Anda di halaman 1dari 14

ANALISIS KASUS HAM

“KEKERASAN OLEH ISTRI TERHADAP


SUAMI YANG MENDERITA STROKE”

Oleh :
Oktavianta R F (19C20003)

MAGISTER HUKUM KESEHATAN


UNIVERSITAS KATOLIK SOEGIJAPRANATA
SEMARANG
2019
LATAR BELAKANG

Beredar video dugaan penganiayaan perempuan terhadap lelaki stroke di media


sosial. Akun Twitter @danielht2009 mengunggah video tersebut. Berdasar keterangan tertulis
kepolisian, dugaan penganiayaan itu dilakukan oleh Milka Florin Juliana (34), istri dari
korban yakni Howard Tandean (64).
Kapolsek Penjaringan AKBP Ach Imam Rifai, ketika dikonfirmasi, Selasa
(17/12/2019) menyatakan terduga pelaku penganiayaan belum ditetapkan sebagai tersangka.
Peristiwa itu dilakukan pada 11 Desember lalu, Milka mengirimkan video berdurasi 2 menit
24 detik itu kepada Josin (55). Pelaku memukuli tubuh dan kepala korban menggunakan
tongkat milik korban. Dalam video itu, Milka mengeluh ihwal perbuatan Howard usai ia
membersihkan tubuh suaminya. Karena kesal, lantas ia menganiaya korban yang duduk di
sofa. Howard hanya menangis dan tidak dapat membalas. Lalu Josin melaporkan video itu ke
Polsek Metro Penjaringan, polisi segera menerjunkan Tim Resmob ke lokasi. Akibat
pemukulan itu, pipi kiri Howard sobek. Polisi pun menggelandang Milka ke markasnya guna
pemeriksaan awal.
Melihat dari kasus diatas, apakah istri (Ny MFJ) dapat dikenakan hukuman atas
tindak penganiayaan?. Lalu, bagaimana dengan perlindungan hukum untuk suami yang
menderita stroke (Tn HT) sebagai korban dari kekerasan dalam rumah tangga?
DASAR HUKUM

Kekerasan dalam rumah tangga (disingkat KDRT) adalah tindakan yang


dilakukan di dalam rumah tangga baik oleh suami, istri, maupun anak yang berdampak buruk
terhadap keutuhan fisik, psikis, dan keharmonisan hubungan sesuai yang termaktub dalam
pasal 1 UU Nomor 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga
(UU PKDRT).

Sebagian besar korban KDRT adalah kaum perempuan (istri) dan pelakunya
adalah suami, walaupun ada juga korban justru sebaliknya, atau orang-orang yang
tersubordinasi di dalam rumah tangga itu. Pelaku atau korban KDRT adalah orang yang
mempunyai hubungan darah, perkawinan, persusuan, pengasuhan, perwalian dengan suami,
dan anak bahkan pembatu rumah tangga yang tinggal dalam sebuah rumah tangga. Tidak
semua tindakan KDRT dapat ditangani secara tuntas karena korban sering menutup-nutupi
dengan alasan ikatan struktur budaya, agama, dan belum dipahaminya sistem hukum yang
berlaku. Padahal perlindungan oleh negara dan masyarakat bertujuan untuk memberi rasa
aman terhadap korban serta menindak pelakunya.

Dalam Pasal 354 ayat (1) KUHP di mana dalam pasal tersebut menjelaskan
bahwa unsur penganiayaan berat terdiri dari : adanya kesengajaan, adanya perbuatan, adanya
akibat perbuatan (yang dituju) yakni rasa sakit pada tubuh dan luka berat pada tubuh.

Kekerasan Psikis Berat, berupa tindakan pengendalian, manipulasi, eksploitasi,


kesewenangan, perendahan dan penghinaan, dalam bentuk pelarangan, pemaksaan dan isolasi
sosial; tindakan dan atau ucapan yang merendahkan atau menghina; penguntitan; kekerasan
dan atau ancaman kekerasan fisik, seksual dan ekonomis; yang masing-masingnya bisa
mengakibatkan penderitaan psikis berat berupa salah satu atau beberapa hal berikut:

1. Gangguan tidur atau gangguan makan atau ketergantungan obat atau disfungsi
seksual yang salah satu atau kesemuanya berat dan atau menahun.

2. Gangguan stres pasca trauma.


3. Gangguan fungsi tubuh berat (seperti tiba-tiba lumpuh atau buta tanpa indikasi
medis)

4. Depresi berat atau destruksi diri

5. Gangguan jiwa dalam bentuk hilangnya kontak dengan realitas seperti


skizofrenia dan atau bentuk psikotik lainnya

6. Bunuh diri

Kekerasan Psikis Ringan, berupa tindakan pengendalian, manipulasi, eksploitasi,


kesewenangan, perendahan dan penghinaan, dalam bentuk pelarangan, pemaksaan, dan
isolasi sosial; tindakan dan atau ucapan yang merendahkan atau menghina; penguntitan;
ancaman kekerasan fisik, seksual dan ekonomis;yang masing-masingnya bisa mengakibatkan
penderitaan psikis ringan, berupa salah satu atau beberapa hal di bawah ini:

1. Ketakutan dan perasaan terteror

2. Rasa tidak berdaya, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk
bertindak

3. Gangguan tidur atau gangguan makan atau disfungsi seksual

4. Gangguan fungsi tubuh ringan (misalnya, sakit kepala, gangguan pencernaan


tanpa indikasi medis)

5. Fobia atau depresi temporer

Suatu perbuatan yang dapat menimbulkan luka-luka seseorang disebut


penganiayaan. Penganiayaan diatur dalam Pasal 351 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
(KUHP). Adapun isi dari pasal 351 tersebut adalah sebagai berikut :
(1) Penganiayaan diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan
bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah,
(2) Jika perbuatan mengakibatkan luka-luka berat, yang bersalah diancam dengan
pidana penjara paling lama lima tahun.
(3) Jika mengakibatkan mati, diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh
tahun.
(4) Dengan penganiayaan disamakan sengaja merusak kesehatan.
(5) Percobaan untuk melakukan kejahatan ini tidak dipidana.

Mengenai angka (4) Dengan penganiayaan disamakan sengaja merusak


kesehatan, R. Soesilo dalam bukunya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) serta
komentar-komentarnya lengkap pasal demi pasal mengatakan bahwa menurut yurisprudensi,
“penganiayaan” yaitu sengaja menyebutkan perasaan tidak enak (penderitaan), rasa sakit,
atau luka. Penganiayaan disamakan dengan sengaja merusak kesehatan orang, seperti
berikut :
- Perasaan tidak enak, misalnya mendorong orang terjun ke sungai sehingga
basah, menyuruh orang berdiri di terik matahari, dan sebagainya
- Rasa sakit, misalnya menyubit, mendupak, memukul, menempeleng, dan
sebagainya
- Luka, misalnya mengiris, memotong, menusuk, dan lain-lain
- Merusak kesehatan, misalnya orang sedang tidur, dan berkeringat, dibuka
jendela kamarnya, sehingga orang itu masuk angin

Penganiayaan itu sendiri dapat dikategorikan sebagai penganiayaan ringan


maupun berat. Begitupun dengan pemberian pidananya, akan berbeda antara penganiayaan
ringan dan penganiayaan berat. Suatu penganiayaan itu dikatakan sebagai penganiayaan
ringan ataupun penganiayaan berat itu dilihat dari akibat dari penganiayaan tersebut. Namun,
dalam pasal 90 KUHP dijelaskan bahwa kategori penganiayaan dengan luka berat adalah
apabila seseorang itu jatuh sakit atau mendapat luka yang tidak memberi harapan akan
sembuh sama sekali; yang menimbulkan bahaya maut; tidak mampu terus-menerus untuk
menjalankan tugas jabatan atau pekerjaan pencarian; kehilangan salah satu panca indera;
mendapat cacat berat; menderita sakit lumpuh; terganggunya daya pikir selama empat
minggu lebih; gugur atau matinya kandungan seorang perempuan.
Kriminologi merupakan ilmu pengetahuan yang mempelajari tentang kejahatan.
Nama kriminologi yang ditemukan oleh P. Tonipard (1830-1911) seorang ahli antropologi
Perancis, secara harfiah berasal dari kata “crimen” yang berarti kejahatan atau penjahat dan
“logos” yang berarti ilmu pengetahuan, maka kriminologi dapat berarti ilmu tentang
kejahatan atau penjahat. (Toto Santoso, Achyani Zulfa, 2002: 9).
Ada beberapa penggolongan teori dalam kriminologi antara lain(Soedjono
Dirdjosisworo, 1994: 108-143) :
1. Teori Asosiasi Diferensial (Differential Association Theory)
Sutherland menghipotesakan bahwa perilaku kriminal itu dipelajari melalui
asosiasi yang dilakukan dengan mereka yang melanggar norma-norma masyarakat termasuk
norma hukum. Proses mempelajari tadi meliputi tidak hanya teknik kejahatan sesungguhnya,
namun juga motif, dorongan, sikap dan rasionalisasi yang nyaman yang memuaskan bagi
dilakukannya perbuatan-perbuatan anti sosial.
Theori asosiasi differensial Sutherland mengenai kejahatan menegaskan bahwa :
a. Perilaku kriminal seperti halnya perilaku lainnya, dipelajari.
b. Perilaku kriminal dipelajari dalam hubungan interaksi dengan orang lain
melalui suatu proses komunikasi.
c. Bagian penting dari mempelajari perilaku kriminal terjadi dalam pergaulan
intim dengan mereka yang melakukan kejahatan, yang berarti dalam relasi langsung di tengah
pergaulan.
d. Mempelajari perilaku kriminal, termasuk didalamnya teknik melakukan
kejahatan dan motivasi/ dorongan atau alasan pembenar.
e. Dorongan tertentu ini dipelajari melalui penghayatan atas peraturan
perundang-undangan; menyukai atau tidak menyukai.
f. Seseorang menjadi deliquent karena penghayatannya terhadap peraturan
perundangan lebih suka melanggar daripada mentaatinya.
g. Asosiasi diferensial ini bervariasi tergantung dari frekuensi, durasi, prioritas
dan intensitas.
h. Proses mempelajari perilaku kriminal melalui pergaulan dengan pola
kriminal dan anti kriminal melibatkan semua mekanisme yang berlaku dalam setiap proses
belajar.
i. Sekalipun perilaku kriminal merupakan pencerminan dari kebutuhan umum
dan nilai-nilai, akan tetapi tingkah laku kriminal tersebut tidak dapat dijelaskan melalui
kebutuhan umum dan nilai-nilai tadi, oleh karena perilaku non kriminal pun merupakan
pencerminan dari kebutuhan umum dan nilai-nilai yang sama.
2. Teori Tegang (Strain Theory)
Teori ini beranggapan bahwa manusia pada dasarnya makhluk yang selalu
memperkosa hukum atau melanggar hukum, norma-norma dan peraturan-peraturan setelah
terputusnya antara tujuan dan cara mencapainya menjadi demikian besar sehingga baginya
satu-satunya cara untuk mencapai tujuan ini adalah melalui saluran yang tidak legal.
Akibatnya, teori “tegas” memandang manusia dengan sinar atau cahanya optimis. Dengan
kata lain, manusia itu pada dasarnya baik, karena kondisi sosiallah yang menciptakan tekanan
atau stress, ketegangan dan akhirnya kejahatan.
3. Teori Kontrol Sosial (Social Control Theory)
Landasan berpikir teori ini adalah tidak melihat individu sebagai orang yang
secara intriksik patuh pada hukum, namun menganut segi pandangan antitesis di mana orang
harus belajar untuk tidak melakukan tindak pidana. Mengingat bahwa kita semua dilahirkan
dengan kecenderungan alami untuk melanggar peraturan-peraturan di dalam masyarakat,
delinkuen di pandang oleh para teoretisi kontrol sosial sebagai konsekuensi logis kegagalan
seseorang untuk mengembangkan larangan-larangan ke dalam terhadap perilaku melanggar
hukum.
KAJIAN ANALISIS

Berikut beberapa pasal tentang hak dan kewajiban suami isteri yakni Pasal 103 :
Suami isteri wajib setia satu sama lain, saling menolong dan saling membantu. Pasal 104 :
Suami isteri, dengan hanya melakukan perkawinan, telah saling mengikatkan diri untuk
memelihara dan mendidik anak mereka. Pasal 105 : Setiap suami adalah menjadi kepala
persatuan perkawinan. Sebagai kepala, ia wajib memberi bantuan kepada isterinya atau
tampil untuknya di muka Hakim, dengan mengingat pengecualian-pengecualian yang diatur
di bawah ini. Dia harus mengurus harta kekayaan pribadi si isteri, kecuali bila disyaratkan
yang sebaliknya. Dia harus mengurus harta kekayaan itu sebagai seorang kepala keluarga
yang baik, dan karenanya bertanggung jawab atas segala kelalaian dalam pengurusan itu. Dia
tidak diperkenankan memindahtangankan atau membebankan harta kekayaan tak bergerak
isterinya tanpa persetujuan si isteri.

Pasal 106 : Setiap isteri harus patuh kepada suaminya. Dia wajib tinggal serumah
dengan suaminya dan mengikutinya, di mana pun dianggapnya perlu untuk bertempat tinggal.
Pasal 107 : Setiap suami wajib menerima isterinya di rumah yang ditempatinya. Dia wajib
melindungi isterinya, dan memberinya apa saja yang perlu, sesuai dengan kedudukan dan
kemampuannya. Pasal 108 : Seorang isteri, sekalipun ia kawin di luar harta bersama, atau
dengan harta benda terpisah, tidak dapat menghibahkan, memindahtangankan,
menggadaikan, memperoleh apa pun, baik secara cuma-cuma maupun dengan beban, tanpa
bantuan suami dalam akta atau izin tertulis. Sekalipun suami telah memberi kuasa kepada
isterinya untuk membuat akta atau perjanjian tertentu, si isteri tidaklah berwenang untuk
menerima pembayaran apa pun, atau memberi pembebasan untuk itu tanpa izin tegas dari
suami. Pasal 109 : Mengenai perbuatan atau perjanjian, yang dibuat oleh seorang isteri karena
apa saja yang menyangkut perbelanjaan rumah tangga biasa dan sehari-hari, juga mengenai
perjanjian perburuhan yang diadakan olehnya sebagai majikan untuk keperluan rumah
tangga, undang- undang menganggap bahwa ia telah mendapat persetujuan dan suaminya.

Pasal 110 : Isteri tidak boleh tampil dalam pengadilan tanpa bantuan suaminya,
meskipun dia kawin tidak dengan harta bersama, atau dengan harta terpisah, atau meskipun
dia secara mandiri menjalankan pekerjaan bebas. Pasal 111 :Bantuan suami tidak diperlukan:

1. bila si isteri dituntut dalam perkara pidana;

2. dalam perkara perceraian, pisah meja dan ranjang, atau pemisahan harta.

Pasal 112 : Bila suami menolak memberi kuasa kepada isterinya untuk membuat
akta, atau menolak tampil di Pengadilan, maka si isteri boleh memohon kepada Pengadilan
Negeri di tempat tinggi mereka bersama supaya dikuasakan untuk itu. Pasal 113 : Seorang
isteri yang atas usaha sendiri melakukan suatu pekerjaan dengan izin suaminya, secara tegas
atau secara diam-diam, boleh mengadakan perjanjian apa pun yang berkenaan dengan usaha
itu tanpa bantuan suaminya. Bila ia kawin dengan suaminya dengan penggabungan harta,
maka si suami juga terikat pada perjanjian itu. Bila si suami menarik kembali izinnya, dia
wajib mengumumkan penarikan kembali itu.

Pasal 114 :Bila si suami, karena sedang tidak ada atau karena alasan-alasan lain,
terhalang untuk membantu isterinya atau memberinya kuasa, atau bila ia mempunyai
kepentingan yang berlawanan, maka Pengadilan Negeri di tempat tinggal suami isteri itu
boleh memberikan wewenang kepada si isteri untuk tampil di muka Pengadilan, mengadakan
perjanjian, melakukan pengurusan, dan membuat akta-akta lain. Pasal 115 : Pemberian kuasa
umum, pun jika dicantumkan pada perjanjian perkawinan, berlaku tidak lebih daripada yang
berkenaan dengan pengurusan harta kekayaan si isteri itu sendiri. Pasal 116 : Batalnya suatu
perbuatan berdasarkan tidak adanya kuasa, hanya dapat dituntut oleh si isteri, suaminya atau
oleh para ahli waris mereka. Pasal 117 : Bila seorang isteri, setelah pembubaran perkawinan
melaksanakan perjanjian atau akta, seluruhnya atau sebagian, yang telah dia adakan tanpa
kuasa yang disyaratkan, maka dia tidak berwenang untuk meminta pembatalan perjanjian
atau akta itu. Pasal 118 : Isteri dapat membuat wasiat tanpa izin suami.
Upaya dalam memenuhi hak-hak Korban kekerasan dalam rumah tangga harus
Diakui keberadaannya. Undang-Undang Kekerasan Dalam Rumah Tangga membuka jalan
bagi pengungkapan kekerasan dalam rumah tangga dan melindungi hak-hak Korban. Di
mana, pada awalnya kekerasan dalam rumah tangga dianggap sebagai area pribadi yang tidak
bisa dimasuki siapa pun di luar lingkungan rumah. Kira-kira empat tahun sejak diratifikasi
pada 2004,dalam perjalanannya undang-undang ini masih beberapa pasal tidak
menguntungkan bagi perempuan Korban kekerasan. PP 4 tahun 2006 tentang Pemulihan
adalah peraturan pelaksanaan Undang-Undang ini, yang diharapkan dapat memfasilitasi
proses pelaksanaan Undang-Undang sebagaimana diatur dalam mandat UU ini.

Beberapa isi pasal yang penting untuk kita ketahui dalam UU No. 23 Tahun 2004
tentang PKDRT, yaitu :

 Pasal 1

Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan :

1. Kekerasan dalam Rumah Tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang


terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik,
seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan
perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup
rumah tangga.

2. Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga adalah jaminan yang diberikan


oleh negara untuk mencegah terjadinya kekerasan dalam rumah tangga, menindak pelaku
kekerasan dalam rumah tangga, dan melindungi korban kekerasan dalam rumah tangga.

 Pasal 2

1. Lingkup rumah tangga dalam Undang-Undang ini meliputi: (a). suami, isteri,
dan anak; (b). orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga dengan orang sebagaimana
dimaksud pada huruf a karena hubungan darah, perkawinan, persusuan, pengasuhan, dan
perwalian, yang menetap dalam rumah tangga; dan/atau (c). orang yang bekerja membantu
rumah tangga dan menetap dalam rumah tangga tersebut.
2. Orang yang bekerja sebagaimana dimaksud pada huruf c dipandang sebagai
anggota keluarga dalam jangka waktu selama berada dalam rumah tangga yang bersangkutan.

Pasal 4

Penghapusan kekerasan dalam rumah tangga bertujuan : (a). mencegah segala


bentuk kekerasan dalam rumah tangga; (b). melindungi korban kekerasan dalam rumah
tangga; (c). menindak pelaku kekerasan dalam rumah tangga; dan (d). memelihara keutuhan
rumah tangga yang harmonis dan sejahtera.

Pasal 5

Setiap orang dilarang melakukan kekerasan dalam rumah tangga terhadap orang
dalam lingkup rumah tangganya, dengan cara : (a). kekerasan fisik; (b). kekerasan psikis; (c).
kekerasan seksual; atau (d). penelantaran rumah tangga.

Selain itu, walaupun Undang - Undang ini dimaksudkan memberikan efek jera
bagi pelaku KDRT, ancaman hukuman yang tidak mencantumkan hukuman minimal dan
hanya hukuman maksimal sehingga berupa ancaman hukuman alternatif kurungan atau denda
terasa terlalu ringan bila dibandingkan dengan dampak yang diterima korban, bahkan lebih
menguntungkan bila menggunakan ketentuan hukum sebagaimana yang diatur dalam KUHP.
Apalagi jika korban mengalami cacat fisik, psikis, atau bahkan korban meninggal. Sebagai
UU yang memfokuskan pada proses penanganan hukum pidana dan penghukuman dari
korban, untuk itu, perlu upaya strategis di luar diri korban guna mendukung dan memberikan
perlindungan bagi korban dalam rangka mengungkapkan kasus KDRT yang menimpa.

Berdasarkan uji syarat terhadap akibat dari perbuatan penganiayaan yang


dilakukan Istri terhadap Suami dalam pasal 90 KUHP sebagaimana dimaksud, maka hal ini
membuktikan bahwa luka yang diderita oleh Tn HT termasuk kategori luka ringan dan
penganiayaan yang dialami oleh Tn HT ini tidak bisa masuk dalam penganiayaan yang
dimaksud pasal 354 ayat (1). Sehingga Ny MFJ dalam hal ini tidak dapat dikenakan pasal 354
ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana sebagaimana yang berbunyi “Jika perbuatan
mengakibatkan luka-luka berat, yang bersalah diancam dengan pidana penjara paling lama
lima tahun”.
Namun dalam hal ini, untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya atas
kekerasan rumah tangga yang dilakukan terhadap suaminya, dapat dikenakan pasal 352 ayat
(1) yang berbunyi “(1) Kecuali yang tersebut dalam pasal 353 dan 356, maka penganiayaan
yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau
pencarian, diancam, sebagai penganiayaan ringan, dengan pidana penjara paling lama tiga
bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah. Pidana dapat
ditambah sepertiga bagi orang yang melakukan kejahatan itu terhadap orang yang bekerja
padanya, atau menjadi bawahannya” . Disebut penganiayaan ringan karena penganiayaan
ini tidak menyebabkan luka atau penyakit dan tidak menyebabkan si korban tidak bisa
menjalankan aktivitas sehari-harinya. Stroke yang diderita korban adalah penyakit
degeneratif yang didapatkan sebelum adanya tindak kekerasan, sehingga bukan termasuk
dalam kategori Luka berat. Rumusan dalam penganiayaan ringan telah diatur dalam pasal 352
KUHP sebagai berikut :

“Kecuali yang tersebut dalam pasal 353 dan 356, maka penganiayaan yang tidak
menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan atau jabatan atau
pencaharian, dipidana dengan pidana ringan, dengan pidana penjara paling lama tiga bulan
atau denda paling banyak empat ribu lima ratus”
Pidana dapat ditambah sepertiga bagi orang yang melakukan kejahatan itu
terhadap orang yang bekerja padanya atau menjadi bawahannya.
Namun dalam praktiknya, luka-luka yang menimbulkan memar itu digolongkan
sebagai penganiayaan biasa sebagaimana dalam pasal 351 ayat (1) KUHP. Sebagai contoh
kasus dapat dilihat dalam Putusan Pengadilan Negeri Banda Aceh Nomor
33/PID.B/2013/PN-BNA. Dalam putusan tersebut bahwa terdakwa memukul kedua lengan
saksi dengan menggunakan gagang sapu. Akibat dari perbuatannya ini, terdakwa dihukum
berdasarkan pasal 351 ayat (1) KUHP tentang penganiayaan dengan hukuman pidana penjara
selama 2 (bulan) bulan.
Sebagai contoh lain juga dapat kita lihat dalam Putusan Pengadilan Tinggi
Bangka Belitung Nomor 25/PID/2011/PT BABEL. Dalam pemeriksaan di pengadilan
berdasarkan visum diketahui bahwa terdapat luka memar berwarna biru di kepala, tampak
luka memar di lengan belakang sebelah kanan berwarna biru, luka ini disebabkan karena
terdakwa memukul ke arah kepala saksi berkali-kali dengan menggunakan tangannya yang
mengepal. Akhirnya hakim menghukum atas dasae tindak pidana penganiayaan dalam pasal
351 ayat (1) KUHP dengan pidana penjara selama tiga bulan.
Maka, sekali lagi terhadap kasus TN HT ini, kepada Ny MFJ dapat dikenakan
pasal 352 ayat (1) tentang perbuatan tindak pidana penganiayaan ringan dengan pidana
penjara paling lama tiga bulan atau denda paling banyak empat ribu lima ratus atau setara
dengan empat juta lima ratus ribu rupiah.
Lalu, mengenai perlindungan hukum terhadap Tn HT sebagai korban dari
kekerasan dalam rumah tangga pada dasarnya, perlindungan terhadap korban kekerasan
dalam rumah tangga atau yang biasa disingkat KDRT seperti yang dialami Tn HT ini
bertujuan memberikan rasa aman kepada korban terutama pada saat memberikan keterangan
pada setiap proses peradilan pidana. Selain itu Tn HT mendapatkan hak-hak tertentu seperti
yang dijelaskan dalam pasal 5 ayat (1) UU No. 31 tahun 2014 tentang perubahan atas UU No.
13 tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Seperti diketahui kekerasan dalam
rumah tangga telah diatur dalam UU No. 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan
Dalam Rumah Tangga. Ketentuan UU tersebut telah mengatur sejumlah delik pidana yang
dapat terjadi dalam tindakan KDRT. Dengan demikian dalam hal ini terkait korban dalam
tindak pidana KDRT berhak memperoleh hak sebagaimana diatur dalam ketentuan pasal 5, 6,
dan pasal 7 dalam UU No. 31 tahun 2014, dan tentunya berhak mendapat perlindungan dari
LPSK( Lembaga perlindungan Saksi dan Korban). Selain itu juga dalam UU No. 23 tahun
2004 pasal 10 dijelaskan hak-hak korban KDRT yang terdiri atas lima macam hak,
diantaranya : perlindungan dari pihak keluarga, kepolisian, kejaksaan, pengadilan, advokat,
lembaga sosial, atau pihak lainnya baik sementara maupun berdasarkan penetapan perintah
perlindungan dari pengadilan; pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan medis;
penanganan secara khusus berkaitan dengan kerahasiaan korban; pendampingan oleh pekerja
sosial dan bantuan hukum pada setiap tingkat proses pemeriksaan sesuai dengan ketentuan
peraturan per-uu-an, dan pelayanan bimbingan rohani.

Menurut pandangan pribadi penulis, apakah Ny MFJ mengalami gangguan


kejiwaan sehingga tidak dapat dijerat hukum?. Jawabannya tidak. Indikasi pertama, ia
sengaja merekam perbuatannya. Itu adalah sesuatu yang intensional, disengaja, jika
melakukan hal tersebut secara sadar, berarti orang tersebut secara kognitif mampu berpikir,
Indikasi kedua adalah berdasarkan hal yang diutarakan Ny MFJ dalam video tersebut, melihat
konten ucapannya ‘nih lihat nih ya, orang itu nih, gue udah ngurusin dia’ dan seterusnya.
Secara medis itu bukan omongan orang sakit jiwa karena daya nalarnya berfungsi. Itu hanya
ungkapan orang atau keluarga yang malas maupun kecewa dalam mengurusi korban atau
orang sakit (Tn HT).

Anda mungkin juga menyukai