Anda di halaman 1dari 16

ANALISIS KASUS DARI PERSPEKTIF

PSIKOLOGI HUKUM
(Putusan Nomor 97/Pid.Sus/2023/PN Pbg)

DISUSUN OLEH:

MUHAMMAD RYAN ATTALLAH

B011201108

FAKULTAS HUKUM
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM
UNIVERSITAS HASANUDDIN
2023
A. KRONOLOGI
Pada hari Senin tanggal 05 Juni 2023 sekitar pukul 11.00 wib, bertempat di rumah
terdakwa di Kabupaten Purbalingga, terdakwa menyuruh Anak Korban yang sedang
sakit untuk membeli obat di warung dekat rumah terdakwa dengan memberi uang
sebesar Rp. 7.500,- (tujuh ribu lima ratus rupiah). Kemudian Anak Korban yang pada
saat itu diam saja tidak menuruti perintah terdakwa, membuat terdakwa marah,
sehingga terdakwa mengambil gelas berisikan air putih yang kemudian ditumpahkan
di atas kepala Anak Korban sampai rambut dan kepala Anak Korban basah. Setelah
itu terdakwa berkata kepada Anak Korban “AWAS YA KALAU PULANG LAMA” dan
dengan terpaksa Anak Korban pergi keluar rumah untuk membeli obat. Namun
dikarenakan Anak Korban merasa pusing, lemas, dan tidak sanggup berjalan Anak
Korban berhenti di depan rumah Saksi Sugiarti. Kemudian Saksi Sugiarti yang
melihat anak korban kemudian saksi Sugiarti mengantarkan Anak Korban ke rumah
terdakwa akan tetapi pintu rumah terdakwa terkunci. Oleh karena itu, Saksi Sugiarti
mengantarkan Anak Korban ke rumah Saksi I (ibu kandung dari Anak Korban).
Kemudian Anak Korban masuk ke dalam rumah kontrakan Saksi I dan langsung
tidur di kursi kayu ruang tamu. Pada pukul 14.00 WIB Saksi I membangunkan Anak
Korban untuk makan, akan tetapi belum sempat makan, terdakwa mendatangi Anak
Korban di rumah Saksi I Kemudian saat Terdakwa menemukan Anak Korban yang
berada di rumah Saksi I, kemudian terdakwa masuk ke dalam rumah dan berkata
“ANAK KURANG AJAR ANAK KURANG AJAR, AYUH PULANG” lalu memukul dahi
sebelah kiri Anak Korban dengan menggunakan tangan kanan sebanyak 3 (tiga) kali
dengan posisi terdakwa berada di depan Anak Korban. Bahwa Saksi I yang melihat
hal tersebut kemudian berkata “UDAH-UDAH JAHAT BANGET SI JADI BAPAK”
setelah itu terdakwa memeluk dari belakang Anak Korban dan membawa Anak
Korban ke depan kontrakan Saksi I yang saat itu Anak Korban memberontak di
bawa oleh terdakwa. kemudian saat di depan kontrakan Saksi I, terdakwa menarik
kedua tangan Anak Korban. Setelah itu terdakwa menampar pipi sebelah kanan dan
kiri Anak Korban menggunakan tangan kanan sebanyak 3 (tiga) kali kemudian
terdakwa menjambak rambut Anak Korban dari depan dengan keras sebanyak 1
(kali) menggunakan tangan kanan, kemudian terdakwa juga menendang paha
sebelah kanan dan kiri Anak Korban menggunakan ujung kaki/sandal sebanyak 2
(dua) kali dengan menggunakan kaki kanan terdakwa. Kemudian Saksi I berteriak
sambil berkata “UDAH-UDAH” sembari menarik baju belakang terdakwa namun
terdakwa tetap menendang Anak Korban. Setelah itu, terdakwa juga menjambak
rambut Anak Korban dari arah belakang sebanyak 1 (satu) kali dengan
menggunakan tangan kanan, dan terdakwa menendang lagi paha sebelah kanan
Anak Korban menggunakan ujung kaki/sandal sebanyak 1 (satu) kali dengan
menggunakan kaki kanan terdakwa. Selain itu, terdakwa juga menjejak perut Anak
Korban dengan menggunakan alas kaki sebanyak 1 (satu) kali menggunakan kaki
kanan. saksi I menolong Anak Korban dengan cara menghalang-halangi dan
menarik baju terdakwa agar tidak menendang ataupun menginjak anak korban lagi,
namun saksi I tidak kuat dikarenakan badan terdakwa lebih besar. Oleh karena itu
saksi I berteriak meminta tolong, sehingga Terdakwa hentikan oleh warga sekitar
dan Anak korban yang dalam keadaan pingsan dibawa masuk ke dalam rumah,
kemudian Terdakwa dibawa ke kantor polisi.

B. PEMBAHASAN DAN HASIL ANALISIS


1. Tinjauan Dampak Psikologis
Keluarga memiliki peran dan pengaruh penting bagi perkembangan
seorang anak. Hubungan baik ditandai dengan terjalinnya keserasian dan
terjadinya timbal balik antar anggota keluarga. Keluarga yang tidak harmonis
ditandai dengan seringnya terjadi konflik antar orang tua atau anak. Pemicu
konflik biasanya didasari beberapa hal seperti faktor ekonomi, kurangnya
komunikasi, kurangnya perhatian yang diberikan, lebih mementingkan urusan
lain ketimbang keluarga, perbedaan pendapat, kurangnya keterbukaan, dan
lain lain.1 Kasus kekerasan dalam rumah tangga tentu meninggalkan dampak
psikologis terhadap korban kekerasannya. Bagi seorang anak yang melihat
atau mendengar konflik dan perselisihan antar ayah dan ibunya tentu akan
tersimpan di dalam memori ingatannya, apalagi jika yang ia lihat adalah
kekerasan fisik pada konflik tersebut. Lalu, bagaimana jika yang menjadi
korban kekerasan dalam rumah tangga merupakan sang anak itu sendiri?

Secara umum faktor penyebab terjadinya kekerasan dalam rumah


tangga dapat digolongkan menjadi dua faktor, yaitu faktor eksternal dan faktor
internal. Faktor eksternal adalah faktor-faktor yang datang dari luar diri pelaku

1
Aprilia Nugraheni. (2023). Dampak Kekerasan Dalam Rumah Tangga Terhadap Dinamika Psikologis
Anak Usia Dini. JAMPARING Jurnal Akuntansi Manajemen Pariwisata Dan Pembelajaran Konseling,
1(1).
kekerasan. Seorang pelaku yang awalnya bersifat normal atau tidak memiliki
perilaku dan sikap agresif bisa saja mampu melakukan tindak kekerasan jika
dihadapkan dengan situasi dibawah tekanan (stress), misalnya kesulitan
ekonomi yang berkepanjangan atau perselingkuhan atau ditinggalkan
pasangan atau kejadian-kejadian lainnya. Sedangkan faktor internal adalah
faktor yang bersumber pada kepribadian dari dalam diri pelaku itu sendiri
yang menyebabkan ia mudah sekali terprovokasi melakukan tindak
kekerasan, meskipun masalah yang dihadapinya tersebut relatif kecil.2

Menurut pasal 5-9 Undang-Undang PKDRT No. 23 Tahun 2004,


dinyatakan bahwa bentuk-bentuk KDRT sebagai berikut:3

a. Kekerasan fisik, yaitu perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh


sakit atau luka berat.
b. Kekerasan psikis, yaitu perbuatan yang mengakibatkan ketakutan,
hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak,
rasa tidak berdaya, dan/atau penderitaan psikis berat pada seseorang.
c. Kekerasan seksual, yaitu pemaksaan hubungan seksual yang
dilakukan terhadap orang dalam lingkup rumah tangga tersebut dan
pemaksaan hubungan seksual terhadap salah seorang dalam lingkup
rumah tangganya dengan orang lain untuk tujuan komersial dan/atau
tujuan tertentu.
d. Penelantaran rumah tangga, yaitu menelantarkan orang dalam lingkup
rumah tangganya, padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau
karena persetujuan atau perjanjian ia wajib memberikan kehidupan,
perawatan, atau pemeliharaan kepada orang tersebut. penelantaran
juga berlaku bagi setiap orang yang mengakibatkan ketergantungan
ekonomi dengan cara membatasi dan/atau melarang orang bekerja
yang layak di dalam atau di luar rumah sehingga korban berada di
bawah kendali orang tersebut.

2
Siregar, C. M., Siregar, F. S., Nasution, K., Pasaribu, H., & Muliawan, R. (2021). Dampak Trauma
Kekerasan dalam Rumah Tangga Terhadap Perkembangan Psikis Anak. Al-Mursyid: Jurnal Ikatan
Alumni Bimbingan Dan Konseling Islam (IKABKI), 3(1).
3
Alimi, R., & Nurwati, N. (2021). FAKTOR PENYEBAB TERJADINYA KEKERASAN DALAM RUMAH
TANGGA TERHADAP PEREMPUAN. Jurnal Pengabdian Dan Penelitian Kepada Masyarakat
(JPPM), 2(1).
Secara psikologis, anak bukan orang dewasa dalam ukuran mini
melainkan anak merupakan subjek yang masih rawan dalam tahap
perkembangan kapasitas (evolving capacities), yang sangat erat kaitannya
dengan kausalitas antara pemenuhan dan perlindungan atas hak hidup dan
hak kelangsungan hidupnya, hak atas tumbuh dan berkembang anak serta
hak atas perlindungan dari suatu kekerasan dan juga dari diskriminasi.
Sehingga dalam pemahaman yuridis konstitusional, hak-hak anak tersebut
tidak terpisah-pisahkan antara satu dengan yang lainnya, yakni antara hak
hidup dan hak kelangsungan hidupnya, hak atas tumbuh dan berkembang
anak serta hak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.4

Kondisi mental seorang anak sangatlah rapuh, anak-anak cenderung


menangkap dan mengingat apa yang dialaminya ketika masih kecil.
Kekerasan yang terjadi dalam rumah tangga (KDRT) dapat berkontribusi
terhadap persoalan jangka pendek dan jangka panjang bagi anak yang
mengalaminya. Persoalan yang muncul dalam jangka pendek bisa seperti
ancaman pada keselamatan anak, merusak struktur keluarga, serta
munculnya berbagai gangguan mental. Sedangkan masa panjang akan
memunculkan potensi anak terlibat dalam perilaku kekerasan dan pelecehan
di masa depan, baik sebagai pelaku maupun korban.5 Istilah kekerasan pada
anak atau child abuse itu sendiri adalah dipakai untuk menggambarkan
kekerasan yang terjadi pada anak di bawah usia 18 tahun yang gangguannya
diperoleh dari orang tua atau pengasuhannya yang merugikan secara fisik
mental juga perkembangan anak itu sendiri. Artinya kekerasan pada anak ini
dapat diartikan peristiwa yang melukai fisik, mental dan seksual yang
dilakukan oleh orang yang seharusnya bertanggung jawab pada
kesejahteraan anak yang merugikan dan mengancam anak.6

Anak yang mengalami perkembangan seperti hal tersebut di atas


cenderung memiliki perasaan cepat sedih, cepat marah, ingin menangis,
ketakutan yang berlebihan, merasa bersalah, merasa tidak berdaya dan

4
Parawansa, A., Nawi, S., & Badaru, B. (2022). Interpretasi Psikologi Hukum Terhadap Perlindungan
Anak Dalam Pembaharuan Hukum Pidana Di Indonesia. Journal of Lex Generalis (JLG), 3(3).
5
Yanti, P. E., & Agustina, L. F. (2022). GAMBARAN PSIKOSOSIAL ANAK KORBAN KEKERASAN
DALAM RUMAH TANGGA. Ash-Shudur: Jurnal Bimbingan Dan Konseling Islam, 2(1).
6
Ibid.
merasa tidak dipahami oleh orang-orang disekitarnya. Apalagi kondisi dalam
rumah tangga tidak dapat diselesaikan secara kekeluargaan bahkan
penyelesaiannya melibatkan aparat kepolisian, hal ini akan sangat
mempengaruhi kondisi psikologi seorang anak terutama dalam lingkungan
pergaulan.7

Seorang anak pada dasarnya membutuhkan perawatan, perlindungan,


pengajaran, dan kasih sayang dari orang tuanya. Hal ini dilakukan untuk
menjamin pertumbuhan fisik dan mental mereka. Keluarga yang bahagia,
penuh kasih sayang, dan pengertian akan menjadi faktor utama dalam
perkembangan kepribadian anak secara utuh. Maka, anak-anak yang
menyaksikan kekerasan yang terjadi pada orang tuanya akan menjadi korban
dan secara langsung akan mengalami gangguan perkembangan psikologis
dan sosial yang seterusnya akan berdampak buruk terhadap kehidupannya
kedepan. Berdasarkan duduk perkara yang telah diuraikan, setelah mendapat
ancaman dan kekerasan fisik dari terdakwa, anak korban pastilah mengalami
rasa takut dan trauma yang mendalam akibat perbuatan terdakwa selama ini.
Hal tersebut dapat dibuktikan dari keterangan Saksi 1 yang merupakan Ibu
korban.

Faktor-faktor terjadinya kekerasan dalam rumah tangga, khususnya


faktor yang melatarbelakangi pelaku melakukan kekerasan terhadap anggota
keluarganya adalah faktor psikologis dan faktor individu8, antara lain kondisi
psikologis yang buruk, seperti masalah emosional, gangguan mental, atau
ketidakstabilan emosi, rendahnya pengendalian diri, kecenderungan untuk
menjadi agresif, atau kurangnya empati, yang dapat meningkatkan risiko
terjadinya KDRT. Dalam keterangan korban di depan persidangan, korban
mengatakan bahwa terdakwa dalam sehari-hari kalau di rumah memang
gampang marah-marah dan sering menganiaya korban apabila perintahnya
tidak dituruti.

7
Resmini, W., Sundara, K., & Resmayani, N. P. A. (2019). KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA
DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PSIKOLOGI ANAK. SELAPARANG: Jurnal Pengabdian
Masyarakat Berkemajuan, 3(1).
8
Setiawan, N. H., Devi, S. S., Damayanti, L., Pramudya, F., & Antony, H. (2023). PEMAHAMAN DAN
FAKTOR – FAKTOR PENYEBAB KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA: TINJAUAN LITERATUR.
Civilia : Jurnal Kajian Hukum Dan Pendidikan Kewarganegaraan, 3(2).
Kekerasan dalam rumah tangga dapat menimbulkan tekanan yang
mengganggu kondisi psikis seseorang. Oleh sebab itu, KDRT tidak hanya
berdampak pada fisik korban, melainkan berdampak juga pada kondisi
psikologis korbannya. Rasa takut yang dalam terhadap anak juga salah satu
dampak dari kekerasan dalam rumah tangga yang mengakibatkan seorang
anak memiliki sikap tertutup terhadap lingkungannya.9 Pada kasus yang
diuraikan di atas, yang menjadi korban KDRT merupakan sang anak itu
sendiri. Anak tersebut masih berusia di bawah 13 tahun tapi harus hidup di
bawah keluarga yang telah terpecah belah, kemudian harus merasakan
kekerasan fisik dan psikis dari ayahnya sendiri.

Korban KDRT dapat mengalami dampak jangka panjang, seperti


kecenderungan untuk menjadi korban KDRT di masa depan atau mengalami
gangguan kesehatan mental yang berkepanjangan.10 Anak tersebut bisa saja
mengalami gangguan akibat peristiwa-peristiwa yang menguras mentalnya,
dan akan tumbuh berkembang dengan gangguan-gangguan tersebut. Secara
fisik, korban KDRT seperti anak dalam kasus ini telah mengalami cedera
fisik, seperti memar, luka, atau bahkan cedera yang mengancam jiwa, serta
dapat mengalami gangguan kesehatan, seperti sakit kepala, sakit perut, dan
gangguan pencernaan. Sedangkan gangguan psikis yang dapat dialami oleh
korban adalah trauma psikologis seperti depresi, kecemasan, stres
pasca-trauma, gangguan tidur, merasa takut dan khawatir tentang keamanan
mereka dan keamanan keluarga mereka. Korban KDRT dapat merasa
terisolasi dari keluarga dan teman-teman mereka, dan sulit dalam
membangun hubungan yang sehat dengan orang lain.

2. Tinjauan Kesaksian Saksi, Perilaku Para Pihak, dan Argumen


Hukum
Pasal 1 Angka 27 menyebutkan bahwa “keterangan saksi adalah suatu
alat bukti dalam perkara pidana yang berupa keterangan dari saksi mengenai
suatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami
sendiri dengan menyebut alasan dari pengetahuan itu”. Dalam perkara ini,
Jaksa Penuntut Umum menghadirkan tiga orang saksi, yakni:

9
Ibid.
10
Ibid.
1. Saksi Anak Korban, merupakan orang yang mengalami peristiwa
KDRT itu secara langsung. Artinya, Anak Korban merupakan Saksi
Korban.
2. Saksi 1, merupakan Ibu dari anak korban, Saksi 1 merupakan orang
yang melihat secara langsung peristiwa kekerasan tersebut.
3. Saksi 2, merupakan nenek dari anak korban, saksi 2 juga merupakan
orang yang melihat dan mendengar secara langsung perbuatan
kekerasan terdakwa terhadap anak korban.

Ada ketidaksesuaian dalam keterangan saksi korban dengan kronologi


kasus ini. Dalam kronologi kasus ini, terdakwa alias ayah korban marah
karena korban tidak bergegas menuruti perintah terdakwa yang menyuruh
korban untuk pergi membeli obat karena saat itu korban memang sakit.
Namun, dalam kesaksian korban, terdakwa marah karena korban tidak
menuruti perintah terdakwa yang kala itu menyuruh korban untuk
membelikannya makanan di warung makan. Hal tersebut juga dikuatkan
dengan keterangan Saksi 1 yang merupakan ibu dari korban yang
mengatakan bahwa ia diberitahu oleh korban bahwa awal mula
permasalahannya memang karena korban tidak menuruti perintah terdakwa
yang menyuruh korban untuk membeli roti di warung. Bahkan, dalam
dakwaan kedua dikatakan bahwa terdakwa sempat menyiramkan air di atas
kepala korban yang saat itu tidak menuruti perintahnya. Akan tetapi, dalam
keterangan korban, korban tidak memberitahu bahwa ia sempat disiram oleh
terdakwa.

Hal tersebut bisa saja terjadi, sebab kejadian yang menimbulkan stres
membuat peningkatan memori saksi, karena peristiwa yang traumatik
menyebabkan saksi/korban memfokuskan perhatian pada kejadian.
Bagaimanapun terjadi perbedaan individual pada saksi, misalnya perbedaan
kemampuan menghadapi masalah (coping style) tiap saksi akan memberikan
perbedaan kebenaran kesaksian. Kondisi emosi subjek juga berpengaruh
dalam penyimpanan memori (encoding) juga berdampak pada retrieval. Kita
sering mengalami bahwa dalam kondisi cemas menghadapi ujian maka
banyak materi yang terlupakan.
Terlepas dari adanya ketidaksesuaian tersebut, memang terdakwa
mengakui keterangan para saksi yang dihadirkan di muka persidangan.
Terdakwa dalam permohonannya secara lisan di muka persidangan yang
pada pokoknya memohon keringanan hukuman mengatakan bahwa ia
merasa bersalah, menyesal, dan tidak akan lagi mengulangi perbuatannya.
Meskipun demikian, Jaksa Penuntut Umum menolak permohonan tersebut
dan tetap pada tuntutannya. Bagaimanapun juga, kasus kekerasan dalam
rumah tangga memang tidak bisa dibenarkan, setiap keluarga biasanya
memiliki cara tersendiri untuk menyelesaikan masalahnya. Jika masalah
diselesaikan dengan cara yang benar maka masalah akan segera selesai dan
jika masalah tersebut diselesaikan dengan cara yang salah masalah hanya
akan semakin bertambah.

Dalam keterangan korban, korban telah dianiaya sejak bulan Januari


2023 hingga bulan Juni 2023. Dalam waktu lima bulan, korban telah menahan
rasa takut, sedih, cemas, dan trauma. Pada saat dimintai keterangan, korban
sulit diajak berkomunikasi dua arah akibat rasa trauma yang mendalam pada
dirinya. Pada perkara ini, dapat diasumsikan bahwa ketika orangtua korban
bercerai, hak asuh jatuh pada ayah korban yakni terdakwa dalam perkara ini.
Namun, sang ibu juga sangat menyayangi anaknya, oleh sebab itu mungkin
sang ibu mengambil kontrakan dekat dengan rumah terdakwa agar korban
sewaktu-waktu dapat berkunjung ke rumah sang ibu. Jika dilihat dalam kasus
ini, saat peristiwa tersebut terjadi, sang ibulah yang menampung korban untuk
sementara ketika korban sedang sakit, dan sang ibulah yang juga membela,
menahan, menolong, serta mencari bantuan ketika korban dianiaya di rumah
ibu korban. Sebagai sang ibu, pasti merasa sangat sedih melihat anaknya
dianiaya. Tidak dapat dipungkiri, sang ibu yang merupakan saksi 1 dan sang
nenek yang merupakan saksi 2 pasti merasa sedih dan marah ketika
mengingat kembali peristiwa tersebut saat memberikan keterangannya di
muka persidangan.

Dalam perkara ini, sudah jelas bahwa perilaku terdakwa dan


penyesalan terdakwa yang disampaikan secara lisan di muka persidangan
hanya karena perbuatannya telah diadili dan dituntut secara hukum oleh
aparat penegak hukum. Selama lima bulan, terdakwa kerap melakukan
kekerasan fisik pada korban yang menimbulkan luka fisik dan traumatik pada
diri korban yang merupakan anak sendiri. Namun, dalam pertimbangan
hukumnya, majelis hakim masih memberikan keringanan pada terdakwa
karena terdakwa merupakan tulang punggung keluarga, serta hanya karena
terdakwa dan korban memiliki hubungan keluarga yaitu ayah dan anak.
Hukuman delapan bulan penjara dengan denda Rp. 5.000,- tidak cukup untuk
memberi efek jera yang serius pada terdakwa dan tidak cukup untuk
memulihkan kesehatan mental korban.

Perbuatan yang dilakukan terdakwa membekas selamanya dalam


ingatan korban. Waktu delapan bulan penjara tidak cukup untuk memulihkan
kepercayaan korban terhadap orangtuanya. Upaya pemulihan (recovery)
gangguan stress pasca-trauma (post-traumatic stress disorder) telah
dilakukan oleh banyak ahli terapi, termasuk korban trauma itu sendiri. Namun
dari berbagai upaya tersebut ada beberapa kasus yang berhasil ditangani dan
tidak sedikit pula yang gagal.

3. Tinjauan Putusan Hakim


Berdasarkan pertimbangan hukumnya, majelis hakim memberikan
keringanan kepada terdakwa sebab terdakwa merupakan tulang punggung
keluarga dan memiliki ikatan keluarga dengan korban. Meskipun terdakwa
dalam permohonannya secara lisan yang pada pokoknya memohon
keringanan hukuman yang mengatakan bahwa ia merasa bersalah,
menyesal, dan tidak lagi mengulangi perbuatannya tersebut ditolak oleh
Jaksa Penuntut Umum. Tetapi, mungkin majelis hakim memiliki pertimbangan
lain dan memiliki pandangan lain terkait permohonan lisan terdakwa. Bisa
saja, dalam penyampaian permohonan tersebut terdakwa
bersungguh-sungguh merasa bersalah, menyesal, dan tidak lagi mengulangi
perbuatannya.

Prediksi ilmiah terhadap perilaku hakim dan putusan indikator yang


merupakan aspek psikologis dalam hubungannya dengan lahirnya putusan
hakim dalam perkara pidana terbatas pada faktor kemampuan (ability),
integritas (willingnes), dan pengalaman. Keseluruhan faktor ini berkaitan
dengan diri atau pribadi aparat penegak hukum secara individu. Psikologi
hukum berasumsi bahwa karakteristik dan partisipan sistem hukum ini
mempengaruhi cara kerjanya sistem hukum.Di dalam karakteristik tersebut,
tercangkup kemampuan dari orang-orang tersebut, perspektif mereka,
nilai-nilai mereka, pengalaman mereka serta seluruh faktor yang
mempengaruhi perilaku mereka. Oleh karenanya, menurut Holmes,
standar-standar moral serta prinsip-prinsip moral yang dianut oleh hakim
secara psikologis sangat mempengaruhi keputusan dan kebijakan mereka,
dan karena putusan hakim adalah hukum, maka dari itu berarti bahwa
standar-standar moral dan prinsip-prinsip moral hakim ikut berpengaruh
dalam pembuatan “judge made law” (hukum buatan hakim, yaitu putusan).11

Hakim pada hakikatnya juga merupakan seorang manusia yang


memiliki nurani, yang dimana hal tersebut dapat memberikan bias atau
mempengaruhi seorang hakim dalam memberikan putusan. Sehingga
tentunya kita juga harus melihat peran seorang hakim dalam memberikan
putusan kepada pelaku dalam perkara tersebut. faktor-faktor apakah yang
mempengaruhi seorang hakim dalam penentuannya memberikan sanksi,
tentunya hal tersebut dapat dilihat dari keadaan psikologis hakim yang
bersangkutan, sebab keadaan psikologi seseorang dalam hal ini seorang
hakim juga sangat berpengaruh dalam pengambilan keputusan.

Dari uraian perkara, kepribadian dan psikologis hakim dalam perkara


ini tetap berusaha profesional dan tidak memihak. Meskipun demikian, dalam
pertimbangan hukumnya, hakim memberi keringanan terhadap terdakwa
karena terdakwa merupakan ayah dari korban dan merupakan tulang
punggung keluarga. Artinya, hakim mengkhawatirkan kelangsungan hidup
sang anak yang masih remaja, mengingat sang ayah akan menjalani sanksi
pidana penjara selama delapan bulan, maka hal tersebut tentu akan
berdampak pada keadaan finansial sang anak yang sekaligus merupakan
korban dalam perkara ini.

11
Satriani, I., Adhayanto, O., & Sucipta, P. R. (2020). TINJAUAN PSIKOLOGI HUKUM TERHADAP
PUTUSAN HAKIM DALAM TINDAK PIDANA KEKERASAN PSIKIS YANG DILAKUKAN SUAMI
KEPADA ISTRI(Studi Kasus Putusan Nomor 36/Pid.Sus/2015/PN Tpg). Student Online Journal (SOJ)
UMRAH - Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik, 1(2).
Hakim juga mempertimbangkan hubungan ayah dan anak menjadi
keadaan yang meringankan terdakwa. Artinya, hakim menilai bahwa
bagaimanapun juga hal tersebut tidak menghapuskan atau memutuskan
hubungan keluarga antara terdakwa dan korban. Dalam hal kehakiman, kaum
realis memberikan beberapa kajian yang bernuansa psikologi hukum yaitu;
pengaruh pandangan moral seseorang terhadap hukum dan perilaku hakim,
the point of view of the bad man (sudut pandang orang jahat), dan teori-teori
prediksi terhadap apa yang akan diputuskan oleh pengadilan. Sebagai hakim
yang memberikan keputusan, standar-standar moral serta prinsip moral yang
dianut oleh hakim mempengaruhi keputusan dan kebijakan mereka dalam
proses persidangan.12

Hakim dalam menjatuhkan putusan harus mempertimbangkan banyak


hal, baik itu yang berkaitan dengan perkara yang sedang diperiksa, kadar
perbuatan dan kesalahan yang dilakukan pelaku, kepentingan pihak korban
maupun keluarganya serta mempertimbangkan pula rasa keadilan
masyarakat. Dengan demikian putusan hakim disatu pihak berguna bagi
terdakwa untuk memperoleh kepastian hukum (rechts zekerheids) tentang
statusnya dan sekaligus menentukan sikapnya atas putusan tersebut. Dilain
pihak, Hakim yang mengadili perkara juga diharapkan dapat memberikan
putusan yang mencerminkan nilai-nilai keadilan dengan memperhatikan sifat
baik atau sifat jahat dari terdakwa sehingga putusan yang dijatuhkan setimpal
dengan kesalahan terdakwa.13

Seorang Hakim sebagai seorang pejabat diharapkan


bertanggungjawab atas putusan yang dijatuhkannya dalam pengadilan.
Dalam KUHAP pelaksanaan putusan pengadilan diatur mulai dari Pasal 270
sampai dengan Pasal 276. Pelaksanaan putusan pengadilan yang telah
mempunyai kekuatan hukum tetap dalam perkara dilakukan oleh jaksa.
Apabila putusan pengadilan tersebut berupa perampasan kemerdekaan,
maka peranan hakim sebagai pejabat yang diharapkan juga

12
Launiyah, L., & Rochim, F. (2022). Psikologi Hukum dalam Penyelesaian Perkara Secara E-Litigasi
dan Non E-Litigasi Perspektif Hakim Pengadilan Agama. Islamic Law Jurnal Siyasah, 7(2).
13
Satriani, I., Adhayanto, O., & Sucipta, P. R. Op. Cit
bertanggungjawab atas putusan yang dijatuhkannya, tidak berhenti pada saat
menjatuhkan putusan tersebut.

Pada dasarnya, sistem pembuktian yang digunakan di Indonesia


adalah negative wettelijk dengan dasar hukumnya Pasal 183 KUHAP, “Hakim
tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan
sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa
suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang
bersalah melakukannya”. Dalam kasus ini, alat bukti yang dihadirkan di
persidangan ada dua, yaitu keterangan saksi dan alat bukti berupa Visum et
Repertum. Hakim menunjukkan kewaspadaan tinggi terhadap teori
pembuktian yang digunakan, yaitu La Conviction Rais Onnee. Menurut teori
ini hakim dapat memutuskan seseorang bersalah berdasarkan keyakinan,
keyakinan yang didasarkan kepada dasar-dasar pembuktian yang disertai
coclusive.14

14
Tegar Kurnia Priamudi. 2021. Kekuatan Pembuktian CCTV dalam Sistem Peradilan Pidana (Studi
Putusan Nomor: 465/Pid.B/2019/PN Smg). Skripsi. Universitas Islam Sultan Agung.
C. PENUTUP

1. Kesimpulan

Secara umum faktor penyebab terjadinya kekerasan dalam rumah


tangga dapat digolongkan menjadi dua faktor, yaitu faktor eksternal dan faktor
internal. Faktor eksternal adalah faktor-faktor yang datang dari luar diri pelaku
kekerasan. Seorang pelaku yang awalnya bersifat normal atau tidak memiliki
perilaku dan sikap agresif bisa saja mampu melakukan tindak kekerasan jika
dihadapkan dengan situasi dibawah tekanan (stress), misalnya kesulitan
ekonomi yang berkepanjangan atau perselingkuhan atau ditinggalkan
pasangan atau kejadian-kejadian lainnya. Sedangkan faktor internal adalah
faktor yang bersumber pada kepribadian dari dalam diri pelaku itu sendiri
yang menyebabkan ia mudah sekali terprovokasi melakukan tindak
kekerasan, meskipun masalah yang dihadapinya tersebut relatif kecil.

Perbedaan kesaksian para saksi bisa saja berbeda, sebab kejadian


yang menimbulkan stres membuat peningkatan memori saksi, karena
peristiwa yang traumatik menyebabkan saksi/korban memfokuskan perhatian
pada kejadian. Bagaimanapun terjadi perbedaan individual pada saksi,
misalnya perbedaan kemampuan menghadapi masalah (coping style) tiap
saksi akan memberikan perbedaan kebenaran kesaksian. Kondisi emosi
subjek juga berpengaruh dalam penyimpanan memori (encoding) juga
berdampak pada retrieval.

Hakim dalam menjatuhkan putusan harus mempertimbangkan banyak


hal, baik itu yang berkaitan dengan perkara yang sedang diperiksa, kadar
perbuatan dan kesalahan yang dilakukan pelaku, kepentingan pihak korban
maupun keluarganya serta mempertimbangkan pula rasa keadilan
masyarakat. Dengan demikian putusan hakim disatu pihak berguna bagi
terdakwa untuk memperoleh kepastian hukum (rechts zekerheids) tentang
statusnya dan sekaligus menentukan sikapnya atas putusan tersebut.
DAFTAR PUSTAKA

Alimi, R., & Nurwati, N. (2021). FAKTOR PENYEBAB TERJADINYA KEKERASAN

DALAM RUMAH TANGGA TERHADAP PEREMPUAN. Jurnal Pengabdian

Dan Penelitian Kepada Masyarakat (JPPM), 2(1).

Aprilia Nugraheni. (2023). Dampak Kekerasan Dalam Rumah Tangga Terhadap

Dinamika Psikologis Anak Usia Dini. JAMPARING Jurnal Akuntansi

Manajemen Pariwisata Dan Pembelajaran Konseling, 1(1).

Launiyah, L., & Rochim, F. (2022). Psikologi Hukum dalam Penyelesaian Perkara

Secara E-Litigasi dan Non E-Litigasi Perspektif Hakim Pengadilan Agama.

Islamic Law Jurnal Siyasah, 7(2).

Parawansa, A., Nawi, S., & Badaru, B. (2022). Interpretasi Psikologi Hukum

Terhadap Perlindungan Anak Dalam Pembaharuan Hukum Pidana Di

Indonesia. Journal of Lex Generalis (JLG), 3(3).

Resmini, W., Sundara, K., & Resmayani, N. P. A. (2019). KEKERASAN DALAM

RUMAH TANGGA DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PSIKOLOGI ANAK.

SELAPARANG: Jurnal Pengabdian Masyarakat Berkemajuan, 3(1).

Satriani, I., Adhayanto, O., & Sucipta, P. R. (2020). TINJAUAN PSIKOLOGI HUKUM

TERHADAP PUTUSAN HAKIM DALAM TINDAK PIDANA KEKERASAN

PSIKIS YANG DILAKUKAN SUAMI KEPADA ISTRI(Studi Kasus Putusan

Nomor 36/Pid.Sus/2015/PN Tpg). Student Online Journal (SOJ) UMRAH -

Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik, 1(2).

Siregar, C. M., Siregar, F. S., Nasution, K., Pasaribu, H., & Muliawan, R. (2021).

Dampak Trauma Kekerasan dalam Rumah Tangga Terhadap Perkembangan

Psikis Anak. Al-Mursyid: Jurnal Ikatan Alumni Bimbingan Dan Konseling Islam

(IKABKI), 3(1).
Yanti, P. E., & Agustina, L. F. (2022). GAMBARAN PSIKOSOSIAL ANAK KORBAN

KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA. Ash-Shudur: Jurnal Bimbingan Dan

Konseling Islam , 2(1).

Setiawan, N. H., Devi, S. S., Damayanti, L., Pramudya, F., & Antony, H. (2023).

PEMAHAMAN DAN FAKTOR – FAKTOR PENYEBAB KEKERASAN DALAM

RUMAH TANGGA: TINJAUAN LITERATUR. Civilia : Jurnal Kajian Hukum

Dan Pendidikan Kewarganegaraan, 3(2).

Anda mungkin juga menyukai