Anda di halaman 1dari 10

TERAPI AKTIVITAS KELOMPOK (TAK)

TERAPI KOGNITIF BERMAIN PUZZLE


PADA LANSIA DI WISMA DAHLIA

DI SUSUN OLEH :

1. I Gusti Lanang Ngurah Wiratawan 195140027


2. Nita Nurmalasari 195140018
3. Sri Wulan 195140017
4. Vindy Apriliani 195140006
5. Yani Nuryani Afifadila 195140015

PROGRAM STUDY PROFESI NERS


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS RESPATI INDONESIA
TA 2019/2020
1. LATAR BELAKANG

Lansia dapat dikatakan sebagai tahap akhir perkembangan pada daur kehidupan
manusia. Proses menjadi lansia merupakan proses alamiah yang dapat terjadi pada setiap
orang. Dimana keadaan yang ditandai oleh kegagalan seseorang untuk mempertahankan
keseimbangan terhadap kondisi stres fisiologis. Kegagalan ini berkaitan dengan
penurunan daya kemampuan untuk hidup serta peningkatan kepekaan secara individual.
Aspek yang juga mengalami penurunan secara degenerative adalah fungsi kognitif
(kecerdasan/pikiran).
Ada lansia yang tergolong sehat, dan ada pula yang mengidap penyakit kronis. Di
samping itu, sebagian lansia masih mampu mengurus diri sendiri, sementara sebagian
lansia sangat bergantung pada “belas kasihan” orang lain. Namun penuaan sangat
berpengaruh terhadap kesehatan, Demensia merupakan suatu istilah yang digunakan untuk
menggambarkan kerusakan fungsi kognitif pada seseorang yang bersifat progresif dan
biasanya dapat memngganggu aktivitas dalam kehidupan sehari-hari (Stanley and Beare,
2009). Beberapa tanda dan gejala demensia hampir tidak kelihatan dan tidak jelas, namun
tanda gejala secara umum yaitu bingung, mulai lupa, kehilangan kemampuan melakukan
kegiatan sehari-hari dan sering menyendiri (Anonim, 2010).
WHO memperkirakan tahun 2025 jumlah lansia di seluruh dunia akan mencapai
1,2 miliar orang yang akan terus bertambah hingga 2 miliar orang di tahun 2050. Data
WHO juga memperkirakan 75% populasi lansia di dunia pada tahun 2025 berada di negara
berkembang. Pada tahun 2010 jumlah lansia di Indonesia mencapai 18,1 juta orang.
Sementara itu Data Susenas BPS 2012 menunjukkan lansia di Indonesia sebesar 7,56% dari
total penduduk Indonesia (Wardhana, 2014). Di seluruh dunia, 35,6 juta orang memiliki
demensia, dengan lebih dari setengah (58 %) yang tinggal di negaranegara berpenghasilan
rendah dan menengah. Setiap tahun, ada 7,7 juta kasus baru. Jumlah ini akan berlipat ganda
pada 2030 dan lebih dari tiga kali lipat pada tahun 2050 (WHO, 2012). Berdasarkan data
Deklarasi Kyoto, tingkat prevalensi dan insidensi demensia di Indonesia menempati urutan
keempat setelah China, India, dan Jepang. Menurut data-data diatas prevalensi dan
insidensi demensia dapat diatasi dengan berbagai penatalaksanaan yaitu dengan
farmakologi dan non farmakologi.
Otak sangat mudah rusak akibat radikal bebas, karena bahan kimia berbahaya ini
mudah terserap oleh lemak sedangkan sebagian besar struktur otak adalah lemak sehingga
para penelti sepakat bahwa radikal bebas merupakan penyebab tanda-tanda penuaan.
Penuaan pada lansia menyebabkan terjadinya perubahan anatomi dan biokimiawi di
susunan saraf pusat yaitu berat otak akan menurun sebanyak sekitar 10% pada penuaan
antara umur 30-70 tahun. Pada proses penuaan otak, terjadi penurunan jumlah neuron
secara bertahap yang meliputi area girus temporal superior (merupakan area yang paling
cepat kehilangan neuron), girus presentralis dan area striata (Paretta, L. 2011).
Demensia biasanya dimulai secara perlahan dan makin lama makin parah,
sehingga keadaan ini pada mulanya tidak disadari. Penderita akan mengalami penurunan
dalam ingatan, kemampuan untuk mengingat waktu dan kemampuan untuk mengenali
orang, tempat dan benda. Penderita mengalami kesulitan dalam menemukan dan
menggunakan kata yang tepat dan dalam pemikiran abstrak (misalnya dalam pemakaian
angka). (Medicastore, 2012).
Demensia ini bila tidak ditangani bisa menimbulkan dampak bagi penderita
diantaranya terjadi perubahan perilaku pada lansia tersebut seperti melupakan dirinya
sendiri, memusuhi orang-orang disekitarnya, dan sering berkeluyuran pada malam hari
sehingga mudah hilang (Brooker, 2009;Carpenito, 2009). Jumlah penderita demensia
meningkat seiring dengan beberapa faktor dan angka harapan hidup yang meningkat pula.
Penatalaksanaan demensia dengan obat-obatan yang digunakan untuk menangani
demensia antara lain rivastigmin digunakan untuk terapi demensia ringan hingga
menengah, donezepin dan galantamin (BPOM, 2015).
Terapi aktifitas kelompok merupakan salah satu terapi modalitas yang dilakukan
perawat kepada kelompok lansia yang mempunyai masalah keperawatan yang sama.
Aktivitas diguanakan sebagai terapi dan kelompok diguanakan sebagai target asuhan. Di
dalam kelompok terjadi dinamika interaksi yang saling bergantung, saling membutuhkan
dan menjadi laboratorium tempat lansia melatih perilaku baru yang adaptif untuk
memperbaiki perilaku yang maladaptif.
Salah satu terapi aktivitas yang dapat melatih daya ingat dan melindungi diri dari
gejala demensia di masa usia lanjut yaitu dapat dengan menyusun puzzle. Puzzle
merupakan permainan yang membutuhkan kesabaran dan ketekunan dalam
merangkainya. Hal ini memberikan mereka kesempatan untuk bersosialisasi dengan satu
sama lain dan meningkatkan kemampuan fisik dan mental mereka pada waktu yang
sama. Puzzle dapat melatih otak khususnya otak kiri, menurut pusat pelatihan kognitif
Learning.
Puzzle adalah permainan yang dimainkan dengan tujuan menyusun gambar,
gambar diacak terlebih dahulu. Sehingga orang yang memainkannya mencoba
menyusunnya di dalam bingkai dengan menghubungkan potongan-potongan atau
kepingan gambar kecil sehingga menjadi gambar utuh. Selain itu puzzle juga dapat
digunakan untuk permainan edukasi karena dapat mengasah otak dan melatih kecepatan
pikiran dan tangan (Misbach, 2010). Pada lansia dengan demensia ditemukan adanya
kerusakan pada bagian otak yaitu terdapat kematian sel-sel di dalam otak dan kekurangan
suplai darah di otak. Kerusakn didalam otak tersebut yang dapt mengakibatkan gangguan
pada lansia.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Pillai et.all (2011) mengatakan bahwa
puzzle dengan jenis crossword puzzle dapat digunakan untuk memperlambat onset
penurunan fungsi kognitif pada lansia. Data sensus Amerika Serikat melaporkan bahwa
14-16% lansia yang melakukan crossword puzzle atau pun jenis lainnya dapat digunakan
untuk memperlambat onset demensia setidaknya seminggu 2x atau lebih.
Didapatkan hasil skoring pada WBS Dahlia terdapat wbs yang menderita
demensia yaitu sebanyak 12 orang dari 37 WBS. Sehubungan dengan permasalahan
tersebut kelompok tertarik untuk memberikan terapi aktifitas kelompok dengan
menyusun puzzle bagi penghuni wisma.

2. TUJUAN
a. Tujuan Umum
Setelah melakukan TAK Bermain puzzle diharapkan mampu melatih otak sehingga
dapat meningkatkan daya ingat pada lansia.

b. Tujuan Khusus
a) Klien dapat meningkatkan daya ingat
b) Klien dapat menyusun puzzle dengan tepat
c) Klien dapat meningkatkan interaksi dengan klien lain
d) Klien dapat meningkatkan kemampuan komunikasi dalam kelompok

3. SASARAN
a) Klien yang menderita Dimensia
b) Klien yang kooperatif.
c) Klien yang bersedia melakukan TAK

4. WAKTU DAN TEMPAT

1. Hari / Tanggal : Jumat, 15 November 2019


2. Tempat : si depan wisam dahlia
3. Waktu : pukul 10.00 WIB
4. Lama Kegiatan :
 Perkenalan dan pengarahan : (5 menit)
 Role Play (10 menit)
 Permainan dan diskusi (20 menit)
 Evaluasi (10 menit)
 Penutup (5 menit)
5. Jumlah peserta : 5 orang

5. PROSES SELEKSI

1) Berdasarkan kriteria klien yang telah di tetapkan


2) Berdasarkan informasi dan diskusi mengenai perilaku klien sehari-hari dan
kemungkinan dapat dilakukan terapi aktifitas kelompok pada klien tersebut dengan
perawat ruangan.
3) Melakukan kontrak dengan klien untuk mengikuti aktifitas yang akan dilaksanakan
serta menanyakan kesediannya.
4) Menetapkan bersama klien dan perawat ruangan tentang topik, waktu dan tempat.

6. METODE DAN MEDIA

1) Metode : Role Play Dan Diskusi.


2) Media : Puzzle
7. PENGORGANISASIAN

Leader : Yani Nuryani Afifadila


Co-leader : Nita Nurmalasari
Fasilitator : Sri Wulan Widyawati
Vindy Aprliani
Observer : I Gusti Lanang Ngurah Wiratawan

8. SKEMA RUANG TERAPI


1) Setting Tempat
 Klien dan terapis duduk dalam satu ruangan
 Lingkungan yang nyaman

Keterangan :
: Leader

: CO Leader

: Oma

: Fasilitator

: Observer

9. URAIAN
1) Leader : Yani Nuryani Afifadila
a. Membacakan tujuan dan peraturan kegiatan terapi aktivitas kelompok
sebelum kegiatan dimulai.
b. Mampu memotovasi anggota untuk aktif dalam kelompok dan
memperkenalkan dirinya.
c. Mampu memimpin terapi aktivitas kelompok dengan baik dan tertib.
d. Menetralisir bila ada masalah yang timbul dalam kelompok.
e. Menjelaskan permainan

2. Co-Leader : Nita Nurmalasari


a. Menyampaikan informasi dari fasilitator ke leader tentang aktivitas klien
b. Mengingatkan leader jika kegiatan menyimpang
c. Membantu Leader mengkoordinir permainan

3. Fasilitator : Sri Wulan Widyawati


Vindy Apriliani
a. Memfasilitasi klien yang kurang aktif
b. Beperan sebagai role play bagi klien selama kegiatan

4. Obsever : I Gusti Lanang Ngurah Wiratawan


a. Mengobservasi jalannya proses kegiatan
b. Mencata prilaku verbal dan non verbal klien selama kegiatan berlangsung.
c. Mengatur alur permainan (menghidupkan dan mematikan tape recorder).

10. RENCANA KEGIATAN


1) Perkenalan dan pengarahan
a. Mempersiapkan lingkungan : suasana tenang dan nyaman (tidak ribut)
b. Mempersiapkan tempat : pengaturan posisi tempat duduk, leader berdiri di
depan dan berkomunikasi dengan seluruh anggota kelompok
c. Mempersiapkan anggota kelompok : membuat kontrak kembali dengan
klien untuk mengikuti terapi aktivitas kelompok

2) Pembukaan
a. Leader memperkenalkan diri dengan menyebutkan nama, asal dan tempat
tinggal
b. Leader menjelaskan tujuan Terapi Aktivitas Kelompok
c. Membuat kontrak waktu dengan klien dan lamanya permainan
berlangsung
d. Leader menjelaskan peraturan kegiatan dalam kelompok antara lain : jika
klien ingin ke kamar mandi atau toilet harus minta izin kepada leader, bila
ingin menjawab pertanyaan klien diminta untuk mengacungkan tangan
dan diharapkan klien mengikuti kegiatan dari awal sanpai akhir.

3) Role Play
a. Leader mengajak klien memperkenalkan diri, dari berkeliling searah jarum
jam.
b. Terapis dan klien menggunakan papan nama.
c. Leader menjelaskan cara dan prosedur terapi aktivitas kelompok serta
lamanya kegiatan berlangsung kemudian leader memberi kesempatan
kepada peserta bila ada yang tidak jelas. Setelah itu fasilitator mulai
membagikan peralatan kepada peserta TAK, lalu leader dan fasilitator
menjelaskan dan memperagakan cara menyusun puzzle.
d. Leader memberikan arahan kepada wbs untuk mulai menyusun puzzle.
Selama proses bermain puzzle berjalan, seluruh terapis memperhatikan
peserta TAK dan membantu bila ada wbs yang mengalami kesulitan
dalam menyusun puzzle.
e. Memberikan pujian kepada wbs atas hasil yang dicapai.

11. EVALUASI PRE TAK

1) Evaluasi Struktur
a. Kelompok dan Lansia berada dalam posisi yang sesuai.
b. Media dan alat tersedia sesuai dengan perencanaan.
c. Peran dan tugas mahasiswa sesuai dengan perencanaan.

2) Evaluasi Proses
a. Pelaksanaan kegiatan sesuai dengan waktu yang direncanakan.
b. Leader menjelaskan aturan jalannya kegiatan dengan jelas.
c. Fasilitator menempatkan diri di sekitaran klien.
d. Observer menempatkan diri di tempat yang memungkinkan untuk dapat
mengawasi jalannya kegiatan.
e. Klien dapat mengikuti kegiatan dari awal sampai akhir.

3) Evaluasi Hasil
Setelah mengikuti Terapi Aktivitas Kelompok diharapkan :
a. Klien dapat merasa nyaman dan senang
b. Klien dapat menebak gambar
DAFTAR PUSTAKA

Azizah, Lilik M. (2011). Keperawatan Lanjut Usia. Yogyakata: Graha Ilmu.

Cahyo, A., 2011, Berbagai Cara Latihan Otak & Daya Ingat Dengan Menggunakan
Ragam Media Audio Visual, Jogjakarta : DIVA Press.Cipta.

Dyah (2015) Pengaruh Terapi Puzzle Terhadap Tingkat Demensia Lansia di Wilayah
Krapakan Caturharjo Pandak Bantul.

Misbach, Muzamil. 2010. Media Puzzle, (online), diakses 12 November 2019

Notoatmodjo. 2012. Metodologi Penelitian Kesehatan, Jakarta : Rineka Cipta

Anda mungkin juga menyukai