Anda di halaman 1dari 22

BAB III

TINJAUN PUSTAKA

3.1 ILEUS
3.1.1 Definisi
Ileus adalah gangguan/hambatan pasase isi usus yang merupakan
tanda adanya obstruksi usus akut yang segera membutuhkan pertolongan
atau tindakan. Ileus timbul saat udara dan cairan sekresi tidak dapat keluar
kearah distal karena berbagai sebab baik karena faktor intrinsik maupun
ekstrinsik (mechanical obstruction) atau paralisis (non mechanical
obstruction atau pseudo ileus).1
Adhesi peritoneal adalah jaringan fibrous abnormal antara permukaan
peritoneum yang berdampingan dan dapat menyebabkan gangguan gerakan
dan pasase usus.1

3.1.2 Klasifikasi
Klasifikasi ileus ada bermacam-macam. Berdasarkan sumbatannya
ileus dibagi menjadi total dan parsial; menurut klinisnya akut, subakut dan
kronis; menurut sebabnya ileus obstruksi dan ileus fungsional (paralitik)
dan ileus karena gangguan vaskularisasi. Ileus obstruktif atau disebut juga
ileus mekanik adalah keadaan dimana isi lumen saluran cerna tidak bisa
disalurkan ke distal atau anus karena adanya sumbatan/hambatan mekanik
yang disebabkan kelainan dalam lumen usus, dinding usus atau luar usus
yang menekan atau kelainan vaskularisasi pada.3,1
Sedangkan ileus paralitik atau adinamik ileus adalah keadaan dimana usus
gagal/ tidak mampu melakukan kontraksi peristaltik untuk menyalurkan
isinya akibat kegagalan neurogenik atau hilangnya peristaltik usus tanpa
adanya obstruksi mekanik.3
3.1.3Etiologi
Etiologi dari ileus obstruktif di negara maju yang paling sering adalah
adhesi, sedangkan di negara berkembang lebih banyak disebabkan oleh
9,10 hernia strangulata. Penyebab lain yang mungkin adalah karsinoma
kolon, volvulus, dan divertikulitis.2,1

Gambar 1. Bermacam penyebab ileus obstruksi usus halus. A. Hernia


inkarserata; usus terjepit di dalam pintu hernia. B. Invaginasi; bagian yang
masuk makin diteruskan oleh peristalsis. C. Adhesi atau pita. D. Volvulus.
E. Tumor usus. F. Kumpulan cacing askariasis. 1
Obstruksi ini dapat disebabkan kelainan ekstrinsik maupun intrinsik dinding
usus, dan kadang-kadang dapat disebabkan karena isi lumen sendiri.
Beberapa penyebab dari mechanical bowel obstruction terdapat pada tabel
dibawah ini2

Adhesi dapat terjadi setelah operasi ( post operative adhesion),


kongenital dan setelah inflammasi ( post inflammatory ). Walaupun banyak
penyebab mechanical bowel obstruction seperti telah disebutkan diatas,
adhesi pascaoperasi merupakan penyebab terbanyak yaitu sebesar 75% dan
terjadi pada usus halus.2
3.1.4 Adhesi ileus
Adhesi ileus , akibat adhesi umumnya tidak disertai strangulasi. Adhesi
umumnya berasal dari rangsangan peritoneum akibat peritonitis setempat
atau umum, atau pascaoperasi. Adhesi dapat berupa perlengketan dalam
bentuk tunggal maupun multipel, dan dapat setempat maupun luas. Sering
juga ditemukan adhesi yang berbentuk pita. Pada operasi, perlengketan
dilepaskan dan pita dipotong agar pasase usus pulih kembali. Adhesi yang
kambuh mungkin akan menjadi masalah besar. Setelah berulang 3 kali,
risiko kambuhnya menjadi 50%. Pada kasus seperti ini, di adakan
pendekatan konservatif karena walaupun pembedahan akan memperbaiki
pasase, obstruksi kemungkinan besar akan kambuh lagi dalam waktu
singkat.1
3.1.5Epidemiologi
Obstruksi mekanik akut usus halus paling sering terjadi (71,2%)
dengan berbagai patologi: obstruksi terkait adhesi, volvulus usus halus,
batu empedu, ileus, keganasan, hernia dinding perut, hernia internal,
karsinomatosis dan intususepsi ileocecocolic.1
Ileus obstruksi pada negara-negara berkembang seperti Indonesia
biasanya masih menyerupai negara-negara maju pada awal abad 20 dengan
penyebab terbanyak adalah hernia inkarserata. Kemajuan operasi
intraabdomen selama beberapa tahun berikutnya meningkatkan frekuensi
ileus obstruksi karena adhesi pascaoperasi dan menurunkan frekuensi
relatif hernia inkarserata sebagai penyebab ileus obstruksi. Di masa depan
operasi laparoskopik diharapkan dapat menurunkan frekuensi ileus
obstruksi karena adhesi pascaoperasi.4
Wanita lebih sering mengalami ileus obstruksi karena adhesi
pascaoperasi dibandingkan pria. Hal ini dihubungkan dengan seringnya
operasi obstretik dan ginekologis pada wanita. Hampir seluruhnya ileus
obstruksi karena adhesi pascaoperasi terjadi pada usus halus dan jarang
sekali terjadi pada usus besar.4
Diperkirakan setiap tahunnya kasus ileus obstruksi yang disebabkan adhesi
pascaoperasi ± 1 % dari seluruh kasus rawat inap, 3% dari kasus
emergensi, dan 4% dari seluruh kasus laparotomi eksplorasi. Ileus
obstruksi yang disebabkan adhesi juga menyebabkan gangguan
produktivitas dan membutuhkan biaya yang tidak sedikit untuk operasi
adhesiolisis.4
3.1.6 Etiologi dan Patogenesis terjadinya Adhesi
Trauma jaringan selama operasi, proses inflammasi, sisa darah, bakteri dan
jaringan nekrotik memang akan memicu sel-sel mesotel memproduksi
eksudat yang kaya fibrin dan menyebabkan terbentuknya adhesi fibrinous.
Akan tetapi cepatnya pembentukan adhesi fibrinous dalam waktu beberapa
jam setelah ini karena peritoneum memiliki daya penyembuhan yang jauh
lebih cepat dibandingkan penyembuhan luka biasa.2
Fibrin-fibrin ini dapat diabsorpsi secara komplit, sehingga rongga
peritoneal menjadi bersih kembali atau dapat diorganisasi dengan
tumbuhnya fibroblast yang membentuk adhesi fibrous yang menetap.
Adhesi fibrous dapat terjadi karena 3 situasi sebagai hasil dari pembedahan
abdomen yaitu2
1. Aposisi dua permukaan organ yang peritoneumnya dilepaskan.
Keadaan ini sudah dibuktikan pada percobaan binatang tikus yang dua
permukaan organ yang peritoneumnya dilepaskan ternyata
meningkatkan adhesi sampai 80%.
2. Keadaan iskemia jaringan. Hal ini dapat terjadi karena proses patologis
intraabdomen, atau karena penjahitan ataupun devaskularisasi.
3. Adanya benda asing dalam rongga peritoneal,misalnya benang, bedak
pada sarung tangan, bubuk antibiotika dan material sintetik lainnya.

Ada beberapa teori mengenai pembentukan adhesi. Teori paling awal yaitu
teori primitif yang menyebutkan adanya trauma pada peritoneum maka
terjadi penyembuhan sehingga pada akhirnya terbentuk adhesi.2

Teori berikutnya yaitu teori klasik yang menyebutkan adanya stimulus


yang menyebabkan pembentukan adhesi seperti trauma, infeksi dan
iskemia. Stimulus ini akan menciptakan respons inflammasi intraperitoneal
akut dan akan menghasilkan eksudat yang kaya fibrin. Dengan peritoneum
yang intak, maka adhesi fibrinous akan dihambat dan fibrin akan
diresorpsi. Bila terdapat peritoneum yang tidak sehat maka adhesi fibrinous
ini akan menetap dan diorganisasi. Teori yang dianut sekarang adalah
modifikasi teori klasik yaitu stimulus yang berbeda terhadap peritoneum
menciptakan derajat yang berbeda terhadap penurunan kadar Plasminogen
Activator Activity(PAA). Penurunan level PAA ini akan menyebabkan
organisasi dari adhesi fibrinous sehingga terbentuk adhesi.1,2
Modifikasi dari Teori Klasik Terbentuknya Adhesi Pascaoperasi

Inti dari patofisiologi adhesi pascaoperasi adalah keseimbangan


dinamis antara pembentukan fibrin dan fibrinolysis. Dengan kadar PAA
yang menurun maka kadar plasminogen menjadi plasmin akan menurun,
sehingga mengakibatkan aktivitas fibrinolitik menurun.2

Fibrin dapat terbentuk dalam waktu 10 menit dan organisasi dimulai


dengan migrasi dari fibroblast dalam waktu 3 hari pertama. Fibroblast akan
membentuk prekollagen lalu selanjutnya menjadi serabut kollagen serta
akhirnya membentuk serabut elastik. Pembentukan adhesi yang komplit
selesai dalam waktu 10 hari.2

3.1.7 Klasifikasi Adhesi Pascaoperasi


Adhesi pascaoperasi dapat diklasifikasikan berdasarkan makroskopis
maupun histologis.3
Berdasarkan makroskopis adhesi pascaoperasi diklasifikasikan sebagai
berikut : 3
a. Grade I : adanya deposit fibrin, tipis seperti benang atau adanya adhesi
antar organ yang ringan dan dapat dipisahkan secara tumpul
b. Grade II : adanya adhesi yang dapat dipisahkan secara tumpul, tapi
sebagian perlu dipisahkan secara tajam dengan vaskularisasi yang
rapuh
c. Grade III : vaskularisasi jelas, adhesi cukup kuat sehingga harus
dipisahkan secara tajam
d. Grade IV : adhesi kuat, luas, harus dipisahkan secara tajam dan
karenanya dapat terjadi kerusakan organ yang memerlukan terapi
pembedahan.

Berdasarkan histologis, adhesi pascaoperasi diklasifikasikan sebagai


berikut : 3
a. Grade I : terdapat beberapa fibrin dan jaringan ikat yang sangat
renggang dengan serat retikulin yang sangat rapuh
b. Grade II : terdapat jaringan ikat yang renggang mengadung sel-sel dan
kapiler-kapiler. Serabut-serabut kollagen dapat terlihat.
c. Grade III : struktur dari jaringan ikat lebih tebal, terdapat pengurangan
jumlah dari sel-sel, dengan peningkatan jumlah pembuluh darah,
kadang-kadang serabut ikat elastik dan otot polos dapat ditemukan
d. Grade IV : ditemukan skar atau jaringan kallus yang lebih matur,
biasanya jaringan adhesi sudah menyatu dengan serosa organ
sebelahnya, dapat ditemukan otot polos.
3.1.8 Diagnosis
Diagnosis dari ileus berdasarkan adanya tanda-tanda dan gejala klasik dari
ileus lalu dikonfirmasikan dengan pencitraan yaitu foto polos abdomen
atau dilakukan CT-Scan. Etiologi dapat ditemukan dengan anamnesis yang
seksama disertai pencitraan radiologis.1,2
a. Anamnesis dan Gejala Klinis Ileus Obstruksi Adhesi Pascaoperasi
Gambaran klinis ileus obstruksi adhesi pascaoperasi tidak
berbeda dengan gambaran ileus oleh sebab lain yaitu nyeri perut,
kembung tidak dapat BAB, mual dan muntah. Biasanya nyeri perut dan
kembung mendahului mual dan muntah beberapa jam sebelumnya.
Lokasi dan karakter nyeri dapat membantu membedakan ileus
obstruksi dan ileus paralitik. Pada ileus obstruksi biasanya rasa nyeri
lebih hebat, bersifat intermittent dan terlokalisir pada daerah abdomen
tengah sedangkan rasa nyeri pada ileus paralitik biasanya menyeluruh
dan lebih ringan serta terus menerus. Semakin proksimal obstruksinya
maka gejala mual dan muntah lebih awal dirasakan dan makin hebat.
Untuk obstruksi usus halus, rasa nyeri dirasakan tidak
terlokalisir, intermittent dengan interval rasa nyeri antara 30 detik
sampai 2 menit, semakin lama semakin nyeri. Untuk obstruksi usus
besar, interval rasa nyeri dan durasi nyeri lebih panjang dibandingkan
obstruksi usus halus.
Riwayat penyakit sebelumnya ditanyakan untuk menegakkan
diagnosis, misalnya riwayat konstipasi kronis, perubahan bowel habit,
riwayat keganasan dan penatalaksanaan untuk keganasan tersebut
( pembedahan, kemoterapi,radioterapi ), serta riwayat penyakit
Crohn’s. Bila ada kecurigaan ileus obstruksi karena adhesi
pascaoperasi, riwayat operasi sebelumnya harus ditanyakan, berapa kali
dan berapa lama intervalnya dari keluhan.2,3
b. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik harus dilakukan dan harus meliputi tanda-tanda vital
dan status hidrasi, pemeriksaan abdomen, pemeriksaan kearah pintu-
pintu hernia dan pemeriksaan colok dubur. Adanya luka operasi
sebelumnya juga harus diperhatikan.
Pada ileus obstruksi, pemeriksaan abdomen sangat memegang
peranan. Pada inspeksi dapat terlihat kontur usus/darm contour dan
gerakan usus yang terlihat dari luar/darm steifung. Pada auskultasi
bising usus akan meningkat dan biasanya akan terdengar suara tinggi
(metallic sound) dan menyerupai suara tetes air yang jatuh ke dalam
penampungan yang besar. Pada palpasi dapat dijumpai tanda-tanda
rangsang peritoneal seperti nyeri lepas dan defans muskuler.
Pemeriksaan colok dubur juga harus dilakukan untuk menilai total
atau tidaknya suatu obstruksi dengan menilai kollaps tidaknya ampulla
rekti. Bila pasien telah mengalami peritonitis maka akan ditemukan
nyeri tekan pada pemeriksaan ini. Data laboratorium tidak dapat
membantu diagnostik tetapi dapat membantu dalam menentukan
kondisi dari pasien dan memandu resusitasi. Pemeriksaan darah
lengkap dan hitung jenis, disertai elektrolit darah, kadar ureum dan
kreatinin serta urinalisis harus dilakukan untuk menilai status hidrasi
dan menyingkirkan sepsis.1,2,3
c. Pencitraan ileus obstruksi
Foto toraks tegak dikombinasikan dengan foto abdomen tegak
dan datar dapat menjadi alat bantu diagnostik pasien yang dicurigai
ileus obstruksi. Foto toraks tegak dapat membantu untuk mendeteksi
kondisi di luar abdomen yang dapat menyerupai ileus obstruksi,
misalnya proses pneumonia. Adanya udara bebas intraabdomen yang
mengindikasikan adanya perforasi organ berongga dan dapat terlihat
pada foto toraks tegak.4
Penemuan khas untuk ileus obstruksi pada foto abdomen
adalah beberapa loop usu halus yang terdilatasi dengan air-fluid level.
Pola gas dalam usus juga membantu untuk menentukan tipe dan lokasi
dari obstruksi. Usus halus dianggap dilatasi bila diameter lumennya
berukuran lebih dari 3 cm.4
Selain foto toraks dan abdomen, dapat dilakukan pemeriksaan USG,
CT-Scan atau MRI untuk membantu diagnosis ileus obstruksi. Pada
pemeriksaan dengan USG untuk obstruksi usus halus dan usus besar
didapatkan gambaran
a) pada pemeriksaan simultan akan tampak bagian usus yang distensi
dan bagian usus yang kolap
b) cairan peritoneal bebas
c) tampak isi dari usus
d) peristaltic pendulating paradoksical
e) cairan pada lumen usus
f) edema dinding usus antara serosa dan mukosa
g) tampak gambaran massa tanpa perstaltik, terisi cairan
h) usus yang berdilatasi.

Pemeriksaan dengan CT-Scan memiliki beberapa keuntungan


dibandingkan dengan pemeriksaan rontgen dengan kontras, antara lain
4:4

a) dapat menentukan dengan pasti letak obstruksi


b) dapat menentukan berapa besar lumen yang tersumbat dan
penyebabnya
c) dapat mengetahui adanya closed loop obstruction dan adanya
strangulasi
d) dapat mengetahui adanya proses inflamasi atau tumor baik didalam
maupun diluar rongga abdomen
e) dapat melihat adanya pneumoperitonium yang minimal dan
pneumatosis cystoides intestinalis yang tidak tampak pada foto
polos abdomen biasa.

Dari beberapa penelitian diketahui bahwa keakuratan CT-Scan dalam


mendiagnosis obstruksi usus > 95%. Spesifik dan sensitifitasnya >
94%. MRI jauh lebih baik daripada CTScan dalam menentukan lokasi
dan penyebab obstruksi4

3.1.9 Penatalaksanaan ileus obstruksi Adhesi pasca operasi


Sebagian besar ileus obstruksi adhesi pascaoperasi adalah obstruksi
usus halus, dan penatalaksanaanya tidak berbeda dengan ileus obstruksi
usus yang lain.Penatalaksanaan awal dari pasien dengan obstruksi usus
halus harus ditujukan pada resusitasi cairan yang agresif, dekompresi usus
yang mengalami obstruksi dan mencegah aspirasi. Koreksi elektrolit harus
dilakukan sesegera mungkin.1
Langkah awal yang paling penting adalah resusitasi cairan yang agresif
karena pasien dengan obstruksi usus halus sering banyak kehilangan cairan
dan elektrolit, khususnya kalium. Resusitasi dilakukan dengan cairan
kristaloid seperti Na Cl 0.9% atau Ringer Laktat dan keberhasilan resusitasi
dapat dimonitor dengan produksi urine, minimal 0.5cc/kg/jam. Diharapkan
setelah resusitasi secara klinis hemodinamik pasien stabil dan fungsi renal
dapat kembali ke normal.1
Dekompresi dengan pemasangan nasogastric tube (NGT) mutlak harus
dilakukan dalam mengobati ileus obstruksi yang disebabkan adhesi
pascaoperasi. NGT juga mencegah distensi intestinal karena tertelannya
udara dan mencegah aspirasi selama pasien muntah. Secara simptomatis,
dekompresi membantu meringankan distensi abdomen dan dapat
meningkatkan ventilasi pada pasien dengan gangguan respirasi1
Penatalaksanaan Non-Operatif Ileus Obstruksi karena Adhesi
Pascaoperasi, Penatalaksanaan non-operatif hanya ditujukan untuk pasien
dengan ileus obstruksi usus halus baik total maupun parsial dengan klinis
tanpa tanda-tanda peritonitis dan strangulata. Angka keberhasilan terapi
non-operatif pada kelompok ileus obstruksi total yang disebabkan adhesi
pascaoperasi dapat mencapai 31-43% sementara pada ileus obstruksi
parsial mencapai yaitu sebesar 65-81%.1
Dibawah ini bagan penatalaksanaan Small Bowel Obstruction(SBO)
menurut Guideline for Management of Small Bowel Obstruction
Pasien yang diterapi non-operatif memerlukan observasi ketat
selama 24-48 jam. Adanya tanda dan gejala seperti demam, takikardia,
leukositosis, nyeri tekan terlokalisir, nyeri abdomen yang terus menerus
dan peritonitis mengindikasikan adanya obstruksi dengan komplikasi.
Bila terdapat 3 dari gejala berikut ini: nyeri berkelanjutan, takikardia,
leukositosis, tanda rangsang peritonitis dan demam memiliki angka
prediktif 82% untuk ileus obstruksi strangulata sementara bila terdapat 4
dari gejala diatas memiliki angka prediktif mendekati 100%.1
Bila pada foto abdomen ulang ternyata terdapat udara bebas
intraabdomen atau tandatanda dari obstruksi “closed-loop” maka pasien
harus segera diterapi operatif. Bila pada CTScan terdapat bukti iskhemia,
strangulata atau gangguan vaskular maka pasien juga harus segera
diterapi operatif .1
Bila setelah 48 jam ternyata tidak ada perbaikan dengan terapi non-
operatif maka sebaiknya dilakukan terapi operatif segera karena dengan
memperpanjang terapi non-operatif akan meningkatkan lama rawat inap
di rumah sakit, meningkatkan biaya dan meningkatkan risiko morbiditas
perioperatif.
3.1.10 Prognosis ileus obstruksi Adhesi pasca operasi
Ileus obstruksi karena adhesi pasca operasi menyebabkan morbiditas
yang cukup bermakna. Kemungkinan akan terjadi ileus obstruksi adhesi
pascaoperasi berulang pada 12 % pasien yang diberi terapi non-operatif dan
8-32% pada pasien setelah pengobatan operatif.1

3.2 NUTRISI KLINIS POST OP COLOSTOMY


3.2.1 Tujuan terapi nutrisi
Terapi nutrisi adalah pemberian nutrisi atau nutrisi baik secara oral (diet
biasa, diet terapeutik, misalnya makanan yang difortifikasi, suplemen nutrisi
oral) atau melalui nutrisi enteral (EN) atau nutrisi parenteral (PN) untuk
mencegah atau mengobati malnutrisi. Terapi nutrisi medis adalah istilah
yang mencakup suplemen nutrisi oral, pemberian makanan melalui selang
enteral (nutrisi enteral) dan nutrisi parenteral. Nutrisi enteral dan parenteral
secara tradisional disebut dukungan nutrisi buatan. Terapi nutrisi adalah
tindakan perawatan nutrisi individual dan ditargetkan menggunakan diet atau
terapi nutrisi medis. Nasihat diet atau konseling nutrisi dapat menjadi bagian
dari terapi nutrisi.10,11
Pada pasien bedah, indikasi terapi nutrisi adalah pencegahan dan
pengobatan katabolisme dan malnutrisi. Perbaikan status gizi dan pemulihan
fungsional termasuk kualitas hidup adalah tujuan gizi yang paling penting
pada periode akhir pasca operasi. Dalam praktik bedah modern, disarankan
untuk mengelola pasien dalam pemulihan yang lebih baik sehingga mereka
makan makanan normal dalam 1-3 hari. Akibatnya, ada sedikit ruang untuk
nutrisi buatan perioperatif rutin. Hanya sebagian kecil pasien yang dapat
memperoleh manfaat dari terapi tersebut. Ini adalah sebagian besar pasien
yang berisiko mengalami komplikasi setelah operasi, yaitu pasien yang
mengalami penurunan berat badan yang cukup besar, memiliki indeks massa
tubuh (BMI) yang sangat rendah (di bawah 18,5-22 kg/m2).10,11
Dalam praktik bedah modern, sebagian besar pasien bedah dapat
dikelola sesuai dengan protokol pemulihan yang disempurnakan,
memungkinkan mereka untuk menerima makanan oral dalam beberapa hari
setelah operasi. Oleh karena itu, hanya pasien dengan risiko tinggi
komplikasi pasca operasi yang tidak dapat diberi makan secara memadai
melalui rute oral dalam waktu 7-10 hari yang harus diobati dengan nutrisi
buatan pasca operasi. Sebaliknya, pasien dengan gizi kurang yang parah
sebelum operasi harus diobati dengan nutrisi buatan tanpa penundaan jika
asupan oral yang tidak memadai selama lebih dari 7 hari pasca operasi
diantisipasi. Dengan tidak adanya kontraindikasi (obstruksi usus, ileus, syok
berat, iskemia usus), rute pemberian enteral harus lebih disukai. Meta-
analisis mengumpulkan hasil dari beberapa percobaan acak, membandingkan
EN dengan TPN. Saat merencanakan atau melakukan EN pasca operasi dini,
efek samping dan komplikasi terkait harus diperhitungkan.10,11
3.2.2 Terapi Parenteral
Tujuan nutrisi parenteral (PN) adalah untuk memperbaiki atau mencegah
defisiensi nutrisi ketika nutrisi enteral yang adekuat dihalangi oleh gangguan
atau imaturitas fungsi gastrointestinal. Setelah mengidentifikasi pasien yang
membutuhkan PN, proses pemesanan dan pemantauan ditujukan untuk
memastikan dukungan nutrisi yang aman dan efektif. Penyediaan PN harus
menjadi bagian dari rencana perawatan gizi secara keseluruhan yang
mencakup penilaian gizi secara rinci.10,11
Nutrisi parenteral bermanfaat dalam keadaan berikut: pada pasien kurang
gizi di mana nutrisi enteral tidak layak atau tidak dapat ditoleransi, pada
pasien dengan komplikasi pasca operasi yang mengganggu fungsi
gastrointestinal yang tidak dapat menerima dan menyerap makanan
oral/enteral dalam jumlah yang cukup selama minimal 7 hari. Pada pasien
yang membutuhkan nutrisi buatan pasca operasi, pemberian makanan enteral
atau kombinasi pemberian makanan enteral dan suplementasi parenteral
adalah pilihan pertama. Kombinasi nutrisi enteral dan parenteral harus
dipertimbangkan pada pasien dengan indikasi dukungan nutrisi dan pada
pasien yang >60% kebutuhan energinya tidak dapat dipenuhi melalui rute
enteral, misalnya pada fistula enterokutaneus keluaran tinggi atau pada
pasien di mana sebagian obstruktif lesi gastrointestinal jinak atau ganas tidak
memungkinkan refeeding enteral. Pada lesi obstruksi total, pembedahan
tidak boleh ditunda karena risiko aspirasi atau distensi usus yang parah yang
menyebabkan peritonitis. Pada pasien dengan gagal gastrointestinal
berkepanjangan, PN menyelamatkan nyawa.10
Pedoman lain saat ini merekomendasikan nutrisi buatan pasca operasi
untuk pasien yang tidak dapat memenuhi kebutuhan kalori mereka dalam 7-
10 hari. Pada pasien yang membutuhkan nutrisi buatan pasca operasi,
pemberian makanan enteral atau kombinasi pemberian makanan enteral dan
suplementasi parenteral adalah pilihan pertama. Penggunaan rutin nutrisi
parenteral pascaoperasi tidak terbukti bermanfaat baik pada pasien dengan
gizi baik atau pada pasien dengan asupan oral yang cukup dalam seminggu
setelah operasi10
PN direkomendasikan diturunkan secara bertahap sebelum penghentian
untuk mencegah hipoglikemia. Namun, telah ditunjukkan bahwa bahkan
setelah PN berkepanjangan, sel beta tetap sensitif terhadap perubahan kadar
glukosa dan adaptasi kadar glukosa dan sekresi insulin terjadi dengan sangat
cepat. penghentian mendadak PN yang mengandung glukosa sekitar 3,7 g/kg
per hari, glukosa plasma kembali ke baseline pra-infus dalam waktu 60
menit tanpa gejala hipoglikemia1o
3.2.3 Terapi enteral
Istilah Enteral Nutrition (EN) digunakan untuk mencakup semua
bentuk dukungan nutrisi yang menyiratkan penggunaan 'makanan diet untuk
tujuan medis khusus'. Nutrisi enteral (EN) melalui suplemen nutrisi oral
(ONS) dan jika perlu pemberian makanan melalui selang (TF) menawarkan
kemungkinan untuk meningkatkan atau memastikan nutrisi.10
Suplemen nutrisi oral (ONS) serta makanan tabung melalui tabung
nasogastrik, nasoenteral atau perkutan. Definisi ini berbeda dari definisi
yang digunakan di banyak publikasi lain di mana EN lebih banyak
digunakan untuk pengumpanan tabung saja tanpa memperhatikan apakah
makanan yang diblender atau produk industri tertentu digunakan. Keputusan
ini didasarkan pada fakta bahwa banyak penelitian yang berhubungan
dengan EN melaporkan baik ONS maupun pemberian makanan melalui
selang. Selanjutnya, resep dan penggantian EN di banyak negara bergantung
pada penggunaan produk industri daripada rute aplikasi. EN adalah bagian
dari rejimen nutrisi yang memenuhi syarat dalam pengaturan rawat inap dan
rawat jalan, dan biasanya salah satu tugas profesional dengan pelatihan
khusus di EN atau tim pendukung nutrisi.10
Makanan diet apa pun untuk tujuan medis khusus yang dirancang
untuk digunakan dalam pemberian makanan melalui selang atau sebagai
ONS. Formula enteral dapat berupa:
a. Nutrisi lengkap, bila diberikan dalam jumlah yang direkomendasikan,
untuk digunakan sebagai satu-satunya sumber nutrisi atau sebagai
suplemen untuk asupan normal pasien
b. Nutrisi tidak lengkap, untuk digunakan sebagai suplemen saja dan bukan
sebagai satu-satunya sumber nutrisi.11

EN diindikasikan bahkan pada pasien tanpa kekurangan gizi yang jelas, jika
diantisipasi bahwa pasien tidak akan dapat makan selama lebih dari 7 hari
perioperatif. Hal ini juga diindikasikan pada pasien yang tidak dapat
mempertahankan asupan oral di atas 60% dari asupan yang
direkomendasikan selama lebih dari 10 hari. Dalam situasi ini dukungan
nutrisi harus dimulai tanpa penundaan. Penundaan operasi untuk EN pra
operasi direkomendasikan untuk pasien dengan risiko nutrisi yang parah,
ditentukan oleh adanya setidaknya satu dari kriteria berikut: penurunan berat
badan 10-15% dalam 6 bulan, BMI < 18,5 kg/m2 albumin serum < 0.3 g/l
( tanpa bukti disfungsi hati atau ginjal). Secara keseluruhan sangat
disarankan untuk tidak menunggu sampai terjadi kekurangan gizi yang parah
tetapi untuk memulai terapi EN lebih awal, segera setelah resiko gizi
menjadi jelas.11

Asupan oral, termasuk cairan bening, dapat dimulai dalam beberapa jam
setelah operasi pada sebagian besar pasien yang menjalani reseksi usus
besar. Nutrisi oral (makanan normal dan/atau ONS) dapat dimulai segera
setelah operasi dalam banyak kasus. Makanan normal awal atau EN,
termasuk cairan bening pada hari pertama atau kedua pasca operasi, tidak
menyebabkan gangguan penyembuhan anastomosis di usus besar atau
rectum. Dibandingkan dengan operasi terbuka konvensional, asupan oral
dini bahkan lebih baik ditoleransi setelah reseksi kolon laparoskopi, karena
timbulnya peristaltik dan buang air besar lebih awal dengan teknik ini.
Namun, tidak ada perbedaan yang ditemukan antara laparoskopi dan operasi
kolon terbuka konvensional. Jumlah asupan oral awal harus disesuaikan
dengan keadaan fungsi gastrointestinal dan toleransi individu. Asupan oral
yang tidak memadai selama lebih dari 14 hari dikaitkan dengan mortalitas
yang lebih tinggi. Oleh karena itu EN diindikasikan bahkan pada pasien
tanpa kekurangan gizi yang jelas, jika diantisipasi bahwa pasien tidak akan
bisa makan selama lebih dari 7 hari perioperatif. Hal ini juga diindikasikan
pada pasien yang tidak dapat mempertahankan asupan oral di atas 60% dari
asupan yang direkomendasikan selama lebih dari 10 hari. Dalam situasi ini
dukungan nutrisi (melalui rute enteral jika memungkinkan) harus dimulai
tanpa penundaan. Rute enteral harus selalu diutamakan kecuali pada kondisi
obstruksi usus atau ileus, syok parah, dan iskemia usus. Kombinasi dengan
nutrisi parenteral harus dipertimbangkan pada pasien dengan indikasi
dukungan nutrisi dan pada pasien yang kebutuhan energinya tidak dapat
terpenuhi >60% kebutuhan kalori) melalui rute enteral, misalnya pada fistula
GI atas.11

Penempatan jejunostomy kateter jarum atau tabung naso-jejunal


dianjurkan untuk semua calon TF yang menjalani operasi perut besar. TF
harus dimulai dalam 24 jam setelah operasi. TF harus dimulai dengan
kecepatan aliran rendah (misalnya 10—maks. 20ml/jam) karena toleransi
usus yang terbatas. Mungkin diperlukan waktu 5-7 hari untuk mencapai
asupan target dan ini tidak dianggap berbahaya. Jika TF jangka panjang (44
minggu) diperlukan, misalnya pada cedera kepala berat, penempatan selang
perkutan (misalnya gastrostomi endoskopi perkutan—PEG) harus
dipertimbangkan11
3.3 COLOSTOMY DIET
Selama sekitar 6-8 minggu setelah operasi, pasien disarankan untuk hanya
mengonsumsi makanan yang tawar dan rendah serat. Setelah itu,
pembengkakan pada usus diharapkan sudah membaik dan pasien bisa kembali
makan seperti biasa, tentunya secara perlahan dan dengan beberapa
penyesuaian.9
3.3.1 Pedoman Makan dan Minum Umum colostomy diet
Berikut ini adalah anjuran yang biasanya diberikan oleh dokter terkait diet
untuk pasien kolostomi adalah:9
 Meningkatkan frekuensi makan hingga 3-5 kali sehari dengan porsi yang
lebih kecil. Porsi makanan yang sedikit namun sering lebih dapat
diterima oleh tubuh dan akan mengurangi produksi gas.Sering makan
makanan porsi kecil. Lebih baik Makan 6 kali sehari dalam porsi kecil
daripada 3 kali dalam porsi besar. 
 Menjadwalkan jam makan di waktu yang sama setiap harinya untuk
membantu usus beradaptasi dengan kondisi setelah kolostomi dan
melancarkan pergerakan usus.
 Mengunyah makanan secara perlahan hingga benar-benar lumat, untuk
mencegah penyumbatan di usus.
 Tidak menggunakan sedotan saat minum, mengurangi konsumsi permen
karet, dan menghentikan kebiasaan bicara saat makan, untuk mengurangi
gas dalam saluran cerna.
 Mencukupi kebutuhan cairan dengan minum air putih sekitar 8-10 gelas
per hari, namun jangan bersamaan dengan makan. Pasien kolostomi
berisiko kehilangan air yang lebih banyak karena fungsi usus besar untuk
menyerap air akan berkurang.
 Membuat catatan terkait jenis makanan yang dikonsumsi, cara
mengolahnya, dan reaksi buruk yang muncul, misalnya diare, sembelit,
kembung, atau nyeri perut. Selain membantu pasien untuk memantau
dietnya, catatan ini juga akan membantu dokter gizi dalam memilih jenis
makanan yang cocok bagi pasien.9

3.3.2 Jenis Makanan yang direkomendasikan

Berikut ini adalah jenis makanan yang disarankan untuk pasien kolostomi dan
cara mengonsumsinya:9

1. Susu dan produk olahannya


Beberapa pasien dapat mengalami intoleransi laktosa setelah menjalani
kolostomi, sehingga disarankan untuk mengonsumsi susu atau produk susu,
seperti keju dan yoghurt, secara perlahan.Batasi konsumsi susu murni
atau whole milk dan olahannya, dan ganti dengan susu skim atau susu
rendah lemak. Jika mengalami diare setelah mengonsumsi susu sapi dan
produk olahannya, gantilah dengan susu kedelai, susu almond, atau susu
bebas laktosa.
2. Makanan berprotein tinggi
Daging tanpa lemak, ikan, dan daging unggas tanpa kulit merupakan
sumber protein hewani yang baik untuk pasien setelah menjalani
kolostomi. Telur boleh dikonsumsi, tapi jangan terlalu banyak, cukup satu
butir sehari. Kacang-kacangan dan jamur adalah sumber protein nabati
yang baik, namun pastikan untuk mengonsumsinya dalam jumlah sedikit
dan mengunyahnya hingga halus sempurna, untuk menghindari masalah
pada usus.
3. Makanan rendah serat
Makanan rendah serat, seperti roti tawar dan nasi, baik untuk
dikonsumsi pasien kolostomi. Sedangkan makanan berserat tinggi, seperti
nasi merah, quinoa, dan roti gandum, sebaiknya dibatasi pada beberapa
minggu awal setelah operasi, lalu bisa mulai dikonsumsi satu per satu
secara bertahap.
4. Sayuran
Jenis sayur yang dianjurkan adalah sayur tanpa kulit dan biji, seperti
wortel, buncis, tomat yang dikupas, dan selada. Sayur-sayuran tersebut
harus dimasuk dulu hingga matang.Sedangkan jenis sayur yang harus
dihindari adalah bawang, kembang kol, asparagus, brokoli, dan kubis,
karena dapat meningkatkan produksi gas.
5. Buah
Jenis buah yang baik untuk pasien kolostomi adalah pisang, semangka,
dan melon. Sementara apel, stroberi, bluberi, dan anggur boleh saja
dikonsumsi, asalkan dikupas dulu kulitnya.
6. Lemak
Pasien kolostomi dianjurkan untuk mengurangi konsumsi makanan
berkadar lemak tinggi, misalnya makanan yang digoreng atau daging yang
berlemak, karena dapat menyebabkan rasa tidak nyaman pada perut.9

Anda mungkin juga menyukai