Anda di halaman 1dari 8

MASALAH SOSIAL

TINDAK KEKERASAN (FISIK, EKONOMI, VERBAL, SEKSUAL)

DISUSUN OLEH:

Dini Nurkrisya Anggraini

2210812010

DOSEN PENGAMPU:

Drs. Wahyu Pramono M.Si Dra.


Dwiyanti Hanandini M.Si

DEPARTEMEN SOSIOLOGI

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS ANDALAS

2023
A. PENGERTIAN
Tindak kekerasan dipandang sebagai tindak kriminal yang dilakukan tanpa
dikehendaki oleh korban yang menimbulkan dampak fisik, psikologis, sosial, serta
spiritual bagi korban dan juga memengaruhi sistem keluarga serta masyarakat secara
menyeluruh.

Tindakan kekerasan yang terjadi di lingkungan masyarakat semakin meresahkan.


Dalam menyelesaikan suatu konflik atau permasalahan disertai dengan tindakan
kekerasan. Secara umum, tindakan kekerasan dapat diartikan penggunaan secara sengaja
kekuatan fisik atau kekuatan, ancaman atau kekerasan aktual terhadap diri sendiri, orang
lain, atau terhadap kelompok atau komunitas, yang berakibat luka atau kemungkinan
besar bisa melukai, mematikan, membahayakan psikis, pertumbuhan yang tidak normal
atau kerugian.

1. Tindak Kekerasan Fisik


Kekerasan fisik adalah suatu kekerasan yang terjadi secara nyata atau dapat dilihat
dan dirasakan oleh tubuh langsung. Kekerasan fisik ini seringkali meninggalkan
bekas luka bagi penerima kekerasan atau korban tindak kekerasan, sehingga ketika
ingin melaporkan tindak kekerasan ini akan divisum terlebih dahulu. Adapun wujud
dari kekerasan fisik, seperti pemukulan, pembacokan, bahkan hingga menghilangkan
nyawa seseorang.

Kekerasan fisik ini bisa juga disebut dengan kekerasan langsung karena bisa langsung
menyebabkan luka pada korbannya. Kekerasan fisik ini bukan hanya terjadi di
lingkungan luar rumah saja, tetapi bisa juga terjadi di lingkungan keluarga, seperti
Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT).

2. Tindak Kekerasan Ekonomi


Penyebab kekerasan selanjutnya adalah tingkat ekonomi yang berbeda atau bisa
dibilang sebagai kemiskinan. Penyebab ini bisa juga diartikan sebagai sulitnya
mendapatkan akses ke pusat ekonomi terutama pada masa-masa kritis.

Adanya perubahan sosial ini menghadirkan tingkat ekonomi yang berbeda juga.
Bahkan, seseorang yang sulit menghadapi perubahan sosial bisa memicu dirinya
untuk melakukan tindak kekerasan terutama ketika menghadapi tingkat ekonomi
yang berbeda. Hal ini dapat terjadi karena seseorang sudah kehilangan akan sehat
agar bisa memenuhi kebutuhan hidupnya, sehingga berani untuk melakukan
kekerasan, seperti merampok, menjambret, dan sebagainya.

3. Tindak Kekerasan Verbal


Pengertian secara umum kekerasan verbal adalah kekerasan terhadap perasaan
dengan mengeluarkan kata kata kasar tanpa menyentuh fisik, kata-kata yang
memfitnah, kata-kata yang mengancam, menakutkan, menghina atau membesar-
besarkan kesalahan.
Hal ini sering kali terjadi terhadap orang yang dengan posisi superior terhadap orang
dengan posisi yang lebih inferior, seperti atasan kepada bawahan atau orang tua
kepada anaknya.

Apa saja tindakan-tindakan yang dapat dikategorikan merupakan tindakan kekerasan


verbal? Adapun beberapa tindakan-tindakan yang dapat dikategorikan sebagai
tindakan kekerasan verbal, yaitu:
 Name -Calling
Merupakan nama panggilan yang bernada hinaan atau mengata-ngatai seseorang
dengan mengganti namanya menjadi sebutan yang lain. Misalnya, “kamu tidak
akan mengerti ini karena kamu bodoh”.

 Degrasi
Ucapan dilontarkan agar seseorang merasa bersalah terhadap dirinya sendiri dan
menganggap dirinya tidak berguna. Misalnya “kamu tidak akan bisa jadi apa-apa
kalau bukan karena bantuan saya”.

 Manipulasi
Kata-kata yang diucapkan dengan tujuan memerintah, tapi tidak dengan kalimat
imperatif. Misalnya, “kalau Kamu memang mempunyai keperdulian dengan
target dari organisasi kita, kamu tidak akan melakukan hal itu”.

 Menyalahkan
Semua orang tentunya pernah berbuat salah dan hak tersebut merupakan hal yang
manusiawi. Namun, orang yang melakukan kekerasan verbal akan menjadikan
kesalahan tersebut sebagai pembenaran atas tindakan mereka, misalnya dengan
berkata “saya harus memarahi /menegur kamu karena perbuatan kamu sangat
tidak bisa ditolerir”.

 Merendahkan
Ucapan ini akan keluar ketika si pelaku kekerasan verbal berniat mengerdilkan
lawan bicaranya dan di saat yang bersamaan membuat dirinya lebih superior.
Misalnya “mungkin pendapat kamu benar, tapi lebih bagus lagi kalau kamu tidak
usah berpendapat”.

 Kritik Berkelanjutan
Kritik adalah adalah proses analisis dan evaluasi terhadap sesuatu dengan tujuan
untuk meningkatkan pemahaman, memperluas apresiasi, atau membantu
memperbaiki pekerjaan. Namun dalam kekerasan verbal, kritik tersebut
dilakukan dengan cara yang kasar dan dilakukan terus-menerus sehingga
korbannya akan menjadi rendah diri.

4. Tindakan Seksual
Kekerasan seksual menurut PBB adalah: “Any sexual act, attempt to abtain a sexual
act, unwanted sexual comments or advances, or act to traffic, or otherwise directed,
against a person’s sexuality using coercion, by any person regardless of their
relationship to the victim, in any setting, including but not limited to home and work”
(Krug, wt al. 2002: 149).

Artinya setiap tindakan yang mengarah pada tindakan seksual baik dalam bentuk
verbal seperti kata-kata, komentar atau rayuan, maupun dalam bentuk nonverbal
seperti tatapan mata dan lain sebagainya yang tidak diinginkan oleh seseorang dalam
situasi apapun dan dimanapun merupakan bagian yang tergolong dalam kekerasan
seksual.

B. DIMENSI
Johan Galtung mengungkapkan terdapat tiga dimensi kekerasan yaitu kekerasan
structural, kekerasan kultural, dan kekerasan langsung (Ningrum).
 Kekerasan Struktural
Rasa ketidakadilan yang diciptakan pada suatu system yang menyebabkan
individu tidak mampu memenuhi kebutuhan dasarnya (human needs).

 Kekerasan Kultural
Merupakan motor dari kekerasan struktural dan langsung. Kekerasan budaya
dapat menggunakan dua jenis kekerasan tersebut didalamnya. Kekerasan budaya
muncul dari konflik yang memicu terjadinya produksi kebencian, ketakutan dan
kecurigaan. Kekerasan budaya merupakan hasil dari konstruksi masyarakat.

 Kekerasan Langsung
Jenis kekerasan ini seringklai terjadi seperti kasus menyakiti orang lain di
tubuhnya sehingga meninggalkan bekas luka pada tubuhnya seperti memar di
wajah seseorang yang menunjukan bahwa orang tersebut tekah mengalami
pemukulan atau ditampar oleh orang lain.

C. ASUMSI
Asumsi mengenai tindak kekerasan adalah anggapan atau pendapat yang tidak
berdasarkan fakta atau bukti yang kuat. Asumsi-asumsi ini sering kali muncul di
masyarakat dan dapat berdampak pada cara kita memandang tindak kekerasan.

Berikut adalah beberapa asumsi mengenai tindak kekerasan yang sering muncul di
masyarakat:

1. Kekerasan hanya dilakukan oleh orang-orang yang tidak waras atau jahat. Asumsi ini
tidak sepenuhnya benar. Faktanya, orang-orang yang melakukan kekerasan bisa saja
orang-orang yang waras dan baik. Kekerasan bisa terjadi karena berbagai faktor,
seperti faktor psikologis, sosial, dan ekonomi.

2. Korban kekerasan selalu bersalah. Asumsi ini juga tidak sepenuhnya benar. Faktanya,
korban kekerasan tidak selalu bersalah atas apa yang terjadi. Mereka bisa saja menjadi
korban karena faktor kebetulan, atau karena mereka berada di tempat yang salah pada
waktu yang salah.
3. Kekerasan hanya terjadi di tempat-tempat yang kumuh atau berbahaya. Asumsi ini
juga tidak sepenuhnya benar. Faktanya, kekerasan bisa terjadi di mana saja, termasuk
di tempat-tempat yang dianggap aman.
4. Kekerasan hanya terjadi pada orang-orang yang tidak memiliki pendidikan. Asumsi
ini juga tidak sepenuhnya benar. Faktanya, kekerasan bisa terjadi pada orang-orang
dari berbagai latar belakang pendidikan.

Asumsi-asumsi ini dapat berdampak negatif pada cara kita memandang tindak
kekerasan. Asumsi-asumsi ini dapat membuat kita memandang korban kekerasan sebagai
orang yang tidak layak dibantu, atau membuat kita menganggap bahwa tindak kekerasan
adalah hal yang biasa terjadi.

Oleh karena itu, penting untuk kita menyadari bahwa asumsi-asumsi mengenai tindak
kekerasan tidak selalu benar. Kita perlu memahami fakta-fakta tentang tindak kekerasan
agar kita dapat memberikan dukungan yang tepat kepada korban dan mencegah terjadinya
tindak kekerasan di masa depan.

D. TAHAP ANALISIS
Analisis tindak kekerasan adalah proses pengumpulan, pengolahan, dan interpretasi
data untuk memahami penyebab, pola, dan dampak tindak kekerasan. Analisis ini dapat
dilakukan untuk berbagai tujuan, seperti:

 Memahami penyebab terjadinya tindak kekerasan


 Mengembangkan strategi pencegahan tindak kekerasan
 Meningkatkan efektivitas penanganan tindak kekerasan.

1. Pengumpulan data
Data yang dikumpulkan pada tahap ini dapat berupa data kuantitatif atau kualitatif.
Data kuantitatif adalah data yang dapat dikuantifikasi, seperti jumlah kasus
kekerasan, jenis kekerasan, dan korban kekerasan. Data kualitatif adalah data yang
tidak dapat dikuantifikasi, seperti pengalaman korban kekerasan, motivasi pelaku
kekerasan, dan faktor-faktor yang melatarbelakangi tindak kekerasan.

Data kuantitatif dapat dikumpulkan dengan berbagai cara, seperti dengan


menggunakan kuisioner, wawancara, atau observasi. Data kualitatif dapat
dikumpulkan dengan berbagai cara, seperti dengan menggunakan wawancara
mendalam, focus group discussion, atau studi kasus.

2. Pengelolaan data
Tahap ini dilakukan untuk mengorganisasikan dan mengolah data yang telah
dikumpulkan. Data dapat diolah dengan berbagai cara, seperti dengan menggunakan
tabel, grafik, atau analisis statistik.

Oleh karena itu, pada tahap ini diperlukan keahlian dalam pengolahan data, baik data
kuantitatif maupun kualitatif.
3. Analisis data
Tahap ini dilakukan untuk menganalisis data yang telah dikelola. Analisis data dapat
dilakukan dengan berbagai metode, seperti analisis deskriptif, analisis komparatif,
atau analisis kausal.

Analisis deskriptif digunakan untuk menggambarkan atau mendeskripsikan data


yang telah dikumpulkan. Analisis komparatif digunakan untuk membandingkan data
yang telah dikumpulkan. Analisis kausal digunakan untuk menjelaskan hubungan
sebab-akibat antara dua atau lebih variabel.

E. PERSPEKTIF TEORI
1. Perspektif teori fungsional struktural memandang masyarakat sebagai suatu sistem
yang terdiri dari berbagai elemen yang saling terkait dan saling bergantung. Setiap
elemen dalam sistem tersebut memiliki fungsinya masing-masing untuk menjaga
keseimbangan dan keteraturan masyarakat.

Menurut teori fungsional struktural, tindak kekerasan dapat dianggap sebagai


penyimpangan dari norma-norma sosial yang berlaku dalam masyarakat. Tindak
kekerasan dapat mengganggu keseimbangan dan keteraturan masyarakat, sehingga
dapat mengancam eksistensi masyarakat tersebut.

Oleh karena itu, teori fungsional struktural memandang perlunya upaya untuk
mencegah dan menangani tindak kekerasan. Upaya tersebut dapat dilakukan dengan
berbagai cara, seperti melalui pendidikan, penegakan hukum, dan pemberdayaan
masyarakat.

2. Perspektif teori perilaku menyimpang memandang tindak kekerasan sebagai perilaku


yang melanggar norma-norma sosial yang berlaku dalam masyarakat. Tindak
kekerasan dapat dikategorikan sebagai perilaku menyimpang karena dapat
menimbulkan kerugian atau penderitaan bagi orang lain.

Teori perilaku menyimpang dapat digunakan untuk menjelaskan penyebab, pola, dan
dampak dari tindak kekerasan.

F. PENDEKATAN
 Pendekatan Personal Blame Approach
Pendekatan personal blame approach menilai tindak kekerasan dengan fokus pada
pelaku kekerasan. Pendekatan ini mengasumsikan bahwa pelaku kekerasan adalah
individu yang bertanggung jawab atas tindakannya, dan bahwa kekerasan adalah
hasil dari pilihan pribadi pelaku.

Pendekatan personal blame approach sering digunakan dalam sistem hukum pidana.
Dalam sistem ini, pelaku kekerasan dianggap bersalah dan harus dihukum.
Hukuman bertujuan untuk menghukum pelaku, mencegah mereka melakukan
kekerasan lagi, dan melindungi masyarakat dari kekerasan.

Pendekatan personal blame approach juga sering digunakan dalam media massa.
Media massa sering menyoroti pelaku kekerasan sebagai individu yang jahat dan
berbahaya. Sorotan ini dapat memunculkan stigma dan diskriminasi terhadap pelaku
kekerasan, serta dapat menyebabkan kekerasan semakin dinormalisasi.

 Pendekatan System Blame Approach


Pendekatan system blame approach menilai tindak kekerasan dengan cara mencari
faktor-faktor struktural yang menyebabkan terjadinya kekerasan. Pendekatan ini
mengasumsikan bahwa kekerasan adalah hasil dari sistem dan struktur sosial yang
tidak adil dan diskriminatif. Oleh karena itu, pendekatan ini fokus pada perubahan
sistem dan struktur sosial untuk mencegah terjadinya tindak kekerasan.

Di Indonesia, pendekatan system blame approach masih belum banyak diterapkan


dalam menilai tindak kekerasan. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya kasus
kekerasan yang diselesaikan melalui jalur hukum, yang fokus pada hukuman dan
rehabilitasi pelaku kekerasan. Namun, pendekatan system blame approach dapat
menjadi alternatif yang lebih efektif dalam menilai tindak kekerasan, karena dapat
mengatasi faktor-faktor struktural yang menyebabkan terjadinya tindak kekerasan.

G. SUMBER MASALAH
Sumber masalah dari tindak kekerasan dapat dibagi menjadi dua, yaitu faktor
internal dan faktor eksternal.

Faktor internal adalah faktor-faktor yang berasal dari dalam diri individu, seperti:

1. Ketidakstabilan emosi: Individu yang memiliki emosi yang tidak stabil lebih
cenderung untuk melakukan kekerasan, baik terhadap diri sendiri maupun orang lain.
2. Perilaku agresif: Individu yang memiliki perilaku agresif sejak kecil lebih cenderung
untuk melakukan kekerasan di masa dewasa.
3. Gangguan mental: Individu yang mengalami gangguan mental, seperti gangguan
kepribadian antisosial, lebih cenderung untuk melakukan kekerasan.

Faktor eksternal adalah faktor-faktor yang berasal dari luar diri individu, seperti:

1. Lingkungan keluarga: Keluarga yang tidak harmonis, sering terjadi konflik, atau terjadi
kekerasan dalam rumah tangga, dapat meningkatkan risiko anak untuk melakukan
kekerasan di masa dewasa.
2. Lingkungan sosial: Lingkungan sosial yang permisif terhadap kekerasan, seperti
lingkungan yang sering terjadi tawuran atau perkelahian, dapat meningkatkan risiko
terjadinya kekerasan.
3. Media massa: Tayangan kekerasan di media massa, seperti film, televisi, atau video
game, dapat memicu terjadinya kekerasan.

Selain faktor-faktor tersebut, tindak kekerasan juga dapat disebabkan oleh faktor-faktor
lain, seperti:

1. Masalah ekonomi: Individu yang mengalami masalah ekonomi, seperti kemiskinan


atau pengangguran, lebih rentan untuk melakukan kekerasan.
2. Perubahan sosial: Perubahan sosial, seperti perubahan nilai-nilai dan norma sosial,
dapat memicu terjadinya konflik sosial yang dapat berujung pada kekerasan.
3. Politik: Konflik politik, seperti perang atau kerusuhan, dapat menyebabkan terjadinya
kekerasan.

H. KASUS
Kasus Perundungan di MTS Negeri 1 Kotamobagu Berujung Kematian

Kasus kekerasan menimpa seorang siswa MTS Negeri 1 Kotamobagu berinisial ‘BT’ (13) yang
tewas akibat perundungan dan penganiayaan yang dilakukan oleh teman sekolahnya. Tindakan
penganiayaan tersebut diduga terjadi pada Rabu (8/6/2022). Saat itu, korban yang hendak
melaksanakan salat Zuhur dirundung oleh teman sebayanya dengan cara menutupi kepala korban
menggunakan sajadah lalu dianiaya.

‘BT’ yang mengeluh kesakitan di bagian perut pun melaporkan hal tersebut ke orang tuanya
seusai pulang sekolah. Walaupun orang tua ‘BT’ telah membawanya ke rumah sakit dan mendapat
perawatan medis, nyawa siswa MTS Negeri 1 Kotamobagu itu tidak tertolong dan dinyatakan
meninggal pada Minggu (12/6/2022).

Kasus tersebut sudah ditindaklanjuti oleh penyidik dari Polres Kotamobagu. Dari
beberapa pelajar yang menjalani pemeriksaan, polisi telah menetapkan beberapa terduga
pelaku. Para pelaku yang masih di bawah umur tersebut terancam pidana penjara paling
lama 15 tahun dan atau denda paling banyak tiga miliar rupiah.

Anda mungkin juga menyukai