Anda di halaman 1dari 10

LAPORAN PENDAHULUAN

“ILEUS PARALITIK”

Dibuat Oleh :

Nama : Anita Siahaya


NIM : 1490121118
Stase : KMB
Ruang : HCU
Rumah Sakit Unggul Karsa Medika

CI Institusi CI Lahan

( ) ( )

SEKOLAH TINGGI KESEHATAN IMMANUEL


BANDUNG
2022
LAPORAN PENDAHULUAN
1. Teori Ileus
1.1 Definisi
Menurut NANDA NIC-NOC 2015, Ileus adalah gangguan (apapun penyebabnya)
aliran normal isi usus sepanjang saluran usus . Obstruksi usus dapat akut dengan
kronik, partial atau total. Obstruksi usus biasanya mengenai kolon sebagai akibat
karsinoma dan perkembangannya lambat . Sebagian dasar dari obstruksi justru
mengenai usus halus. Obstruksi total usus halus merupakan keadaan gawat yang
memerlukan diagnosis dini dan tindkan pembedahan darurat bila penderita ingin tetap
hidup.
Ada 2 tipe obstruksi yaitu :
1. Mekanis (ileus)
Suatu penyebab fisik menyumbat usus dan tidak dapat diatasi oleh peristaltik . ileus
obstruktif ini dapat akut seperti pada hernia stragulata atau kronis akibat karsinoma
yang melingkari . Misalnya, intusepsi, tumor polipoid dan neoplasma stenosis,
obstruksi batu empedu , striktura, perlengketan, hernia dan abses.
2. Neurogenik / fungsional ( ileus paralitik)
Keadaan dimana usus gagal/ tidak mampu melakukan kontraksi peristaltik untuk
menyalurkan isisnya. Ileus paralitik ini bukan suatu penyakit promer usus
melainkan akibat dari berbagai penyakit primer , tindakan operasi yang
berhubungan dengan rongga perut , toksin dan obat-obatan yang dapat
mempengaruhi kontraksi otot polos usus.

1.2 Etiologi
Menurut NANDA NIC-NOC ,2015 Etiologi dari ileus adalah sebagai berikut :
1. Perlengketan
Lengkung usus menjadi melekat pada area yang sembuh secara lambat atau pada
jaringan parut setelah pembedahan abdomen
2. Intusepsi / Invaginasi
Salah satu bagian dari usus menyusup kedalam bagian lain yang ada dibawahnya
akibat penyempitan lumen usus. Segmen usus tertarik kedalam segmen berikutnya
oleh gerakan peristaltik yang memperlakukan segmen itu seperti usus. Paling
sering terjadi pada anak-anak dimana kelenjar limfe mendorong dinding ileum
kedalam dan terpijat disepanjang bagian usus tersebut (ileocaecal) lewat coecum
kedalam usus besar (kolon) dan bahkan sampai sejauh rectum dan anus.
3. Volvulus
Usus besar yang mempunyai mesocolon dapat terpuntir sendiri dengan demikian
menimbulkan penyumbatan dengan menutupnya gulungan usus yang terjadi amat
distensi .
4. Hernia
Protrusi usus melalui area yang lemah dalam usus atau dinding dan otot abdomen
5. Tumor
Tumor yang ada didalam dinding usus meluas kelumen usus atau tumor diluar
usus menyebabkan tekanan pada dinding usus
6. Kelainan Kongenital

1.3 Manifestasi Klinis


1. Distensi abdomen
2. Muntah
3. Nyeri konstan distensi
4. Bising usus tenang atau tidak ada secara klasik dapat ditemukan tetapi temuan
yang tidak konsisten
5. Pemeriksaan laboratorium sering kali normal
6. Foto polos memperlihatkan loop usus halus yang berdilatasi dengan batas udara-
cairan .
7. Sulit dibedakan dengan ileus obstruktif tetapi distensi seluruh panjang kolon lebih
sering terjadi pada ileus paralitik .

1.4 Patofisiologi
Patofisiologi dari ileus paralitik merupakan manifestasi dari terangsangnya sistem
saraf simpatis dimana dapat menghambat aktivitas dalam traktus
gastrointestinal, menimbulkan banyak efek yang berlawanan dengan yang
ditimbulkan oleh sistem parasimpatis. Sistem simpatis menghasilkan pengaruhnya
melalui dua cara : pada tahap yang kecil melalui pengaruh langsung norepineprin
pada otot polos (kecuali muskularis mukosa, dimana ia merangsangnya), dan pada
tahap yang besar melalui pengaruh inhibitorik dari noreepineprin pada neuron-
neuron sistem saraf enterik. Jadi, perangsangan yang kuat pada sistem simpatis
dapat menghambat pergerakan makanan melalui traktus gastrointestinal.
Hambatan pada sistem saraf parasimpatis di dalam sistem saraf enterik akan
menyebabkan terhambatnya pergerakan makanan pada traktus gastro intestinal,
namun tidak semua pleksus mienterikus yang dipersarafi serat saraf parasimpatis
bersifat eksitatorik, beberapa neuron bersifat inhibitorik, ujung seratnya
mensekresikan suatu transmitter inhibitor, kemungkinan peptide
intestinal vasoaktif dan beberapa peptide lainnya. Peristiwa patofisiologik yang
terjadi setelah obstruksi usus adalah sama, tanpa memandang apakah obstruksi
tersebut diakibatkan oleh penyebab mekanik atau fungsional. Perbedaan utama
adalah obstruksi paralitik dimana peristaltic dihambat dari permulaan, sedangkan
pada obstruksi mekanik peristaltik mula-mula diperkuat, kemudian intermitten,
dan akhirnya hilang. Perubahan patofisiologi utama pada obstruksi usus adalah
lumen usus yang tersumbat secara progresif akan tergang oleh cairan dan gas
(70% dari gas yang ditelan) akibat peningkatan tekanan intralumen, yang
menurunkan pengaliran air dan natrium dari lumen ke darah. Oleh karena
sekitar 8 liter cairan diekskresikan ke dalam saluran cerna setiap hari ke
sepuluh. Tidak adanya absorbs dapat mengakibatkan penimbunan intralumen
dengan cepat. Muntah dan penyedotan usus setelah pengobatan dimulai
merupakan sumber kehilangan utama cairan dan elektrolik. Pengaruh atas
kehilangan ini adalah penyempitan ruang cairan ekstrasel yang mengakibatkan
syok-hipotensi, pengurangan curah jantung, penurunan perfusi jaringan dan
asidosis metabolik. Peregangan usus yang terus menerus mengakibatkan lingkaran
setan penurunan absorbs cairan dan peningkatan sekresi cairan ke dalam usus. Efek
local peregangan usus adalah iskemia akibat distensi dan peningkatan
permeabilitas akibat nekrosis, disertai absorbsi toksin-toksin bakteri kedalam
rongga peritoneum dan sirkulasi sistemik untuk menyebabkan bakteriemia. Pada
obstruksi mekanik simple, hambatan pasase muncul tanpa disertai gangguan
vaskuler dan neurologic. Makanan dan cairan yang ditelan, sekresi usus, dan
udara terkumpul dalam jumlah yang banyak jika obstruksinya komplit. Bagian usus
proksimal distensi, dan bagian distal kolaps. Fungsi sekresi dan absorbs
membrane mukosa usus menurun, dan dinding usus menjadi edema dan
kongesti. Distensi intestinal yang berat, dengan sendirinya secara terus menerus
dan progresif akan mengacaukan peristaltic dan fungsi sekresi mukosa dan
meningkatkan risiko dehidrasi, iskemia, nekrosis, perforasi, peritonitis, dan
kematian.

1.5 Pemeriksaan Penunjang


Pemeriksaan penunjang pada ileus obstruktif menurut Hasdianah & Suprapto (2014),
sebagai berikut :
1. Pemeriksaan laboratorium tidak mempunyai ciri-ciri khusus pada urinalisa, berat
jenis bisa meningkatkan dan ketonuria yang menunjukan adanya dehidrasi dan
asidosis metabolic . Leukosit normal atau sedikit meningkat, jika sudah tinggi
kemungkinan sudah terjadi peritonitis, kimia darah sering adanya gangguan
elektrolit .
2. Pemeriksaan sinar X : otot polos , menunjukan kuantitas abnormal dari gas dan
cairan dalam usus dan menunjukan adanya udara di diafragma dan terjadi
perforasi usus.
3. Enema barium : diindikasikan untuk di invaginasi
4. Endoskopi abdomen : diindikasikan bila dicurigai adanya volvulus.

1.6 Penatalaksanaan
1. Ileus obstruktif
Tujuan utama penatalaksanaan adalah dekompresi bagian yang mengalami
obstruksi untuk mencegah perforasi . Tindakan operasi biasanya selalu diperlukan
. Menghilangkan penyebab obstruksi adalah tujuan kedua. Kadang-kadang suatu
penyumbatan sembuh dengan sendirinya tanpa pengobatan, terutama jika
disebabkan oleh perlengketan . Penderita penyumbatan usus harus dirawat
dirumah sakit (NANDA NIC-NOC,2015)
1) Persiapan
Selang NGT harus dipasang untuk mengurangi muntah , mencegah aspirasi,
dan mengurangi distensi abdomen (dekompresi). Pasien dipuasakan, kemudian
dilakukan juga resusitasi cairan dan elektrolit untuk perbaikan keadaan
umum .Setelah keadaan optimum tercapai barulah dilakukan laparotomi. Pada
obstruksi parsial atau karsinomatosis abdomen ditangani dengan pemantauan
dan konservatif.

2) Operasi
Operasi dapat dilakukan bila sudah tercapai rehidrasi dan organorgan vital
berfungsi dengan baik. Tetapi yang paling sering dilakukan adalah
pembedahan sesegera mungkin . Tindakan bedah dilakukan bila ada
strangulasi, obstruksi lengkap, hernia inkarserata. Tidak ada perbaikan dengan
pengobatan konservatif ( dengan pemasangan NGT , infus, oksigen dan
kateter)
3) Pasca bedah
Pengobatan pasca bedah sangat penting terutama dalam hal cairan dan
elektrolit . Kita harus mencegah terjadinya gagal ginjal dan harus memberikan
kalori yang cukup. Perlu diingat bahwa pasca bedah usus pasien masih dalam
keadaan paralitik .
2. Ileus Paralitik
Pengelolaan ileus paralitik bersifat konservatif dan suportif . Tindakannya berupa
dekompresi , menjaga keseimbangan cairan dan elektrolit , mengobatai kausa atau
penyakit primer dan pemberian nutrisi yang adekuat. Beberapa obat-obatan jenis
penyekat simpatik (simpatolitik) atau obat parasimpatomimetik pernah dicoba ,
ternyata hasilnya tidak konsisten .
Untuk dekompresi dilakukan pemasangan pipa nasogastrik , pemberian cairan ,
koreksi gangguan elektrolit dan nutrisi parenteral hendaknya diberikan sesuai
dengan kebutuhan dan prinsip pemberian nutrisi parenteral . Beberapa obat yang
dapat dicoba yaitu metoklopramid bermanfaat untuk gastroparesis , sisaprid
bermanfaat untuk ileus paralitik pasca operasi dan klonidin dilaporkan bermanfaat
untuk mengatasi ileus paralitik karena obat-obatan .
Bila bising usus sudah mulai ada dapat dilakukan tes feeding , bila tidak ada
retensi, dpat dimulai dengan diit cair kemudian disesuaikan sejalan dengan
tolerani ususnya.

2. Teori Laparatomi
2.1 Definisi Laparatomi
Laparatomi adalah pembedahan perut sampai membuka selaput perut.
(Sugeng & Weni, 2010) Ada 4 cara, yaitu:
1) Midline Incision.
(1) Paramedian, yaitu: sedikit ketepi dari garis tengah (± 2,5 cm), panjang (12,5
cm)
(2) Transverse upper abdomen incicion, yaitu; insisi di bagian atas, misalnya
pembedahan cholecystectomydan splenektomy.
(3) Transverse lower abdomen incision, yaitu: insisi melintang dibawah ±4 cm di
atas anterior spinal iliaka, misalnya: padaoperasi appendictomy.
Laparatomi merupakan salah satu pembedahan mayor, dengan melakukan
penyayatan pada lapisan lapisan dinding abdomen untuk mendapatkan bagian
organ abdomen yang mengalami masalah (hemoragi, perporasi, kanker, dan
obstruksi). Laparatomi dilakukan pada kasus – kasus digestif dan kandungan
(Sjamsuhidayat, 2004).

2.2 Jenis Laparatomi Menurut Indikasi


1. Adrenektomi: pengangkatan salah satu atau kedua kelenjar adrenalin.
2. Apendiktomi: operasi pengangkatan apendiks.
3. Gastrektomi: pengangkatan sepertiga distal lambung
(duodenum/jejunum, mengangkat sel-sel penghasil gastrin dalam bgian sel
parital).
4. Histerektomi: pengangkatan bagian uterus.
5. Kolektomi: seksisi bagian kolon atau seluruh kolon.
6. Pankreatomi: pengangkatan pankreas.
7. Seksio sesaria: pengangkatan janin dengan membuka dindinng ovarium melalui
abdomen.
8. Siksetomi: operasi pengangkatan kandung kemih.
9. Selfigo oofarektomi: pengangkatan salah satu atau kedua tuba falopi dan
ovarium.

2.3 Indikasi Laparatomi


1. Massa pada abdomen.
2. Perdarahan saluran pencernaan.
3. Peritonitis.
4. Sumbatan pada usus halus dan usus besar.
5. Trauma abdomen (tumpul atau tajam)/ruptur hepar.
2.4 Perawatan Post laparatomi
Tujuan perawatan post laparatomi :
1. Mengurangi komplikasi akibat pembedahan.
2. Mempercepat penyembuhan.
3. Mengembalikan fungsi pasien semaksimal mungkin seperti sebelum operasi
4. Mempertahankan konsep diri pasien.
5. Mempersiapkan pasien pulang.

2.5 Nyeri Pembedahan Laparatomi


Nyeri pembedahan laparatomi mengalami dua perubahan, pertama akibat
pembedahan itu sendiri yang menyebabkan rangsangan nosiseptif dan yang kedua
setelah proses pembedahan terjadi respon inflamasi pada daerah sekitar operasi.
Adanya rangsangan pembedahan menimbulkan kerusakan pada jaringan dan akan
melepaskan zat histamine, serotonin, plasmakini, bradikinin, prostaglandin, yang
disebut mediator nyeri. mediator ini merangsang reseptor nyeri yang terletak di ujung
saraf bebas dari kulit, sehingga rangsangan dirasakan nyeri (Margono, 2014).

Kejadian, intensitas, dan durasi nyeri pasca operasi berbeda-beda dari pasien satu ke
pasien lainnya. Saat klien sadar dari anastesi umum maka rasa nyeri akan terasa.
Nyeri mulai terasa sebelum kesadaran klien kembali penuh. Klien yang mendapat
anastesi regional dan lokal, biasanya tidak mengalami nyeri karena area insisi masih
berada di bawah pengaruh anastesi. Nyeri akut yang ditimbulkan akibat insisi
menyebabkan klien gelisah dan mungkin nyeri ini menyebabkan tanda-tanda vital
pada klien berubah. Secara signifikan, nyeri dapat memperlambat pemulihan. Klien
menjadi ragu-ragu untuk melakukan batuk efektif, napas dalam, mengganti posisi,
ambulasi, atau melakukan latihan-latihan yang diperlukan (Potter dan Perry, 2006)

2.6 Proses Penyembuhhan Luka


1. Fase pertama
Berlangsung sampai hari ketiga. Batang leukosit banyak yang rusak atau rapuh.Sel
sel darah baru berkembang menjadi penyembuh dimana serabut serabut bening
digunakan sebagai kerangka.
2. Fase kedua
Dari hari ketiga sampai hari keempat belas. Pengisian oleh kolagen, seluruh
pinggiran sel epitel timbul sempurna dalam satu minggu.
Jaringan baru tumbuh dengan kuat dan kemerahan.
3. Fase ketiga
Sekitar dua sampai sepuluh minggu. Kolagen terus menerus ditimbun, timbul
jaringan jaringan baru dan otot dapat digunakan kembali.
4. Fase keempat
Fase terakhir. Penyembuhan akan menyusut dan mengkerut. Intervensi untuk
meningkatkan penyembuhan:
1) Meningkatkan intake makanan tinggi protein dan vitamin c
2) Menghindari obat obat anti radang steroid
3) Pencegahan infeksi

2.7 Penatalaksanaan Laparatomi


1. Tindakan farmakologi dan nonfarmakologi:
1) Farmakologi :
Bila kesakitan, berikan analgetik narkotik, antiseptik 50mg maksimal 4 kali dalam
24 jam.
2) Non farmakologi :
(1) Tirah baring total 24 jam, kemudian mobilisasi secara bertahap.
(2) Kontrol tensi, nadi tiap 15 menit, suhu tiap 30 menit bila stabil tiap 4 jam.
(3) Selama 13-24 jam pertama, pemasukan makanan per oral distop. Kemudian
secara bertahap diberikan makanan cair hingga padat sesuai keadaan
penderita.

2. Pemeriksaan penunjang
1) Pemeriksaan rektum : adanya darah menunjukkan kelainan pada usus besar ;
kuldosentesi, kemungkinan adanya darah dalam lambung ; dan kateterisasi, adanya
darah menunjukkan adanya lesi pada saluran kencing.
2) Laboratorium : hemoglobin, hematokrit, leukosit dan analisis urine.
3) Radiologik : bila diindikasikan untuk melakukan laparatomi.
4) intravenous pyelogram (IVP) /sistogram : hanya dilakukan bila ada kecurigaan
terhadap trauma saluran kencing.
5) Parasentesis perut : tindakan ini dilakukan pada trauma tumpul perut yang
diragukan adanya kelainan dalam rongga perut atau trauma tumpul perut yang
disertai dengan trauma kepala yang berat, dilakukan dengan menggunakan jarum
pungsi no 18 atau 20 yang ditusukkan melalui dinding perut didaerah kuadran
bawah atau digaris tengah dibawah pusat dengan menggosokkan buli-buli terlebih
dahulu.
6) Lavase peritoneal : pungsi dan aspirasi/bilasan rongga perut dengan memasukkan
cairan garam fisiologis melalui kanula yang dimasukkan kedalam rongga
peritonium

2.8 Komplikasi Post Laparatomi


1. Gangguan perfusi jaringan sehubungan dengan tromboplebitis. Tromboplebitis
postoperasi biasanya timbul 7-14 hari setelah operasi. Bahaya besar tromboplebitis
timbul bila darah tersebut lepas dari dinding pembuluh darah sebagai emboli keparu-
paru, hati dan otak. Pencegahan tromboplebitis yaitu latihan kaki post operasi,
ambulatif dini dan kaos kaki yang dipakai klien sebelum mencoba ambulatif.
2. Buruknya integritas kulit sehubungan dengan luka infeksi. Infeksi luka sering muncul
pada 36-46 jam setelah operasi. Organisme yang sering menimbulkan positif.
Stapilokokus mengakibatkan pernanahan. Untuk menghindari insfeksi luka yang
paling penting adalah perawatan luka dengan memperhatikan aseptik dan antiseptik.
3. Buruknya integritas kulit sehubungan dengan dehisensi luka dan eviserasi. Dehisensi
luka merupakan terbentuknya tepi-tepi luka. Eviserasi luka adalah keluarnya organ-
organ dalam melalui insisi.Faktor penyebab dehisnsi atau eviserasi adalah infeksi
luka, kesalahan waktu menutup pembedahan, ketegangan yang berat pada dinding
abdomen sebagai akibat dari batuk dan muntah.
4. Resiko Infeksi
3. Teori Asuhan Keperawatan
A. Pengkajian
Pengkajian adalah langkah pertama dari proses keperawatan melalui kegiatan
pengumpulan data atau prolehan data yang akurat dari pasien guna mengetahui
berbagai permasalahan yang ada.
Adapun pengkajian yang dilakuakan  pada pasien ileus paralitikyaitu :
1) Rasa nyaman/nyeri
2) Nutrisi dan cairan
3) Personal hygiene/kebersihan perorangan
4)  Aktivitas dan latihan
5) Eliminasi
6) Oksigenasi
7) Tidur dan istirahat
8) Pencegahan terhadap bahaya
9) Keamanan
10) Neurosensori
11) Keseimbangan dan peningkatan hubungan psiko,spiritual serta interaksi sosial.

B. Analisis Data
Merupakan metode yang dilakukan perawat untuk mengkaitkan data klien serta
menghubungkan data tersebut dengan konsep teori dan prinsip yang
relevan keperawatan untuk membuat kesimpulan dalam menentukan masalah
kesehatan pasien dan keperawatan pasien.

C. Diagnosa keperawatan
Diagnosa yang mungkin muncul pada masalah/penyakit ileus obstruksi yaitu
antara lain :
1) Kekurangan volume cairan
2) Nyeri akut
3) Resiko syok (hipovolemik)
4) Resiko kekurangan elektrolit
5) Ansietas.

D. Intervensi
1) Kekurangan volume cairan
Tujuan       : Tidak ada tanda-tanda kekurangan cairan (dehidrasi)
Intervensi  :
a) Kaji tingkat kesulitan klien saat minum
b) Kaji tugor kulit dan mukosa mulut
c)  Anjurkan klien untuk banyak mngkomsumsi air sedikitnya 1500 cc/hari
d) Berikan snack (jus buah dan buah segar)
e) Observasi tanda-tanda vital (TTV).
2) Nyeri akut
Tujuan       : Nyeri berkurang/menghilang
Intervensi  :
a) Kaji tingkat nyeri yang dirasakan klien
b) Atur posisi klien
c) Anjurkan klien relakasasi nafas dalam bila timbul nyeri
d) Observasi tanda-tanda vital (TTV)
e) Penatalaksanaan pemberian obat analgetik.

3) Resiko syok (hipovolemik)


Tujuan       : Irama jantung dalam batas yang diharapkan
Intervensi  :
a) Monitor tanda inadekuat oksigenasi jaringan
b) Monitor suhu dan pernapasan
c) Monitor tanda awal syok
d) Monitor input dan output
e) Lihat dan pelihara kepatenan jalan nafas

4) Resiko ketidak seimbangan elektrolit


Tujuan       : Tekanan darah dalam rentang yang diharapakan (normal)
Intervensi  :
a) Pertahankan intake dan output yang keluar
b) Monitor ststus hidrasi
c) Monitor status nutrisi
d) Kolaborasi pemberian cairan IV
e) Observasi tanda-tanda vital (TTV)

5) Ansietas
Tujuan       : Tidak ada tanda-tanda kecemasan
Intervensi  :
a) Kaji tingkat kecemasan klien
b) Berikan suport dan motivasi klien
c) Ciptakan lingkungan/suasana yang nyaman
d) Jelaskan mengenai tujuan dan prosedur tindakan keperawatan
e) Observasi tanda-tanda vital (TTV)
DAFTAR PUSTAKA

Amin N, Kusuma H. 2015. Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan Diagnosis

Medis & NANDA NIC-NOC : Jogjakarta

Nanda (Nursing Diagnosis and clasification) 2005-2006. USA : NANDA.

Nursalam. 2003. Konsep dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan.

Salemba Medika : Jakarta.

Zwari. 2007. Asuhan Keperawatan Pada Pasien Dengan Obstruksi Usus (diakses)

tanggal 18 November 2011).

Anda mungkin juga menyukai