tindakan setelah menerima laporan?
3. Apa bisa dijelaskan sedikit prosedur untuk melakukan penahan atau membawa anak
tersebut ke RS?
4. Apa pada saat membawa anak, menunjukan surat tugas atau surat perintah?
5. Atas dasar apa anak di bawa ke RS?
6. Apakah selama pemeriksaan di RS anak selalu di dampingi oleh orang tuanya?
7. Apa ada yang melarang agar anak tidak bertemu dengan orang tuanya (ayah)?
8. Apa anda tau dimana anak itu sekarang?
9.
Pertanyaan Landrawati (Pelapor) :
1. Apa anda mengerti kenapa anda dihadirkan di persidangan ini?
2. Apa hubungan anda dengan terdakwa?
3. Sejak kapan anda kenal dengan terdakwa?
4. Apa sejak terdakwa menikah dengan anak anda, hubungan anda dengan terdakwa baik-baik
aja?
5. Apa saksi mengetahui tempat kerja terdakwa?
6. Sejak istri terdakwa meninggal, terdakwa dan anak terdakwan tinggal dimana?
7. Apa alasan anda kenapa anak tidak diperbolehkan ikut dengan ayahnya?
8. Apa sejak istri terdakwa meninggal, terdakwa masih menjaga dan merawat anak terdakwa?
9. Kapan saksi membuat laporan di kepolisian?
10. Apa yang saksi ketahui sehingga membuat laporan di kepolisian?
11. Dari mana saksi mengetahui tindakan tersebut?
12. Bagaimana kejadian penelantaran yang saudara saksi ketahui?
13. Saksi landrawati, apa anda tau bahwa berdasarkan hasil visum et refertum, anak memiliki
diagnosa F43.1 atau Post-traumatic stress disorder (PTSD)PTSD (post-traumatic stress
disorder) atau gangguan stres pascatrauma adalah gangguan mental yang muncul setelah
seseorang mengalami atau menyaksikan peristiwa yang bersifat traumatis atau sangat
tidak menyenangkan.PTSD merupakan gangguan kecemasan yang membuat penderitanya
teringat pada kejadian traumatis. Beberapa peristiwa traumatis yang dapat memicu PTSD
adalah perang, kecelakaan, bencana alam, dan pelecehan seksual?

Apabila ibu meninggal dunia, hak asuh jatuh kepada ayah biologis anak.
Dasar hukum diberikannya hak asuh pada ayah dibandingkan pada ibu saat anak masih di bawah
umur yaitu Putusan Mahkamah Agung RI No.102 K/Sip/1973. Keputusan ini di antaranya
menyatakan bahwa perwalian anak akan jatuh ke ibu, kecuali jika terbukti bahwa ibu tersebut tak
wajar dalam memelihara anaknya

“Anak terlantar adalah anak anak yang karena suatu sebab tidak terpenuhi kebutuhan dasarnya dengan
wajar, baik rohani, jasmani, maupun sosial.”

Perlindungan Terhadap Anak Korban Tindak Pidana Kekerasan Dalam Hukum Pidana Indonesia
a. Bentuk Kekerasan terhadap Anak Secara teoritis, kekerasan terhadap anak (Child Abuse)
dapat didefinisikan sebagai peristiwa pelukaan fisik, mental atau seksual yang umumnya
dilakukan oleh orang-orang yang mempunyai tanggung jawab terhadap kesejahteraan anak—
yang mana itu semua diindikasikan dengan kerugian dan ancaman terhadap kesehatan dan
kesejahteraan anak. 4 Suharto mengelompokkan child abuse menjadi : physichal abuse
(kekerasan fisik), Psychological abuse (kekerasan secara psikologis), sexual abuse (kekerasan
secara seksual), dan social abuse (kekerasan secara sosial). Keempat bentuk child abuse ini dapat
dijelaskan sebagai berikut:5 1) Kekerasan anak secara fisik, adalah penyiksaan, pemukulan, dan
penganiayaan terhadap anak, dengan atau tanpa menggunakan benda-benda tertentu, yang
menimbulkan luka-luka fisik atau kematian pada anak.. 2) Kekerasan anak secara psikis,
meliputi penghardikan, penyampaian kata-kata kasar dan kotor, memperlihatkan buku, gambar,
dan film pornografi pada anak. 3) Kekerasan anak secara seksual, dapat berupa perlakuan
prakontak seksual maupun perlakuan kontak seksual secara langsung. 4) Kekerasan anak secara
sosial, dapat mencakup penelantaran anak dan eksploitasi anak. b. Faktor Penyebab terjadinya
Kekerasan terhadap Anak Ada lima faktor secara internal dan eksternal yang merupakan
penyebab terjadinya tindak kekerasan terhadap anak, yaitu: kurang harmonisnya hubungan
kekeluargaan dalam rumah tangga, masyarakat/lingkungan tempat bergaul dan mengabaikan segi
keimanan, kesulitan ekonomi akibat krisis ekonomi, sanksi/hukuman yang masih dianggap
ringan, serta sarana dan prasarana hiburan yang sangat menonjolkan unsur kekerasan atau topik
negatif lainnya.6 Sementara itu, Rusmil menjelaskan bahwa penyebab atau risiko terjadinya
kekerasan dan 4 Suyanto, hal. 28-29 5 Abu Huraerah, Op.cit, hal.. 47-49, mengutip Edi Suharto,
Pembangunan, Kebijakan Sosial dan Pekerjaan Sosial, (Bandung:Lembaga Studi Pembangunan-
Sekolah tinggi Kesejahteraan Sosial), hal.365-366. 6 Manik, op.cit, hal. 35 penelantaran terhadap
anak dibagi ke dalam tiga faktor, yaitu: faktor orang tua/keluarga, faktor lingkungan
sosial/komunitas, dan faktor anak sendiri.7 c. Perlindungan terhadap Anak Korban Tindak
Kekerasan dalam Hukum Pidana di Indonesia Perlindungan terhadap anak korban tindak
kekerasan di Indonesia secara garis besar diatur dalam KUHP, UU No. 23 tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak dan UU No. 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Tindak Kekerasan dalam
Rumah Tangga (KDRT).
menurut Yurisprudensi, yang dimaksud dengan kata penganiayaan yaitu sengaja menyebabkan
perasaan tidak enak (penderitaan), rasa sakit, atau luka.11 Unsur ketiga yaitu “terhadap anak”.
Pengertian anak secara jelas tertuang dalam Pasal 1 ayat(1) UU No. 23 tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak, yaitu Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun,
termasuk anak yang masih dalam kandungan.

Menimbang bahwa dalam penjatuhan pidana, makan menurut MACKENZIE dalam buku
karangan Ahmad Rifai, SH, MH, yang berjudul 12 Putusan Pengadilan Negeri Simalungun No.
791/Pid.B/2011/PN.Sim. Penemuan Hukum Oleh Hakim terbitan Sinar Grafika Jakarta tahun
2010 halaman 105 menyebutkan: bahwa dalam mempertimbangkan penjatuhan pidana, maka
dikenal beberapa teori atau pendekatan, diantaranya adalah teori keseimbangan yang artinya
keseimbangan disini adalah keseimbangan antara syarat-syarat yang ditentukan oleh undang-
undang kepentingan pihak-pihak yang tersangkut paut atau berkaitan dengan kepentingan
masyarakat, kepentingan terdakwa dan kepentingan pihak korban;

Menimbang, bahwa oleh karena itu berdasarkan azas keadilan dan kepatutan dan juga
berdasarkan Pasal 28 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan
Kehakiman yang berbunyi: “Hakim wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum
dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat”.

Penelantaran berasal kata “telantar” yang dimaknai beberapa hal yaitu: terletak tidak terpelihara,
serba ketidakcukupan, hidupnya tidak terpelihara, tidak terawat, tidak terurus, tidak ada yang
mengurusnya, terbengkalai. Kata kerja “menelantarkan” yaitu membuat terlantar, membiarkan
terlantar, sedangkan penelantaran adalah proses atau cara perbuatan menelantarkan (Irawan,
2019: 103).
Sanksi Terhadap Pelaku Penelantaran Rumah Tangga Penelantaran dalam rumah tangga diancam
dengan pidana sebagaimana yang terdapat di dalam Pasal 49 Undang-Undang Penghapusan
Kekerasan dalam Rumah Tangga yaitu dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga
tahun) atau denda paling banyak lima belas juta rupiah, setiap orang yang: (a) menelantarkan
orang lain dalam lingkup rumah tangganya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1); (b)
menelantarkan orang lain sebagaimana dimaksud Pasal 9 ayat (2). Penjatuhan pidana bukan
untuk menyengsarakan terpidana tetapi untuk membimbing dan membina. Seperti yang
dikatakan di dalam hukum bahwa pidana sebagai ultimum remedium yaitu sebagai obat terakhir.
Penjatuhan pidana tersebut dilakukan apabila sanksi yang lain telah diupayakan. Jika
dihubungkan dengan tujuan pemidanaan maka Indonesia menganut teori penggabungan
(integratif theory). Teori Integratif pada pokoknya menyatakan bahwa pemidanaan lebih
ditujukan pada koreksi perilaku yang bertentangan dengan hukum. Untuk mewujudkan tujuan
tersebut, majelis hakim pantas memberikan kesempatan kepada terdakwa untuk menyadari
kesalahannya dan tidak mengulanginya. Oleh karena itu, pemidanaan yang akan dijatuhkan
tidaklah seketika merampas kemerdekaan terdakwa (Hamdan, 2010: 10-11).

Syarat substantif terdiri dari: a) Pelaku harus menyadari perbuatannya dan bersedia bertanggung
jawab. Dengan dasar ini, pelaku menunjukkan keinsyafan dan bersedia untuk memperbaiki diri
hingga penelantaran rumah tangga tidak terulang kembali; b) Mediasi penal lebih baik untuk
pelaku pemula yang belum pernah dihukum pengadilan sebelumnya; 402 | Jurnal Yudisial Vol.
14 No. 3 Desember 2021: 395 - 411 c) Korban bersedia untuk menempuh proses mediasi penal
dengan bekal informasi yang cukup dan bersikap realistis terhadap kemungkinan hasil yang bisa
dicapai; d) Kedua belah pihak (korban dan pelaku) hadir dalam sidang awal untuk ditanyakan
kesediaannya menjalani proses mediasi penal dan selalu hadir dalam setiap tahapan proses
mediasi penal; e) Pelaku wajib mengikuti konseling untuk menyembuhkan perilaku kekerasan; f)
Pelaku wajib membayar ganti rugi kepada korban untuk biaya pemulihan penderitaan atas
kekerasan yang dialami bila korban kekerasan dalam rumah tangga menghendaki, terutama bila
tetap terjadi perceraian. Dengan demikian mediasi penal juga memberikan keadilan kepada
korban di mana selama ini pelaku justru membayar denda kepada negara

Dakwaan yang diajukan oleh penuntut umum bersifat tunggal yaitu melakukan tindak pidana
sebagaimana yang disebutkan di dalam Pasal 49 huruf a jo. Pasal 9 ayat (1) Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga, yang
mengandung unsur sebagai berikut: 1) Unsur setiap orang. Hakim dalam pertimbangannya
menyatakan bahwa setiap orang adalah siapa saja sebagai subjek hukum yaitu penyandang hak
dan kewajiban hukum yang didakwa melakukan tindak pidana sebagaimana yang dimaksud
dalam dakwaan penuntut umum, bahwa terdakwa telah diperiksa identitasnya, dan terdakwa
membenarkan bahwa yang tertera dalam dakwaan penuntut umum adalah benar dirinya sehingga
tidak terjadi salah pihak (error in personal), maka menurut hakim unsur “setiap orang” telah
terpenuhi. 2) Menelantarkan hidup orang lain dalam lingkup rumah tangga. Hakim dalam
pertimbangannya menyatakan bahwa berdasarkan Pasal 2 Undang-Undang Nomor 23 Tahun
2004 yang dimaksud dengan lingkup rumah tangga terdiri dari: (a) suami, istri, dan anak; (b)
orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga dengan orang sebagaimana dimaksud dalam
huruf a karena hubungan darah, perkawinan, persusuan, pengasuhan, dan perwalian, yang
menetap dalam rumah tangga; dan/atau, (c) orang yang bekerja membantu rumah tangga dan
menetap dalam rumah tangga tersebut. Menimbang, bahwa yang dimaksud dengan
menelantarkan adalah meninggalkan tanpa peduli dengan kesejahteraan orang yang ditinggalkan.
Bahwa terdakwa semenjak menikah sampai Desember 2017 masih memberikan nafkah, namun
sejak Januari 2018 sampai tahun 2019 tidak lagi memberikan nafkah. Maka berdasarkan
perbuatan yang dilakukan terdakwa hakim menilai unsur “menelantarkan orang lain dalam
lingkup rumah tangga telah terpenuhi.” 3) Padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau
karena persetujuan, atau perjanjian ia wajib memberikan kehidupan, perawatan atau
pemeliharaan kepada orang tersebut. Hakim menimbang berdasarkan fakta-fakta yang terungkap
di sidang pengadilan sejak bulan Januari 2018 saksi korban dan terdakwa kurang komunikasi
yang baik sehingga menimbulkan kesalahpahaman dan saat terjadi pertengkaran saling
mengungkit perlakuan maupun kata-kata yang tidak berkenan, sehingga terdakwa tidak
melaksanakan kewajibannya untuk memberikan nafkah lahir Penjatuhan Pidana Penjara Bagi
Penelantaran Rumah Tangga (Fitriani) | 405 maupun batin kepada saksi korban, sehingga hakim
menilai unsur “padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan, atau
perjanjian ia wajib memberikan kehidupan, perawatan atau pemeliharaan kepada orang tersebut”
telah terpenuhi.

Pertimbangan mengenai hal-hal yang memberatkan dan meringankan terdakwa ini diatur dalam
Pasal 197 huruf d dan Pasal 197 huruf f KUHAP. Pasal 197 huruf d berbunyi: “Pertimbangan
yang disusun secara ringkas mengenai fakta dan keadaan beserta alat pembuktian yang diperoleh
dari pemeriksaan di sidang yang menjadi dasar kesalahan terdakwa.” Sedangkan Pasal 197 huruf
f berbunyi: “Pasal peraturan perundangan-undangan yang menjadi dasar pemidanaan atau
tindakan dan peraturan perundangan-undangan yang menjadi dasar hukum dari putusan, disertai
keadaan yang memberatkan dan meringankan terdakwa.”

Faktor-faktor yang meringankan merupakan refleksi sifat baik dari terdakwa pada saat
persidangan berlangsung dan faktor yang memberatkan dinilai sebagai sifat yang jahat dari
terdakwa. Pertimbangan hakim yang demikian juga mengacu pada Pasal 5 ayat (1) Undang-
Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yaitu hakim dan hakim konstitusi
wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam
masyarakat. Pasal 8 ayat (2) juga disebutkan dalam mempertimbangkan ringannya pidana, hakim
wajib memperhatikan pula sifat baik dan jahat si terdakwa. Terdapat dua kategori pertimbangan
hakim dalam memutus suatu perkara, yaitu pertimbangan hakim yang bersifat yuridis dan
pertimbangan hakim yang bersifat non yuridis (Indawati S, 2017: 269).
Hal-hal yang meringankan, yaitu: 1) Terdakwa mengakui perbuatannya; 2) Terdakwa belum
pernah dihukum, yaitu terdakwa sebelumnya tidak pernah dihukum baik dalam kasus yang sama
maupun yang berbeda.

Anda mungkin juga menyukai