Anda di halaman 1dari 8

JANGAN SAMPAI TERJADI KEKERASAN SEKSUAL PADA ANAK

Dina Yulia Puspita


S1 FAKULTAS KEPERAWATAN DAN KEBIDANAN
IIK STRADA INDONESIA
dinaallo1003@gmail.com

Abstak
Anak memiliki peran strategis dalam menjamin eksistensi bangsa dan negara di masa
mendatang. Agar mereka mampu memikul tanggung jawab itu, mereka perlu mendapat
kesempatan yang seluas-luasnya untuk tumbuh dan berkembang secara optimal, baik fisik,
mental, maupun spiritual. Karenanya segala bentuk kekerasan pada anak perlu dicegah dan
diatasi. Kekerasan pada anak sudah sangat sering terjadi, baik di sekolah, di rumah, maupun di
tempat umum. Anak yang menjadi korban kekerasan seksual akan mengalami depresi. Anak
akan cenderung pendiam, ketakutan ketika harus keluar rumah, murung, dan tidak banyak
bicara. Kekerasan pada anak harus segera dihentikan, agar tidak ada lagi anak yang menjadi
korban.
Kata kunci : anak, korban, kekerasan seksual

Abstract
Children have a strategic role in ensuring the existence of the nation and state in the future. In
order for them to be able to assume that responsibility, they need to get the widest possible
opportunity to grow and develop optimally, both physically, mentally and spiritually. Therefore
all forms of violence against children need to be prevented and overcome. Violence against
children is very common, both at school, at home, and in public places. Children who are victims
of sexual violence will experience depression. Children will tend to be quiet, scared when they
have to leave the house, moody, and don't talk much. Violence against children must be stopped
immediately, so that no more children become victims.
Keywords: children, victims, sexual violence,

Latar Belakang
Menurut Undang - Undang Republik Indonesia nomor 23 tahun 2002 pasal 1 ayat 1
tentang perlindungan anak, anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun, termasuk juga
yang masih di dalam kandungan[1]. Secara umum dikatakan anak adalah seorang yang
dilahirkan dari perkawinan antara seorang perempuan dengan seorang laki-laki dengan tidak
menyangkut bahwa seseorang yang dilahirkan oleh wanita meskipun tidak pernah melakukan
pernikahan tetap dikatakan anak. Anak juga merupakan cikal bakal lahirnya suatu generasi baru
yang merupakan penerus cita-cita perjuangan bangsa dan sumber daya manusia bagi
pembangunan Nasional. Anak adalah aset bangsa. Masa depan bangsa dan Negara dimasa yang
akan datang berada ditangan anak sekarang. Semakin baik keperibadian anak sekarang maka
semakin baik pula kehidupan masa depan bangsa. Begitu pula sebaliknya, apabila keperibadian
anak tersebut buruk maka akan bobrok pula kehidupan bangsa yang akan datang.
Anak sangat rentan mengalami kekerasan seksual karena anak selalu diposisikan sebagai
pihak yang lemah dan memiliki ketergantungan yang tinggi kepada orang dewasa di sekitarnya.
Di Indonesia kasus pelecehan seksual setiap tahunnya mengalami peningkatan, korbannya bukan
hanya dari kalangan dewasa saja sekarang sudah merambah ke remaja, anak-anak, bahkan pada
balita. Ironisnya, pelaku pelecehan seksual pada anak kebanyakan berasal dari lingkungan
keluarga atau lingkungan sekitar anak itu berada, antara lain di dalam rumahnya sendiri, sekolah,
lembaga pendidikan dan lingkungan sosial anak.

Kasus/Masalah
1. Bagaimana dampak kekerasan seksual yang terjadi pada anak?
2. Bagaimana peran Orang tua, masyarakat, dan negara dalam menangani kekerasan seksual
pada anak?

Tinjauan Pustaka
1. Perbedaan Kekerasan Seksual dan Pelecehan Seksual
Kekerasan Seksual adalah setiap perbuatan merendahkan, menghina, menyerang
dan/atau tindakan lainnya, terhadap tubuh yang terkait dengan nafsu perkelaminan, hasrat
seksual seseorang, dan/atau fungsi reproduksi, secara paksa, bertentangan dengan
kehendak seseorang, dan/atau tindakan lain yang menyebabkan seseorang itu tidak
mampu memberikan persetujuan dalam keadaan bebas, karena ketimpangan relasi kuasa,
relasi gender dan/atau sebab lain, yang berakibat atau dapat berakibat penderitaan atau
kesengsaraan terhadap secara fisik, psikis, seksual, kerugian secara ekonomi, sosial,
budaya, dan/atau politik.
Sedangkan, Pelecehan Seksual yaitu tindakan seksual lewat sentuhan fisik
maupun nonfisik dengan sasaran organ seksual atau seksualitas korban. Tindakan yang
dimaksud termasuk juga siulan, main mata, ucapan bernuansa seksual, mempertunjukkan
materi pornografi dan keinginan seksual, colekan atau sentuhan di bagian tubuh, dan
gerakan atau isyarat yang bersifat seksual sehingga mengakibatkan rasa tidak nyaman,
tersinggung,merasa direndahkan martabatnya, dan mungkin sampai menyebabkan
masalah kesehatan dan keselamatan[2]. Jadi, Pelecehan Seksual adalah salah satu jenis
perbuatan Kekerasan Seksual.
2. Bentuk Kekerasan Seksual Terhadap Anak
Kekerasan terhadap anak (child abuse) secara teoritis dapat didefinisikan sebagai
peristiwa pelukaan fisik, mental, atau seksual yang umumnya dilakukan oleh orang yang
mempunyai tanggung jawab terhadap kesejahteraan anak, seperti orang tua, keluarga
dekat, dan guru, diindikasikan dengan kerugian dan ancaman terhadap kesehatan dan
kesejahteraan anak. Sedangkan kekerasan kepada anak menurut WHO adalah suatu
tindakan penganiyaan atau perlakuan salah terhadap anak dalm bentuk menyakiti fisik,
emosional, seksual, melalaikan pengasuhan dan eksploitasi untuk kepentingan komersial
yang secara nyata ataupun tidak, dapat membahayakan kesehatan kelangsungan hidup,
martabat dan perkembangannya[3].
Bentuk kekerasan seksual pada anak adalah segala tindakan yang mencakup
pelecehan dan kekerasan pada anak di bawah umur. Ada bermacam bentuk kekerasan
seksual yang bisa terjadi pada anak, yaitu: 
a) Eksibisionisme, atau mengekspos alat kelamin sendiri kepada anak di
bawah umur.
b) Melakukan kontak fisik, seperti memegang atau menyentuh.
c) Melakukan hubungan intim ke anak. 
d) Masturbasi di hadapan anak di bawah umur atau memaksa anak di bawah
umur untuk masturbasi.
e) Percakapan cabul, panggilan telepon, pesan teks, atau interaksi digital
lainnya.
f) Memproduksi, memiliki, atau membagikan gambar atau film porno anak-
anak.
g) Perdagangan seks.
3. Dampak Kekerasan Seksual Terhadap Anak
Adapun dampak psikis dan fisik dari perbuatan pelecehan seksual tersebut
yaitu:
1 Dampak secara psikis dari perbuatan ini sangat mudah di ketahui dan
dipahami oelh orang-orang terdekt dengan korban , sebab dari perbuatan
tersebut anak akan menunjukan sikap yang tidak biasanya di lakukan. Dari
sikap inilah orang terdekat korban mengetahuinya seperti hilnagnya napsu
makan pada anak, tidak lagi bersemangat dan tidak mau sekolah, menjadi
introvert tidak berbaur dengan orang-orang, takut dengan orang baru
kenal/ tidak kenal, dan bahkan bisa trauma jika melihat suatu benda atau
tempat yang mengingatkan korban pada kejadian yang telah di alaminya.
Psikis anak sangatlah lemah tidak seperti orang dewasa pada umumnya,
anak yang masih awam terhadap seputar pengetahuan seksual tentu tidak
akan mengerti atas apa yang telah di alaminya bahkan tidak mengetahui
bahwa dirinya sudah menjadi korban pelecehan seksual.
2 Dampak secara fisik yang dialami oleh korban yaitu:
a. sulitnya untuk tidur,
b. sakit kepala,
c. nafsu makan menurun,
d. berasa sakit di area kemaluan,
e. beresiko tertulat penyakit menular,
f. luka lebab dari akibat tindakan tersebut
g. hinggal yang paling parah korban sampai hamil karena hubungan
seksual tersebut[4].
4. Faktor Penyebab Terjadinya Kekerasan Seksual Pada Anak
Menurut Hari (1980 dalam Wickman dan West, 2002) jika dilihat dari sudut
pandang pelaku kekerasan seksual dapat dilihat bahwa terdapat 2 bagian dari faktor
penyebab terjadinya kekerasan seksual pada anak yaitu faktor internal dan eksternal.
1. Faktor Internal
Faktor penyebab ini merupakan faktor yang terdapat dalam diri individu. Faktor
ini khusus dapat dilihat pada diri individu dan hubungannya dengan kejahatan
seksual.
a. Faktor Biologis, manusia pada dasarnya memiliki berbagai macam
kebutuhan yang harus dipenuhi. Kebutuhan tersebut meliputi, kebutuhan
akan makanan, seksual dan juga proteksi. Masing-masing kebutuhan
tersebut masing-masing menuntut pemenuhan salah satunya kebutuhan
seksual.
b. Faktor Moral, faktor ini merupakan faktor penting untuk menentukan
timbulnya kejahatan karena merupakan filter terhadap munculnya
perilaku yang menyimpang.
c. Faktor Kejiwaan, kondisi kejiwaan dari seseorang yang tidak normal
dapat mendorong seorang individu melakukan kejahatan.
2. Faktor Eksternal
Faktor penyebab eksternal merupakan faktor yang terdapat dari luar sisi pelaku.
a. Faktor Media Massa, media massa yang merupakan sarana informasi
dalam kehidupan seksual. Banyaknya informasi yang dikabarkan oleh
media massa banyak yang diwarnai dramatisasi umumnya digambarkan
tentang kepuasan pelaku. Hal ini pun dapat merangsang para pembaca
yang bermental jahat memperoleh ide untuk melakukan kejahatan
seksual.
b. Faktor Ekonomi, faktor ekonomi yang sulit dapat mempengaruhi
seseorang memperoleh pendidikan yang rendah. Secara umum, seseorang
yang berpendidikan rendah cenderung mendapatkan pekerjaan yang tidak
layak dan dengan keadaan perekonomian yang semakin lama
mempengaruhi pokok-pokok kehidupan masyarakat dapat menimbulkan
peningkatan kriminalitas termasuk kasus kejahatan seksual.
c. Faktor Sosial Budaya, Meningkatnya kasus kejahatan asusila atau
pemerkosaaan terkait dengan aspek sosial budaya. Akibat dari
modernisasi berkembanglah budaya yang semakin terbuka dan pergaulan
yang semakin bebas.
5. Peran OrangTua, Masyarakat, dan Negara dalam Kekerasan Seksual pada Anak
a. Peran Orang Tua
Orangtua memegang peranan penting dalam menjaga anak-anak dari
ancaman kekerasan seksual. Orangtua harus benar-benar peka jika melihat sinyal
yang tak biasa dari anaknya. Namun, tak semua korban kekerasan seksual bakal
menunjukkan tanda-tanda yang mudah dikenali. Terutama apabila si pelaku
melakukan pendekatan secara persuasif dan meyakinkan korban apa yang terjadi
antara pelaku dan korban merupakan hal wajar.
Menurut beberapa penelitian yang dilansir oleh Protective Service for
Children and Young People Department of Health and Community Service (1993)
keberadaan dan peranan keluarga sangat penting dalam membantu anak
memulihkan diri pasca pengalaman kekerasan seksual mereka. Orang tua (bukan
pelaku kekerasan) sangat membantu proses penyesuaian dan pemulihan pada diri
anak pasca peristiwa kekerasan seksual tersebut. Pasca peristiwa kekerasan
seksual yang sudah terjadi, orang tua membutuhkan kesempatan untuk mengatasi
perasaannya tentang apa yang terjadi dan menyesuaikan diri terhadap perubahan
besar yang terjadi. Selain itu juga, orang tua membutuhkan kembali kepercayaan
diri dan perasaaan untuk dapat mengendalikan situasi yang ada. Proses pemulihan
orang tua berkaitan erat dengan resiliensi yang dimiliki oleh orang tua sebagai
individu dan juga resiliensi keluarga tersebut.
b. Peran Masyarakat
Penanganan kekerasan seksual terhadap anak, perlu adanya peran serta
masyakarat, dengan memerhatikan aspek pencegahan yang melibatkan warga dan
juga melibatkan anak-anak, yang bertujuan memberikan perlindungan pada anak
di tingkat akar rumput. Keterlibatan anak-anak dibutuhkan sebagai salah satu
referensi untuk mendeteksi adanya kasus kekerasan yang mereka alami. Minimal,
anak diajarkan untuk mengenali, menolak dan melaporkan potensi ancaman
kekerasan. Upaya perlindungan anak dilakukan dengan membangun mekanisme
lokal, yang bertujuan untuk menciptakan jaringan dan lingkungan yang protektif.
Oleh karena itu, perlindungan anak disini berbasis pada komunitas.
Komunitas yang dimaksud merupakan bagian dari kelompok masyarakat yang
peduli pada berbagai permasalahan di masyarakatnya, khususnya permasalahan
kekerasan seksual terhadap anak. Hal ini sesuai dalam buku Cluetrain Manifesto
(Kertajaya dan Hermawan, 2008), bahwa komunitas adalah sekelompok orang
yang saling peduli satu sama lain lebih dari yang seharusnya, dimana dalam
sebuah komunitas terjadi relasi pribadi yang erat antar para anggota komunitas
tersebut karena adanya kesamaan interest atau values. Masyarakat diharapkan ikut
mengayomi dan melindungi korban dengan tidak mengucilkan korban, tidak
memberi penilaian buruk kepada korban. Perlakuan semacam ini juga dirasa
sebagai salah satu perwujudan perlindungan kepada korban, karena dengan sikap
masyarakat yang baik, korban tidak merasa minder dan takut dalam menjalani
kehidupan bermasyarakat.
c. Peran Negara
Negara dalam hal ini pemerintah adalah pihak yang bertanggung jawab
penuh terhadap kemaslahatan rakyatnya, termasuk dalam hal ini adalah menjamin
masa depan bagi anak-anak kita sebagai generasi penerus. Oleh karena itu,
Pemerintah bertanggung jawab untuk melindungi warga negaranya dari korban
kekerasan seksual yang terjadi pada anak-anak. Tetapi dalam kenyataannya,
meskipun sudah ada jaminan peraturan yang mampu melindungi anak, namun
fakta membuktikan bahwa peraturan tersebut belum dapat melindungi anak dari
tindakan kekerasan seksual. Oleh karena itu, upaya yang harus menjadi prioritas
utama (high priority) untuk melindungi anak dari tindakan kekerasan seksual
adalah melalui reformasi hukum. Reformasi hukum yang harus dilakukan pertama
kali adalah dengan cara mentransformasi paradigma hukum. Spirit untuk
melakukan reformasi hukum dilandasi dengan paradigma pendekatan berpusat
pada kepentingan terbaik bagi anak (a child-centred approach) berbasis
pendekatan hak[5].

Pembahasan
Pelecehan seksual terhadap anak adalah suatu bentuk penyiksaan anak di mana orang
dewasa atau remaja yang lebih tua menggunakan anak untuk rangsangan seksual. Bentuk
pelecehan seksual anak termasuk meminta atau menekan seorang anak untuk melakukan
aktivitas seksual (terlepas dari hasilnya), memberikan paparan yang tidak senonoh dari alat
kelamin untuk anak, menampilkan pornografi untuk anak, melakukan hubungan seksual terhadap
anak-anak, kontak fisik dengan alat kelamin anak (kecuali dalam konteks non-seksual tertentu
seperti pemeriksaan medis), melihat alat kelamin anak tanpa kontak fisik (kecuali dalam konteks
non-seksual seperti pemeriksaan medis), atau menggunakan anak untuk memproduksi pornografi
anak.Efek kekerasan seksual terhadap anak antara lain depresi, gangguan stres pascatrauma,
kegelisahan, kecenderungan untuk menjadi korban lebih lanjut pada masa dewasa, dan dan
cedera fisik untuk anak di antara masalah lainnya.
Menurut Lyness (Maslihah, 2006) kekerasan seksual terhadap anak meliputi tindakan
menyentuh atau mencium organ seksual anak, tindakan seksual atau pemerkosaan terhadap anak,
memperlihatkan media/benda porno, menunjukkan alat kelamin pada anak dan sebagainya.
Kekerasan seksual (sexual abuse) merupakan jenis penganiayaan yang biasanya dibagi dua
dalam kategori berdasar identitas pelaku, yaitu :
a) Familial Abuse
Termasuk familial abuse adalah incest, yaitu kekerasan seksual dimana
antara korban dan pelaku masih dalam hubungan darah, menjadi bagian dalam
keluarga inti. Dalam hal ini termasuk seseorang yang menjadi pengganti orang
tua, misalnya ayah tiri, atau kekasih, pengasuh atau orang yang dipercaya
merawat anak. Mayer (Tower, 2002) menyebutkan kategori incest dalam keluarga
dan mengaitkan dengan kekerasan pada anak, yaitu kategori pertama,
penganiayaan (sexual molestation), hal ini meliputi interaksi noncoitus, petting,
fondling, exhibitionism, dan voyeurism, semua hal yang berkaitan untuk
menstimulasi pelaku secara seksual. Kategori kedua, perkosaan (sexual assault),
berupa oral atau hubungan dengan alat kelamin, masturbasi, stimulasi oral pada
penis (fellatio), dan stimulasi oral pada klitoris (cunnilingus). Kategori terakhir
yang paling fatal disebut perkosaan secara paksa (forcible rape), meliputi kontak
seksual. Rasa takut, kekerasan, dan ancaman menjadi sulit bagi korban. Mayer
mengatakan bahwa paling banyak ada dua kategori terakhir yang menimbulkan
trauma terberat bagi anak-anak, namun korbankorban sebelumnya tidak
mengatakan demikian.
b) Extra Familial Abuse
Kekerasan seksual adalah kekerasan yang dilakukan oleh orang lain di luar
keluarga korban. Pada pola pelecehan seksual di luar keluarga, pelaku biasanya
orang dewasa yang dikenal oleh sang anak dan telah membangun relasi dengan
anak tersebut, kemudian membujuk sang anak ke dalam situasi dimana pelecehan
seksual tersebut dilakukan, sering dengan memberikan imbalan tertentu yang
tidak didapatkan oleh sang anak di rumahnya. Sang anak biasanya tetap diam
karena bila hal tersebut diketahui mereka takut akan memicu kemarah dari
orangtua mereka. Selain itu, beberapa orangtua kadang kurang peduli tentang di
mana dan dengan siapa anak-anak mereka menghabiskan waktunya. Anak-anak
yang sering bolos sekolah cenderung rentan untuk mengalami kejadian ini dan
harus diwaspadai[5].
Kekerasan seksual yang dilakukan di bawah kekerasan dan diikuti ancaman, sehingga
korban tak berdaya itu disebut molester. Kondisi itu menyebabkan korban terdominasi dan
mengalami kesulitan untuk mengungkapnya. Namun, tak sedikit pula pelaku kekerasan seksual
pada anak ini melakukan aksinya tanpa kekerasan, tetapi dengan menggunakan manipulasi
psikologi. Anak ditipu, sehingga mengikuti keinginannya. Anak sebagai individu yang belum
mencapai taraf kedewasaan, belum mampu menilai sesuatu sebagai tipu daya atau bukan.

Kesimpulan
Anak sebagai titipan dan amanah dari Tuhan perlu dijaga, dirawat, dan dilindungi. Orang
tua dan keluarga wajib memberikan perlindungan dan perhatian terhadap anak agar anak tetap
dalam pengawasan. Anak mudah terpengaruh karena masih dalam tahap belajar. . Anak-anak
rentan untuk menjadi korban kekerasan seksual karena tingkat ketergantungan mereka yang
tinggi. Sementara kemampuan untuk melindungi diri sendiri terbatas. Semakin banyaknya kasus-
kasus kekerasan pada anak terutama kasus kekerasan seksual (sexual violence againts) dan
menjadi fenomena tersendiri pada masyarakat modern saat ini. Berbagai faktor penyebab
sehingga terjadinya kasus kekerasan seksual terhadap anak dan dampak yang dirasakan oleh
anak sebagai korban baik secara fisik, psikologis dan sosial.
Trauma pada anak yang mengalami kekerasan seksual sangat sulit untuk dilupakan. Luka
fisik mungkin saja bisa sembuh, tapi luka yang tersimpan dalam pikiran belum tentu hilang
dengan mudah. Hal itu harus menjadi perhatian karena anak-anak. Selain memang wajib
dilindungi, juga karena di tangan anak-anaklah masa depan suatu daerah atau bangsa akan
berkembang. Kekerasan seksual pada anak dapat terjadi di mana saja dan kapan saja serta dapat
dilakukan oleh siapa saja, baik itu anggota keluarga, pihak sekolah, maupun orang lain. Oleh
karena itu, anak perlu dibekali dengan pengetahuan seksualitas yang benar agar anak dapat
terhindar dari kekerasan seksual.

Daftar Pustaka
[1] S. T. R. & H. W. Arini Fauziah Al haq, ‘UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2002
TENTANG PERLINDUNGAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK
INDONESIA’.

[2] MaPPI FHUI, ‘kekerasan-seksual’.

[3] A. N. Fitri, A. W. Riana, and M. Fedryansyah, ‘PERLINDUNGAN HAK-HAK ANAK DALAM UPAYA
PENINGKATAN KESEJAHTERAAN ANAK’, Prosiding Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat, vol. 2,
no. 1, Sep. 2015, doi: 10.24198/jppm.v2i1.13235.

[4] P. I. Pemasyarakatan, ‘DAMPAK DARI PELECEHAN SEKSUAL TERHADAP ANAK DI BAWAH UMUR
Novrianza, Iman Santoso’, 2022. [Online]. Available:
http://e-journal.stikesmuhkudus.ac.id/index.php/karakter/article/view/226/162.

[5] I. Noviana, ‘Kekerasan Seksual Terhadap Anak: Dampak dan Penanganannya, Ivo Noviana’. [Online].
Available: http://indonesia.ucanews.com,

Anda mungkin juga menyukai