Oleh :
Oktavianta R F (19C20003)
Sebagian besar korban KDRT adalah kaum perempuan (istri) dan pelakunya
adalah suami, walaupun ada juga korban justru sebaliknya, atau orang-orang yang
tersubordinasi di dalam rumah tangga itu. Pelaku atau korban KDRT adalah orang yang
mempunyai hubungan darah, perkawinan, persusuan, pengasuhan, perwalian dengan suami,
dan anak bahkan pembatu rumah tangga yang tinggal dalam sebuah rumah tangga. Tidak
semua tindakan KDRT dapat ditangani secara tuntas karena korban sering menutup-nutupi
dengan alasan ikatan struktur budaya, agama, dan belum dipahaminya sistem hukum yang
berlaku. Padahal perlindungan oleh negara dan masyarakat bertujuan untuk memberi rasa
aman terhadap korban serta menindak pelakunya.
Dalam Pasal 354 ayat (1) KUHP di mana dalam pasal tersebut menjelaskan
bahwa unsur penganiayaan berat terdiri dari : adanya kesengajaan, adanya perbuatan, adanya
akibat perbuatan (yang dituju) yakni rasa sakit pada tubuh dan luka berat pada tubuh.
1. Gangguan tidur atau gangguan makan atau ketergantungan obat atau disfungsi
seksual yang salah satu atau kesemuanya berat dan atau menahun.
6. Bunuh diri
2. Rasa tidak berdaya, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk
bertindak
Berikut beberapa pasal tentang hak dan kewajiban suami isteri yakni Pasal 103 :
Suami isteri wajib setia satu sama lain, saling menolong dan saling membantu. Pasal 104 :
Suami isteri, dengan hanya melakukan perkawinan, telah saling mengikatkan diri untuk
memelihara dan mendidik anak mereka. Pasal 105 : Setiap suami adalah menjadi kepala
persatuan perkawinan. Sebagai kepala, ia wajib memberi bantuan kepada isterinya atau
tampil untuknya di muka Hakim, dengan mengingat pengecualian-pengecualian yang diatur
di bawah ini. Dia harus mengurus harta kekayaan pribadi si isteri, kecuali bila disyaratkan
yang sebaliknya. Dia harus mengurus harta kekayaan itu sebagai seorang kepala keluarga
yang baik, dan karenanya bertanggung jawab atas segala kelalaian dalam pengurusan itu. Dia
tidak diperkenankan memindahtangankan atau membebankan harta kekayaan tak bergerak
isterinya tanpa persetujuan si isteri.
Pasal 106 : Setiap isteri harus patuh kepada suaminya. Dia wajib tinggal serumah
dengan suaminya dan mengikutinya, di mana pun dianggapnya perlu untuk bertempat tinggal.
Pasal 107 : Setiap suami wajib menerima isterinya di rumah yang ditempatinya. Dia wajib
melindungi isterinya, dan memberinya apa saja yang perlu, sesuai dengan kedudukan dan
kemampuannya. Pasal 108 : Seorang isteri, sekalipun ia kawin di luar harta bersama, atau
dengan harta benda terpisah, tidak dapat menghibahkan, memindahtangankan,
menggadaikan, memperoleh apa pun, baik secara cuma-cuma maupun dengan beban, tanpa
bantuan suami dalam akta atau izin tertulis. Sekalipun suami telah memberi kuasa kepada
isterinya untuk membuat akta atau perjanjian tertentu, si isteri tidaklah berwenang untuk
menerima pembayaran apa pun, atau memberi pembebasan untuk itu tanpa izin tegas dari
suami. Pasal 109 : Mengenai perbuatan atau perjanjian, yang dibuat oleh seorang isteri karena
apa saja yang menyangkut perbelanjaan rumah tangga biasa dan sehari-hari, juga mengenai
perjanjian perburuhan yang diadakan olehnya sebagai majikan untuk keperluan rumah
tangga, undang- undang menganggap bahwa ia telah mendapat persetujuan dan suaminya.
Pasal 110 : Isteri tidak boleh tampil dalam pengadilan tanpa bantuan suaminya,
meskipun dia kawin tidak dengan harta bersama, atau dengan harta terpisah, atau meskipun
dia secara mandiri menjalankan pekerjaan bebas. Pasal 111 :Bantuan suami tidak diperlukan:
2. dalam perkara perceraian, pisah meja dan ranjang, atau pemisahan harta.
Pasal 112 : Bila suami menolak memberi kuasa kepada isterinya untuk membuat
akta, atau menolak tampil di Pengadilan, maka si isteri boleh memohon kepada Pengadilan
Negeri di tempat tinggi mereka bersama supaya dikuasakan untuk itu. Pasal 113 : Seorang
isteri yang atas usaha sendiri melakukan suatu pekerjaan dengan izin suaminya, secara tegas
atau secara diam-diam, boleh mengadakan perjanjian apa pun yang berkenaan dengan usaha
itu tanpa bantuan suaminya. Bila ia kawin dengan suaminya dengan penggabungan harta,
maka si suami juga terikat pada perjanjian itu. Bila si suami menarik kembali izinnya, dia
wajib mengumumkan penarikan kembali itu.
Pasal 114 :Bila si suami, karena sedang tidak ada atau karena alasan-alasan lain,
terhalang untuk membantu isterinya atau memberinya kuasa, atau bila ia mempunyai
kepentingan yang berlawanan, maka Pengadilan Negeri di tempat tinggal suami isteri itu
boleh memberikan wewenang kepada si isteri untuk tampil di muka Pengadilan, mengadakan
perjanjian, melakukan pengurusan, dan membuat akta-akta lain. Pasal 115 : Pemberian kuasa
umum, pun jika dicantumkan pada perjanjian perkawinan, berlaku tidak lebih daripada yang
berkenaan dengan pengurusan harta kekayaan si isteri itu sendiri. Pasal 116 : Batalnya suatu
perbuatan berdasarkan tidak adanya kuasa, hanya dapat dituntut oleh si isteri, suaminya atau
oleh para ahli waris mereka. Pasal 117 : Bila seorang isteri, setelah pembubaran perkawinan
melaksanakan perjanjian atau akta, seluruhnya atau sebagian, yang telah dia adakan tanpa
kuasa yang disyaratkan, maka dia tidak berwenang untuk meminta pembatalan perjanjian
atau akta itu. Pasal 118 : Isteri dapat membuat wasiat tanpa izin suami.
Upaya dalam memenuhi hak-hak Korban kekerasan dalam rumah tangga harus
Diakui keberadaannya. Undang-Undang Kekerasan Dalam Rumah Tangga membuka jalan
bagi pengungkapan kekerasan dalam rumah tangga dan melindungi hak-hak Korban. Di
mana, pada awalnya kekerasan dalam rumah tangga dianggap sebagai area pribadi yang tidak
bisa dimasuki siapa pun di luar lingkungan rumah. Kira-kira empat tahun sejak diratifikasi
pada 2004,dalam perjalanannya undang-undang ini masih beberapa pasal tidak
menguntungkan bagi perempuan Korban kekerasan. PP 4 tahun 2006 tentang Pemulihan
adalah peraturan pelaksanaan Undang-Undang ini, yang diharapkan dapat memfasilitasi
proses pelaksanaan Undang-Undang sebagaimana diatur dalam mandat UU ini.
Beberapa isi pasal yang penting untuk kita ketahui dalam UU No. 23 Tahun 2004
tentang PKDRT, yaitu :
Pasal 1
Pasal 2
1. Lingkup rumah tangga dalam Undang-Undang ini meliputi: (a). suami, isteri,
dan anak; (b). orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga dengan orang sebagaimana
dimaksud pada huruf a karena hubungan darah, perkawinan, persusuan, pengasuhan, dan
perwalian, yang menetap dalam rumah tangga; dan/atau (c). orang yang bekerja membantu
rumah tangga dan menetap dalam rumah tangga tersebut.
2. Orang yang bekerja sebagaimana dimaksud pada huruf c dipandang sebagai
anggota keluarga dalam jangka waktu selama berada dalam rumah tangga yang bersangkutan.
Pasal 4
Pasal 5
Setiap orang dilarang melakukan kekerasan dalam rumah tangga terhadap orang
dalam lingkup rumah tangganya, dengan cara : (a). kekerasan fisik; (b). kekerasan psikis; (c).
kekerasan seksual; atau (d). penelantaran rumah tangga.
Selain itu, walaupun Undang - Undang ini dimaksudkan memberikan efek jera
bagi pelaku KDRT, ancaman hukuman yang tidak mencantumkan hukuman minimal dan
hanya hukuman maksimal sehingga berupa ancaman hukuman alternatif kurungan atau denda
terasa terlalu ringan bila dibandingkan dengan dampak yang diterima korban, bahkan lebih
menguntungkan bila menggunakan ketentuan hukum sebagaimana yang diatur dalam KUHP.
Apalagi jika korban mengalami cacat fisik, psikis, atau bahkan korban meninggal. Sebagai
UU yang memfokuskan pada proses penanganan hukum pidana dan penghukuman dari
korban, untuk itu, perlu upaya strategis di luar diri korban guna mendukung dan memberikan
perlindungan bagi korban dalam rangka mengungkapkan kasus KDRT yang menimpa.
“Kecuali yang tersebut dalam pasal 353 dan 356, maka penganiayaan yang tidak
menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan atau jabatan atau
pencaharian, dipidana dengan pidana ringan, dengan pidana penjara paling lama tiga bulan
atau denda paling banyak empat ribu lima ratus”
Pidana dapat ditambah sepertiga bagi orang yang melakukan kejahatan itu
terhadap orang yang bekerja padanya atau menjadi bawahannya.
Namun dalam praktiknya, luka-luka yang menimbulkan memar itu digolongkan
sebagai penganiayaan biasa sebagaimana dalam pasal 351 ayat (1) KUHP. Sebagai contoh
kasus dapat dilihat dalam Putusan Pengadilan Negeri Banda Aceh Nomor
33/PID.B/2013/PN-BNA. Dalam putusan tersebut bahwa terdakwa memukul kedua lengan
saksi dengan menggunakan gagang sapu. Akibat dari perbuatannya ini, terdakwa dihukum
berdasarkan pasal 351 ayat (1) KUHP tentang penganiayaan dengan hukuman pidana penjara
selama 2 (bulan) bulan.
Sebagai contoh lain juga dapat kita lihat dalam Putusan Pengadilan Tinggi
Bangka Belitung Nomor 25/PID/2011/PT BABEL. Dalam pemeriksaan di pengadilan
berdasarkan visum diketahui bahwa terdapat luka memar berwarna biru di kepala, tampak
luka memar di lengan belakang sebelah kanan berwarna biru, luka ini disebabkan karena
terdakwa memukul ke arah kepala saksi berkali-kali dengan menggunakan tangannya yang
mengepal. Akhirnya hakim menghukum atas dasae tindak pidana penganiayaan dalam pasal
351 ayat (1) KUHP dengan pidana penjara selama tiga bulan.
Maka, sekali lagi terhadap kasus TN HT ini, kepada Ny MFJ dapat dikenakan
pasal 352 ayat (1) tentang perbuatan tindak pidana penganiayaan ringan dengan pidana
penjara paling lama tiga bulan atau denda paling banyak empat ribu lima ratus atau setara
dengan empat juta lima ratus ribu rupiah.
Lalu, mengenai perlindungan hukum terhadap Tn HT sebagai korban dari
kekerasan dalam rumah tangga pada dasarnya, perlindungan terhadap korban kekerasan
dalam rumah tangga atau yang biasa disingkat KDRT seperti yang dialami Tn HT ini
bertujuan memberikan rasa aman kepada korban terutama pada saat memberikan keterangan
pada setiap proses peradilan pidana. Selain itu Tn HT mendapatkan hak-hak tertentu seperti
yang dijelaskan dalam pasal 5 ayat (1) UU No. 31 tahun 2014 tentang perubahan atas UU No.
13 tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Seperti diketahui kekerasan dalam
rumah tangga telah diatur dalam UU No. 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan
Dalam Rumah Tangga. Ketentuan UU tersebut telah mengatur sejumlah delik pidana yang
dapat terjadi dalam tindakan KDRT. Dengan demikian dalam hal ini terkait korban dalam
tindak pidana KDRT berhak memperoleh hak sebagaimana diatur dalam ketentuan pasal 5, 6,
dan pasal 7 dalam UU No. 31 tahun 2014, dan tentunya berhak mendapat perlindungan dari
LPSK( Lembaga perlindungan Saksi dan Korban). Selain itu juga dalam UU No. 23 tahun
2004 pasal 10 dijelaskan hak-hak korban KDRT yang terdiri atas lima macam hak,
diantaranya : perlindungan dari pihak keluarga, kepolisian, kejaksaan, pengadilan, advokat,
lembaga sosial, atau pihak lainnya baik sementara maupun berdasarkan penetapan perintah
perlindungan dari pengadilan; pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan medis;
penanganan secara khusus berkaitan dengan kerahasiaan korban; pendampingan oleh pekerja
sosial dan bantuan hukum pada setiap tingkat proses pemeriksaan sesuai dengan ketentuan
peraturan per-uu-an, dan pelayanan bimbingan rohani.