Anda di halaman 1dari 24

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi

Atresia jejunum adalah jenis obstruksi usus kecil yang jarang terjadi
pada bayi baru lahir. Pasien dengan kelainan ini dilahirkan dengan obstruksi
mekanis lengkap dari usus kecil proksimal. Obstruksi dapat disebabkan oleh
membran yang melintasi lumen usus (tipe 1) atau celah lengkap di usus (tipe 2
dan 3). Pada tipe 3b, selain celah, jejunum melipat salah satu arteri yang
mensuplai darah ke usus halus distal dan usus besar proksimal (arteri ileo-
kolika dan arteri marginal) sehingga usus menggulung sedemikian rupa
sehingga terlihat seperti kulit apel atau pohon Natal. (Cichon et al, 2022)

B. Etiologi

Meskipun banyak teori yang menerangkan terjadinya atresia intestinal,


tetapi teori yang paling diterima adalah gangguan pembuluh darah secara
lokal (localized vascular accident) dengan akibat iskemia dan nekrosis yang
bersifat steril kemudian segmen yang nekrosis ini diserap sehingga hilang satu
atau beberapa segmen. (Moh Adjie, 2011)

Atresia jejunum terjadi secara sporadis untuk alasan yang tidak


diketahui. Teori lain untuk menjelaskan apa yang terjadi adalah bahwa aliran
darah ke segmen usus terputus sehingga segmen yang terkena menghilang
meninggalkan celah di usus.

Ada beberapa bukti yang menunjukkan kemungkinan penyebab genetik,


terutama pada kasus atresia jejunum multipel (tipe 4). Teori ini didasarkan
pada laporan keluarga dengan lebih dari satu anak yang terkena dampak. Pola
pewarisan autosomal resesif telah diusulkan, tetapi tidak ada gen spesifik yang
ditemukan terkait dengan kondisi tersebut.

Faktor pasien dengan diagnosis berikut diyakini memiliki predisposisi


atresia jejunum: cystic fibrosis, gastroschisis, dan volvulus midgut antenatal.
Sekitar 10% dari mereka dengan atresia jejunum juga akan didiagnosis
dengan cystic fibrosis. Obat vasokonstriksi ibu, ibu yang merokok dan
penggunaan kokain ibu dapat berkontribusi untuk mengembangkan penyakit
(Cichon et al, 2022)

C. Klasifikasi

Berdasarkan klasifikasi Grosfield, atresia jejunoileal dibagi menjadi


empat. Klasifikasi ini mempunyai nilai prognosis dan nilai terapeutik karena
menekankan panjang usus yang hilang karena vaskularisasi abnormal, atresia
atau stenosis yang menyertai. Namun apapun klasifikasinya harus diingat
atresia multipel mencapai 30%.

Stenosis adalah penyempitan lumen tanpa adanya diskontinuitas dinding


usus ataupun defek mesenterium. Pada bagian yang mengalami stenosis
terdapat segmen yang keras dan pendek. Stenosis dapat tergolong tipe I bila
ada lubang pada web nya. Pada jenis ini panjang usus halus normal. (Moh
Adjie, 2011)

Berikut Klasifikasi Grosfield :

Atresia tipe I :

Obstruksi terjadi akibat sumbatan oleh web yang terdiri dari mukosa
dan submukosa, sementara muskularis dan serosanya normal. Pada inspeksi
gambaran usus normal, hanya bagian proksimal melebar dan distal web akan
kolaps. Dengan tekanan intralumen yang meningkat web dapat menggembung
ke segmen distal membentuk windsock. Seperti pada stenosis tidak ada
pemendekan panjang usus yang normal. (Heinz, 2006)

Atresia Tipe II

Bagian proksimal akan menggembung dan terdapat tali fibrosa yang


menghubungkan kedua ujung usus yang buntu. Distensi sisi proksimal dapat
mengakibatkan iskemia. Panjang total usus halus normal. Arteri mesenterika
yang memvaskularisasi masih intak. (Heinz, 2006)

Atresia Tipe III(a)

Jenis atresia yang paling sering ditemukan. Terdapat defek mesenterium,


kedua ujung usus terputus buntu. Bagian proksimal dapat terdilatasi, terpuntir
ataupun dapat mengalami perforasi. Panjang usus akan bervariasi (tetapi
umumnya kurang dari normal), tergantung berapa banyak resorpsi usus yang
terjadi intra uterin. (Heinz, 2006)

Atresia Tipe III (b)

Tipe Christmas tree atau apple peel mencakup atresia proksimal


jejunum, tidak adanya arteri mesenterika superior distal dari cabang arteri
kolika media, hilangnya sebagian besar panjang usus halus dan defek
mesenterium yang lebar. Bagian distal melingkar berbentuk heliks, melingkari
satu arteri yang berasal dari ileokolika atau arcade kolika dekstra. Terkadang
terdapat atresia tipe I atau II di bagian distalnya (15%). Malrotasi (mencapai
50%) mengikuti atresia tipe ini. (Heinz, 2006)
Tipe IV

Adalah kombinasi atresia tipe I sampai tipe III, sering bersifat genetik,
cedera vaskuler, peradangan intrauterine, atau kelainan pembentukan pada
fase embrio diduga berhubungan dengan atresia tipe ini. Defisiensi imunitas,
sering menyertai kelainan atresia multipel. (Heinz, 2006)

Stenosis Type I

Type II Type III(a)

Type III(b) Type IV

Gambar 1. Klasifikasi Grosfield Atresia Jejuno Ileal


D. Patofisiologi

Pertumbuhan normal dari midgut merupakan proses yang sangat


kompleks. Pada minggu ke 3 masa gestasi, midgut mulai terbentuk sebagai
struktur tubuler yang sederhana. Kemudian struktur ini mengalami elongasi,
herniasi dari cavum abdomen yang kemudian mengalami rotasi. Midgut
kemudian kembali ke cavum abdomen dan mengalami perkembangan fiksasi
dengan konfigurasi yang normal. Proliferasi epithelial yang cepat antara
minggu ke 5 hingga ke 8 dapat menyebabkan obliterasi transient pada lumen
intestinal. Pertumbuhan somatik berlanjut pada masa gestasi. Kebanyakan
pasien menunjukkan atresia yang komplit sedangkan kurang dari 10% dengan
stenosis atau web. Abnormalitas ini dapat terjadi di jejunum atau ileum.
(Milissa, 2005)
Pada tahun 1955 Louw dan Barnard mempresentasikan bahwa atresia
dari usus halus secara sekunder terjadi oklusi dari seluruh atau sebagian
pembuluh darah yang memvaskularisasi usus halus in utero, seperti arteri
mesenterika superior. Akibatnya terbentuk scar pada usus sehingga terbentuk
jaringan fibrosis atau dapat pula direabsorbsi secara total. (P. Stephen, 2000)
Adanya gangguan vaskularisasi pada usus halus menyebabkan
iskemia, nekrosis sehingga terjadi reabsorpsi pada segmen yang berkaitan.
Patologi lain yang seringkali ditemukan pada fetus intra uterin antara lain
intusussepsi, malrotasi dan volvulus midgut, oklusi thromboemboli, hernia
interna transmesenterik dan inkarserata, gastroskisis atau omphalocele yang
penyebabnya disebabkan oleh iskemia. Iskemia juga mempengaruhi struktur
serta fungsi dari usus. Abnormalitas histologi dan histokimia dapat
diobservasi pada 20 cm di superior dari bagian proximal atresia. Sedangkan
bagian distal yang tidak digunakan memiliki potensi fungsi yang normal.
(Heinz, 2006)
Gambar 2. Patofisiologi terjadinya atresia jejunoileal
Penelitian yang saat ini dikembangkan adalah untuk mengetahui adanya
abnormalitas fungsional pada intestinum yang mengalami atresia agar
penatalaksanaan pada pasien dapat lebih baik. Dismotilitas intestinal, adanya
gangguan fungsi enzim dan malabsorpsi banyak ditemukan pada pasien dengan
atresia. Keberhasilan penatalaksanaan dari abnormalitas ini merupakan cara untuk
mengurangi morbiditas dari pasien. (Milissa, 2005)

E. Diagnosis

Berbagai penelitian telah mengevaluasi perlunya melakukan pemeriksaan


prenatal sejak dini (setelah 18 minggu kehamilan) dan telah menunjukkan
manfaat diagnosis prenatal dengan pemkeriksaan awal, intervensi bedah segera,
dan komplikasi metabolik yang lebih sedikit (Ciftci I, 2012).
Kecurigaan atresia jejunum yaitu pada pasien dengan riwayat
polihidramnion dari hasil ultrasonografi prenatal, prematur, dan berat badan lahir
rendah. Gejala klinis yang dialami pasien diantaranya muntah bilosa, distensi
abdomen jika atresia pada distal jejunum/ileal, jaundice, ekskresi mekonium lebih
dari 24 jam, tanda-tanda dehidrasi (penurunan urin output, takikardi, subfebris,
iritabel, letargi hingga koma) (Gunawan et al., 2021a).

Tanda-tanda terkait atresia jejunum termasuk polihidroamnion maternal.


Bayi biasanya dirujuk ke ahli bedah anak dalam 24-48 jam pertama kehidupan
dengan muntah hijau, distensi abdomen, ikterus, dan gagal mengeluarkan
mekonium (70%). Bilious vomiting atau muntah bilosa (hijau) lebih sering terjadi
pada atresia jejunum. Distensi abdomen bagian atas mungkin terkait dengan
atresia jejunum proksimal (Gambar 1). Distensi parah mungkin terkait dengan
gangguan pernapasan karena elevasi diafragma. Diagnosis banding termasuk
penyakit mekonium, penyakit Hirschsprung, sindrom usus kecil kiri, malrotasi,
dan intususepsi. Kondisi yang terkait dengan atresia jejuno-ileal meliputi: atresia
usus lainnya (10-15%), penyakit Hirschsprung, atresia bilier, sindrom polisplenia
(situs inversus, anomali jantung, atresia bilier, atresia usus), dan kistik fibrosis
(10%) (Ciftci I, 2012).
Gambar 3. Distensi abdomen dan dinding abdomen kemerahan

Ultrasonografi prenatal pada ibu dengan polihidroamnion dan distensi


lambung dan duodenum dengan cairan ketuban yang tertelan dapat
mengidentifikasi adanya obstruksi pada jejunum dan usus kecil (Gambar 2).
Lingkar perut janin dapat membesar, dan diagnosis ultrasonografi didasarkan
pada demonstrasi dilatasi beberapa loop usus dengan diameter >7 mm dan
ketebalan dinding usus >3 mm, dengan peristaltik yang kuat, polihidramnion,
dan kasus perforasi usus, asites dan peritonitis mekonium. Peningkatan
ekogenisitas usus dapat juga hadir, terutama pada janin yang terkena cystic
fibrosis (Galani et al., 2021).

Pada janin dengan obstruksi jejunum, ada sejumlah kecil loop usus
yang melebar (Gambar 2), sementara beberapa loop usus yang melebar lebih
sering terjadi pada obstruksi ileum. Diagnosis prenatal ukuran usus yang
terkena atau adanya beberapa lesi memang sulit. Polihidramnion biasanya
terlihat pada kasus obstruksi jejunum (sekitar 50%) dan jarang pada kasus
dengan obstruksi lebih distal (Weledji et al., 2020).

Pada radiografi x-ray, bayangan gas dapat terlihat sampai tingkat


atresia dengan dilatasi usus proksimal. Tanda “three bubbles” atau “triple
bubble sign” biasanya terlihat pada foto polos abdomen posisi tegak setelah 4
jam pertama kehidupan. Penampilannya disebabkan oleh lambung dan
jejunum proksimal yang distensi serta dipenuhi gas. Obstruksi total akibat
atresia jejunum tampak gambaran patogonomonik triple bubble yaitu
dilatasi gaster, duodenum dan jejunum proksimal, tanpa adanya distribusi
gas usus di distalnya. Studi Malhotra A et al., menunjukkan 47% neonatus
dengan muntah bilosa memiliki temuan spesifik dari radiografi polos
sehingga pasien dilakukan operasi. Ini tidak seperti atresia ileum, dimana
gelembungnya lebih banyak, dan melebarnya loop usus mungkin sulit untuk
dibedakan dari kolon austral neonates (Gunawan et al., 2021).

Pada atresia jejunum, foto abdomen posisi erect (tegak) dan telentang
menunjukkan gambaran dilatasi loop-loop usus dengan air-fluid level
(Gambar 3). Atresia jejunum letak tinggi dapat muncul dengan sedikit air-
fluid level dan tidak ada gas lagi melebihi titik tersebut. Jika perforasi telah
terjadi, udara bebas dan/atau kalsifikasi peritoneum mungkin ada (12% kasus)
(Gambar 4). Barium enema menunjukkan usus besar (colon) yang kecil yang
tidak digunakan dan sering menunjukkan refluks kontras menjadi kolaps
ileum terminal. Gas usus distal menunjukkan stenosis atau membran usus
yang tidak lengkap (Ciftci I, 2012).

Biasanya tidak ada indikasi untuk melakukan studi kontras


gastrointestinal atas pada kasus obstruksi total. Studi kontras biasanya tidak
diperlukan dan dapat terjadi aspirasi bila dilakukan, kecuali pada obstruksi
parsial, pemeriksaan lanjutan dengan studi kontras contrast meal membantu
dalam memperlihatkan lokasi atresia yang spesifik dan menyingkirkan
diagnosa banding yang lain terkait tatalaksana yang berbeda (Suryaningrat &
Ariyanta, 2020).
Gambar 4. Gambaran USG maternal yang menunjukkan distensi loop usus pada usus
kecil.

Gambar 5. Dilatasi loop usus dengan air-fluid level pada radiogram abdomen.
Gambar 4. Udara bebas subdiafragma paada perforasi jejenum.

F. Penatalaksanaan

Pasien datang paling banyak dikarenakan adanya gejala ileus. Oleh


karena itu saat pasien pertama kali datang dilakukan dekompresi dengan NGT
no. 10Fr, resusitasi cairan, koreksi elektrolit. Cairan yang keluar lewat NGT
digantikan jumlah yang sama menggunakan Ringer Laktat. Pada keadaan
peritonitis dimasukkan cairan 20cc/kgBB dalam waktu 30 menit, sedangkan
pada kasus obstruksi tanpa disertai perforasi, cairan yang masuk ke rongga ke
3 diganti dengan 10cc/kgBB Ringer Laktat atau Ringer Asetat (Asering)
berdasarkan empiris. Target urin sebanyak 1-2 cc/kgBB/jam atau
40-50cc/kgBB/hari. Selanjutnya rumatan diberikan D10% dalam 0,24% atau
0,33% saline. Bila cairan hilang lebih dari 15% ( perkiraan volume cairan
tubuh 80cc/kgBB) maka diganti dengan PRC. (Moh Adjie, 2011)

Perhatian terhadap suhu tubuh dan mencegah terjadinya hipotermia.


Pemberian antibiotika berspektrum luas juga diberikan. Pemeriksaan darah
lengkap, elektrolit, bilirubin, analisa gas darah dan tipe golongan darah untuk
di cross match. Pemeriksaan lain untuk menemukan komorbid lain pada
anamnesa dan pemeriksaan fisik. Faktor-faktor komplikasi seperti
prematuritas dan penyakit jantung congenital harus dicatat untuk
mempersiapkan pre operatif. Setelah resusitasi yang benar dilakukan dan
diagnosis ditegakkan, direncanakan untuk dilakukan tindakan operasi.
(Milissa, 2005)

G. Teknik Operasi

Teknik operasi pada atresia intestinal tergantung dari lokasi lesi,


temuan anatomis, kondisi yang berhubungan dengan saat operasi, dan panjang
dari intestinal yang tersisa. Reseksi dari bagian usus proksimal yang
mengalami dilatasi dan hipertropi dengan anastomose primer end to end
dengan atau tanpa tapering pada bagian usus proksimal adalah teknik yang
paling banyak dilakukan. Teknik operasi pada atresia jejunoileal dapat
dilakukan dengan beberapa pendekatan. Ada yang menganjurkan dengan
teknik laparoskopi. Namun teknik ini seringkali menimbulkan kesulitan untuk
mengidentifikasi atresia karena untuk menentukan bagian yang mengalami
dilatasi pada cavum abdomen neonatus yang masih sempit. Oleh karena itu,
eksplorasi abdomen dilakukan dengan insisi vertikal pada midline dari
umbilicus. Usus halus kemudian dieksteriorisasi melalui insisi umbilical.
(Pablo, 2005)

Pada penelitian retrospektif dikatakan incisi circumumbilical pada


operasi neonatus sama efektif dengan incisi abdomen tranversal dengan angka
morbiditas yang rendah dan hasil kosmetik yang lebih baik. Incisi tranversal
baik supra maupun infraumbilical juga diperbolehkan. (Pablo, 2005)

Pasien diposisikan dalam supine. Cavum abdomen dibuka dengan


incisi supraumbilical dengan memotong musculus rectus abdominis.
Ligamentum teres dibagi diantara simpul. Eksplorasi dilakukan dengan
eksteriorisasi usus halus dari cavum abdomen dengan cara menekan dengan
gentle tepi luka dan usus halus dikeluarkan secara manual

. Langkah-langkah prosedur operasi antara lain :

1. Identifikasi tipe patologi dan kemungkinan etiologi

2. Konfirmasi patensi dari bagian distal usus halus dan colon dengan
injeksi saline (patensi colon dapat diketahui dengan kontras enema
sebelum operasi)

3. Reseksi pada proksimal dari ujung segmen atresia

4. Kurangi tindakan reseksi segmen distal

5. Pengukuran yang akurat panjang usus yang tersisa bagian


proksimal dan distal untuk dilakukan anastomose

6. Dekompresi gaster post operatif yang terbaik adalah dengan tube


Replogle dengan suction yang rendah dan terus menerus.
Dekompresi dengan Stamm gastrostomy ataupun transanastomose
feeding tubes tidak dianjurkan. (Heinz, 2006)

Patensi usus yang vital ditentukan karena menentukan rekonstruksi,


dan patensi distal dari atresia harus dievaluasi dengan menyuntikkan cairan
saline. Patensi kolon dipastikan sebelum operasi dengan kontras enema atau
pemasangan rectal tube. Bila total usus adekuat (> 80 cm dan terdapat valvula
bauhini) maka reseksi bagian proksimal yang menggelembung dilakukan
sampai diameternya normal untuk melakukan anastomosis tanpa tegangan
dengan segmen distalnya. Ujung dari usus yang dipotong dinilai
perdarahannya. Bagian atresia distal dipotong secara oblik pada sisi
antemesenterium. (Moh Ajie, 2011)
Insisi pada bagian antemesenterik di segmen distal akan membentuk
seperti "fish mouth" yang akan mempermudah enterotomy distal atau untuk
keperluan anastomosis. Teknik yang sama juga dilakukan pada stenosis dan
membrane jejunoileal. Prosedur seperti tranversal enteroplasty, eksisi
membrane, dan teknik bypass tidak direkomendasikan karena memiliki angka
kegagalan yang tinggi untuk membuang segmen abnormal dari usus dan akan
menyebabkan sindroma "blind loop". (Pablo, 2005)

Anastomosis dilakukan dengan menggunakan benang multifilament


nonabsorbable 5.0 simple interrupted. Pada kasus tertentu dimana anastomosis
langsung tidak dianjurkan misalnya atresia yang disertai dengan volvulus
dimana vaskularisasinya meragukan, peritonitis, pasien sudah masuk dalam
kondisi sepsis atau dehidrasi, dan atresia tipe IIIb. Ada beberapa pilihan
seperti cara Mikulicz kedua ujung usus dijadikan stoma double barrel, Bishop
-Koop (distal stoma), Santulli (proksimal stoma), dan rehbein tube. (Moh
Ajie, 2011)

Gambar 5. Injeksi normal saline ke bagian distal


Gambar 6. Rencana reseksi pada bagian proksimal dan distal

Gambar 7. Reseksi bagian proksimal dan distal

Gambar 8. Anastomose bagian proksimal dan distal sisi posterior


Gambar 9. Anastomose bagian proksimal dan distal sisi anterior

Gambar 10. Defek pada mesenterium di hechting

Pada reseksi segmen proksimal sangat panjang tapering atau plikasi


dari usus yang mengalami dilatasi dapat dilakukan. Jika reseksi, teknik
operasi lain yang dilakukan bila terdapat iskemia akibat dari atresia dengan
panjang usus yang tersisa pendek (< 80cm) dilakukan tapering. Indikasi lain
dari tapering :

1. Panjang usus yang dipreservasi dengan segmen proksimal dari


atresia mengalami gross dilatasi dan hipertropi - tipe IIIb dan
atresia jejunum panjang
2. Untuk menyamakan perbedaan ukuran lumen yang akan
dianastomosis

Tapering duodenojejunoplasty diindikasikan untuk mengkonversi


panjang dari usus (misalnya pada atresia jejunum tinggi tipe IIIb) dan untuk
mereduksi perbedaan diameter usus yang akan dianastomose. Jejuniduodenum
yang atresia diderotasi dan pada segmen antimesenterium pada bagian
proksimal direseksi sampai sesuai dengan ukuran kateter 22-24F. Reseksi
dapat diekstensikan ke arah proksimal sampai duodenum pars II. Alat stapler
digunakan untuk memfasilitasi reseksi dan anastomosis. (Heinz, 2006)

Teknik lain selain tapering adalah plikasi. Metode plikasi memiliki


keuntungan mengurangi resiko terjadinya kebocoran dari jahitan di
antemesenterium dan memfasilitasi kembalinya peristaltik usus. Lebih dari
setengah antimesenterium usus dilipat kearah lumen tanpa menyebabkan
obstruksi. (Heinz, 2006)
Gambar 11. Plikasi dan folding

Anastomose primer dikontraindikasikan pada kasus peritonitis,


volvulus dengan vascular compromise, meconeum ileus, dan tipe IIIb. Pada
kasus seperti ini, baik segmen proksimal maupun distal dari atresia
dieksteriorisasi. (Pablo, 2005)
Gambar 12. Tapering duodenojenoplasty

H. Faktor Prognosis

Panjang usus halus normal pada neonatus adalah 250cm. Pada


neonatus yang premature antara 160 - 240cm. Melakukan preservasi panjang
usus yang mengalami fungsi yang buruk untuk dilakukan anastomose
sebaiknya dihindarkan. (Pablo, 2005)
Gambar 13. Macam-macam stoma

Dikatakan sebelumnya ada beberapa kasus dimana tidak dapat


dilakukan anastomose langsung sehingga perlu dilakukan pembuatan stoma.
Macam-macam stoma yang dapat dilakukan antara lain double barrel, bishop-
koop, Santuli, dan Rehbein. Double barrel adalah stoma yang dibuat dengan
segmen proximal dan distal dikeluarkan. Segmen proximal berfungsi sebagai
diversi faeces sedangkan segmen distal untuk mengeluarkan mucus. Pada
stoma double barrel faeces yang berasal dari bagian proksimal bisa masuk ke
bagian distal. (Almoutaz, 2009)

Harry Bishop dan Everet Koop pada tahun 1957 memperkenalkan


teknik stoma dengan end to side anastomosis dari usus halus, dengan bagian
distal dari usus yang mengalami atresia yang dijadikan stoma. Sedangkan
Santulli dan Blanc pada tahun 1961 melakukan yang sebaliknya yaitu bagian
proksimal yang dijadikan stoma. Dengan enterostomy baik bishop koop
maupun santulli memiliki keuntungan dapat menjadi fungsi diversi dan pada
saat yang bersamaan bagian usus distal yang awalnya tidak digunakan dapat
dilewati intestinal contents. Sehingga bagian distal akan mengalami dilatasi
dan peningkatan fungsi secara gradual, selain itu sebagai early feeding
sehingga mengurangi kebutuhan akan kebutuhan energy parenteral.
(Almoutaz, 2009)

I. Perawatan Postoperatif

Nutrisi parenteral sangat dianjurkan dan harus dimulai segera dan


seharusnya dilanjutkan sampai bayi dapat mentorelansi dengan diet enteral
penuh. Enteral feeding dapat dimulai bila pada saat aspirasi gaster jernih,
output minimal dan bayi dapat BAB. Enteral feeding dimulai dengan
memberikan ASI atau formula dengan 20 cc/kg/hari. Kemudian kebutuhan
meningkat sampai 20 -30 cc/kgBB/hari. Intake oral dilakukan bila bayi sadar
penuh dan dapat mentoleransi minimal 8cc feeding tube per jam. (Pablo,
2005)

Adanya disfungsi GI sering muncul pada bayi dengan atresia


jejunoileal dan etiologinya adalah multifaktorial. Intoleransi lactose,
malabsorbsi (biasanya dikarenakan pertumbuhan bakteri yang berlebihan) dan
diare sering muncul pada kasus post operatif atresia tipe IIIb atau multiple
atresia. Loperamide hydrochloride dapat menurunkan aktivitas peristaltic
intestinal dan cholestyramis sangat efektif dalam mengikat garam empedu dan
jangan diberikan bila bayi diare. Pemberian Vitamin B12 dan asam folat
sangat dianjurkan terutama pada pasien tanpa ileum terminale untuk
mencegah terjadinya anemua megaloblastik. (Pablo, 2005)

Outcome fungsional tergantung dari beberapa factor : Lokasi atresia


(ileum lebih dapat beradaptasi dibandingkan dengan jejunum), maturitas dari
intestinal (pada bayi yang premature, intestinalnya masuh dalam proses
maturasi dan pertumbuhan), panjang dari usus halus. Valvula ileocaecal
adalah sangat penting untuk adaptasi intestinal secara cepat ketika sisa dari
usus halus sangat pendek. (Pablo, 2005)

J. Komplikasi

Beberapa komplikasi seperti perlengketan usus, obstruksi fungsional,


anastomosis dan striktur dapat terjadi. Komplikasi lain adalah akibat dari
stoma misalnya prolaps, nekrosis, herniaparastoma. Adhesi adalah komplikasi
yang seringkali terjadi pada operasi abdomen. Yang lebih sulit adalahg
obstruksi fungsional menetap dari anastomosis. Hal ini menyebabkan aliran
ynag tidak adekuat meskipun kaliber lumennya baik terutama dari bagian
proksimal yang dilatasi tidak dilakukan perbaikan (dengan tapering atau
plikasi sebelum anastomosis. Bila tidak menyebabkan compromise panjang
usus, reseksi bagian yang dilatasi sampai berdiameter normal sebelum
anastomosis sebaiknya dilakukan, namun bila hal ini tidak memungkinkan
plikasi atau tapering enteroplasti menjadi pilihan yang harus difikirkan.
Tapering enteroplasti dipertimbangkan bila bagian proksimal berdilatasi
sementara fungsi anastomosis tidak berjalan. Penyebab gangguan pasase lain
adalah atresia yang tidak diketahui. (Moh Ajie, 2011)

Lima persen dari atresia jejunoileal adalah multiple. Untuk


menghindari ini sebelum operasi dilakukan pemeriksaan kontras enema atau
intraoperasi normal saline disuntikkan ke dalam lumen usus dan dimilking ke
distal untuk menentukan patensi usus ke distal. (Moh Ajie, 2011)
DAFTAR PUSTAKA

Almoutaz A, 2009. Different Surgical Technique in Management of Small Intestinal


Atresia in High Risk Neonates. Annals of Pediatric Surgery.31-5

Fu Nan Cho, Tsung Lung Yang. 2004. Case Report Prenatal Sonographic Findings in
a Fetus with Congenital Isolated Ileal Atresia. J Chin Med. 366-68

Cichon, Gregory., Halama, Madeline., Dame, Notre., dan David E. Wesson. 2022.
Jejunal Atresia. https://rarediseases.org/rare-diseases/jejunal-atresia/ Diakses
7 Juni 2022

Ciftci, Ilham. Jejunal Atresia: How to Diagnose. Diagnostic and Therapeutic Study
2012; 1(3): 73 – 80.

Heinz Rode, 2006: Jejunoileal Atresia In Pediatric Surgery. New York. Springer.
213-28

Joel S., Graeme P. 2012. Atresias, Webs, and Duplications In Pediatric Practice
Gastroenterology. http:// accesspediatrics. mhmedical. com/ content .aspx?
bookid=524. 8 Desember 2014

Milissa A. McKee, 2005: Jejunoileal Atresia dalam Principles and Practice of


Pediatric Surgery, 4th Edition. New York. Lippincott Williams & Wilkins.
1242-50

Moh Ajie, 2011: Atresia Jejuno-ileal dalam Bedah Saluran Anak. Tangerang. Sap
Publish Indonesia.91-103

Pablo A, Daniel J, 2005: Duodenal and Intestinal Atresia and Stenosis dalam
Ashcrafts's Pediatric Surgery. New York. Lippincott Williams&Wilkins. 91-
156
P. Stephen Almond, 2000 : Atresia and Stenosis dalam Pediatric Surgery. New York.
Landes Bioscience. 265-77

Vikal C., Chandra S. 2010. Management of Jejunoileal atresias:an experience at


eastern Nepal. http:// www.biomedcentral.com/ 1471-2482/ 10/35. Diakses 7
Juni 2022

Galani, Apostolia., Athanasios Zikopoulos, Lampros Papandreou, Eirini Mastora,


Konstantinos Zikopoulos, dan George Makrydimas. 2021. Prenatal Diagnosis
of Fetal Jejunal Atresia: A Case Report. Cureus 13(10).

Gunawan, Listyani., Pande Putu Yuli Anandasari dan Putu Patriawan. Temuan
radiologi dalam kelainan kongenital atresia jejunum: serial kasus. Intisari
Sains Medis 2021. Volume 12, Number 3: 752-756.

Gunduz M., Cifttci I., etal. 2012: Unsusal Case of Jenunal Atresia: A Mixture of type
1A And Type IIIA. J Contemp Med; 2(3): 182-184

Suryaningrat, Anak Agung Adi dan Kadek Deddy Ariyanta. 2020. A jejunal atresia
type I in newborn: A case report. Intisari Sains Medis 2020, Volume 11,
Number 2: 634-637.

Weledji, Elroy P., Naiza Monono, dan Theophil Nana. 2020. Late Presentation of
Incomplete Jejunal Atresia. Journal of Pediatric Surgery Case Reports,
Volume 55.

Anda mungkin juga menyukai