“ILEUS PARALITIK”
Dibuat Oleh :
CI Institusi CI Lahan
( ) ( )
1.2 Etiologi
Menurut NANDA NIC-NOC ,2015 Etiologi dari ileus adalah sebagai berikut :
1. Perlengketan
Lengkung usus menjadi melekat pada area yang sembuh secara lambat atau pada
jaringan parut setelah pembedahan abdomen
2. Intusepsi / Invaginasi
Salah satu bagian dari usus menyusup kedalam bagian lain yang ada dibawahnya
akibat penyempitan lumen usus. Segmen usus tertarik kedalam segmen berikutnya
oleh gerakan peristaltik yang memperlakukan segmen itu seperti usus. Paling
sering terjadi pada anak-anak dimana kelenjar limfe mendorong dinding ileum
kedalam dan terpijat disepanjang bagian usus tersebut (ileocaecal) lewat coecum
kedalam usus besar (kolon) dan bahkan sampai sejauh rectum dan anus.
3. Volvulus
Usus besar yang mempunyai mesocolon dapat terpuntir sendiri dengan demikian
menimbulkan penyumbatan dengan menutupnya gulungan usus yang terjadi amat
distensi .
4. Hernia
Protrusi usus melalui area yang lemah dalam usus atau dinding dan otot abdomen
5. Tumor
Tumor yang ada didalam dinding usus meluas kelumen usus atau tumor diluar
usus menyebabkan tekanan pada dinding usus
6. Kelainan Kongenital
1.4 Patofisiologi
Patofisiologi dari ileus paralitik merupakan manifestasi dari terangsangnya sistem
saraf simpatis dimana dapat menghambat aktivitas dalam traktus
gastrointestinal, menimbulkan banyak efek yang berlawanan dengan yang
ditimbulkan oleh sistem parasimpatis. Sistem simpatis menghasilkan pengaruhnya
melalui dua cara : pada tahap yang kecil melalui pengaruh langsung norepineprin
pada otot polos (kecuali muskularis mukosa, dimana ia merangsangnya), dan pada
tahap yang besar melalui pengaruh inhibitorik dari noreepineprin pada neuron-
neuron sistem saraf enterik. Jadi, perangsangan yang kuat pada sistem simpatis
dapat menghambat pergerakan makanan melalui traktus gastrointestinal.
Hambatan pada sistem saraf parasimpatis di dalam sistem saraf enterik akan
menyebabkan terhambatnya pergerakan makanan pada traktus gastro intestinal,
namun tidak semua pleksus mienterikus yang dipersarafi serat saraf parasimpatis
bersifat eksitatorik, beberapa neuron bersifat inhibitorik, ujung seratnya
mensekresikan suatu transmitter inhibitor, kemungkinan peptide
intestinal vasoaktif dan beberapa peptide lainnya. Peristiwa patofisiologik yang
terjadi setelah obstruksi usus adalah sama, tanpa memandang apakah obstruksi
tersebut diakibatkan oleh penyebab mekanik atau fungsional. Perbedaan utama
adalah obstruksi paralitik dimana peristaltic dihambat dari permulaan, sedangkan
pada obstruksi mekanik peristaltik mula-mula diperkuat, kemudian intermitten,
dan akhirnya hilang. Perubahan patofisiologi utama pada obstruksi usus adalah
lumen usus yang tersumbat secara progresif akan tergang oleh cairan dan gas
(70% dari gas yang ditelan) akibat peningkatan tekanan intralumen, yang
menurunkan pengaliran air dan natrium dari lumen ke darah. Oleh karena
sekitar 8 liter cairan diekskresikan ke dalam saluran cerna setiap hari ke
sepuluh. Tidak adanya absorbs dapat mengakibatkan penimbunan intralumen
dengan cepat. Muntah dan penyedotan usus setelah pengobatan dimulai
merupakan sumber kehilangan utama cairan dan elektrolik. Pengaruh atas
kehilangan ini adalah penyempitan ruang cairan ekstrasel yang mengakibatkan
syok-hipotensi, pengurangan curah jantung, penurunan perfusi jaringan dan
asidosis metabolik. Peregangan usus yang terus menerus mengakibatkan lingkaran
setan penurunan absorbs cairan dan peningkatan sekresi cairan ke dalam usus. Efek
local peregangan usus adalah iskemia akibat distensi dan peningkatan
permeabilitas akibat nekrosis, disertai absorbsi toksin-toksin bakteri kedalam
rongga peritoneum dan sirkulasi sistemik untuk menyebabkan bakteriemia. Pada
obstruksi mekanik simple, hambatan pasase muncul tanpa disertai gangguan
vaskuler dan neurologic. Makanan dan cairan yang ditelan, sekresi usus, dan
udara terkumpul dalam jumlah yang banyak jika obstruksinya komplit. Bagian usus
proksimal distensi, dan bagian distal kolaps. Fungsi sekresi dan absorbs
membrane mukosa usus menurun, dan dinding usus menjadi edema dan
kongesti. Distensi intestinal yang berat, dengan sendirinya secara terus menerus
dan progresif akan mengacaukan peristaltic dan fungsi sekresi mukosa dan
meningkatkan risiko dehidrasi, iskemia, nekrosis, perforasi, peritonitis, dan
kematian.
1.6 Penatalaksanaan
1. Ileus obstruktif
Tujuan utama penatalaksanaan adalah dekompresi bagian yang mengalami
obstruksi untuk mencegah perforasi . Tindakan operasi biasanya selalu diperlukan
. Menghilangkan penyebab obstruksi adalah tujuan kedua. Kadang-kadang suatu
penyumbatan sembuh dengan sendirinya tanpa pengobatan, terutama jika
disebabkan oleh perlengketan . Penderita penyumbatan usus harus dirawat
dirumah sakit (NANDA NIC-NOC,2015)
1) Persiapan
Selang NGT harus dipasang untuk mengurangi muntah , mencegah aspirasi,
dan mengurangi distensi abdomen (dekompresi). Pasien dipuasakan, kemudian
dilakukan juga resusitasi cairan dan elektrolit untuk perbaikan keadaan
umum .Setelah keadaan optimum tercapai barulah dilakukan laparotomi. Pada
obstruksi parsial atau karsinomatosis abdomen ditangani dengan pemantauan
dan konservatif.
2) Operasi
Operasi dapat dilakukan bila sudah tercapai rehidrasi dan organorgan vital
berfungsi dengan baik. Tetapi yang paling sering dilakukan adalah
pembedahan sesegera mungkin . Tindakan bedah dilakukan bila ada
strangulasi, obstruksi lengkap, hernia inkarserata. Tidak ada perbaikan dengan
pengobatan konservatif ( dengan pemasangan NGT , infus, oksigen dan
kateter)
3) Pasca bedah
Pengobatan pasca bedah sangat penting terutama dalam hal cairan dan
elektrolit . Kita harus mencegah terjadinya gagal ginjal dan harus memberikan
kalori yang cukup. Perlu diingat bahwa pasca bedah usus pasien masih dalam
keadaan paralitik .
2. Ileus Paralitik
Pengelolaan ileus paralitik bersifat konservatif dan suportif . Tindakannya berupa
dekompresi , menjaga keseimbangan cairan dan elektrolit , mengobatai kausa atau
penyakit primer dan pemberian nutrisi yang adekuat. Beberapa obat-obatan jenis
penyekat simpatik (simpatolitik) atau obat parasimpatomimetik pernah dicoba ,
ternyata hasilnya tidak konsisten .
Untuk dekompresi dilakukan pemasangan pipa nasogastrik , pemberian cairan ,
koreksi gangguan elektrolit dan nutrisi parenteral hendaknya diberikan sesuai
dengan kebutuhan dan prinsip pemberian nutrisi parenteral . Beberapa obat yang
dapat dicoba yaitu metoklopramid bermanfaat untuk gastroparesis , sisaprid
bermanfaat untuk ileus paralitik pasca operasi dan klonidin dilaporkan bermanfaat
untuk mengatasi ileus paralitik karena obat-obatan .
Bila bising usus sudah mulai ada dapat dilakukan tes feeding , bila tidak ada
retensi, dpat dimulai dengan diit cair kemudian disesuaikan sejalan dengan
tolerani ususnya.
2. Teori Laparatomi
2.1 Definisi Laparatomi
Laparatomi adalah pembedahan perut sampai membuka selaput perut.
(Sugeng & Weni, 2010) Ada 4 cara, yaitu:
1) Midline Incision.
(1) Paramedian, yaitu: sedikit ketepi dari garis tengah (± 2,5 cm), panjang (12,5
cm)
(2) Transverse upper abdomen incicion, yaitu; insisi di bagian atas, misalnya
pembedahan cholecystectomydan splenektomy.
(3) Transverse lower abdomen incision, yaitu: insisi melintang dibawah ±4 cm di
atas anterior spinal iliaka, misalnya: padaoperasi appendictomy.
Laparatomi merupakan salah satu pembedahan mayor, dengan melakukan
penyayatan pada lapisan lapisan dinding abdomen untuk mendapatkan bagian
organ abdomen yang mengalami masalah (hemoragi, perporasi, kanker, dan
obstruksi). Laparatomi dilakukan pada kasus – kasus digestif dan kandungan
(Sjamsuhidayat, 2004).
Kejadian, intensitas, dan durasi nyeri pasca operasi berbeda-beda dari pasien satu ke
pasien lainnya. Saat klien sadar dari anastesi umum maka rasa nyeri akan terasa.
Nyeri mulai terasa sebelum kesadaran klien kembali penuh. Klien yang mendapat
anastesi regional dan lokal, biasanya tidak mengalami nyeri karena area insisi masih
berada di bawah pengaruh anastesi. Nyeri akut yang ditimbulkan akibat insisi
menyebabkan klien gelisah dan mungkin nyeri ini menyebabkan tanda-tanda vital
pada klien berubah. Secara signifikan, nyeri dapat memperlambat pemulihan. Klien
menjadi ragu-ragu untuk melakukan batuk efektif, napas dalam, mengganti posisi,
ambulasi, atau melakukan latihan-latihan yang diperlukan (Potter dan Perry, 2006)
2. Pemeriksaan penunjang
1) Pemeriksaan rektum : adanya darah menunjukkan kelainan pada usus besar ;
kuldosentesi, kemungkinan adanya darah dalam lambung ; dan kateterisasi, adanya
darah menunjukkan adanya lesi pada saluran kencing.
2) Laboratorium : hemoglobin, hematokrit, leukosit dan analisis urine.
3) Radiologik : bila diindikasikan untuk melakukan laparatomi.
4) intravenous pyelogram (IVP) /sistogram : hanya dilakukan bila ada kecurigaan
terhadap trauma saluran kencing.
5) Parasentesis perut : tindakan ini dilakukan pada trauma tumpul perut yang
diragukan adanya kelainan dalam rongga perut atau trauma tumpul perut yang
disertai dengan trauma kepala yang berat, dilakukan dengan menggunakan jarum
pungsi no 18 atau 20 yang ditusukkan melalui dinding perut didaerah kuadran
bawah atau digaris tengah dibawah pusat dengan menggosokkan buli-buli terlebih
dahulu.
6) Lavase peritoneal : pungsi dan aspirasi/bilasan rongga perut dengan memasukkan
cairan garam fisiologis melalui kanula yang dimasukkan kedalam rongga
peritonium
B. Analisis Data
Merupakan metode yang dilakukan perawat untuk mengkaitkan data klien serta
menghubungkan data tersebut dengan konsep teori dan prinsip yang
relevan keperawatan untuk membuat kesimpulan dalam menentukan masalah
kesehatan pasien dan keperawatan pasien.
C. Diagnosa keperawatan
Diagnosa yang mungkin muncul pada masalah/penyakit ileus obstruksi yaitu
antara lain :
1) Kekurangan volume cairan
2) Nyeri akut
3) Resiko syok (hipovolemik)
4) Resiko kekurangan elektrolit
5) Ansietas.
D. Intervensi
1) Kekurangan volume cairan
Tujuan : Tidak ada tanda-tanda kekurangan cairan (dehidrasi)
Intervensi :
a) Kaji tingkat kesulitan klien saat minum
b) Kaji tugor kulit dan mukosa mulut
c) Anjurkan klien untuk banyak mngkomsumsi air sedikitnya 1500 cc/hari
d) Berikan snack (jus buah dan buah segar)
e) Observasi tanda-tanda vital (TTV).
2) Nyeri akut
Tujuan : Nyeri berkurang/menghilang
Intervensi :
a) Kaji tingkat nyeri yang dirasakan klien
b) Atur posisi klien
c) Anjurkan klien relakasasi nafas dalam bila timbul nyeri
d) Observasi tanda-tanda vital (TTV)
e) Penatalaksanaan pemberian obat analgetik.
5) Ansietas
Tujuan : Tidak ada tanda-tanda kecemasan
Intervensi :
a) Kaji tingkat kecemasan klien
b) Berikan suport dan motivasi klien
c) Ciptakan lingkungan/suasana yang nyaman
d) Jelaskan mengenai tujuan dan prosedur tindakan keperawatan
e) Observasi tanda-tanda vital (TTV)
DAFTAR PUSTAKA
Zwari. 2007. Asuhan Keperawatan Pada Pasien Dengan Obstruksi Usus (diakses)