Anda di halaman 1dari 24

LAPORAN PENDAHULUAN

ILEUS

A. Definisi

Ileus adalah suatu kondisi hipomotilitas (kelumpuhan) saluran

gastrointestinal tanpa disertai adanya obstruksi mekanik pada intestinal. Pada

kondisi klinik sering disebut dengan ileus paralitik.Obstruksi Ileus adalah

gangguan aliran normal isi usus sepanjang saluran usus (Selvia A. Price).

Dapat disimpulkan bahwa obstruksi usus adalah gangguan pada aliran

normal atau suatu blok saluran usus yang menghambat pasase cairan, flatus

dan makanan dapat secara mekanis atau fungsional yang segera memerlukan

pertolongan atau tindakan.

Perawat sangat perlu melakukan pemantauan pada pasien pascabedah

abdominal dari kondisi ileus. Setelah 2-3 hari pasca-pembedahan abdomen,

ileus merupakan suatu kondisi fisiologis yang normal sekunder dari anastesia

dan efek intervensi bedah, namun istilah ileus kondisi kelumpuhan intestinal

dapat bertahan lebih dari 3 hari pascabedah.

Sebagian besar kasus ileus terjadi setelah operasi intra-abdomen. Kembali

normalnya aktivitas usus setelah pembedahan abdominal mengikuti pola yang

dapat diprediksi. Usus kecil biasanya mendapatkan kembali fungsi dalam

beberapa jam. Aktivitas regains lambung dalam 1-2 hari dan usus besar

aktivitas regains 3-5 hari (Person, 2006).

B. Etiologi
Walaupun predisposisi ileus biasanya terjadi akibat pascabedah abdomen,

tetapi ada faktor predisposisi lain yang mendukung peningkatan resiko

terjadinya ileus, diantaranya (Behm, 2003) sebagai berikut:

1. Sepsis

2. Obat-obatan (misalnya: opioid, antasid, coumarin, amitriptyline,

chlorpromazine)

3. Gangguan elektrolit dan metabolik (misalnya hipokalemia,

hipomagnesemia, hipernatremia, anemia, atau hiposmolalitas)

4. Infark miokard

5. Pneumonia

6. Trauma (misalnya: patah tulang iga, cedera spina)

7. Bilier dan ginjal kolik

8. Cedera kepala dan prosedur bedah saraf

9. Inflamasi intra abdomen dan peritonitis

10. Hematoma retroperitoneal.

C. Manifestasi Klinis

Gejala-gejala penting dari obstruksi Ileus adalah :

1. Nyeri daerah umbilicus

2. Muntah, sering terjadi bila obstruksi pada usus halus bagian atas

3. Konstipasi absolut dan peregangan abdomen


D. Klasifikasi

1. Ileus Obstruktif

Ileus obstruktif adalah suatu penyumbatan mekanis pada usus dimana

merupakan penyumbatan yang sama sekali menutup atau menganggu

jalannya isi usus (Sabara, 2007).Suatu penyebab fisik menyumbat usus dan

tidak dapat diatasi oleh peristaltik. Ileus obstruktif ini dapat akut seperti

pada hernia stragulata atau kronis akibat karsinoma yang melingkari.

Misalnya intusepsi, tumor polipoid dan neoplasma stenosis, obstruksi batu

empedu, striktura, perlengketan, hernia dan abses.

2. Ileus Paralitik

Ileus paralitik adalah ileus yang disebabkan gerakan (peristaltik) usus

yang menghilang, disini tidak ada sumbatan. Ileus paralitik adalah istilah

gawat abdomen atau gawat perut yang biasanya timbul mendadak dengan

nyeri sebagai keluhan utama karena usus tidak dapat bergerak (mengalami

motilitas) dan menyebabkan pasien tidak dapat buang air besar. Obstruksi

yang terjadi karena suplai saraf ototnom mengalami paralisis dan

peristaltik usus terhenti sehingga tidak mampu mendorong isi sepanjang

usus. Contohnya amiloidosis, distropi otot, gangguan endokrin seperti

diabetes mellitus, atau gangguan neurologis seperti penyakit parkinson.

E. Patofisiologi
Menurut beberapa hipotesis, ileus pascabedah dimediasi melalui

penghambatan aktivasi refleks spinal. Secara anatomis, refleks yang terlibat

pada ileus adalah pada pleksus ganglia prevertebral, (Mattei, 2006).

Respons dari stres bedah mengarah pada generasi sistemik dari endokrin

dan mediator inflamasi yang juga mempromosikan perkembangan ileus.

Model tikus telah menunjukkan bahwa laparotomi, penetrasi, dan kompresi

usus menyebabkan peningkatan jumlah makrofag, monosit, sel dendritik, sel

T, sel-sel pembunuh alami, dan sel mast, seperti yang ditunjukkan oleh

imonohistokimia. Kalsitonin-peptida, nitrit oksid, peptida vasoaktif intestina,

dan substansi P berfungsi sebagai inhibitor neurotransmiter pada sistem saraf

usus, (Bauer, 2004).

Diferensiasi yang umum untuk ileus adalah pseudo-obstruksi dan

obstruksi usus mekanik. Seperti ileus pada pseudo-obstruksi, terjadi dengan

tidak adanya patologi mekanis. Beberapa teks dan artikel cendrung

menggunakan ileus disama artikan dengan pseudo-obstruksi atau merujuk

pada ileus kolon. Namun, kondisi ini jelas merupakan dua entitas yang

berbeda. Pseudo-obstruksi jelas terbatas pada usus besar, sedangkan ileus

melibatkan baik usus kecil dan usus besar. Usus besar yang terlibat dalam

pseudo-obstruksi klasik, yang biasanya terjadi pada lanjut usia dengan

gambaran penyakit ekstarintestinal serius atau trauma. Agen farmakologi,

sepsis, dan ketidakseimbangan elektrolit dapat juga berkontribusi terhadap

kondisi ini. Obstruksi usus mekanik dapat disebabkan oleh adhesi, velvulus,

hernia, intususepsi, benda asing, atau neoplasma. Klinis obstruksi hadir


dengan kolik abdominal yang hebat atau tanda-tanda obstruksi perforasi yang

jelas, (Loktus, 2012).

Ileus Pseudo-obstruksi Obstruksi mekanik usus

Anamnesis Nyeri abdomen Nyeri kram abdominal, Nyeri kram abdominal,

ringan, kembung, mual, muntah, anoreksia, mual, muntah, anoreksia,

mual, muntah, obstipasi, konstipasi obstipasi, konstipasi

obstipasi, konstipasi

Pemeriksaan Bising usus hilang, Borborygmi, timpani, Borborygmi, gelombang

fisik abdomen distensi, timpani gelombang peristaltic, peristaltic,

Ileus Pseudo-obstruksi Obstruksi mekanik usus

bising usus hiperaktif atau bising usus bernada

hipoaktif, distensi, nyeri tinggi, distensi, nyeri

tekan local tekan local

Foto polos Dilatasi usus kecil & Dilatasi isolasi pada usus Berbentuk lesi gas kolon

abdomen usus besar, elevasi besar, elevasi diafragma distal, diafragma agak

diafragma tinggi, air-fluid levels

Tabel : Perbedaan Dari Ileus, Pseudo-Obstruksi, dan Obstruksi Usus

Mekanik (Mukherjee, S, 2008).


6. Pemeriksaan Penunjang

Laboratorium, peningkatan kadar Haemoglobin (indikasi dari dehidrasi),

leukositosis, peningkatan PCO2 / asidosis metabolik.

Foto polos abdomen (BOF) dengan posisi tegak atau lateral dekubitus

tampak distensi usus proksimal dari hambatan dan fenomena anak tangga.

Pada volvulus sigmoid tampak sigmoid yang distensi berbentuk U yang

terbalik dan dapat juga di dapatkan :

a. Gambaran usus melebar (Darm Courtur)

b. Gambaran seperti duri ikan

c. Gambaran seperti anak tangga (Air Fluid Level)

Pemeriksaan CT scan, dikerjakan secara klinis dan foto polos abdomen

dicurigai adanya strangulasi. CT scan akan mempertunjukkan secara lebih

teliti adanya kelainan pada dinding usus (obstruksi komplet, abses,

keganasan), kelainan mesenterikus, dan peritoneum. Pada pemeriksaan ini

dapat diketahui derajat dan lokasi dari obstruksi.

Pemeriksaan radiologi dengan barium enema. Pemeriksaan ini

mempunyai suatu peran terbatas pada klien dengan obstruksi usus halus.

Pengujian enema barium terutama sekali bermanfaat jika suatu obstruksi letak

rendah yang tidak dapat pada pemeriksaan foto polos abdomen.

Pemeriksaan USG. Pemeriksaan ini akan mempertunjukkan gambaran

penyebab dari obstruksi.

Pemeriksaan MRI. Teknik ini digunakan untuk mengevaluasi iskemia

mesenteric kronis.
Pemeriksaan angiografi. Angiografi mesenteric superior telah

digunakan untuk mendiagnosis adanya herniasi internal, intususepsi,

volvulus, malrotation, dan adhesi, (Suratun & Lusianah, 2010).

F. Penatalaksanaan

1. Dekompresi dengan pipa lambung.

2. Pemasangan infus untuk koreksi keseimbangan cairan dan elektrolit juga

keseimbangan asam basa.

3. Koreksi bedah, tindakan bedah yang di lakukan sesuai dengan kelainan

patologinya.

4. Antibiotika profilaksis atau terapeutik tergantung proses patologi

penyebabnya.

G. Komplikasi

1. Nekrosis usus.

2. Perforasi usus dikarenakan obstruksi yang sudah terjadi terlalu lama pada

organ intra abdomen.

3. Peritonitis karena absorbsi toksin dalam rongga peritonium sehingga

terjadi peradangan atau infeksi yang hebat pada intra abdomen.

4. Sepsis infeksi akibat dari peritonitis, yang tidak tertangani dengan baik

dan cepat.

5. Syok dehidrasi terjadi akibat dehidrasi dan kehilangan volume plasma.

6. Abses sindrom usus pendek dengan malabsorpsi dan malnutrisi.

7. Pneumonia aspirasi dari proses muntah.


8. Gangguan elektrolit, refluk muntah dapat terjadi akibat distensi abdomen.

Muntah mengakibatkan kehilangan ion hidrogen dan kalium dari lambung,

serta menimbulkan penurunan klorida dan kalium dalam darah,

(Dermawan,2010).

KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN

A. Pengkajian

Pengkajian ileus terdiri atas pengkajian, anamnesis, pemeriksaan fisik,

dan evaluasi diagnostik. Pada anamnesis keluhan utama yang lazim

didapatkan adalah keluhan kembung dan tidak bisa kentut (flatus). Keluhan

adanya kembung dan tidak bisa flatus bersifat akut disertai mual, muntah,

anoreksia, dan nyeri ringan pada abdomen.

Pada pengkajian riwayat penyakit sekarang, perawat mengkaji riwayat

pembedahan abdominal, jenis pembedahan, penyebab adanya intervensi

bedah, kondisi klinik preoperatif, pengetahuan mobilisasi dini pasien

praoperatif, dan adanya penyakit sistemik yang memperberat, seperti adanya

sepsis, gangguan metabolik, penyakit jantung, pneumonia pasca bedah,

prosedur bedah saraf, dan trauma abdominal berat.


Pengkajian psikososial akan didapatkan peningkatan kecemasan karena

perut kembung dan belum bisa melakukan flatus, serta perlunya pemenuhan

informasi.

Pemeriksaan fisik yang didapatkan sesuai dengan manifestasi klinis. Pada

survei umum pasien terlihat lemah. TTV biasa didapatkan adanya perubahan.

Pada pemeriksaan fisik fokus akan didapatkan :

a. Inspeksi : Secara umum akan terlihat kembung dan didapatkan adanya

distensi abdominal.

b. Auskultasi : Bising usus atau tidak ada.

c. Palpasi : Nyeri tekan lokal pada abdominal.

d. Perkusi : Timpani akibat abdominal mengalami kembung.

Pengkajian diagnostik yang dapat membantu, meliputi pemeriksaan

laboratorium untuk mendeteksi adanya gangguan elektrolit atau metabolik,

foto polos abdominal untuk mendeteksi adanya dilatasi gas berlebihan dari

usus kecil dan usus besar.

a. Aktivitas atau istirahat

Gejala : Kelelahan dan ngantuk.

Tanda : Kesulitan ambulasi

b. Sirkulasi

Gejala : Takikardia, pucat, hipotensi (tanda syok)

c. Eliminasi

Gejala : Distensi abdomen, ketidakmampuan defekasi dan Flatus

Tanda : Perubahan warna urine dan feces


d. Makanan atau cairan

Gejala : anoreksia, mual atau muntah dan haus terus menerus

Tanda : muntah berwarna hitam dan fekal, membran mukosa pecah-

pecah, kulit buruk.

e. Nyeri atau Kenyamanan

Gejala : Nyeri abdomen terasa seperti gelombang dan bersifat kolik

Tanda : Distensi abdomen dan nyeri tekan

f. Pernapasan

Gejala : Peningkatan frekuensi pernafasan

Tanda : Napas pendek dan dangkal

Pengkajian Penatalaksanaan Medis

a. Konservatif

Sebagian besar kasus ileus pasca bedah mendapat intervensi

konservatif. Pasien harus menerima hidrasi intravena. Untuk pasien

dengan muntah dan distensi, penggunann selang nasogastrik diberikan

untuk menurunkan gejala, namun belum ada penelitian untuk literature

yang mendukung penggunaan selang nasogastrik untuk memfasilitasi

resolusi ileus. Panjang selang ke saluran gastrointestinal tidak memiliki

manfaat atas perbaikan ileus. Untuk pasien dengan ileus berlarut-larut,

obstruksi mekanis harus diperiksa dengan studi kontras. Sepsis dan

gangguan elektrolit yang mendasari, terutama hipokalemia, hiponatremia,


dan hipomagnesemia, dapat memperburuk ileus.Kondisi ini didiagnosis

dan diperbaiki, (Mukherjee, 2008).

Cara lainnya adalah menghentikan obat yang memproduksi ileus

(misalnya : opiate). Dalam suatu studi, jumlah morfin yang diberikan

secara langsung akan berhubungan dengan terjadinya ileus, (Cali, 2000).

Penggunaan narkotika pasca operasi dapat dikurangi dengan

suplemen dengan obat anti-inflamasi non-steroid (OAINS).OAINS dapat

menurunkan ileus dengan menurunkan peradangan local dan dengan

mengurangi jumlah narkotika yang digunakan. Studi mioelektrik dari

elektroda ditempatkan pada usus besar, dimana studi ini telah

mengungkapkan resolusi lebih cepat dari yang diberikan pada pasien

ileus versus yang diberikan ketorolac morfin, namun kelemahan OAINS

digunakan mencakup disfungsi trombosit dan ulserasi mukosa lambung.

Kondisi ini dapat dipertimbangkan dengan penggunaan agen

cyclooxygenase-2, untuk menurunkan efek samping ini, (Ferraz, 1995).

Sampai saat ini belum ada suatu variabel yang secara akurat

memprediksi resolusi ileus.Pemeriksaan kondisi klinis masih menjadi

parameter penting untuk mengevaluasi asupan oral dan fungsi usus yang

baik.Laporan dari pasien bahwa sudah terjadi flatus, harus dinilai ulang

dengan seksama secara pemeriksaan fisik dan diagnostic yang akurat,

serta tidak boleh hanya mengandalkan dari laporan pasien (Mukherjee,

2008).
b. Terapi Diet

Umumnya, menunda intake makan oral sampai tanda klinis ileus

berakhir.Namun, kondisi ileus tidak menghalangi pemberian nutrisi

enteral.Pemberian enteral secara hati-hati dan dilakukan secara bertahap,

(Ng WQ, 2003).Pada suatu studi pemberian permen karet menunjukkan

bahwa mengunyah permen karet sebagai bentuk pemberian makanan

palsu pada fase pemulihan awal dari ileus pasca bedah setelah

laparoskopi colectomy.19 pasien yang menjalani elektif laparoskopi

colectomy secara acak.10 pasien yang ditetapkan ke grup permen karet

dan 9 untuk kelompok control.Kelompok permen karet yang digunakan

3x sehari dari pasca operasi pertama pagi sampai intake oral. Terjadinya

flatus lebih cepat dalam kelompok permen karet daripada di kelompok

control buang air besar pertama tercatat pada 3,1 hari dalam kelompok

permen karet versus 5,8 hari pada kelompok control, (Asao, 2002).

c. Terapi Aktivitas

Kebijakan konvensional pada praktek klinik memberikan

pemahaman bahwa ambulasi dini merangsang fungsi usus dan

meningkatkan ileus pasca bedah, meskipun hal ini belum ditunjukkan

dalam literature.

Dalam sebuah studi nonrandomized mengevaluasi 34 pasien,

elektroda bipolar seromuscular ditempatkan di segmen saluran

gastrointestinal setelah laparotomi.10 pasien ditugaskan untuk ambulasi

pada pasca operasi hari pertama, dan yang lainnya 24 pasien ditugaskan
untuk ambulasi pada pasca bedah hari keempat.Hasil yang didapat,

ternyata tidak ada perbedaan yang signifikan dari hasil mioelektrik dalam

pemulihan di lambung, jejunum, atau usus antara 2 kelompok tersebut,

(Waldhausen, 1990).Walaupun begitu, ambulasi tetap bermanfaat dalam

mencegah pembentukan atelektasis, obstruksi vena profunda, dan

pneumonia tetapi tidak memiliki peran dalam mengobati ileus.

d. Terapi Farmakologi

Sampai saat ini belum terdapat studi yang menilai manfaat

supositoria dan enema untuk pengobatan ileus. Eritromisin, suatu agonis

resptor motilin, telah digunakan untuk paresis pasca operasi lambung

namun belum terbukti bermanfaat bagi ileus.Metoklopramid, sebuah

antagonis dopaminergik, sebagai obat anti muntah dan prokinetik.Data

telah menunjukkan bahwa pemberian obat ini dapat benar-benar

memperburuk ileus, (Mukherjee, 2008).

Terapi farmakologis yang dianjurkan adalah golongan opioid

antagonis selektif, misalnya alvimopan. Alvimopan ini ditunjukkan untuk

membantu mencegah ileus post operative reseksi usus (Maron, 2008).

B. Diagnosa Keperawatan

1. Konstipasi b.d. hipomotilitas/kelumpuhan intestinal.

2. Resiko ketidakseimbangan cairan tubuh b.d. keluar cairan tubuh dari

muntah, ketidakmampuan absorpsi air oleh intestinal.

3. Resiko ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh

berhubungan dengan kurangnya intake makanan yang adekuat.


4. Actual/resiko tinggi syok hipovolemik b.d. penurunan volume darah,

sekunder dari penurunan hidrasi, ketikmampuan absorpsi cairan oleh

kolon.

5. Kecemasan b.d. prognosis penyakit.

6. Pemenuhan informasi b.d. adanya intervensi medic dan keperawatan,

misinterpretasi informasi.

7. Nyeri b.d. iritasi intestinal, distensi abdominal.

C. Intervensi Keperawatan

Rencana intervensi disususn sesuai dengan tingkat toleransi individu.

Pada pasien ileus, intervensi pada masalah keperawatan actual/resiko tinggi

syok hipovolemik dapat disesuaikan dengan masalah yang sama pada asuhan

keperawatan pasien gastroenteritis. Untuk intervensi masalah nyeri,

kecemasan dan pemenuhan informasi dapat disesuaikan pada intervensi

masalah pasien diverticulitis.

1. Konstipasi b.d. hipomotilitas/kelumpuhan intestinal.

Tujuan : Dalam waktu 5x24 jam terjadi perbaikan konstipasi.

Kriteria evaluasi :

1. Laporan pasien sudah mampu flatus dan keinginan untuk melakukan BAB.

2. Bising usus terdengar normal, frekuensi 5-25 x / menit.

3. Gambaran foto polos abdomen tidak terdapat adanya akumulasi gas di dalam intestinal.

INTERVENSI RASIONAL

Kaji factor predisposisi Walaupun predisposisi ileus biasanya terjadi akibat pasca
terjadinya ileus. bedah abdomen, tetapi ada factor predisposisi lain yang

mendukung peningkatan resiko terjadinya ileus. Hal ini harus

segera dikolaborasikan untuk mendapat intervensi medis,

misalnya adanya sepsis harus diatasi, kondisi gangguan

elektrolit harus dikoreksi.

Monitoring status cairan. Penurunan volume cairan akan meningkatkan resiko ileus

semakin parah karena terjadi gangguan elektrolit. Peran

perawat harus mendokumentasikan kondisi status cairan dan

harus melaporkan apabila didapatkan adanya perubahan yang

signifikan.

Evaluasi secara berkala Pemantauan secara rutin dapat memberikan data dasar pada

laporan pasien tentang perawat atau sebagai pera untuk kolaborasi dengan medis

flatus dan periksa kondisi tentang kondisi perbaikan ileus. Hasil evaluasi harus

bising usus. didokumentasikan secara hati-hati pada status medis.

Pasang selang nasogastrik. Pemasangan selang nasogastrik dilakukan untuk menurunkan

keluhan kembung dan distensi abdomen. Perawat melakukan

pemantauan setiap 4 jam dari pengeluaran pada selang

nasogastrik.

Lakukan teknik ambulasi. Walaupun terdapat studi yang tidak berhubungan dengan

peningkatan resolusi ileus. Dalam sebuah studi non-

randomized mengevaluasi pasien, elektroda bipolar

seromuskular ditempatkan di segmen saluran gastrointestinal

setelah laparotomi. 10 pasien ditugaskan untuk ambulasi pada


pasca operasi hari pertama, dan yang lainnya 24 pasien

ditugaskan untuk ambulasi pada pasca bedah hari ke 4. Hasil

yang didapat, ternyata tidak ada perbedaan yang signifikan

dari hasil mioelektrik dalam pemulihan di lambung, jejunum

atau usus antara 2 kelompok tersebut, (Waldhausen, 1990).

Akan tetapi pelaksanaan ambulasi tetap bermanfaat dalam

mencegah pembentukan atelektasis, obstruksi vena profunda,

dan pneumonia.

Kolaborasi :

Opioid antagonis selektif. Alvimopan ini ditunjukkan untuk membantu mencegah ileus

post operatif reseksi usus, (Maron, 2008).

2. Resiko ketidakseimbangan cairan tubuh b.d. keluar cairan tubuh dari muntah,

ketidakmampuan absorpsi air oleh intestinal.

Tujuan : Dalam waktu 5x24 jam tidak terjadi ketidakseimbangan cairan dan elektrolit.

Kriteria evaluasi :

1. Pasien tidak mengeluh pusing, membrane mukosa lembap, turgor kulit normal.

2. TTV dalam batas normal.

3. CRT < 3 detik, urin > 600 ml/hari.

4. Laboratorium : Nilai elektrolit normal.

INTERVENSI RASIONAL

Monitoring status cairan (turgor Jumlah dan tipe cairan pengganti ditentukan dari keadaan
kulit, membrane mukosa, urine status cairan. Penurunan volume cairan mengakibatkan

output). menurunnya produksi urin, monitoring yang ketat pada

produksi urin < 600 ml/hari merupakan tanda-tanda

terjadinya syok hipovolemik.

Kaji sumber kehilangan cairan. Kehilangan cairan darimuntah dapat disertai dengan

keluarnya natrium via oral yang juga akan meningkatkan

resiko gangguan elektrolit.

Dokumentasikan intake dan Sebagai data dasar dalam pemberian terapi cairan dan

output cairan. pemenuhan hidrasi tubuh secara umum.

Monitor TTV secara berkala. Hipotensi dapat terjadi pada hipovolemi yang

memberikan manifestasi sudah terlibatnya system

kardiovaskular untuk melakukan kompensasi

mempertahankan tekanan darah.

Kaji warna kulit, suhu, sianosis, Mengetahui adanya pengaruh adanya peningkatan

nadi perifer dan diaphoresis tahanan perifer.

secara teratur.

Kolaborasi :

Pertahankan pemberian cairan Jalur yang paten penting untuk pemberian cairan cepat

secara intravena. dan memudahkan perawat dalam melakukan control

Evaluasi kadar elektrolit. intake dan output cairan.

Sebagai deteksi awal menghindari gangguan elektrolit

sekunder dari muntah pada pasien peritonitis.


3. Ketidakseimbangan nutrisi : kurang dari kebutuhan tubuh b.d. kurangnya intake

makanan yang adekuat.

Tujuan : Setelah 7x24 jam asupan nutrisi dapat optimal dilaksanakan.

Kriteria evaluasi :

1. Bising usus kembali normal dengan frekuensi 5-25x/menit.

2. Pasien dapat menunjukkan metode menelan makanan yang tepat.

3. Terjadi penurunan gejala kembung dan distensi abdomen

4. Berat badan pada hari ke 7 pasca bedah meningkat minimal 0,5 kg.

INTERVENSI RASIONAL

Evaluasi secara berkala kondisi Sebagai data dasar teknik pemberian asupan nutrisi.

motilitas usus.

Hindari intake apapun secara Umumnya, menunda intake makanan oral sampai tanda

oral. klinis ileus berakhir. Namun kondisi ileus tidak

menghalangi pemberian nutrisi enteral.

Berikan nutrisi parenteral. Pemberian enteral diberikan secara hati-hati dan lakukan

secara bertahap sesuai tingkat toleransi dari pasien.

Berikan stimulant permen karet. Pada suatu studi pemberian permen karet menunjukkan

bahwa mengunyah permen karet sebagai bentuk

pemberian makanan palsu pada fase pemulihan awal dari

ileus pasca bedah setelah laparoskopi colectomy. 19

pasien yang menjalani elektif laparoskopi colectomy


secara acak. 10 pasien yang ditetapkan ke grup permen

karet dan 9 untuk kelompok control. Pada kelompok yang

mendapat makanan palsu berupa permen karet dengan

durasi 3x sehari pada hari pertama pasca operasi. Terjadi

flatus lebih cepat pada kelompok yang mendapat

makanan palsu permen karet daripada di kelompok

control.

Pantau intake dan output, Berguna untuk mengukur keefektifan nutrisi dan

anjurkan untuk timbang berat dukungan cairan.

badan secara periodic (sekali

seminggu).

Lakukan perawatan mulut. Intervensi ini untuk menurunkan resiko infeksi oral.

Kolaborasi dengan ahli gizi Ahli gizi harus terlibat dalam penentuan komposisi dan

mengenai jenis nitrisi yang jenis makanan yang akan diberikan sesuai dengan

akan digunakan pasien. kebutuhan individu.

D. Implementasi

Pelaksanaan asuhan kerawatan merupakan realisasi dari pada rencana tindakan

keperawatan yang telah di terapkan meliputi tindakan idependent, dependetn,


interdependent. Pada pelaksanaan terdiri dari bebrapa kegiatan, validasi, rencana

keperawatan, mendokumentasikan rencana keperawatan memberikan asuhan

keperawatan dan pengumpulan data, (Susan Martin, 1998).

E. Evaluasi

Hasil yang diharapkan setelah dilakukan tindakan keperawatan adalah

sebagai berikut :

1. Kemampuan motilitas pasien meningkat dan konstipasi dapat teratasi

2. Tidak terjadi ketidakseimbangan cairan tubuh

3. Asupan nutrisi tubuh optimal

4. Pasien tidak mengalami syok hipovolemik

5. Terjadi penurunan respons kecemasan

6. Terpenuhinya informasi kesehatan

7. Nyeri terkontrol atau teradaptasi

DAFTAR PUSTAKA

Asao, T. Et al. “Gum Chewing Enhances Early Recovery from Postoperative Ileus

after Laparoscopic Colectomy”. J Am Coll Surg. 195(1):30-2/Juli 2012


Bauer, A.J. dan Boeckxstaens G.E. “Mechanisms of Postoperative

Ileus”.Neurogastroenterol Motil. 16 Suppl 2:54-60/Oktober 2004

Behm, B. Dan Stollman N. “Postoperative Ileus: Etiologies and

Interventions”. Clin Gastroenterol Hepatol. 1(2):71-80/Maret 2003

Cali, R.L. et al. “Effect of Morphine and Incision Length on Bowel Function after

Colectomy”. Dis Colon Rectum. 43(2):163-8/Februari 2000.

Ferraz, A.A. et al. “Nonopioid Analgesics Shorten The Duration of Postoperative

Ileus.” Am Surg. 61(12):1079-83/Desember 1995

Muttaqin dan Sari. 2011. Gangguan Gastrointestinal Aplikasi Asuhan

Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta: Penerbit Salemba Medika

Anda mungkin juga menyukai