Anda di halaman 1dari 16

Nama Kelompok :Andri Vincent Sinaga

Else Ginting
Gungun Juita Sinaga
Iin Manalu
Lukas Siburian
Nofrida Sitompul
Tingkat/Jurusan :I-C/Teologia
Mata Kuliah :Pengantar Teologi
Dosen Pengampu :Ramli SN Harahap M.Th Kelompok 6

TEOLOGI DAN KEKERASAN

Kompetensi: Menelusuri bagaimana orang juga menggunakan teologi untuk


melakukan tindak kekerasan, dan melihat langkah apa yang bisa kita
ambil untuk mencegahnya.

I. PENDAHULUAN
Kekerasan selalu saja akan terjadi dalam kehidupan manusia. Semua
agama mengajarkan kebaikan, bahkan pada dasaranya semua manusia tidak
menginginkan terjadinya kekerasan, oleh siapapun terhadap siapapun dengan
alasan apapun. Kekerasan bisa bermacam-macam, atau lebih tepat bisa diberi
macam-macam motivasi, baik agama, maupun politik. Kekerasan juga ada
dalam setiap masyarakat. Kekerasan bisa bersifat fisik, bisa simbolis.
II. PEMBAHASAN
II.1. Pengertian Kekerasan
Kata “Kekerasan” dalam bahasa Indonesia di terjemahkan dari kata
Violence. Kata Violence sendiri berasal dari bahasa Latin, gabungan dari kata
Vis (daya, kekuatan) dan Latus (membawa), artinya membawa kekuatan.
Berdasarkan asal katanya ini, kekerasan berarti membawa kekuatan, paksaan,
dan tekanan.1 Kekerasan dapat didefinisikan sebagai “usaha individu atau
kelompok untuk memaksakan kehendaknya terhadap orang lain melalui cara-
cara non-verbal, verbal atau fisik, yang menimbulkan luka psikologis atau
fisik. Kekerasan manusia bukanlah insting (naluri) melainkan tidnakan yang

1
Einar M. Sitompul, Agama-agama, Kekerasan dan Perdamaian, (Jakarta: Bidang Marturia PGI, 2005),
155.
disengaja.2 Jika berbicara tentang kekerasan, selalu ada “subjek” yang
melakukan kekerasan dan ada objek yang menerima kekerasan. Jadi,
kekerasan adalah akibat dari sebuah hubungan/relasi. “Subjek” di sini
memiliki banyak pengertian. Subjek dapat dipahami sebagai individu atau
organisasi, legal maupun ilegal. Semua yang memungkinkan terjadinya luka,
dukacita, sakit atau bahkan kematian merupakan kelanjutan kekerasan ini.
pembunuhan adalah wujud ekstrim dari defenisi kekerasan ini.3
Secara eksegetis jelas bahwa kekerasan adalah tindakan manusia yang
merusak hubungan manusia dengan Allah dan menghancurkan ciptaanNya.
Menurut C.A.J. Coady, ada tiga definisi tentang kekerasan ini, antara lain:
Wide definitions, restricted definitions, dan legitimate definitions. Wide
definitions bertolak daru pemikiran bahwa kekerasan itu ‘ada’ dalam
organisasi dan dalam kontrol masyarakat. Model kekerasan ini memberikan
reaksi atas ketidakadilan atau ketidaksamaan dalam masyarakat (yang
diinterpretasikan sebagai kekerasan). Restricted definitions bertolak ide bahwa
kekerasan selalu menghadirkan luka. Di mana ada luka, di situ ada kekerasan.
Jika tidak ada luka, tidak ada kekerasan. Legitimate definitions bertolak dari
ide bahwa kekerasan adalah akibat dari aksi yang ilegal. Aksi ini diarahkan
pada negara. Jadi, kekerasan mencoba mendestabilisasikan organisasi dan
struktur negara.4
Kekerasan secara umum diartikan sebagai suatu serangan terhadap
fisik dengan tindakan yang juga bersifat fisik. Akan tetapi belakangan ini
defenisi itu semakin diperluas, meliputi mental seseorang. Kekerasan bisa
terjadi pada dan dilakukan oleh siapa saja dan dengan alasan apa saja. Pada
umumnya kekerasan dilakukan oleh pihak yang merasa lebih kuat, baik secara
fisik, mental, maupun sosial (ekonomi, politik, maupun gender). Pelakunya
bisa perorangan atau kelompok, dengan media tindakan individu atau tindakan
publik (struktural).5

2
Leo D. Lefebure, Penyataan Allah, Agama, dan Kekerasan, (Jakarta: BPK GUNUNG MULIA, 2003), 21.
3
Lucien Van Liere, Memutus Rantai Kekerasan, (Jakarta: Gunung Mulia, 2010), 47.
4
Ibid, 45-46.
5
Mardar Farid Mas’udi, “Kekerasan: Bagaimana Bisa Dihindari?”, dalam Einar M. Sitompul, Agama-
agama, Kekerasan dan Perdamaian, (Jakarta: Bidang Marturia PGI, 2005), 73.
Adakalanya kekerasan juga dilakukan justru karena ketidakberdayaan.
Kekerasan yang dilakukan oleh pihak yang lemah terhadap pihak yang kuat
untuk mempertahankan diri (resistensi) atau menuntut keadilan atau
pemulihan hak-hak yang terampas. Kekerasan selalu saja akan terjadi dalam
kehidupan manusia.6
II.2. Macam-macam Kekerasan7
II.2.1. Kekerasan Fisik
Kekerasan secara fisik merupakan perbuatan yang berdampak
pada rasa sakit terhadap seseorang. Selain itu, kekerasan fisik juga
sering terjadi dalam bentuk kekerasan yang menyebabkan
seseorang mengalami jatuh sakit dan luka berat. Tindakan
kekerasan ini antara lain seperti meludahi, memukul, menampar,
menjambak (menarik rambut), menyudutkan dengan api, menyepak
(menendang), memukul dengan alat senjata dan lain sebagainya.
Umumnya, tindakan Perilaku ini berdampak pada sesuatu pada
korban seperti badan lebam, muka memerah, bilur pada sekujur
tubuh, gigi patah, bekas luka dan lainnya.
II.2.2. Kekerasan Ekonomi
Kekerasan secara ekonomi yang terjadi saat ini jarang terdengar
tetapi cukup mengkhwatirkan pada masyarakat Indonesia.
Kekerasan ini terjadi secara disengaja maupun tidak langsung oleh
pelaku. Korban pelaku kekerasan ekonomi merasakan ditelantarkan
dan kurang diperhatikan dalam kebutuhan hidup sehari-hari.
Contoh kasus lainnya dari tindakan kekerasan ekonomi seperti
tidak memberi nafkah keluarga, anak dan istri.
II.2.3. Kekerasan Seksual
Kekerasan terhadap seksual merupakan tindakan pelecehan
terhadap seksual seseorang.Tindakan pelecehan ini terjadi seperti
memaksa hubungan seksual, memaksakan selera seksual sendiri,
pengisolasian seksual, menjauhkan aktivitas seksual suami maupun
istri, tidakmemperhatikan kepuasan seksual dan lain sebagainya.
6
Ibid, 73.
7
Josua Crystovel Pangihutan, “Konsep perilaku dan Dampak Kekerasan Terhadap Manusia di
Indonesia”, dalam https://www.academia.edu/35761877/, diakes pada tanggal 13 Mei 2019, pukul 15.38 wib.
Perilaku lainnya yang dapat terjadi yaitu secara verbal
maupun fisik merusuk pada seks. Pelaku pelecehan seksual terjadi
dari berbagai kalangan umur, latar belakang, pendidikan, status
sosial dan jenis kelamin.
II.2.4. Kekerasan Psiokologis
Kekerasan secara Psikologis diakibatkan karena penganiayaan
secara emosional seperti penghinaan, merendahkan harga diri
seseorang, komentar yang menyakitkan diri korban, mengancam
dan menakuti, memaksa kehendak.Kekerasan psikologis
merupakan perbuatan yang berdampak pada hilangnya percaya diri,
ketakutan, hilangnyakemampuan untuk bertindak, penderitaan baik
secara psikis maupun emosional seseorang, rasatidak berdaya.
Perbuatan ini tidak hanya terjadi secara langsung ditengah
masyarakat, tetapi jugaterjadi secara tidak langsung seperti buku,
koran, media elektronik, dunia maya dan televisi.
II.3. Jenis-Jenis Kekerasan
II.3.1. Kekerasan Langsung (Direct Violence)
Kekerasan langsung mengacu pada tindakan yang menyerang
fisik atau psikologis seseorang secara langsung. Yang termasuk
dalam kategori ini adalah semua bentuk pembunuhan (homicide),
seperti pemusnahan etnis, kejahatan perang, pembunuhan massal,
dan juga semua bentuk tindakan paksa atau brutal yang
menyebabkan penderitaan fisik atau psikologis seseorang
(pengusiran paksa terhadap suatu masyarakat, penculikan,
penyiksaan, pemerkosaan dan penganiayaan).8
II.3.2. Kekerasan Tak Langsung (Indirect Violence)
Kekerasan tidak langsung atau Struktural adalah tindakan yang
membahayakan manusia, bahkan kadang-kadang sampai
membunuh, namun tidak melibatkan hubungan langsung antara
korban dan pihak (orang, masyarakat atau institusi) yang
bertanggung jawab atas tindak kekerasan tersebut. Di sini terdapat
dua sub kategori yang perlu dibedakan, yakni kekerasan karena
kelalaian (violence by omission) dan kekerasan perantara
8
Jamil Salmi, Kekerasan dan Kapitalisme, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1993), 31.
(mediated violence). Violence by omission digambarkan dengan
seseorang dalam keadaan bahaya dan tidak ada orang yang
menolongnya. Yang termasuk violence by omission bukan hanya
kekerasan yang bersifat biologis atau psikologis, namun juga orang
yang menderita sakit. Mediated violence adalah hasil dari
intervensi manusia secara sengaja terhadap lingkungan alam atau
sosial yang membawa pengaruh secara tidak langsung pada
manusia lain. Pengaruh ini tidak dirasakan segera, namun datang
melalui faktor perantara. Sehingga hubungan antara orang atau
institusi yang bertanggung jawab atau tindak kekerasan ini dan
korbannya tidaklah langsung.9 Kekerasan struktural ini tidak selalu
dilakukan dengan cara-cara kekerasan, tetapi bisa juga dengan cara
‘halus’, misalnya dengan mempergunakan secara berlebihan kata-
kata yang bersifat eufemistis (misalnya kenaikan harga disebut
penyesuaian, pembayaran wajib disebut sumbangan seterusnya)
yang tanpa disadari menempatkan masyarakat pada keadaan tanpa
daua untuk memprotes.10
II.3.3. Kekerasan Represif (Repressive Violence)
Kekerasan represif berkaitan dengan pencabutan hak-hak dasar
selain hak untuk hidup dan hak untuk dilindungi dari kecelakaan.
Oleh karena itu, di dalamnya termasuk pelanggaran hak-hak azasi
manusia yang meskipun secara langsung atau tidak langsung tidak
membahayakan kehidupan manusia, merupakan pelanggaran berat
dalam mengekang kebebasan, martabat manusia dan kesamaan hak
bagi setiap manusia.11
II.3.4. Kekerasan Alienatif (Alienating Violence)
Kekerasan alienatif merujuk pada pencabutan hak-hak individu
yang lebih tinggi, misalnya hak perkembangan emosional, budaya
atau intelektual. Salah satu kekerasan alienatif ini paling kejam
adalah ethnocide, yakni kebijakan atau tindakan yang betul-betul

9
Ibid, 32-35.
10
A.A. Yewangoe, “Kekerasan Struktural dan Kultur Serta Akibat-akibatnya”, dalam Einar M. Sitompul,
Agama-agama, Kekerasan dan Perdamaian, (Jakarta: Bidang Marturia PGI, 2005), 31.
11
Ibid, 38.
mengubah kondisi material atau sosial menjadi di bawah satu
identitas kultural kelompok tertentu.12
II.4. Dampak Kekerasan
II.4.1. Dampak Positif
1. Kekerasan menjadi cara untuk mengakses sumber daya alam.
2. Kekerasan menjadi cara yang efektif untuk mencari tenaga
kerja.
3. Kekerasan digunakan untuka menjaga kelangsungan
kapitalisme hingga saat ini.13
4. Menjelaskan fenomena kehidupan sehari-hari yang lebih
umum, misalnya situasi kerja yang tidak manusiawi di industri
tertentu atau peminggiran orang-orang yang berusia lanjut
dengan menolak peran sosialnya.14
II.4.2. Dampak Negatif
1. Banyaknya berkeinginan dasar; ketika tidak terpenuhi akan
timbul frustasi.
2. Kekerasan berlangsung untuk mencapai tujuan dan
bersikeras untuk mendapatnya, meskipun dengan paksaan.
3. Kekerasan membawa kerusakan dan kepedihan lalu
membiakkan sebuah pilhan kekerasan baru (lanjutan) dalam
bentuk balas dendam atau pertahanan diri.
4. Lebih mengutamakan tujuan dan juga kerusakan.15
II.5. Aspek yang Menyebabkan Tindakan Kekerasan
Aspek penyebab terjadinya kekerasan dapat dilihat dari analisis kausa
kekerasan. Analisiskausa kekerasan dapat dilihat dalam berbagai sudut
pandang seperti pendekatan psikologi,sosiologi, yuridis hukum dan
antropologi. Sudut pandang psikologi menyatakan bahwa
kekerasanmerupakan salah satu bentuk kejahatan yang terjadi melalui proses
meniru (imitation) oleh pelakunya. Manusia memiliki kemampuan untuk

12
Ibid, 38-39.
13
Jamil Salmi, Kekerasan.., 61.
14
Ibid, 40.
15
Ariel Patra M. Zen “Kekerasan, Sebuah Aporia yang Mesti Dipecahkan”, dalam Einar M. Sitompul,
Agama-agama, Kekerasan dan Perdamaian, (Jakarta: Bidang Marturia PGI, 2005), 65.
meniru (imitasi) sesuatu. Dalam hal ini,
peniruan- peniruan yang dibentuk melalui jalinan interaksi sosial dan tersusun 
dalam kehidupan sosialnya. Hal tersebut bergantung pada pengertian dan
tingkat pengetahuan dari pelaku. Beberapa kasus kekerasan yang terjadi di
Indonesia oleh pelaku dipengaruhi dan didapatkanmelalui media sosial seperti
telivisi, surat kabar, jejaring sosial internet (cyber) dan lainnya.Pada sudut
pandang aspek sosiologi, bahwa perilaku kekerasaan dipengaruhi oleh
keadaan masyarakat. Keadaan masyarakat Indonesia akan selalu mengalami
perkembangan seiring denganilmu pengetahuan dan teknologi. Perkembangan
tersebut akan membentuk perubahan masyarakat.16
II.6. Awal Mula Kekerasan dalam Alkitab
Kekerasan berkuasa sejak awal Alkitab hingga akhir kitab 2 Tawarikh,
kitab terakhir Ibrani. Angkatan ini meringkaskan semuanya. Dalam
penganiayaan ada solidaritas: anak-anak mengulangi tindakan para bapak
tanpa menyadari hal itu. Mereka berpikir bahwa mereka berbeda, namun
mereka masih melakukan hal yang sama. Proses pengkambinghitaman yang
sama akan diulangi dalam abad-abad kemudian, ketika umat Kristen
mempersalahkan seluruh komunitas Yahudi karena telah membunuh Yesus,
dan kemudian melakukan tindakan kekerasan terhadap mereka. umat Kristen
mula-mula mengenang Yesus sebagai orang yang mengutuk kekerasan dan
mendorong umat Kristen untuk membawa perdamaian, serta menderita dalam
kekerasan tanpa membalas dendam.17
II.7. Pandangan Alkitab Terhadap Kekerasan
Pemahaman alkitabiah mengenai penyataan Allah terjalin erat dengan
kekerasan, namun dengan cara yang konstras sama sekali. Pada tradisi perang
suci, Alkitab menyaklarkan kekerasan seolah-olah secara langsung oleh Allah.
Kuasa Allah dinyatakan dalam pembinasaan musuh, dalam kemenangan di
medan perang. Pada lain pihak, Alkitab juga berpihak pada korban-korban
sejarah, menyingkapkan pola-pola pengkambinghitaman, dan menghadirkan

16
Josua Crystovel Pangihutan, “Konsep.., diakses pada tanggal 16 Mei 2019, Pukul 12.55 wib.
17
Williard M. Swartley, The Love of Enemy and Nonretalation in the New Testament, (Louisville:
Westminster, 1992).
Allah, sebagaimana dinyatakan dalam teladan kekerasan dan kematian
Yesus.18
II.8. Kekerasan dalam Perjanjian Lama
Menurut Rene Girard, sejak awal sejarah agama-agama telah
menyalurkan kekerasan suci ke dalam pola-pola tertentu yang difokuskan pada
korban-korban pengganti atau korban yang dijadikan kambing hitam, sehingga
kekerasan yang terkendali tidak akan menghancurkan seluruh komunitas.
Dalam Alkitab, ketika Allah bertanya kepada Kain: “Di manakah Habel,
adikmu?”, tidak ada pembenaran terhadap pembunuhan adiknya itu. Habel
adalah korban kecemburuan abangnya, namun ia tidak bersalah. Alkitab justru
mengutuk pembunuhan dan membeberkannya secara terbuka. Darah Habel
berseru kepada Allah dari bumi (Kej. 4:3-16).19
Girard juga membahas cerita tentang cerita Yusuf. Kisah Yusuf dan
saudara-saudaranya dimulai dengan persaingan di antara saudara kandung
(Kej. 37: 2-36). Kakak-kakak Yusuf iri hati, sebab ayah mereka lebih
mencintai Yusuf dan karena mempi Yusuf bahwa ia akan menjadi tuan atas
mereka. mereka hampir nyaris membunuhnya, namun sebagai gantinya,
mereka mencoba membuang dia. Ini merupakan skenario mimetik yang
membuahkan kekerasan dan pengusiran.20
II.9. Kekerasan dalam Perjanjian Baru
Pada abad pertama, Palestina dipenuhi dengan kekerasan. Ada
kekerasan sistematik pemerintahan kekaisaran Romawi, kekerasan teror
Herodes Yang Agung, bahkan terhadap kerabat dekatnya sendiri, kekerasan
kaum Zelot yang mengangkat senjata untuk mengusir keluar bangsa Romawi,
kekerasan bangsa Romawi yang menyalibkan orang-orang menentang dan
mengancam kekuasaan Romawi. Sebelum dan sesudah Yesus, selalu berada
dalam kekacauan politis. Pajak sangat membebani, yang dirancang untuk
memindahkan kekayaan baik pada Kaisar Romawi maupun kepada Raja
Herodes serta Bait Allah di Yerusalem.21

18
Leo D. Lefebure, Penyataan Allah..,126.
19
Rene Girard & Jean-Michel, Things Hidden since the Foundation of the World, (Stanford, California:
Stanford University Press, 1987), 151-152.
20
Ibid, 153.
21
Leo D. Lefebure, Penyataan Allah..,99.
Ketidaktenteraman berlangsung terus menerus, termasuk gerakan-
gerakan spontan yang tak terorganisasi, pemogokan dan kerusuhan politis
disertai kekerasan, serta pemberontakan-pemberontakan lokal. Dalam
Perjanjian Baru, pemerintah dan penguasa yang memerintah dunia ini tampak
sebagai sumber kekerasan, dan memang, mereka adalah kehadiran kejahatan.
Pontius Pilatus telah menyalibkan banyak orang Yahudi tanpa pertimbangan.
Seperti kasus Galilea yang dibunuh Pilatus, yang darahnya dicampur dengan
darah korban yang mereka persembahkan (Luk. 13:1), serta kematian
Yohannes Pembaptis dan Yesus.22 Sama juga halnya dengan Salus yang
disebut Paulus. Saulus muda amat yakin dengan dirinya. Ia tahu mana yang
benar dan mana yang salah. Ia bangga dengan dirinya sebagai seorang Farisi
tulen dan seorang pembela setia kehendak Allah (Flp. 3:6). Ia tahu bahwa para
pengikut Yesus senang melanggar Taurat. Baginya, semua itu tampak sebagai
hal yang sungguh-sungguh keliru.23
Hal ini membawa dia pada tindak kekerasan, dengan wewenang dari
pemimpin tertinggi agama Yahudi, ia berkeinginan untuk mengakhiri masalah
Kekristenan dengan kekuatan. Saulus muda menampilkan salah satu bahaya
paling besar dari agama. Ketentuan kehendak Allah menimbulkan sikap tidak
toleren, ancaman kekerasan dan pembunuhan. Menjadi Kristen berarti belajar
melihat pola-pola kekerasan dan meneladani Yesus. Paulus, orang yang
mengeluarkan ancaman pembunuhan terhadap pada korbannya, dan mengira
bahwa itu adalah kehendak Allah, setelah berjumpa dengan Yesus, ia sadar
bahwa ia telah menganiaya Yesus, Anak Allah.24
II.10. Yesus dan Kekerasan
Dalam Khotbah di Bukit, Yesus mengajar para murid-Nya untuk
mengasihi musuh-musuh mereka dan berdoa bagi orang yang menganiaya
mereka (Mat. 5:44). Yesus berusaha mematahkan siklus kekerasan dengan
menantang para pendengarnya agar tidak membalas dendam atas luka-luka
yang diderita mereka. Dalam Injil-injil, Yesus masuk ke dalam situasi yang di
dalamnya drama hasrat mimetik (Korban pengganti), kekerasan, kambing
hitam masih dilakukan. Misalnya, dalam mekanisme korban pengganti
22
Ibid, 99-100.
23
Ibid, 119.
24
Ibid, 125.
membentuk cerita mengenai perempuan yang berzinah (Yoh. 8:2-11), namun
kesimpulan kekerasan yag lazim dicegah. Orang banyak mengelilingi
perempuan itu, mengancam untuk membunuhnya.25
Hal ini merupakan tuduhan yang berat dalam adengan seks dan
kekerasan. Begitu para laki-laki melihat wanita itu, mereka dapat
melampiaskan seluruh kemarahan, kesalahan, dan nafsu mereka terhadapnya,
dan mereka segera mengambil batu. Yesus mengalihkan situasi tuduhan yang
berat itu dan memperingatkan orang banyak bahwa semua orang adalah para
pendosa.26 Bahasa yang digunakan oleh Yesus untuk menghadapi orang-orang
Yahudi melawan-Nya sering kali melanggar perintah-Nya sendiri untuk
mengasihi musuh. Yesus sendiri juga menyerang ahli-ahli Taurat dan orang-
orang Farisi dengan bahasa yang berapi-api, sebagai orang-orang munafik,
pemimpin yang buta dan pembunuh (Mat. 23:13-32).27
II.11. Kristen dan Kekerasan
Pada satu sisi, umat Kristen diperintahkan untuk mengasihi sesama,
namun pada sisi yang lain, mereka diperintahkan untuk memusuhi lawan-
lawannya. Perintah-perintah Allah dan pengertian-pengertian Kristen,
keduanya mendukung dan memperkaya kehidupan yang tak berbatas, namun
secara berulang-ulang juga mengarah pada diskriminasi, pengejaran, inkuisisi
dan peperangan. Simbol-simbol yang menjadi wahana pernyataan mendukung,
baik perang-perang suci maupun tradisi untuk membawa damai. Yesus Kristus
telah diproklamasikan sebagai komandan laskar Kristen, yang akan memberi
ganjaran kepada keberanian para prajuritNya, namun pada sisi lin, Ia juga
diberitakan sebagai Hamba yang menderita dan anti-kekerasan, yang
menanggung luka dan menolak untuk membalas dengan kekerasan.28
Umat Kristen dipanggil untuk saling mengasihi sesama, memiliki
tanggung jawab untuk mempelajari dan memahami kebiaasan serta cara
pandang keagamaan mereka, dan untuk membagikan iman serta praktik
kehidupan Kristen kepada orang lain dengan cara-cara yang tepat. 29

25
Ibid, 105.
26
Ibid, 105-106.
27
Ibid, 109-110.
28
Ibid, 2-3.
29
Ibid, 11.
Ketimbang membalas kekerasan dengan tindakan balas dendam, kita dipanggil
untuk meneladani kasih Allah yang inklusif untuk semua orang, yang memberi
matahari dan hujan baik bagi orang yang benar maupun bagi orang yang tidak
benar (Mat. 5:45). Yesus memperluas cakupan istilah ‘sesama’, sehingga
musuh pun termasuk sasaran kasih.30
II.12. Sikap dan Pandangan Gereja Terhadap Kekerasan
Tugas khusus yang diemban oleh orang Kristen adalah menebus
kekerasan. Ini hanya bisa berlangsung ketika kekerasan dihapuskan, tetapi
untuk mencapainya kita harus memperjuangkannya bukan hanya dari luar,
tetapi juga mengendalikannya dari dalam. Ada tiga hal yang harus dilakukan
orang Kristen terhadap kekerasan ini, yaitu: Pertama, umat Kristen harus
bersedia memerangi semua bentuk ketidakadilan dan membela kelompok
paling miskin menghadapi orang yang menindas mereka. Kedua, dalam
melakukan perlawanan ini, orang Kristen memilih harus menggunakan cara-
cara yang menunjukkan lebih mulianya kehidupan daripada kematian dan
cinta daripada kebencian. Ketiga, untuk memiliki kepercayaan secara utuh,
orang Kristen ini harus menjadi “yang terdepan dan paling berani” harus
bersedia menanggung resiko, bahkan mati syahid.31
Adapun dalam masalah penyalahgunaan kekuasan dan kekerasan tidak
boleh menjadi momok yang memicu sikap main hakim sendiri di kalangan
masyarakat. Namun Gereja harus berhati-hati dalam membedakan pola-pola
kekerasan atau penyalahgunaan (yang terjadi berulang-ulang) dengan
kekeliruan yang tidak disengaja. Meskipun demikian, Yesus banyak bersuara
terkait dengan hal itu. Jadi gereja patut mengikuti teladan Yesus.
Penyalahgunaan kekuasaan atau kekerasan biasanya berkelanjutan karena
ketidaktahuan dan kebungkaman. Sambil membahasnya secara bertanggung
jawab, gereja dapat mengidentifikasi dan menghentikannya.32
Ketika Gereja belajar untuk menyoroti dan mengoreksi para pemegang
otoritas atau pemimpin serta sistem yang melakukan penyalahgunaan atau

30
Hans Dieter Betz, The Sermon On The Mount, (Minneapolis: Fortress, 1995), 301-309.
31
Wim Beuken & Karl Josef Kuschel, Religion as a Source of Violence, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2003), 82-84.
32
Samuel Gunawan, “Keprihatinan Terhadap Meningkatnya Kekerasan”, dalam
https://www.facebook.com/notes/992079414174573/, diakses pada tanggal 16 Mei 2019, pukul 17.46 wib.
kekerasan, gereja juga dapat mengindentifikasi dan mendukung pemimpin
serta sistem yang sehat, yang tidak melakukan penyalahgunaan. Selain itu,
gereja dapat memberikan pemahaman dan penyembuhan kepada banyak
orang yang masih malu dan terluka oleh kekerasan yang dialaminya sebagai
korban di masa lampau. Obat utama bagi kekerasan adalah penyembuhan
rohani, yang dimulai dengan mengetahui kebenaran. Yesus berkata, “Dan
kamu akan mengetahui kebenaran, dan kebenaran itu akan memerdekaan
kamu” (Yoh. 8:32).33
Kebenaran yang perlu diketahui adalah bahwa Allah membenci
kekerasan (Maz. 11:5; Band. Mal. 2:16; Kej. 6:11-13; 2 Sam. 22:23) yang
dilakukan atas namaNya, yaitu dengan menyalahgunakan kekuasaan dan
kekerasan yang diberikanNya. Selain itu, gereja juga perlu mengetahui dan
menegakkan hukum dan peraturan-peraturan yang melindungi hak-hak
mereka yang mengalami kekerasan, serta memberikan hukum yang
diperlukan bagi mereka yang tertindas dan teraniaya.34
Adapun sikap gereja yang sangat bermanfaat dan membantu
penyembuhan bagi mereka yang terluka karena kekerasan, khususnya
kekerasan psikologis dan spiritual:
(1) Membawa mereka menyadari dan mengakui bahwa bahwa mereka
perlu disembuhkan. Ini merupakan bukti awal keseriusan untuk
mengalami kesembuhan.
(2) Mengidentifikasi luka-luka emosi mereka dan mengakui bahwa
mereka memang mengalami luka-luka itu. Banyak orang tidak diajar
untuk mengenali dan mengkomunikasikan perasaan mereka. Sehingga
mereka mengarungi kehidupan dengan mengumpulkan emosi yang
negatif. Menimbun kemarahan, kekecewaan, ketakutan, kepahitan dan
lain-lain sehingga menumpuk menjadi timbunan sampah yang
menghasilkan akibat-akibat tragis mulai dari tukak lambung (mag)
sampai bunuh diri.
(3) Mengajak mereka untu mengampuni pelaku kekerasan yang telah
menyakitkan atau membuat mereka terluka. Mengampuni adalah
sebuah proses, dan mereka harus terus mengampuni sampai rasa sakit
33
Ibid.
34
Ibid.
mereka hilang dan mereka dapat menerima orang lain tersebut, sebab
mengampuni berarti menunjukkan kasih dan penerimaan meskipun
disakiti (Mat. 6:14,15).
(4) Ajak mereka untuk menerima pengampunan. Dengan cara
meminta ampun kepada Allah atas setiap kesalahan sendiri kepada
orang lain dan juga mengampuni diri mereka sendiri. Ada
kesembuhan di dalam pengampunan (1 Yoh. 1:7).
(5) Bawa mereka untuk menima kasih Allah, karena Ia adalah Allah
yang penuh kasih (Yoh. 3:16; Mat. 10:30).
(6) Pikirkanlah pikiran Allah dan hidup dengan dipimpin oleh Roh
Kudus (Fil. 2:5,6; 4:8; Gal. 5:15-17).35
II.13. Langkah untuk Mencegah dan Menghindari Kekerasan
1. Kambing Hitam
Mekanisme Kambing hitam (scapegoat) bertujuan untuk
membatasi kekerasan dengan mengalihkannya untuk menghindari
adanya kekerasan lebih besar lagi.36 Mekanisme ini terjadi ketika
kekerasan yang saling berbalasan dan kebencian yang ruwet
dengan amat cepat bahkan hampir seketika itu juga dapat berubah
menjadi kesatuan kekerasan dari semua orang yang ditujukan
kepada satu orang. Mekanisme ini mampu menyelamatkan
masyarakat yang terancam dan mematahkan lingkaran kebencian
dari kekerasan. Dengan memindahkan kekerasan dari dalam ke
luar, ada suatu pembagian yang tajam teng terjadi yaitu antara
masyarakat yang tenang-tenang dengan masyarakat yang terancam
sekaligus terpesona oleh sakral.37
2. Membangkitkan Kesadaran
Membangkitkan kesadaran bahwa tindakan kekerasan adalah
sebagai suatu serangan fisik dengan tindakan yang juga bersifat
fisik, dan bisa saja dilakukan oleh siapa saja dan kapan pun. Inilah

35
Ibid.
36
Rene Girard, Scapegoat, (Edinburgh: The Saint Andrew Press, 1981), 106.
37
Daniel K. Listijabudi, Tragedi Kekerasan, (Yogyakarta: Taman Pustaka Kristen, 1997), 77-78.
tugas agama, melalui para juru bicaranya: Ulama, Pendeta,
rohaniawan dan lain-lain.38
3. Pendekatan Kultural
Pendekatan ini bertujuan untuk sedikit banyak mengubah gaya
hidup masyarakat agar membenci kekerasan. Bisa dengan
kampanye anti kekerasan melalui media massa, menyebarkan stiker
“stop kekerasan”, memasang spanduk, adalah bentuk-bentuk upaya
yang dilakukan untuk proses pencegahan tindak kekerasan.39
4. Menciptakan Perdamaian tanpa kekerasan.40
5. Mengikuti ajaran Yesus, menghindari kekerasan, dan menolak
ketidakadilan.41
6. Mulai melakukan proses rekonsiliasi dengan Tuhan, dengan
sesama manusia dan dengan alam.
7. Terlibat dengan pekerjaan Tuhan dan mengundang Roh Suci
sebagai hakim apakah keterlibatan kita tersebut murni atau
tidak ketika melakukannya.42
8. Membangun solidaritas yang efektif dan menjaga keadilan,
kebebasan dan perdamaian.
9. Tidak tunduk kepada penguasa duniawi.43
III. PENUTUP
Di sini kami penyaji dapat menyimpulkan bahwa ternyata kekerasan dapat
berasal dari mana saja, terlebih dari diri seseorang, bisa juga dari keagamaan,
politik, ekonomi, dan lain-lain. Kekerasan itu lebih dominan berdampak negatif,
terutama itu terhadap korban kekerasan. Pandangan para teolog terhadap tindakan
kekerasan ini adalah berbeda-beda, ada yang berpendapat bahwa kekerasan itu
adalah suatu kejahatan yang berdampak tidak baik, ada yang mengatakan bahwa

38
Mardar Farid Mas’udi, “Kekerasan: Bagaimana Bisa Dihindari?”, dalam Einar M. Sitompul, Agama-
agama.., 75.
39
Ariel Patra M. Zen “Kekerasan, Sebuah Aporia yang Mesti Dipecahkan”, dalam Einar M. Sitompul,
Agama-agama..,69.
40
Leo D. Lefebure, Penyataan Allah..,127.
41
Ibid, 101.
42
Wim Beuken & Karl Josef Kuschel, Religion.., 17.
43
Ibid, 155.
kekerasan itu baik, yaitu untuk menimalisir suatu kejadian yang di dalamnya
terdapat suatu hal yang semena-mena. Terlebih juga, Gereja memandang
kekerasan ini mungkin saja gereja tidak suka, dan selamanya memandang bahwa
kekersan itu berdampak buruk bagi jemaat. Padahal kekerasan juga dapat menjadi
penjuru untuk melihat dan menstabilkan hidup suatu jemaat. Kekerasan terjadi
bukan karena secara kebetulan, tetapi pasti ada faktor dan penyebab yang
mendorong.
IV. DAFTAR PUSTAKA

A.A. Yewangoe, “Kekerasan Struktural dan Kultur Serta Akibat-akibatnya”,


dalam Einar M. Sitompul, Agama-agama, Kekerasan dan Perdamaian, Jakarta:
Bidang Marturia PGI, 2005.
Ariel Patra M. Zen “Kekerasan, Sebuah Aporia yang Mesti Dipecahkan”, dalam
Einar M. Sitompul _____________________________________
Beuken, Wim & Karl Josef Kuschel., Religion as a Source of Violence,
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003.
Dieter Betz, Hans. The Sermon On The Mount, Minneapolis: Fortress, 1995.
Girard, Rene & Jean-Michel, Things Hidden since the Foundation of the World,
Stanford, California: Stanford University Press, 1987.
Girard, Rene. Scapegoat, Edinburgh: The Saint Andrew Press, 1981.
Lefebure, Leo D., Penyataan Allah, Agama, dan Kekerasan, Jakarta: BPK
Gunung Mulia, 2003.
Listijabudi, Daniel K., Tragedi Kekerasan, Yogyakarta: Taman Pustaka Kristen,
1997.
Mardar Farid Mas’udi, “Kekerasan: Bagaimana Bisa Dihindari?”, dalam Einar M.
Sitompul,_______________________________________________
Salmi, Jamil. Kekerasan dan Kapitalisme, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1993.
Sitompul, Einar M., ______________________________________
Swartley, Williard M., The Love of Enemy and Nonretalation in the New
Testament, Louisville: Westminster, 1992.
Sumber Lain
Gunawan, Samuel. “Keprihatinan Terhadap Meningkatnya Kekerasan”, dalam
https://www.facebook.com/notes/992079414174573/.com.
Pangihutan, Josua Crystovel. “Konsep perilaku dan Dampak Kekerasan Terhadap
Manusia di Indonesia”, dalam https://www.academia.edu/35761877/.com.

Anda mungkin juga menyukai