Anda di halaman 1dari 26

LAPORAN PENDAHULUAN ASUHAN KEPERAWATAN

KEGAWATDARURATAN PADA PASIEN DENGAN

ILEUS OBSTRUKSI

OLEH:

I GUSTI AYU INTAN SETYARI

SMT VII / STr. KEPERAWATAN

P07120217016

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA

POLITEKNIK KESEHATAN DENPASAR

JURUSAN KEPERAWATAN

TAHUN 2020
LAPORAN PENDAHULUAN ASUHAN KEPERAWATAN

KEGAWATDARURATAN PADA PASIEN DENGAN ILEUS OBSTRUKTIF

A. Konsep Dasar Ileus Obstruktif

1. Definisi

Ileus obstruktif merupakan penyumbatan intestinal mekanik yang terjadi karena

adanya daya mekanik yang bekerja atau mempengaruhi dinding usus sehingga

menyebabkan penyempitan/penyumbatan lumen usus. Hal tersebut menyebabkan

pasase lumen usus terganggu (Ullah et al., 2009).

Obstruksi intestinal secara umum didefinisikan sebagai kegagalan isi intestinal

untuk melanjutkan perjalanannya menuju ke anus. Obstruksi Intestinal ini merujuk pada

adanya sumbatan mekanik atau nonmekanik parsial atau total dari usus besar dan usus

halus (Thompson, 2005).

Berdasarkan data dari World Health Organization tahun 2008, diperkiakan

penyakit saluran cerna tergolong 10 besar penyakit penyebab kematian didunia.

Indonesia menempati urutan ke 107 dalam jumlah kematian yang disebabkan oleh

penyakit saluran cerna  (World Health Organization, 2008). Obstruksi usus sering

disebut juga ileus obstruksi merupakan kegawatan dalam bedah abdomen yang sering

dijumpai. Ileus obstruksi merupakan 60-70% seluruh kasus akut abdomen yang bukan

apendisitis akut .Sekitar 20% pasien datang kerumah sakit datang dengan keluhan nyeri

perut  karena obstruksi pada saluran cerna, 80% terjadi pada usus halus. 

Apabila  ileus  tidak segera ditangani dapat menyebabkan timbulnya beberapa

komplikasi seperti :
 Dehidrasi (kekurangan  cairan)
 Kematian sel atau jaringan usus (nekrosis)
 Infeksi pada rongga perut (peritonitis) dapat memburuk menjadi sepsis
 Gangguan keseimbangan elektrolit

2. Klasifikasi

Berdasarkan lokasi obstruksinya, ileus obstrukif atau ileus mekanik dibedakan

menjadi,antara lain

1. Ileus obstrruktif letak tinggi : obstruksi mengenai usus halus (dari gaster

sampai ileum terminal).

2. Ileus obstruktif letak rendah : obstruksi mengenai usus besar (dari ileum

terminal sampairectum).

Ileus obstruktif dibagi lagi menjadi tiga jenis dasar (Sjamsuhidajat & Jong, 2005) :

1. Ileus obstruktif sederhana, dimana obstruksi tidak disertai dengan terjepitnya

pembuluh darah.

2. Ileus obstruktif strangulasi, dimana obstruksi yang disertai adanya penjepitan

pembuluh darah sehingga terjadi iskemia yang akan berakhir dengan nekrosis

atau gangren yang ditandai dengan gejala umum berat yang disebabkan oleh

toksin dari jaringan gangren.

3. Ileus obstruktif jenis gelung tertutup, dimana terjadi bila jalan masuk dan keluar

suatu gelung usus tersumbat, dimana paling sedikit terdapat dua tempat

obstruksi.

Untuk keperluan klinis dan berdasarkan letak sumbatan, ileus obstruktif dibagi dua

(Ullah et al., 2009):


1. Ileus obstruktif usus halus, yaitu obstruksi letak tinggi dimana mengenai

duodenum, jejunum dan ileum

2. Ileus obstruktif usus besar, yaitu obstruksi letak rendah yang mengenai kolon,

sigmoid dan rectum.

3. Tanda dan Gejala

Ileus Obstruktif,  tanda dan gejalanya adalah  :

1. Nyeri perut yang bersifat kolik

a) Mekanika sederhana – usus halus atas

Kolik (kram) pada abdomen pertengahan sampai ke atas, distensi, muntah

empedu awal, peningkatan bising usus (bunyi gemerincing bernada tinggi

terdengar pada interval singkat), nyeri tekan difus minimal.

b) Mekanika sederhana – usus halus bawah

Kolik (kram) signifikan midabdomen, distensi berat,muntah – sedikit atau

tidak ada – kemudian mempunyai ampas, bising usus dan bunyi “hush”

meningkat, nyeri tekan difus minimal.

c) Mekanika sederhana – kolon

Kram (abdomen tengah sampai bawah), distensi yang muncul terakhir,

kemudian terjadi muntah (fekulen), peningkatan bising usus, nyeri tekan difus

minimal.

1. Mual dan muntah

2. Obstruksi mekani parsial : perut kembung ( distensi ) disertai konstipasi


3. Ditemukan darm kontur (gambaran usus) dan darm steifung (gambaran peristaltik

usus)

4. Bising usus meningkat

5. Pada pemeriksaan foto : ditemukan gambaran Harring bone appearance atau step

leader fenomena

6. Dapat ditemukan massa atau hernia

7. Strangulasi

Gejala berkembang dengan cepat; nyeri parah, terus menerus dan terlokalisir; distensi

sedang; muntah persisten; biasanya bising usus.

4. Etiologi

Susan C Smeltzer & Brenda G. Bare (2002),Susan Martin Tucker (1998), Christian

Stone M.D (2004) dan Barbara C Long (1996) mengatakan bahwa penyebab dari ileus

obstruktif adalah :

1. Adhesi, sebagai perlengketan fibrosa (jaringan ikat) yang abnormal di antara

permukaan peritoneum yang berdekatan, baik antar peritoneum viseral maupun antara

peritoneum viseral dengan parietal

2. Hernia, terjebaknya bagian usus pada lubang abnormal.

3. Karsinoma, tumor yang ada dalam dinding usus meluas ke lumen usus, atau tumor

diluar usus mendesak dinding usus.

4. Massa makanan yang tidak dicerna

5. Sekumpulan cacing

6. Tinja yang keras.

7. Volvulus, terplintir atau memutarnya usus.

8. Intussusception, masuknya satu segmen usus kedalam usus itu sendiri.

5. Patofisiologi
Menurut Ester (2001 : 49) pathofisiologi dari obstruksi usus atau illeus adalah :

Secara normal 7-8 cairan kaya elektrolit disekresi oleh usus dan kebanyakan

direabsorbsi, bila usus tersumbat, cairan ini sebagian tertahan dalam usus dan sebagian

dieliminasi melalui muntah, yang menyebabkan pengurangan besar volume darah

sirkulasi. Mengakibatkan hipotensi, syok hipovolemik dan penurunan aliran darah ginjal

dan serebral. Pada awitan obstruksi, cairan dan udara terkumpul pada bagian proksimal

sisi yang bermasalah, menyebabkan distensi. Manifestasi terjadinya lebih cepat dan lebih

tegas pada blok usus halus karena usus halus lebih sempit dan secara normal lebih aktif,

volume besar sekresi dari usus halus menambah distensi, sekresi satu-satunya yang yang

bermakna dari usus besar adalah mukus.

Distensi menyebabkan peningkatan sementara pada peristaltik saat usus berusaha

untuk mendorong material melalui area yang tersumbat. Dalam beberapa jam

peningkatan peristaltik dan usus memperlambat proses yang disebabkan oleh obstruksi.

Peningkatan tekanan dalam usus mengurangi absorbsinya, peningkatan retensi cairan

masih tetap berlanjut segera, tekanan intralumen aliran balik vena, yang meninkatkan

permeabilitas kapiler dan memungkinkan plasma ekstra arteri yang menyebabkan

nekrosis dan peritonitis.


6. PATHWAY
7. Pemeriksaan Penunjang

1. Pemeriksaan Radiologi

a. Foto polos abdomen

Dengan posisi terlentang dan tegak (lateral dekubitus) memperlihatkan dilatasi

lengkung usus halus disertai adanya batas antara air dan udara atau gas (air-fluid

level) yang membentuk pola bagaikan tangga.

b. Pemeriksaan Radiologi dengan Barium Enema

Mempunyai suatu peran terbatas pada pasien dengan obstruksi usus halus.

Pengujian Enema Barium terutama sekali bermanfaat jika suatu obstruksi letak

rendah yang tidak dapat pada pemeriksaan foto polos abdomen. Pada anak-anak

dengan intussuscepsi, pemeriksaan enema barium tidak hanya sebagai diagnostik

tetapi juga mungkin sebagai terapi.

c. CT–Scan.

Pemeriksaan ini dikerjakan jika secara klinis dan foto polos abdomen dicurigai

adanya strangulasi. CT–Scan akan mempertunjukkan secara lebih teliti adanya

kelainan-kelainan dinding usus, mesenterikus, dan peritoneum. CT–Scan harus

dilakukan dengan memasukkan zat kontras kedalam pembuluh darah. Pada

pemeriksaan ini dapat diketahui derajat dan lokasi dari obstruksi.

d. USG

Pemeriksaan ini akan mempertunjukkan gambaran dan penyebab dari obstruksi.


e. Angiografi

Angiografi mesenterik superior telah digunakan untuk mendiagnosis adanya

herniasi internal, intussuscepsi, volvulus, malrotation, dan adhesi.

2. Pemeriksaan Laboratorium

Leukositosis mungkin menunjukkan adanya strangulasi, pada urinalisa mungkin

menunjukkan dehidrasi. Analisa gas darah dapat mengindikasikan asidosis atau

alkalosis metabolic. ( Brunner and Suddarth, 2002 )


8. Penatalaksanaan Medis

Penanganan gawat darurat yang dilakukan pada pasien dengan ileus obstruksi yaitu :

1. Stabilisasi ABCD, pastikan jalan napas bebas, pernapasan baik.

2. Berikan terapi cairan secara agresif

3. Membatasi makan dan minum pada pasien (pasien dipuasakan)

4. Jika distensi abdomen berlebihan, pipa nasogastrik dapat dipasang untuk


dekompresi

5. Jika ada, hentikan obat-obatan yang ileus


6. Ketidakseimbangan elektrolit dapat dikoreksi salah satunya dengan pemberian
cairan

7. Berikan antibiotik jika ada tanda-tanda infeksi

Pasien dengan obstruksi intestinal biasanya mengalami dehidrasi dan kekurangan

Natrium, Khlorida dan Kalium yang membutuhkan penggantian cairan intravena dengan

cairan salin isotonic seperti Ringer Laktat. Urin harus di monitor dengan pemasangan Foley

Kateter. Setelah urin adekuat, KCl harus ditambahkan pada cairan intravena bila

diperlukan. Pemeriksaan elektrolit serial, seperti halnya hematokrit dan leukosit, dilakukan

untuk menilai kekurangan cairan. Antibiotik spektrum luas diberikan untuk profilaksis atas

dasar temuan adanya translokasi bakteri pada ostruksi intestinal. (Evers, 2004)

Dekompresi

Pada pemberian resusitasi cairan intravena, hal lain yang juga penting untuk dilakukan

ialah pemasangan nasogastric tube. Pemasangan tube ini bertujuan untuk mengosongkan

lambung, mengurangi resiko terjadinya aspirasi pulmonal karena muntah dan

meminimalkan terjadinya distensi abdomen. Pasien dengan obstruksi parsial dapat diterapi

secara konservatif dengan resusitasi dan dekompresi saja. Penyembuhan gejala tanpa terapi

operatif dilaporkan sebesar 60 – 85% pada obstruksi parsial. (Evers, 2004)

Terapi Operatif

Secara umum, pasien dengan obstruksi intestinal komplit membutuhkan terapi

operatif. Pendekatan non – operatif pada beberapa pasien dengan obstruksi intestinal

komplit telah diusulkan, dengan alasan bahwa pemasangan tube intubasi yang lama tak

akan menimbulkan masalah yang didukung oleh tidak adanya tanda-tanda demam,
takikardia, nyeri tekan atau leukositosis. Namun harus disadari bahwa terapi non operatif

ini dilakulkan dengan berbagai resikonya seperti resiko terjadinya strangulasi pada daerah

obstruksi dan penundaan terapi pada strangulasi hingga setelah terjadinya injury akan

menyebabkan intestinal menjadi ireversibel. Penelitian retrospektif melaporkan bahwa

penundaan operasi 12 – 24 jam masih dalam batas aman namun meningkatkan resiko

terjadinya strangulasi.

Pasien dengan obstruksi intestinal sekunder karena adanya adhesi dapat diterapi

dengan melepaskan adhesi tersebut. Penatalaksanaan secara hati hati dalam pelepasan

adhesi tresebut untuk mencegah terjadinya trauma pada serosa dan untuk menghindari

enterotomi yang tidak perlu. Hernia incarcerata dapat dilakukan secara manual dari segmen

hernia dan dilakukan penutupan defek.

Penatalaksanaan pasien dengan obstruksi intestinal dan adanya riwayat keganasan

akan lebih rumit. Pada keadaan terminal dimana metastase telah menyebar, terapi non-

operatif, bila berhasil, merupakan jalan yang terbaik; walaupun hanya sebagian kecil kasus

obstruksi komplit dapat berhasil di terapi dengan non-operatif. Pada kasus ini, by pass

sederhana dapat memberikan hasil yang lebih baik baik daripada by pass yang panjang

dengan operasi yang rumit yang mungkin membutuhkan reseksi usus.

Pada saat dilakukan eksplorasi, terkadang susah untuk menilai viabilitas dari segmen

usus setelah strangulasi dilepaskan. Bila viabilitas usus masih meragukan, segmen tersebut

harus dilepaskan dan ditempatkan pada kondisi hangat, salin moistened sponge selama 15-

20 menit dan kemudian dilakukan penilaian kembali. Bila warna normalnya telah kembali

dan didapatkan adanya peristaltik, berarti segmen usus tersebut aman untuk dikembalikan.
Ke depannya dapat digunakan Doppler atau kontras intraoperatif untuk menilai viabilitas

usus.

Pada umumnya dikenal 4 macam (cara) tindakan bedah yang dikerjakan pada

obstruksi ileus.

1. Koreksi sederhana (simple correction).  Hal ini merupakan tindakan bedah sederhana

untuk membebaskan usus dari jepitan, misalnya pada hernia incarcerata non-strangulasi,

jepitan oleh streng/adhesi atau pada volvulus ringan.

2. Tindakan operatif by-pass. Membuat saluran usus baru yang "melewati" bagian usus

yang tersumbat, misalnya pada tumor intralurninal, Crohn disease, dan sebagainya.

3. Membuat fistula entero-cutaneus pada bagian proximal dari tempat obstruksi, misalnya

pada Ca stadium lanjut.

4. Melakukan reseksi usus yang tersumbat dan membuat anastomosis ujung-ujung usus

untuk mempertahankan kontinuitas lumen usus, misalnya pada carcinomacolon,

invaginasi strangulata, dan sebagainya

B. Konsep Asuhan Keperawatan Ileus Obstruktif

1. PENGKAJIAN

1) Primary Survey

Menurut Musliha (2010), Penilaian Awal yang dilakukan adalah ABC jika ada indikasi,

jika korban tidak berespon, maka segera buka dan bersihkan.

a. Airway

Membuka jalan nafas penggunakan menggunakan teknik head tilt chin lift

atau menengadahkan kepala dan mengangkat dagu, periksa adakah benda asing
yang mengakibatkan tertutupnya jalan nafas. Muntahan, makanan, darah atau

benda asing lainnya.

b. Breathing

Memeriksa pernapasan dengan cara “lihat, dengar, rasakan’, selanjutnya

pemeriksaan status respirasi klien. Jika pernafasan pasien cepat atau tidak

adekuat, maka berikan bantuan pernafasan.

c. Circulation

Dengan kontrol perdarahan, mengukur CRT

d. Disability

Kaji ulang tingkat kesadaran pasien dengan menggunakan GCS, tonus otot dan

cek pupil.

e. Exposure

Yang perlu diperhatikan dalam melakukan pemeriksaan pada pasien adalah 

mengekspos pasien hanya selama pemeriksaan eksternal. Setelah semua

pemeriksaan  telah selesai dilakukan, tutup pasien dengan selimut hangat dan jaga

privasi pasien, kecuali jika diperlukan pemeriksaan ulang (Thygerson, 2011).

2) Secondary Survey

a. Umum

Anoreksia dan malaise, demam, takikardia, diaforesis, pucat, kekakuan

abdomen, kegagalan untuk mengeluarkan fese atau flatus secara rectal,


peningkatan bising usus/ penurunan bising usus, retensi perkemihan dan

leukositosis.

b. Khusus:

1) Usus halus:

a) Nyeri abdomen seperti kolik / kram , peningkatan distensi.

b) Distensi ringan

c) Mual

d) Muntah: pada awal mengandung makanan tak dicerna dan kim,

selanjutnya muntah air dan mengandung empedu, hitam dan fekal

e) Dehidrasi

2) Usus Besar:

a) Ketidaknyamanan abdominal ringan

b) Distensi berat

c) Muntah fekal laten

d) Dehidrasi laten: asidosis jarang

c. Activity Daily Life

i. Nutrisi : Nutrisi terganggu karena adanya mual dan muntah

ii. Eliminasi : Klien mengalami konstipasi dan tidak bisa flatus karena

peristaltik usus menurun/ berhenti

iii. Istirahat : Tidak bisa tidur karena nyeri hebat, kembung dan

muntah.

iv. Aktivitas : Badan lemah dan klien dianjurkan untuk istirahat

dengan tirah baring sehingga terjadi keterbatasan aktivitas


v. Personal Hygiene : Klien tidak mampu merawat dirinya.

Pemeriksaan

d. Pemeriksaan fisik

Sistem Gastrointestinal : Tampak mengembang atau buncit, teraba keras,

adanya nyeri tekan, hipertimpani, bising usus > 12x/mnt, distensi abdomen. Pada

anamnesis obstruksi tinggi sering dapat ditemukan penyebab misalnya berupa

adhesi dalam perut karena pernah dioperasi atau terdapat hernia. Gejala umum

berupa syok,oliguri dan gangguan elektrolit. Selanjutnya ditemukan meteorismus

dan kelebihan cairan di usus, hiperperistaltis berkala berupa kolik yang disertai

mual dan muntah. Kolik tersebut terlihat pada inspeksi perut sebagai gerakan usus

atau kejang usus dan pada auskultasi sewaktu serangan kolik,hiperperistaltis

kedengaran jelas sebagai bunyi nada tinggi. Penderita tampak gelisah dan

menggeliat sewaktu kolik dan setelah satu dua kali defekasi tidak ada lagi flatus

atau defekasi.

Pemeriksaan dengan meraba dinding perut bertujuan untuk mencari adanya

nyeri tumpul dan pembengkakan atau massa yang abnormal. Gejala permulaan

pada obstruksi kolon adalah perubahan kebiasaan buang air besar terutama berupa

obstipasi dan kembung yang kadang disertai kolik pada perut bagian bawah. Pada

inspeksi diperhatikan pembesaran perut yang tidak pada tempatnya misalnya

pembesaran setempat karena peristaltis yang hebat sehingga terlihat gelombang

usus ataupun kontur usus pada dinding perut. Biasanya distensi terjadi pada

sekum dan kolon bagian proksimal karena bagian ini mudah membesar.
Dengan stetoskop, diperiksa suara normal dari usus yang berfungsi (bising

usus). Pada penyakit ini, bising usus mungkin terdengar sangat keras dan bernada

tinggi, atau tidak terdengar sama sekali.

2. DIAGNOSA

a. Nyeri akut berhubungan dengan agen cedera biologis (infeksi)

b. Disfungsi mobilitas gastrointestinal berhubungan dengan penurunan sirkulasi

gastrointestinal

c. Konstipasi berhubungan dengan penurunan motilitas gastrointestinal

d. Gangguan rasa nyaman berhubungan dengan gejala penyakit

e. Risiko ketidakseimbangan cairan elektrolit dibuktikan dengan gangguan mekanisme

pengaturan

3. INTERVENSI

No Diagnosa Keperawatan Standar Luaran ( SLKI ) Standar Intervensi ( SIKI )

1. Nyeri akut berhubungan Setelah dilakukan intervensi 1. Manajemen Nyeri

dengan agens cedera biologis keperawatan selama … x 2 jam - Identifikasi lokasi,

( infeksi) maka Tingkat Nyeri menurun dan karakteristik, durasi,

Kontrol Nyeri Meningkat dengan frekuensi, kualitas, intensitas

kriteria hasil: nyeri

- Identifikasi skala nyeri


1. Tingkat Nyeri
- Identifikasi respons nyeri
a. Keluhan nyeri menurun (5)
non verbal
b. Meringis menurun (5) - Berikan teknik non-

c. Gelisah menurun (5) farmakologis untuk

d. Frekuensi nadi membaik mengurangi nyeri

(5) - Fasilitasi istirahat dan tidur

e. Pola napas membaik (5) - Kolaborasi pemberian

f. Tekanan darah membaik analgesic jika perlu

(5)

2. Pemberian Analgesik

- Identifikasi karakteristik
2. Kontrol Nyeri
nyeri (mis. Pencetus, pereda,
a. Melaporkan nyeri
kualitas, lokasi, intensitas,
terkontrol meningkat (5)
frekuensi, durasi)
b. Kemampuan mengenali
- Identifikasi riwayat alergi
onset nyeri meningkat (5)
obat
c. Kemampuan mengenali
- Monitor tanda-tanda vital
penyebab nyeri meningkat
sebelum dan sesudah
(5)
pemberian analgetik
d. Kemampuan menggunakan
- Dokumentasikan respons
teknik non-farmakologis
terhadap efek analgesic dan
meningkat (5)
efek yang tidak diinginkan
e. Keluhan nyeri menurun (5)
- Jelaskan efek terapi dan efek
f. Penggunaan analgesic
samping obat
menurun (5)
- Kolaborasi pemberian dosis
dan jenis analgesic, sesuai

indikasi

No Diagnosa Keperawatan Standar Luaran ( SLKI ) Standar Intervensi ( SIKI )

2. Risiko disfungsi motilitas Setelah dilakukan intervensi 1. Edukasi Diet

gastrointestinal berhubungan keperawatan selama … x 2 jam a. Identifikasi kebiasaan pola

dengan penurunan sirkulasi maka Motilitas Gastrointestinal makan saat ini dan masa lalu

gastrointestinal Membaik dengan kriteria hasil: b. Informasikan makanan yang

diperbolehkan dan dilarang


1. Nyeri Kram Abdomen:
c. Informasikan kemungkinan
a. Mual menurun (1)
interaksi obat, jika perlu
b. Muntah menurun (1)
d. Anjurkan mempertahankan
c. Regurgitasi menurun (1)
posisi semi fowler (30-45o) 20-
d. Distensi abdomen menurun
30 menit setelah makan
(1)
e. Anjurkan mengganti bahan
e. Diare Menurun (1)
makanan sesuai dengan diet
2. Suara Peristaltik
yang diberikan
a. Pengosongan lambung
f. Anjurkan melakukan olahraga
meningkat (1)
sesuai toleransi
b. Flatus meningkat (1)
g. Rekomendasikan resep

makanan yang sesuai diet, jika

perlu.
No Diagnosa Keperawatan Standar Luaran ( SLKI ) Standar Intervensi ( SIKI )

3. Konstipasi berhubungan Setelah dilakukan intervensi 1. Manajemen Eliminasi Fekal

dengan penurunan motilitas keperawatan selama … x 2 jam a. Identifikasi masalah usus dan

gastrointestinal maka Eliminasi Fekal Membaik penggunaan obat pencahar

dengan kriteria hasil: b. Identifikasi pengobatan yang

berefek pada kondisi


1. Mengejan saat Defekasi :
gastrointestinal
a. Distensi abdomen menurun
c. Monitor buang air besar (mis.
(5)
Warna, frekuensi, konsistensi,
b. Teraba massa pada rektal
volume)
menurun (5)
d. Monitor tanda dan gejala
c. Nyeri abdomen menurun (5)
konstipasi
d. Kram abdomen menurun (5)
e. Berikan air hangat setelah
e. Keluhan defeokasi lama dan
makan
sulit menurun (5)
f. Sediakan makanan tinggi serat
f. Konsistensi feses membaik
g. Jelaskan jenis makanan yang
(5)
membantu meningkatkan
g. Frekuensi defekasi membaik
keteraturan peristaltic usus
(5)
h. Anjurkan mencatat warna,
h. Peristaltic usus membaik (5)
frekuensi, konsistensi, volume

feces

i. Anjurkan meningkatkan

aktivitas fisik, sesuai toleransi


j. Anjurkan mengkonsumsi

makanan yang mengandung

tinggi serat

k. Anjurkan meningatkan asupan

cairan, jika tidak ada

kontraindikasi

l. Kolaborasi pemberian obat

supositoria anal, jika perlu

No Diagnosa Keperawatan Standar Luaran ( SLKI ) Standar Intervensi ( SIKI )

4. Gangguan rasa nyaman Setelah dilakukan intervensi 1. Manajemen Nyeri

berhubungan dengan gejala keperawatan selama … x 2 jam a. Identifikasi local, karakteristik,

penyakit maka Status Kenyamanan durasi, frekuensi, kualitas,

Meningkat dengan kriteria hasil: intensitas nyeri

b. Identifikasi skala nyeri


1. Keluhan Tidak Nyaman :
c. Identifikasi respon nyeri non
a. Gelisah menurun (5)
verbal
b. Keluhan sulit tidur menurun
d. Identifikasi factor yang
(5)
memperberat dan memperingan
c. Lelah menurun (5)
nyeri
d. Merintih menurun (5)
e. Control lingkungan yang
e. Menangis menurun (5)
memperberat rasa nyeri
f. Pola tidur membaik (5)
(mis.suhu ruangan,
pencahayaan, kebisingan)

f. Fasilitasi istirahat dan tidur

2. Terapi Relaksasi

a. Identifikasi penurunan tingkat

energi, kemampuan

berkontraksi, atau gejala lain

yang menggangu kemampuan

kognitif

b. Identifikasi teknik relaksasi

yang efektif digunakan

c. Periksa ketegangan otot,

frekuensi nadi, TD, suhu tubuh

d. Ciptakan lingkungan tenang dan

tanpa gangguan dengan

pencahayaan dan suhu ruangan

yang nyaman, jika

memungkinkan

e. Gunakan pakaian longgar

f. Gunakan nada suara lembut

dengan irama lambat dan

berirama

g. Jelaskan dan demonstrasikan


latihan Teknik relaksasi

(mis.napas dalam, peregangan,

atau imajinasi terbimbing)

No Diagnosa Keperawatan Standar Luaran( SLKI ) Standar Intervensi ( SIKI )

5. Risiko Ketidakseimbangan Setelah dilakukan tindakan 1. Pemantauan elektrolit

elektrolit dibuktikan dengan keperawatan selama …. x 2 jam,


a. Identifikasi kemungkinan
gangguan mekanisme diharapkan Keseimbangan
penyebab ketidakseimbangan
pengaturan elektrolit meningkat, dengan
elektrolit
kriteria hasil :
b. Monitor kadar elektrolit

a. Serum natrium (5) serum

b. Serum kalium (5) c. Monitor mual.muntah, dan

c. Serum klorida (5) diare

d. Serum kalsium (5) d. Monitor kehilangan cairan,

e. Serum magnesium (5) jika perlu

f. Serum fosfor (5) e. Monitor tanda dan gejala

hypokalemia

f. Monitor tanda dan gejala

hyperkalemia
4. IMPLEMENTASI

Implementasi dilakukan sesuai dengan intervensi

5. EVALUASI

Evaluasi merupakan tahap akhir proses asuhan keperawatan. Pada tahap ini kita

melakukan penilaian akhir terhadap kondisi pasien dan disesuaikan dengan kriteria hasil

yang sebelumnya telah dibuat.


DAFTAR PUSTAKA

Brunner and Suddart. 2002. Buku Ajar Keperawatan. Edisi 3. Jakarta: EGC

Corwin, Mutaqin. 2003. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Medical Bedah. Jakarta: Salemba
Medica

Doengoes, Mailyn. E. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan. Edisi 3. Jakarta: EGC

Harjono, M. 2001. Ilmu Bedah. Jakarta : Erlangga.

Inayah, iin. 2004. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Medikal Bedah, 202. Jakarta: EGC

PPNI. 2016. Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia. PPNI: Jakarta.

PPNI. 2018. Standar Intervensi Keperawatan Indonesia. Dewan Pengurus Pusat PPNI: Jakarta
Selatan.

PPNI. 2019. Standar Luaran Keperawatan Indonesia Denifisi dan Kriteria Hasil Keperawatan.
Dewan Pengurus Pusat PPNI: Jakarta Selatan.

Subiston, D.C. 2001. Buku Ajar Bedah. Jakarta : EGC.

Anda mungkin juga menyukai