Anda di halaman 1dari 20

LAPORAN PENDAHULUAN

ILEUS PARALITIK

ditujukan untuk memenuhi tugas mata kuliah Keperawatan Gadar Keritis

yang diampu oleh Nyayu Nina PC, M. Kep

Disusun Oleh :

Desy Havana Erlianti (322064)

PROGRAM STUDI PROFESI NERS KEPERAWATAN

SEKOLAH TINGGI ILMU KEPERAWATAN PPNI JAWA BARAT

BANDUNG

2023
LAPORAN PENDAHULUAN
“ILEUS PARALITIK”
A. KONSEP MEDIK
a. Pengertian Ileus Paralitik
Ileus Paralitik adalah isyilah gawat abdomen atau gawat perut
menggambarkan keadaan klinis akibat kegawatan di rongga perut yang
biasanya timbul mendadak dengan nyeri sebagai keluhan utama. Keadaan
ini memerlukan penanggulangan segera yang sering berupa tindakan
bedah, misalnya pada obstruksi, perforasi, atau perdarahan massif di
rongga perut maupun saluran cerna, infeksi,obstruksi atau strangulasi
saluran cerna dapat menyebabkan perforasi yangmengakibatkan
kontaminasi rongga perut oleh isi saluran cerna sehingga terjadilah
peritonitis.
Obstruksi usus dapat didefinisikan sebagai gangguan (apapun
penyebabnya) aliran normal isi usus sepanjang saluran usus.Obstruksi
usus terdiri dari akut dan kronik, partial atau total. Obstruksi usus
biasanya mengenai kolon sebagai akibat karsinoma dan perkembangannya
lambat.Sebagian dasar dari obstruksi justru mengenai usus halus.
Obstruksi total usus halus merupakan keadaan gawat yang memerlukan
diagnosis dini dan tindakan pembedahan darurat bila penderita ingin tetap
hidup. Ada dua tipe obstruksi, yaitu:
1. Mekanis (Ileus Obstruktif) Suatu penyebab fisik menyumbat usus dan
tidak dapat diatasi oleh peristaltik.Ileus obstruktif ini dapat akut
seperti pada hernia stragulata atau kronis akibat karsinoma yang
melingkari. Misalnya intusepsi, tumor polipoid dan neoplasma
stenosis, obstruksi batu empedu, striktura, perlengketan, hernia dan
abses.
2. Neurogenik/Fungsional (Ileus Paralitik) Obstruksi yang terjadi karena
suplai saraf otonom mengalami paralisis dan peristaltik usus terhenti
sehingga tidak mampu mendorong isi sepanjang usus. Contohnya
amiloidosis, distropi otot, gangguan endokrin seperti diabetes
mellitus, atau gangguan neurologis seperti penyakit parkinson.

b. Etiologi Ileus Paralitik


Walaupun predisposisi ileus biasanya terjadi akibat pascabedah
abdomen, tetapi ada faktor predisposisi lain yang mendukung peningkatan
risiko terjadinya ileus, diantaranya sebagai berikut :
1. Sepsis
2. Obat-obatan (misalnya : opioid, antasid, coumarin, amitriptyline,
chlorpromazine).
3. Gangguan elektrolit dan metabolik (misalnya hipokalemia,
hipomagnesemia, hipernatremia, anemia, atau hiposmolalitas).
4. Infark miokard.
5. Pneumonia.
6. Trauma (misalnya : patah tulang iga, cedera spina).
7. Bilier dan ginjal kolik.
8. Cedera kepala dan prosedur bedah saraf.
9. Inflamasi intra abdomen dan peritonitis.
10. Hematoma retroperitoneal.
Ileus pada pasien rawat inap ditemukan pada :
a) Proses intraabdominal seperti pembedahan perut dan saluran
cerna atau iritasi dari peritoneal (peritonitis, pankreatitis,
perdarahan)
b) Sakit berat seperti pneumonia, gangguan pernafasan yang
memerlukan intubasi, sepsis atau infeksi berat, uremia, dibetes
ketoasidosis, dan ketidakseimbangan elektrolit (hipokalemia,
hiperkalsemia, hipomagnesemia, hipofosfatemia)
c) Obat-obatan yang mempengaruhi motilitas usus (opioid,
antikolinergik, fenotiazine). Setelah pembedahan, usus halus
biasanya pertama kali yang kembali normal (beberapa jam),
diikuti lambung (24-48 jam) dan kolon (48-72 jam).
Ileus terjadi karena hipomotilitas dari saluran pencernaan tanpa
adanya obstruksi usus mekanik. Diduga, otot dinding usus terganggu
dan gagal untuk mengangkut isi usus. Kurangnya tindakan pendorong
terkoordinasi menyebabkan akumulasi gas dan cairan dalam usus.
Meskipun ileus disebabkan banyak faktor, keadaan pascaoperasi
adalah keadaan yang paling umum untuk terjadinya ileus. Memang,
ileus merupakan konsekuensi yang diharapkan dari pembedahan perut.
Fisiologisnya ileus kembali normal spontan dalam 2-3 hari, setelah
motilitas sigmoid kembali normal. Ileus yang berlangsung selama
lebih dari 3 hari setelah operasi dapat disebut ileus adynamic atau
ileus paralitik pascaoperasi.
Sering, ileus terjadi setelah operasi intraperitoneal, tetapi mungkin
juga terjadi setelah pembedahan retroperitoneal dan extra-abdominal.
Durasi terpanjang dari ileus tercatat terjadi setelah pembedahan kolon.
Laparoskopi reseksi usus dikaitkan dengan jangka waktu yang lebih
singkat daripada reseksi kolon ileus terbuka.
Konsekuensi klinis ileus pasca operasi dapat mendalam. Pasien
dengan ileus merasa tidak nyaman dan sakit, dan akan meningkatkan
risiko komplikasi paru. Ileus juga meningkatkan katabolisme karena
gizi buruk. Secara keseluruhan, ileus meningkatkan biaya perawatan
medis karena memperpanjang rawat inap di rumah sakit.
Penyakit/keadaan yang menimbulkan ileus paralitik dapat
diklasifikasikan seperti yang tercantum dibawah ini:
a) Neurogenik. Pasca operasi, kerusakan medulla spinalis, keracunan
ureter, iritasi persarafan splanknikus, pankreatitis.
b) Metabolik. Gangguan keseimbangan elektrolit (terutama
hipokalemia), uremia, komplikasi DM, penyakit sistemik seperti
SLE, sklerosis multiple.
c) Obat-obatan. Narkotik, antikolinergik, katekolamin, fenotiazin,
antihistamin.
d) Infeksi/ inflamasi. Pneumonia, empiema, peritonitis, infeksi
sistemik berat lainnya.
e) Iskemia usus.

c. Patofisiologi Ileus Paralitik


Patofisiologi dari ileus paralitik merupakan manifestasi dari
terangsangnya sistem saraf simpatis dimana dapat menghambat aktivitas
dalam traktus gastrointestinal, menimbulkan banyak efek yang
berlawanan dengan yang ditimbulkan oleh sistem parasimpatis. Sistem
simpatis menghasilkan pengaruhnya melalui dua cara : pada tahap yang
kecil melalui pengaruh langsung norepineprin pada otot polos (kecuali
muskularis mukosa, dimana ia merangsangnya), dan pada tahap yang
besar melalui pengaruh inhibitorik dari noreepineprin pada neuronneuron
sistem saraf enterik. Jadi, perangsangan yang kuat pada sistem simpatis
dapat menghambat pergerakan makanan melalui traktus gastrointestinal.
Hambatan pada sistem saraf parasimpatis di dalam sistem saraf
enterik akan menyebabkan terhambatnya pergerakan makanan pada
traktus gastro intestinal, namun tidak semua pleksus mienterikus yang
dipersarafi serat saraf parasimpatis bersifat eksitatorik, beberapa neuron
bersifat inhibitorik, ujung seratnya mensekresikan suatu transmitter
inhibitor, kemungkinan peptide intestinal vasoaktif dan beberapa peptide
lainnya.
Peristiwa patofisiologik yang terjadi setelah obstruksi usus adalah
sama, tanpa memandang apakah obstruksi tersebut diakibatkan oleh
penyebab mekanik atau fungsional. Perbedaan utama adalah obstruksi
paralitik dimana peristaltic dihambat dari permulaan, sedangkan pada
obstruksi mekanik peristaltik mulamula diperkuat, kemudian intermitten,
dan akhirnya hilang. Perubahan patofisiologi utama pada obstruksi usus
adalah lumen usus yang tersumbat secara progresif akan tergang oleh
cairan dan gas (70% dari gas yang ditelan) akibat peningkatan tekanan
intralumen, yang menurunkan pengaliran air dan natrium dari lumen ke
darah. Oleh karena sekitar 8 liter cairan diekskresikan ke dalam saluran
cerna setiap hari ke sepuluh. Tidak adanya absorbs dapat mengakibatkan
penimbunan intralumen dengan cepat. Muntah dan penyedotan usus
setelah pengobatan dimulai merupakan sumber kehilangan utama cairan
dan elektrolik. Pengaruh atas kehilangan ini adalah penyempitan ruang
cairan ekstrasel yang mengakibatkan syok-hipotensi, pengurangan curah
jantung, penurunan perfusi jaringan dan asidosis metabolik. Peregangan
usus yang terus menerus mengakibatkan lingkaran setan penurunan
absorbs cairan dan peningkatan sekresi cairan ke dalam usus. Efek local
peregangan usus adalah iskemia akibat distensi dan peningkatan
permeabilitas akibat nekrosis, disertai absorbsi toksin-toksin bakteri
kedalam rongga peritoneum dan sirkulasi sistemik untuk menyebabkan
bakteriemia.
Pada obstruksi mekanik simple, hambatan pasase muncul tanpa
disertai gangguan vaskuler dan neurologic. Makanan dan cairan yang
ditelan, sekresi usus, dan udara terkumpul dalam jumlah yang banyak jika
obstruksinya komplit. Bagian usus proksimal distensi, dan bagian distal
kolaps. Fungsi sekresi dan absorbs membrane mukosa usus menurun, dan
dinding usus menjadi edema dan kongesti. Distensi intestinal yang berat,
dengan sendirinya secara terus menerus dan progresif akan mengacaukan
peristaltic dan fungsi sekresi mukosa dan meningkatkan risiko dehidrasi,
iskemia, nekrosis, perforasi, peritonitis, dan kematian.
d. Pathway

Penyempitan iumen usus : Hernia Inkarserata


(Isi lumen : benda asing, skibala, ascariasis.
Dinding usus : stenosis (radang kronik),
keganasan.Ekstra lumen : tumor intraabdomen)

Ileus Paralitik

Akumulasi isi usus, caira, dan gas didaerah diatas usus yang mengalami ostruksi

Distensi abdomen

Tekakanan intraluman Mengurangi absorbasi cairan dan


usus meningkat merangsang lebih banyak sekresi lambung

Penurunan tekanan kapiler


vena dan arteriola
Edema, kongesti, nekrosis, dan Asam lambung meningkat
akhirnya rupture atau perforasi dinding usus

Peritonitis Refluk

Pengeluaran mediator Pengeluaran interleukin l Mual, Muntah

Kimia bradykinin, serotonin,


histamine, dan prostaglandin Sel point temperature meningkat MK : Gangguan pemenuhan nutrisi

Merangsang ujung saraf bebas MK : Peningkatan suhu tubuh

Medulla spinalis

Talamus

Kortek serebri Abses MK : Resiko Infeksi


Respon nyeri

MK : Gangguan rasa nyaman :


nyeri abdomen
e. Manifestasi Klinis Ileus Paralitik
Pasien ileus paralitik akan mengeluh perutnya kembung
(abdominal distention), anoreksia, mual dan obstipasi. Muntah mungkin
ada, mungkin pula tidak ada. Keluhan perut kembung pada ileus paralitik
ini perlu dibedakan dengan keluhan perut kembung pada ileus obstruksi.
Pasien ileus paralitik mempunyai keluhan perut kembung, tidak
disertai nyeri kolik abdomen yang paroksismal. Pada pemeriksaan fisik
didapatkan adanya distensi abdomen, perkusi timpani dengan bising usus
yang lemah dan jarang bahkan dapat tidak terdengar sama sekali. Pada
palpasi, pasien hanya menyatakan perasaan tidak enak pada perutnya.
Tidak ditemukan adanya reaksi peritoneal (nyeri tekan dan nyeri lepas
negatif). Apabila penyakit primernya peritonitis, manifestasi klinis yang
ditemukan adalah gambaran peritonitis. Gejala klinisnya,yaitu :
1. Distensi yang hebat tanpa rasa nyeri (kolik).
2. Mual dan mutah.
3. Tak dapat defekasi dan flatus, sedikitnya 24-48 jam.
4. Pada palpasi ringan perut, ada nyeri ringan, tanpa defans muskuler.
5. Bising usus menghilang.
6. Gambaran radiologis : semua usus menggembung berisi udara.

f. Komplikasi Ileus Paralitik


1. Nekrosis usus.
2. Perforasi usus dikarenakan obstruksi yang sudah terjadi terlalu lama
pada organ intra abdomen.
3. Peritonitis karena absorbsi toksin dalam rongga peritonium sehingga
terjadi peradangan atau infeksi yang hebat pada intra abdomen.
4. Sepsis infeksi akibat dari peritonitis, yang tidak tertangani dengan
baik dan cepat.
5. Syok dehidrasi terjadi akibat dehidrasi dan kehilangan volume plasma.
6. Abses sindrom usus pendek dengan malabsorpsi dan malnutrisi.
7. Pneumonia aspirasi dari proses muntah.
8. Gangguan elektrolit, refluk muntah dapat terjadi akibat distensi
abdomen. Muntah mengakibatkan kehilangan ion hidrogen dan
kalium dari lambung, serta menimbulkan penurunan klorida dan
kalium dalam darah.
g. Pemeriksaan Penunjang Ileus Paralitik
1. Pemeriksaan radiologi
a) Foto polos abdomen 3 posisi
Dengan posisi terlentang dan tegak (lateral dekubitus)
memperlihatkan dilatasi lengkung usus halus disertai adanya
batas antara air dan udara atau gas (air-fluid level) yang
membentuk pola bagaikan tangga, posisi setengah duduk untuk
melihat Gambaran udara cairan dalam usus atau di luar usus,
misalnya pada abses, Gambaran udara bebas di bawah
diafragma, Gambaran cairan di rongga pelvis atau abdomen
bawah.
b) Pemeriksaan radiologi dengan Barium Enema
Mempunyai suatu peran terbatas pada pasien dengan obstruksi
usus halus. Pengujian Enema Barium terutama sekali
bermanfaat jika suatu obstruksi letak rendah yang tidak dapat
pada pemeriksaan foto polos abdomen. Pada anak-anak dengan
intussuscepsi, pemeriksaan enema barium tidak hanya sebagai
diagnostik tetapi juga mungkin sebagai terapi.
c) CT–Scan
Pemeriksaan ini dikerjakan jika secara klinis dan foto polos
abdomen dicurigai adanya strangulasi. CT–Scan akan
mempertunjukkan secara lebih teliti adanya kelainan-kelainan
dinding usus, mesenterikus, dan peritoneum. CT–Scan harus
dilakukan dengan memasukkan zat kontras kedalam pembuluh
darah. Pada pemeriksaan ini dapat diketahui derajat dan lokasi
dari obstruksi.
d) USG
Pemeriksaan ini akan mempertunjukkan gambaran dan
penyebab dari obstruksi.
e) MRI
Walaupun pemeriksaan ini dapat digunakan, tetapi tehnik dan
kontras yang ada sekarang ini belum secara penuh mapan.
Teknik ini digunakan untuk mengevaluasi iskemia mesenterik
kronis.
f) Angiografi
Angiografi mesenterik superior telah digunakan untuk
mendiagnosis adanya herniasi internal, intussuscepsi, volvulus,
malrotation, dan adhesi.
2. Pemeriksaan laboratorium Leukositosis mungkin menunjukkan
adanya strangulasi, pada urinalisa mungkin menunjukkan dehidrasi.
Analisa gas darah dapat mengindikasikan asidosis atau alkalosis
metabolic.

h. Penatalaksanaan
1. Konservatif
a) Penderita dirawat di rumah sakit.
b) Penderita dipuasakan
c) Kontrol status airway, breathing and circulation.
d) Dekompresi dengan nasogastric tube.
e) Intravenous fluids and electrolyte
f) Dipasang kateter urin untuk menghitung balance cairan.
2. Farmakologis
a) Antibiotik broadspectrum untuk bakteri anaerob dan aerob.
b) Analgesik apabila nyeri.
3. Operatif
a) Ileus paralitik tidak dilakukan intervensi bedah kecuali disertai
dengan peritonitis.
b) Operasi dilakukan setelah rehidrasi dan dekompresi
nasogastric untuk mencegah sepsis sekunder atau rupture usus.
c) Operasi diawali dengan laparotomi kemudian disusul dengan
teknik bedah yang disesuaikan dengan hasil explorasi melalui
laparotomi.

B. KONSEP DASAR ASUHAN KEPERAWATAN


a. Pengkajian
1. Identitas
Biodata klien yang penting meliputi nama, umur, jenis kelamin,
agama, suku dan gaya hidup.
2. Riwayat Kesehatan
 Keluhan utama
Keluhan utama adalah keluhan yang dirasakan klien pada saat
dikaji. Pada umumnya akan ditemukan klien merasakan nyeri
pada abdomennya biasanya terus menerus, demam, nyeri tekan
dan nyeri lepas, abdomen tegang dan kaku.
 Riwayat kesehatan sekarang
Mengungkapkan hal-hal yang menyebabkan klien mencari
pertolongan, dikaji dengan menggunakan pendekatan PQRST :
P : Apa yang menyebabkan timbulnya keluhan.
Q : Bagaiman keluhan dirasakan oleh klien, apakah hilang,
timbul atau terus- menerus (menetap).
R : Di daerah mana gejala dirasakan
S : Keparahan yang dirasakan klien dengan memakai skala
numeric 1 s/d 10. T : Kapan keluhan timbul, sekaligus
factor yang memperberat dan memperingan keluhan.
 Riwayat kesehatan dahulu
Apakah klien sebelumnya pernah mengalami penyakit pada
sistem pencernaan, atau adanya riwayat operasi pada sistem
pencernaan.
 Riwayat kesehatan keluarga
Apakah ada anggota keluarga yang mempunyai penyakit yang
sama dengan klien.
3. Pemeriksaan fisik
 Status kesehatan umum
Tingkat kesadaran pasien perlu dikaji, bagaimana penampilan
pasien secara umum, ekspresi wajah pasien selama dilakukan
anamnesa, sikap dan perilaku pasien terhadap petugas,
bagaimana mood pasien.
 Sistem pernafasan
Peningkatan frekuensi napas, napas pendek dan dangkal
 Sistem kardiovaskuler
Takikardi, pucat, hipotensi (tanda syok)
 Sistem persarafan
Tidak ada gangguan pada sistem persyarafan
 Sistem perkemihan
Retensio urine akibat tekanan distensi abdomen,
anuria/oliguria, jika syok hipovolemik
 Sistem pencernaan
Distensi abdomen, muntah, bising usus meningkat, lemah
atau tidak ada, ketidakmampuan defekasi dan flatus.
 Sistem muskuloskeletal
Kelelahan, kesulitan ambulansi
 Sistem integumen
Turgor kulit buruk, membran mukosa pecah-pecah (syok)
 Sistem endokrin
Tidak ada gangguan pada sistem endokrin
 Sistem reproduksi
Tidak ada gangguan pada sistem reproduksi

b. Diagnosa Keperawatan
1. Nyeri berhubungan dengan distensi abdomen
2. Defisit nutrisi berhubungan dengan ketidakmampuan mencerna
makanan
c. Intervensi Keperawatan
2
DAFTAR PUSTAKA
Ahern, Wilkinson. 2012. Buku Saku Diagnosa Keperawatan. Jakarta: EGC.

Herdman, T. Heather. 2012. Diagnosis Keperawatan Definisi dan Klasifikasi.

2012-2014. Jakarta: Salemba Medika.

Price, Sylvia. 2003 . Patofisiologi Volume 2. Jakarta: EGC. Smeltzer, Suzanne C.

(2001) Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner & Suddarth, alih

bahasa: Agung Waluyo (et. al.), vol. 1, edisi 8, Jakarta: EGC

Tim Pokja SDKI DPP PPNI. 2018. Standar Diagnosa Keperawatan Indonesia

Definisi dan Tindakan Keperawtan. Jakarta Selatan: Dewan Pengurus

Pusat Persatuan Perawat Nasional Indonesia

Tim Pokja SIKI DPP PPNI. 2018. Standar Itervensi Keperawatan Indonesia

Definisi dan Tindakan Keperawtan. Jakarta Selatan: Dewan Pengurus

Pusat Persatuan Perawat Nasional Indonesia

Tim Pokja SLKI DPP PPNI. 2018. Standar Luaran Keperawatan Indonesia

Definisi dan Tindakan Keperawtan. Jakarta Selatan: Dewan Pengurus

Pusat Persatuan Perawat Nasional Indonesia

Anda mungkin juga menyukai