Anda di halaman 1dari 12

BAB1 PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Kata kekerasan mengingatkan kita pada sebuah situasi yang kasar,
menyakitkan dan menimbulkan efek (dampak) negatif. Namun orang hanya
memahami kekerasan sebagai suatu bentuk perilaku fisik yang kasar, keras,
dan penuh kekejaman, sehingga bentuk perilaku opresif (menekan) lain yang
bentuk nya tidak berupa perilaku fisik,menjadi tidak “di hitung” sebagai suatu
bentuk kekerasan, Kekerasan atau violance adalah gabungan dua kata latin
“vis”(daya,kekuatan) dan “latus” berasal dari kata “ferre” yang berarti
membawa.
Menurut Poerwodarminto dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia,
Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Depdikbud, Jakarta 1986,
kekerasan diartikan sebagai “sifat atau hal yang keras, kekuatan, paksaan”.
Sedangkan paksaan berarti desakan atau tekanan dengan kekerasan. Oleh
karena itu kekerasan berarti juga membawa kekuatan, paksaan dan tekanan.
berada di bawah kendali orang tersebut.
Kekerasan dapat terjadi pada siapa saja, umumnya kekerasan terjadi
kepada orang-orang yang lemah seperti anak, perempuan, dan orang tua
(lansia). Kekerasan biasanya didominasi orang orang yang kuat dan berkuasa.
Kekerasan yang dikatakan melanggar hak-hak asasi manusia yaitu kekerasan
yang merampas hak-hak kebebasan, hak-hak untuk hidup dengan baik dan
mendapatkan perlakuan yang baik pula.
Kekerasan akan sangat merugikan dan memberikan berbagai
macam dampak negatif terhadap korban. Kekerasan dapat menyebabkan
seseorang mengalami trauma. Trauma adalah gejala psikologis yang pada
umumnya terjadi karena tekanan emosional dalam diri seseorang yang
disebabkan oleh kejadiaan atau pengalaman yang melukai atau kurang
menyenangkan yang berkaitan dengan hal yang merusak mental atau
kesehatan psikis seseroang (Habibah, 2018).
Pada umumnya seseorang yang mengalami trauma itu terjadi
karena pada saat individu tersebut mengalami suatu kejadian trauma,
tidak ada yang mampu menenangkan atau pendukung penderita trauama pada
saat awal kejadian, sehingga karena kegoncagan akibat peritiwa itu
menjadi suatu permasalahan atau penyakit mental dalam diri individu.
Suatu kejadian traumatis akan kembali muncul manakala
terdapat suau pemicu yang memunculkan kembali ingatan individu
terhadap kejaidan tersebut, seperti kesamaan peristiwa atau hal yang
berkaitan dengan yang membuatnya mengalami suatu trauma (Saragi, 2018).
Individu yang mengalami trauma perlu perhatian khusus dari
berbagai pihak. Bimbingan dan konseling merupakan salah satu jawaban
dalam membantu seorang penderita trauma. Bimbingan dan kosneling
merupakan salah satu alternatif dalam membantu individu yang
mengalami masalah dalam kehidupan seharianya, termasuk dalam hal
ini adalah seorang yang penderita trauma. Bimbingan dan konseling
merupakan layanan yang diberikan oleh seorang ahli (konselor) kepada
individu (klien) untuk membantu dalam mengetaskan permasalahan yang
menganggu dalam kehidupan sehari-harinya sehingga menghambat aktivitas
yang dilakukannya (Gunawan, 1992).
Dalam hal ini, seorang konselor memberikan bantuan kepada
klien yang memiliki permasalahan baik dari aspek psikologis maupun
aspek kognitifnya. Seseorang yang mengalami trauma dapat diberikan
bantuan melalui layanan dan pendekatan sesuai dengan tingkatan dan
permasalahan yang dialami individu itu sendiri.
B. Rumusan Masalah
1. Seperti apa pemahaman mengenai korban kekerasan?
2. Bagaimana Karakteristik kondisi klien yang mengalami korban
kekerasan?
3. Apa saja yang menjadi faktor penyebab dari kekerasan?
4. Bagaimana Penangan BK yang tepat dalam menangani korban
kekerasan?
C. Tujuan Penulisan Makalah
1. Untuk menguraikan dan memaparkan definisi mengenai korban
kekerasan.
2. Untuk memahami kondisi klien yang mengalami korban kekerasan
3. Memberikan informasi serta pemaparan mengenai faktor penyebab
kekerasan.
4. Untuk memahami bagaimana pemberian layanan BK yang tepat dalam
menangani klien korban kekerasan.

BAB 2
PEMBAHASAN

A. Pengertian korban Kekerasan


Korban adalah mereka yang menderita jasmaniah dan rohaniah
sebagai akibat tindakan orang lain yang mencari pemenuhan kepentingan diri
sendiri atau orang lain yang bertentangan dengan kepentingan hak asasi pihak
yang dirugikan. Pada dasarnya korban adalah orang, baik individu, kelompok
ataupun masyarakat yang telah menderita kerugian yang secara langsung
sebagai akibat dari kejahatan subyek lain. Bila hendak membicarakan
mengenai korban, maka seyogyanya dilihat kembali pada budaya dan
peradaban Ibrani kuno.
Berbicara mengenai korban dalam suatu tindak pidana dalam sistim
hukum nasional di Indonesia, posisinya sangatlah tidak menguntungkan.
Karena korban tersebut dalam Sistim Peradilan Pidana, hanya sebagai figuran,
bukan sebagai pemeran utama atau hanya sebagai saksi (korban). Seharusnya
korban tidak saja dipahami sebagai obyek dari suatu kejahatan tetapi juga
harus dipahami sebagai subyek yang perlu mendapat perlindungan secara
sosial dan hukum. Istilah korban pada saat itu merujuk pada pengertian
“setiap orang, kelompok, atau apapun yang mengalami luka-luka, kerugian,
atau penderitaan akibat tindakan yang bertentangan dengan hukum.
Penderitaan tersebut bisa berbentuk fisik, psikologi maupun ekonomi. Di
dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia menyebutkan kata korban mempunyai
pengertian sebagai berikut : ” korban adalah orang yang menderita kecelakaan
karena perbuatan (hawa nafsu dan sebagainya) sendiri atau orang lain”.
Kekerasan merupakan tindakan agresi dan pelanggaran
(penyiksaan, pemukulan, pemerkosaan, dan lain-lain) yang menyebabkan atau
dimaksudkan untuk menyebabkan penderitaan atau menyakiti orang lain, dan
hingga batas tertentu tindakan menyakiti binatang dapat dianggap sebagai
kekerasan, tergantung pada situasi dan nilai-nilai sosial yang terkait dengan
kekejaman terhadap binatang. Istilah “kekerasan” juga mengandung
kecenderungan agresif untuk melakukan perilaku yang merusak. Kerusakan
harta benda biasanya dianggap masalah kecil dibandingkan dengan kekerasan
terhadap orang.
Kekerasan pada dasarnya tergolong ke dalam dua bentuk kekerasan
sembarang, yang mencakup kekerasan dalam skala kecil atau yang tidak
terencanakan, dan kekerasan yang terkoordinir, yang dilakukan oleh
kelompok-kelompok baik yang diberi hak maupun tidak. Seperti yang terjadi
dalam perang (yakni kekerasan antarmasyarakat) dan terorisme. Maka korban
kekerasan adalah individu atau sekelompok orang yang menderita baik secara
rohani maupun jasmani akibat perbuatn seseorang yang dengan sengaja
merugikan korban tersebut.
B. Karakteristik Klien Yang Mengalami Korban Kekerasan
Kekerasan, tidak melulu hanya kekerasan fisik semata. Banyak
kasus khususnya kasus Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT), di mana
pelaku tidak pernah melakukan pemukulan dan kekerasan fisik lain, namun
akibat dari perbuatan pelaku, korban mengalami penderitaan yang berat.
Kekerasan psikologis, atau dalam pasal 7 Undang-undang No 23
tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga disebut
sebagai kekerasan psikis adalah perbuatan yang mengakibatkan ketakutan,
hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak
berdaya, dan/atau penderitaan psikis berat pada seseorang.
Sebagai contoh, kasus yang dialami ibu A yang merasa suaminya
selalu mendiamkannya, dan bila berkata-kata merendahkan ibu A. Suami
tidak mau menyapa apalagi menyentuhnya, sampai akhirnya ibu A membakar
diri. Suami ibu A tidak pernah melakukan kekerasan fisik. Namun tindakan
suami dengan selalu mendiamkan membuat ibu A tidak percaya diri. Ibu A
juga semakin merasa terhina dari kata-kata merendahkan yang diucapkan
suami. Ibu A mengalami kekerasan psikis.
Kekerasan psikis banyak sekali terjadi pada difabel. Sikap dan
perilaku membedakan (baca: diskriminatif) yang dilakukan oleh keluarga dan
masyarakat pada difabel banyak kita temui. Kasus-kasus seperti pelarangan
keluar rumah, tidak sekolahkan, sikap dan pernyataan yang
memperolok/merendahkan, bahkan pemasungan, sering terjadi.
Kekerasan psikis memang sulit untuk dilihat, bahkan bisa jadi
korban tidak menyadari bahwa dirinya mengalami kekerasan psikis. Secara
umum, disebut sebagai kekerasan psikis apabila: Ada pernyataan yang
dilakukan dengan umpatan, amarah, penghinaan, pelabelan negative, atau
sikap dan gaya tubuh yang merendahkan; Tindakan tersebut menekan,
mencemooh/menghina, merendahkan, membatasi, atau mengontrol korban
agar memenuhi tuntutan pelaku; Tindakan tersebut menimbulkan ketakutan,
hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, dan rasa
tidak berdaya Sejauh mana korban mengalami kekerasan psikis dapat
dibuktikan melalui Visum et Psikiatrikum, yaitu keterangan mengenai kondisi
psikologis seseorang yang disertai kemungkinan sebab-sebabnya. Visum et
Psikiatrikum ini dikeluarkan oleh pihak-pihak seperti psikolog yang kompeten
dan institusi atau lembaga yang berwenang mengeluarkannya.
Kekerasan psikis bisa berupa:Tindakan pengendalian, manipulasi,
eksploitasi, kesewenangan, perendahan, dan penghinaan dalam bentuk
pelarangan, pemaksaan dan isolasi sosial Tindakan atau ucapan yang
merencahkan atau menghina, penguntitan, kekerasan dan atau ancaman
kekerasan fisik, seksual, ekonomis; Difabel sangat rentan mengalami
kekerasan psikis. Banyak kasus kekerasan psikis ringan seperti kata-kata yang
merendahkan, sikap atau perilaku yang membedakan dan tidak menghargai,
pelarangan-pelarangan tertentu seperti tidak boleh keluar rumah, dan
sebagainya. Kata-kata yang merendahkan martabat dan menghina yang
dilakukan terus menerus bisa mengakibatkan korban kehilangan kepercayaan
diri, hingga mengalami tekanan psikologis berat.
Dampak kekerasan psikis berakibat pada hilangnya rasa percaya
diri, mengalami trauma, hilangnya kemampuan untuk bertindak, gangguan
tidur atau gangguan makan atau ketergantungan obat atau disfungsi seksual,
gangguan fungsi tubuh ringan, seperti sakit kepala, gangguan pencernaan
tanpa indikasi medis. bisa berakibat pada gangguan fungsi tubuh berat
misalnya: tiba-tiba lumpuh atau buta tanpa indikasi medis. Bahkan dampak
kekerasan psikis berat bisa bunuh diri.
D. Faktor Penyebab Dari Kekerasan
Ada beberapa penyebab terjadinya kekerasan, diantaranya yaitu:
1. Lingkaran kekerasan, seseorang yang mengalami kekerasan semasa
kecilnya mempunyai kecenderungan untuk melakukan hal yang pernah
dilakukan terhadap dirinya pada orang lain.
2. Stres dan kurangnya dukungan. Menjadi orangtua maupun pengasuh
dapat menjadi sebuah pekerjaan yang menyita waktu dan sulit.
3. Orang tua yang mengasuh anak tanpa dukungan dari keluarga, teman
atau masyarakat dapat mengalami stress berat.
4. Pecandu alkohol atau narkoba. Para pecandu alkohol dan narkoba
seringkali tidak dapat mengontrol emosi dengan baik, sehingga
kecenderungan melakukan penyiksaan lebih besar.
5. Menjadi saksi kekerasan dalam rumah tangga adalah sebuah bentuk
penyiksaan anak secara emosional dan mengakibatkan penyiksaan anak
secara fisik.
6. Kemiskinan dan akses yang terbatas ke pusat ekonomi dan sosial saat
masa-masa krisis.
7. Peningkatan krisis dan jumlah kekerasan di lingkungan sekitar mereka.
8. danya keinginan untuk memperoleh sesuatu yang berharga, penting, dan
bergengsi
9. Kontrol sosial yang sudah tidak lagi berfungsi
10. Adanya permasalahan yang muncul dan memicu terjadinya permusuhan
antara individu/kelompok masyarakat
11. Tidak bisa lagi individu mengendalikan/mengontrol emosi dirinya sendiri
12. Berpikir/ memiliki prasangka buruk terhadap orang lain
Selain itu adapun teori-teori pemicu penyebab terjadinya kekerasan
adalah sebagai berikut:
1. Teori Faktor Individual, Pemahaman dalam perspektif ini, mengatakan
bahwa setiap perilaku kelompok, termasuk perilaku kekerasan, biasanya
selalu berawal dari perilaku individu. Faktor penyebab dari perilaku
kekerasan yaitu ada faktor pribadi dan faktor sosial. Faktor pribadi seperti
gangguan atau kelaian kejiwaan. Kemudian, untuk faktor sosial seperti
konflik rumah tangga, adanya faktor kebudayaan, dan faktor media
massa.
2. Teori Faktor Kelompok, Manusia yang lahir, berawal dari individu
individu yang akhirnya membentuk sebuah kelompok sosial. Dengan
mengedepankan atas identitas seperti kesukuan, ras, agama, etnis, dan
lainnya. Kelompok yang melakukan interaksi atau komunikasi dengan
yang lain, juga sering membawa kesukuannya, atau identitas kelompok
tersebut. Bukan tidak mungkin, berawal dari sinilah benturan antara
identas kelompok satu dengan kelompok lainnya terjadi. Dengan
demikian, bisa saja menjadi pemicu atau faktor penyebab terjadi
kekerasan yang dilakukan.
3. Teori Dinamika Kelompok, Kekerasan timbul karena adanya deprivasi
relatif dalam kelompok atau masyarakat tersebut. Itu artinya perubahan
sosial yang terjadi dengan cepat. Dalam sebuah masyarakat juga tidak
mampu, ditangkap dengan seimbang oleh masyarakat tersebut. Perubahan
yang begitu cepat juga bisa menjadi pemicu atau faktor terjadinya
perilaku kekerasan di masyarakat.

E. Penanganan BK Yang Tepat Dalam Menangani Korban Kekerasan


Penyebab trauma adalah peristiwa yang sangat menekan, terjadi
secara tiba-tiba dan diluar kontrol seseorang, bahkan seringkali
membahayakan kehidupan atau mengancam Jiwa. Kekerasan bisa
menimbulkan trauma. Tak hanya fisik saja yang luka tapi juga psikis, rasa
ketakutan dan terancam jiwanya, itu yang sulit disembuhkan. Trauma tak
memandang usia. Anak kecil, remaja, maupun orang dewasa bisa mengalami
trauma. Bedanya pada anak kecil, ia belum bisa memahami apa yang
menimpa dirinya, dan trauma itu baru muncul setelah si anak dewasa. Trauma
yang muncul setelah dewasa bisa mengakibatkan perubahan kepribadian, ia
bisa menjadi orang yang pendendam dan kemungkinan menjadi pelaku
kekerasan di kemudian hari. Oleh karena itu, trauma penting sekali untuk
segera ditangani. Peran konselor yang dapat dilakukan segera adalah :
Meredakan perasaan-perasaan (cemas/ gagal/ bodoh/ putus asa/ tidak berguna/
malu/ tidak mampu/ rasa bersalah) dengan menunjukkan sikap menerima
situasi krisis, menciptakan keseimbangan pribadi dan penguasaan diri serta
tanggungjawab terhadap diri konseli (mampu menyesuaikan diri dengan
situasi yang baru (situasi krisis). Agar konseli dapat menerima kesedihan
secara wajar, memberikan intervensi langsung dalam upaya mengatasi situasi
krisis, memberikan dukungan kadar tinggi kepada konseli.
Dalam rancangan program pemulihan trauma di bawah ini
menggunakan beberapa pendekatan disiplin ilmu namun terintegrasi menjadi
satu menjadi sebuah program pemulihan trauma yang layak untuk
diaplikasikan. Rancangan program pemulihan trauma ini diperuntukkan untuk
segala usia namun tentunya formula dan pengaplikasiaanya yang berbeda
disesuaikan dengan kebutuhan klien dan hasil asesmen dari konselor ataupun
terapis pada awal sesi. Adapun tahap-tahapnya adalah sebagai berikut :
1. Asesmen Awal Kondisi Klien Adalah suatu hal penting yang harus
diperhatikan secara komprehensif oleh semua pihak yang terlibat dalam
pemberian bantuan pada penderita traumatik bahwa upaya deteksi
(teropong, observasi, analisis dan pemahaman) terhadap kasus, masalah
atau penyakit secara mendalam merupakan kunci utama dari keberhasilan
penanganannya (terapi atau konselingnya) Bagaimana proses awal
terjadinya trauma dan sejauh mana kondisi traumatik menyerang
individu? Konteks ini, kiranya akan memudahkan kita dalam hal
pencarian solusi akhir untuk mengembalikan kondisi normal bagi
penderita ganguan kejiwaan secara bertahap dan berkesinambungan.
Berikut ini adalah beberapa cara atau langkah awal yang perlu
diperhatikan dalam rangka diagnosis awal sebagai upaya penanganannya
(terapi) selanjutnya:
a. Planning, Konsep ini merupakan pemikiran dasar dalam rangka
menjalankan tugas secara menyeluruh. Tanpa planning yang tepat,
kesulitan akan segera menghadang. Dengan adanya planning, maka
segala sesuatu yang dibutuhkan dalam aplikasi kerja akan berjalan
dengan baik dan terfokus.
b. Action, Setelah perencanaan yang matang, maka langkah kerja
selanjutnya adalah aksinya (perbuatan). Dalam aksi, segala
hal/masalah yang hendak dianalisis atau dikaji akan menjadi
terorganisasi, sistematis dan terintegrasi, sehingga memperjelas
metode, pendekatan dan upaya problem solving (pemecahan
masalah)
c. Controlling, Konsep ini menjadi penting karena apabila terjadi
kekeliruan metode, pendekatan dan konsep sebagaimana yang telah
direncanakan dan diaplikasikan dilapangan maka dapat dikontrol,
dan memungkinkan konselor untuk mengubah cara-cara lain yang
sesuai dengan bobot masalah.
d. Evaluation, Kegunaan konsep evaluasi adalah untuk melihat
sejauhmana proses perkembangan kesembuhan traumatik yang
diderita oleh individu dalam upaya pemberian bantuan, apakah
dilanjutkan atau dihentikan (bila dianggap sudah normal).
Pada asesmen ini juga perlu diperhatikan terkait dengan usia dan tingkat
pemahaman klien sehingga konselor ataupun terapis dapat menentukan
langkah yang tepat untuk eksplorasi masalah dan problem solving-nya.
Untuk anak-anak asesmen awal dapat berupa permainan dan psycho
game yang mampu mengungkap permasalahan klien karena pada usia
perkembangannya klien belum mengungkap permasalahannya secara
jelas sehingga dengan menggunakan media tersebut terungkap dan anak
merasa tidak ditekan. Secara umum proses asesmen awal kondisi klien
ini penting dilakukan untuk menentukan langkah yang akan diambil
untuk penanganan trauma klien. Asesmen awal dapat digunakan dengan
berbagai metode baik itu interview singkat dan observasi. Apakah klien
datang karena kesadaran pribadi ataukah disuruh. Identifikasi jenis
traumanya dari lingkungan.
2. Proses Koseling Setelah asesmen awal di dapatkan hasil selanjutnya
memperdalam eksplorasi masalah dan penanganannya dan bagaimana
dimensi trauma menurut klien dengan menggunakan konseling.
Menggunakan konseling baik itu secara personal ataupun kelompok jika
ditujukan untuk kelompok. setelah dilakukan asesmen. Namun
sebelumnya konselor harus memiliki basic skill yaitu knowledge, skill,
dan attitude. Knowledge yang dimaksud adalah pengetahuan mengenai
sejauh mana kemampuan diri untuk menangani kasus trauma,
pengetahuan terkait klien dan menguasai teknik-teknik konseling. Skill
adalah keahlian untuk bertanya, mendengarkan dan mengobservasi.
Attitude yang dimaksud adalah kemampuan untuk EAR (Emphatic,
Authentic, Regard).
a. Konselor harus mampu Authentic yaitu tahu akan dirinya dan sedang
tidak bermasalah sehingga mampu fokus dan membantu orang lain.
b. Konselor mampu mengembangkan sikap Empahty yaitu merasakan
emosi klien dan memahaminya hal ini ditunjukkan dengan SOLER.
S: Square, membentuk sudut ketika duduk jadi tidak langsung
berhadapan dengan klien sehinnga posisi duduk nyaman dan tidak
kaku
O: Open, terbuka dan siap untuk proses konseling
L: Learn toward, bahasa tubuh condong ke depan menandakan
ketertarikan, kepedulian dan perasaan diperhatikan
E: Eye Contact, memperhatikan dan mendengarkan
R: Relax, tenang sehingga kliennya pun dapat bersikap tenang dan
memberikan kenyamanan kepada klien
c. Konselor mampu menunjukkan sikap Regard dimana menghargai
dengan tidak memndang secara terus-menerus dan menyelidik serta
tidak membutuhkan pengakuan. Adapun tahapan-tahapan dalam
konseling adalah sebagai berikut:
a) Pembukaan: dimana konselor berkenalan dan membangun
rapport kepada klien. Pada fase ini merupakan titik penentu
pembangunan kepercayaan klien terhadap konselornya sehingga
skill membangun hubungan yang baik dan mau menerima
dengan tampilan gesture dan bahasa tubuh serta penggunaan
kalimat perlu diperhatikan sesuai dengan penjelasan di atas .
b) Penggalian Masalah: dimana konselor mengeksplorasi
permasalahan trauma klien dengan Meminta klien untuk
menggambarkan kejadian traumatik yang mereka alami, apa
yang mereka lihat dan dengar Meminta klien untuk
menggambarkan reaksi kognitifnya terhadap peristiwa traumatik
tersebut Menolong klien untuk mengenali emosi-emosi yang
menyertai kejadian tersebut menanyakan reaksi-reaksi klien
setelah kejadian.
c) Pencarian Solusi: pencarian solusi klien terhadap permasalahan
traumanya yang diawali : Menginformasikan kepada klien
bahwa trauma yang telah diceritakan adalah suatu bentuk dari
memori. Trauma cenderung membuat memori menjadi beku dan
membekukan klien sehingga sering membuat mereka tidak
mampu mengambil tindakan lebih lanjut. Konselor memiliki
tugas untuk me-reframe flashback dalam upaya penyembuhan
dari pengalaman traumatik agar mereka dapat mengembangkan
hidupnya lebih lanjut. Membuat klien menyadari kejadian
traumatiknya adalah sangat penting sebagai suatu transisi
kehidupan dan hal itu normal saja. Your responses are NORMAL
reactions to ABNORMAL events. Klien diajak untuk berani
menghadapi perasaannya yang ditekan akibat trauma. Hal ini
bukan persoalan mudaj karena kebanyakan mereka tidak mau
atau takut untuk merasakan emosi itu kembali. Tapi yang
terpenting bagi klien adalah menghadapi emosi-emosi
negatifnya (marah, cemas, takut,sedih,berduka). Mengajak klien
melakukan bentuk coping lain tidak hanya berthan pada
mekanisme pertahanan diri saja. Klien diajak untuk mampu
membicarakan kejadian traumanya dengan orang lain , membaca
tulisan-tulisan atau melihat televisi yang berkaitan dengan
kejadian traumanya. Hal ini akan memberikan pemahaman yang
lebih baik mengenai kejadian traumatiknya dan mampu
mnegurangi perasaan-perasaan negatifnya. Menolong klien
untuk mengidentifikasi pemicu reaksi-reaksi traumanya dan
mengajari bagaimana mengendalikan. Cara-cara yang bisa
dilakukan adalah dengan mengajari klien relaksasi, menarik
nafas dalam-dalam dengan diikuti self-talk
d) Penutup: mereview dan memberi dukungan kepada klien untuk
mampu menjalankan kesepakatan di konseling dan menentukan
kesepakatan jadwal untuk sesi berikutnya. Konselor memberikan
self monitoring untuk dikerjakan sebelum sesi kedua.
e) Selanjutya konselor mengevaluasi hasil konseling dan
menentukan langkah selanjutnya untuk penanganan traumatik
klien.

Anda mungkin juga menyukai