CASE REPORT
Oleh :
Pembimbing :
dr. Ana Mursyida, M.Ked.Klin, Sp.KFR
Telah disetujui dan disahkan oleh bagian Program Pendidikan Profesi Fakultas
Kedokteran Universitas Muhammadiyah Surakarta
Pembimbing
dr. Ana Mursyida, M.Ked.Klin, Sp.KFR
(...........................................)
Dipresentasikan di hadapan
dr. Ana Mursyida, M.Ked.Klin, Sp.KFR
(...........................................)
ii
DAFTAR ISI
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 ANATOMI SARAF FASIALIS
Saraf fasialis merupakan saraf campuran yang terdiri dari 2 akar saraf, yaitu
akar motorik (lebih besar dan lebih medial) dan intermedius (lebih kecil dan lebih
lateral). Akar motorik berasal dari nukleus fasialis dan berfungsi membawa
serabut- serabut motorik ke otot- otot ekspresi wajah. Saraf intermedius yang
berasal dari nukleus salivatorius anterior, membawa serabut-serabut
parasimpatis ke kelenjar lakrimal, submandibular, dan sublingual. Saraf
intermedius juga membawa serabut- serabut aferen untuk pengecapan pada dua
pertiga depan lidah dan aferen somatik dari kanalis auditori eksterna dan pinna
(Monkhouse 2006).
Kedua akar saraf ini muncul dari pontomedullary junction dan berjalan
secara lateral melalui cerebellopontine angle bersama dengan saraf
vestibulocochlearis menuju meatus akustikus internus, yang memiliki panjang ±
1 centimeter (cm), dibungkus dalam periosteum danperineurium (Ronthal dkk,
2012; Berg 2009). Selanjutnya saraf memasuki kanalis fasialis. Kanalis fasialis
(fallopi memiliki panjang sekitar 33 milimeter (mm), dan terdiri dari 3 segmen
yang berurutan: labirin, timpani dan mastoid. Segmen labirin terletak antara
vestibula dan cochlea dan mengandung ganglion genikulatum. Karena kanal
paling sempit berada di segmen labirin ini (rata- rata diameter 0,68 mm), maka
setiap terjadi pembengkakan saraf, paling sering menyebabkan kompresi di daerah
ini. Pada ganglion genikulatum, muncul cabang yang terbesar dengan
jumlahnya yang sedikit yaitu saraf petrosal. Saraf petrosal meninggalkan ganglion
genikulatum, memasuki fossa cranial media secara ekstradural, dan masuk
kedalam foramen lacerum dan berjalan menuju ganglion pterigopalatina. Saraf ini
2
mendukung kelenjar lakrimal dan palatina (Ronthal dkk, 2012; Berg 2009).
Serabut saraf lainnya berjalan turun secara posterior di sepanjang dinding
medial dari kavum timpani (telinga tengah), dan memberikan percabangannya ke
musculus stapedius (melekat pada stapes). Lebih ke arah distal, terdapat
percabangan lainnya yaitu saraf korda timpani, yang terletak ± 6 mm diatas
foramen stylomastoideus. Saraf korda timpani merupakan cabang yang paling
besar dari saraf fasialis, berjalan melewati membran timpani, terpisah dari kavum
telinga tengah hanya oleh suatu membran mukosa. Saraf tersebut kemudian
berjalan ke anterior untuk bergabung dengan saraf lingualis dan didistribusikan ke
dua pertiga anterior lidah (Ronthal dkk, 2012; Monkhouse 2006).
2.3 EPIDEMIOLOGI
Bell’s palsy merupakan penyebab paralisis fasialis yang paling sering
ditemukan, yaitu sekitar 75% dan seluruh paralisis fasialis. Insiden bervariasi di
berbagai Negara di seluruh dunia. Perbedaan insidensi ini tergantung pada kondisi
geografis masing- masing negara. Insiden tahunan yang telah dilaporkan berkisar
11-40 kasus per 100.000 populasi. Puncak insiden terjadi antara dekade kedua dan
keempat (15- 45 tahun). Tidak dijumpai perbedaan prevalensi dalam jenis kelamin.
Insiden meningkat tiga kali lebih besar pada wanita hamil (45 kasus per 100.000).
Sebanyak 5-10% kasus Bell’s palsy adalah penderita diabetes mellitus. (Finsterer
2008; Monini dkk, 2010). Bell’s palsy jarang ditemukan pada anak- anak < 2 tahun.
Tidak ada perbedaan pada sisi kanan dan kiri wajah. Kadang- kadang paralisis
saraf fasialis bilateral dapat terjadi dengan prevalensi 0,3- 2% (Finsterer, 2008).
Resiko terjadinya rekurensi dilaporkan sekitar 8-12% kasus, dengan 36% pada
sisi yang sama dan 64% pada sisi yang berlawanan (Tiemstra dkk, 2007; Kanerva
2008).
2.4 ETIOLOGI
Penyebab adalah kelumpuhan n. fasialis perifer. Umumnya dapat
dikelompokkansebagai berikut (Djamil, 2009):
a. Idiopatik
Sampai sekarang belum diketahui secara pasti penyebabnya yang disebut bell’s
palsy. Faktor-faktor yang diduga berperan menyebabkan Bell’s Palsy antara lain
: sesudah bepergian jauh dengan kendaraan, tidur di tempat terbuka, tidur di
lantai, hipertensi, stres, hiperkolesterolemi, diabetes mellitus, penyakit vaskuler,
gangguan imunologik dan faktor genetik.
b. Kongenital
i. anomali kongenital (sindroma Moebius)
ii. trauma lahir (fraktur tengkorak, perdarahan intrakranial .dll.)
c. Didapat
i. Trauma Penyakit tulang tengkorak (osteomielitis)
ii. Proses intrakranial (tumor, radang, perdarahan dll)
iii. Proses di leher yang menekan daerah prosesus stilomastoideus)
iv. Infeksi tempat lain (otitis media, herpes zoster dll)
v. Sindroma paralisis n. fasialis familial
Banyak kontroversi mengenai etiologi dari Bell’s palsy, tetapi ada 4 teori
yangdihubungkan dengan etiologi Bell’s palsy yaitu :
1. Teori Iskemik vaskuler
Nervus fasialis dapat menjadi lumpuh secara tidak langsung karena gangguan
regulasisirkulasi darah di kanalis fasialis.
2. Teori infeksi virus
Virus yang dianggap paling banyak bertanggung jawab adalah Herpes Simplex
Virus(HSV), yang terjadi karena proses reaktivasi dari HSV (khususnya tipe 1).
3. Teori herediter
Bell’s palsy terjadi mungkin karena kanalis fasialis yang sempit pada keturunan
ataukeluarga tersebut, sehingga menyebabkan predisposisi untuk terjadinya paresis
fasialis.
4. Teori imunologi
Dikatakan bahwa Bell’s palsy terjadi akibat reaksi imunologi terhadap infeksi virus
yangtimbul sebelumnya atau sebelum pemberian imunisasi (Annsilva, 2010).
2.5 PATOFISIOLOGI
Para ahli menyebutkan bahwa pada Bell’s palsy terjadi proses
inflamasi akut pada nervus fasialis di daerah tulang temporal, di sekitar foramen
stilomastoideus. Bell’s palsy hampir selalu terjadi secara unilateral.
Patofisiologinya belum jelas, tetapi salah satu teori menyebutkan terjadinya proses
inflamasi pada nervus fasialis yang menyebabkan peningkatan diameter nervus
fasialis sehingga terjadi kompresi dari saraf tersebut pada saat melalui tulang
temporal.
Berdasarkan data terbaru, penyebab dugaan dapat karena reaktivasi infeksi
herpes virus laten dalam ganglion geniculatum, dan migrasi berikutnya ke N. VII.
HSV-1dan HZV mungkin merupakan penyebab, dengan HZV yang dianggap lebih
agresif karena ini menyebar sepanjang saraf melalui sel satelit (Holland NJ, 2004).
Data tersebut didukung dengan berhasilnya isolasi DNA HSV-1 dari cairan endoneural
N.facialis melalui PCR selama fase akut Bell’s palsy (Murakami S,1996).. N.facialis
membengkak dan mengalami inflamasi sebagai reaksi terhadap infeksi, yang
menyebabkan tekanan di dalam Canalis Fallopian dan menyebabkan iskemia (restriksi
darah dan oksigen menuju sel saraf). Dalam beberapa kasus ringan (dimana
penyembuhan berlangsung cepat), terdapat kerusakan hanya pada selubung myelin
saraf (NINDS, 2014). Sebagaimana disebutkan sebelumnya, literatur mendukung
inflamasi yang dimediasi HSV menyebabkan kompresi dan gambaran klinis facial
paralysis (Peitersen E,2002).
Bagian pertama dari canalis facialis, segmen labyrinthine, adalah yang paling
sempit; foramen meatus dalam segmen ini hanya mempunyai diameter 0,66 mm. Ini
adalah lokasi yang diduga paling sering terjadi kompresi N.facialis pada Bell palsy.
Karena sempitnya canalis facialis, ini nampaknya logis bahwa inflamasi,
demyelinasi, iskemia, atau proses kompresi mungkin mengganggu konduksi neural
pada tempat ini (Medscape, 2014).
Kerusakan pada N.facialis dalam Bell Palsy bersifat perifer terhadap nucleus
saraf. Lokasi kerusakan diduga dekat atau pada ganglion geniculatum. Jika lesi
proksimal dari ganglion geniculatum, paralysis motorik diikuti dengan abnormalitas
gustatory dan autonom. Lesi antara ganglion geniculatum dan awal chorda tympani
menyebabkan efek sama, namun tanpa gangguan lakrimasi. Jika lesi berada pada
foramen stylomastoideus, ini mungkin hanya menyebabkan paralisis wajah
(Medscape, 2014).
Nervu fasialis terjepit di dalam foramen stilomastoideus dan menimbulkan
kelupuhan fasialis LMN. Pada lesi LMN biasa terletak di pons, di sudut
serebelo-pontin, di os petrosum atau kavum timpani, di foramen
stilomastoideus dan pada cabang-cabang tepi nervus fasialis. Lesi di pons yang
terletak di daerah sekitar inti nervus abdusens dan fasikulus longitudinalis
medialis. Karena itu paralisis fasialis LMN tersebut akan disertai kelumpuhan
muskulus rektus lateralis atau gerakan melirik ke arahlesi. Selain itu, paralisis
nervus fasialis LMN akan timbul bersamaan dengan tuli perseptif ipsilateral
dan ageusia (tidak bisa mengecap dengan 2/3 bagian depan lidah). Berdasarkan
beberapa penelitian bahwa penyebab utama Bell’s palsy adalah reaktivasi virus
herpes (HSV tipe 1 dan virus herpes zoster) yang menyerang saraf kranialis.
Terutama virus herpes zoster karena virus ini menyebar ke saraf melalui sel satelit.
Pada radang herpes zoster di ganglion genikulatum, nervus fasialis bisa ikut
terlibat sehingga menimbulkan kelumpuhan fasialis LMN.
XI – XIII )
2.7 DIAGNOSIS
Anamnesa
o Perkembangan gejala (perjalanan penyakit dan gejala penyerta)
▪ Progresif paralisis>3 minggu harus dievaluasi untuk neoplasma
▪ Kehilangan pendengaran mendadak dan nyeri hebat
disertai paralisis wajah dapat disebabkanoleh Ramsay Hunt
Syndrome.
o Riwayat penyakit : stroke, tumor, trauma (yang menyebabkanparalisis)
Pemeriksaan
o Nervus fasialis
▪ Inspeksi
a. Kerutan dahi
b. Pejaman mata
c. Plika nasolabialis
d. Sudut mulut
▪ Motorik
b. Memejamkan mata
d. Mencucurkan bibir
e. Menggembungkan pipi
▪ Sensorik
a. Schirmer test
Digunakan untuk mengetahui fungsi produksi air mata.
Menggunakan kertas lakmus merah 5x50 mm dengan salah
satu ujung dilipat dan diselipkan di kantus medial kiri dan
kanan selama 5 menit dengan mata terpejam. Normal:
menjadi biru dan terjadi perembesan 20- 30 mm.
b. Pengecapan 2/3 anterior lidah
Menggunkan cairan Bornstein (4% glukosa, 1% asamsitrat,
2,5% sodium klorida, 0,075% quinine HCl).Pasien diminta
menjulurkan lidah kemudian dikeringkan dahulu baru
dilakukan tes denganmenggunakan lidi kapas. Rasa manis
pada ujung lidah, rasa asamdan asin pada samping lidah dan
rasa pahit pada belakang lidah. Setiap selesai pemeriksaan,
pasien berkumur dengan air hangat
c. Refleks stapedius
Memasang stetoskop pada telinga pasien kemudian
dilakukan pengetukan lembut pada diafragma stetoskop atau
denganmenggetarkan garpu tala 256Hz di dekat stetoskop.
Abnormal jika hiperakusis (suara lebih keras atau nyeri).
o Penunjang penunjang
Tidak ada yang spesifik untuk bell’s palsy, namun tes- tes berikut
dapatberguna untuk mengidentifikasi atau menyingkirkan penyakit
lain :
a. CBC
b. Glukosa darah, HbA1c
Untuk mengetahui adanya diabetes yang tidak terdiagnosa
(orang yang memiliki diabetes 29% lebih beresiko terkena
bell’s palsy)
c. Salivary flow test
Pemeriksa menempatkan kateter kecil pada kelenjar
submandibular yang paralisis dan normal, kemudian pasien
diminta menghisap lemon dan aliran saliva dibandingkan
antara kedua kelenjar. Sisi yang normal menjadi kontrol.
d. CT-Scan, MRI
CT-Scan digunakan apabila paresis menjadi progesif dan
tidak berkurang. MRI digunakan untuk menyingkirkan
kelainan lainnya yang menyebabkan paralisis atau untuk
melihat cerebellopontine angle. MRI pada pasien bell’s palsy
menunjukkan pembengkakan dan peningkatan yang merata
dari N.VII (N. Fasialis) dan ganglion genikulatum. MRI juga
dapat menunjukkan adanya pembengkakan N.VII yang
terjebak di tulang temporal dan tumor yang menekan N.VII
(schwannoma (tersering), hemangioma, meningioma).
Grading
Menurut House danBrackmann, bell’s palsy dikategorikan menjadi
Grade Deskripsi Umum Istirahat Gerakan
1 Normal Normal Normal Normal
Sedikit kelemahan
Asimetris ringan
terlihat pada
mulut dan dahi;
Disfungsi pemeriksaan dekat,
2 Normal menutup mata
Ringan dapat
keseluruhan dengan
memiliki sedikit
usaha
sinkinesis
minimal
Dahi : -
Mata: tidak
Disfungsi Kelemahan dan atau Tonus normal menutup sempurna
4 Cukup asimetrisnyata dan Mulut: asimetris
Berat simetris dengan usaha
maksimal
Dahi : -
Hanya gerak Mata: tidak
5 Disfungsi yang hampir Asimetris menutup sempurna
Berat tidak Nampak Mulut: sedikit
gerakan
Paralisis Tidak ada Tidak ada Tidak ada
6
Total gerakan gerakan gerakan
Sarcoidosis
Granuloma dari sarcoid mempunyai kecenderungan untuk mempengaruhi
n. facialis lebih daripada n. kranialis lainnya. Gejala akut diikuti demam,
pembesaran kelenjar parotis, dan uveitis. Meskipun jarang terjadi tetapi
merupakan karakteristik sarcoidosis.
Tumor
Tumor yang menekan n.facialis dapat menyebabkan facial palsy
(meningioma, cholesteatoma, dermoid, carotid body tumor). Permulaannya
tersembunyi dan semakin lama semakin memburuk.
Facial Palsy with Pontine Lesions
Dapat disebabkan oleh adanya infark, tumor. Biasanya diikuti dengan
acular abduction.
Melkersson-Rosenthal Syndrome
Merupakan gangguan yang langka dan penyebabnya tidak diketahui.
Ditandai dengan facial paralisis berulang yang akhirnya menetap, labial edema,
lipatan lidah. Dapat terjadi pada anak-anak dan dewasa.
Hemifacial Spasm
Idiopatik, melibatkan otot wajah disalah satu sisidan diikuti dengan
kontraksi yang tidak beraturan. Kebanyakan dialami oleh wanita dekadeke 5 & ke
6.Kekakuan biasanya dimulai dari m. Orbicularis oculi kemudian menjalar ke otot
lain disisi yang terkena.
Facial Hemiatrophy ( Parry-Romberg Syndrome)
Terjadi terutama pada wanita, ditandai dengan hilangnya lemak dari kulit
dan jaringan subkutan pada satu atau kedua sisi wajah. Dapat dimulai pada masa
remaja atau dewasa. Perjalanan penyakit lambat.
HIV infection
Beberapa individu dengan HIV mengalami unilateral atau bilateral
Bell’s palsy.
2.9 TERAPI
• Non-Medikamentosa
a. Penggunaan selotip untuk menutup kelopak mata saat tidur dan eye
patch untuk mencegah pengeringan pada kornea.
b. Fisikal terapi seperti facial massage dan latihan otot dapat mencegah
terjadinya kontraktur pada otot yang paralisa. Pemberian panas pada area
yang terpengaruh dapat mengurangi nyeri. Dianjurkan pada stadium akut.
Tujuan fisioterapi untuk mempertahankan tonus otot yang lumpuh. Cara
yang sering digunakan yaiut: mengurut/ massage otot wajah selama 5 menit
pagi-sore atau dengan faradisasi
• Medikamentosa
a. Kortikostreoid
Oral kortikosteroid sering diberikan untuk mencegah terjadinya inflamasi
saraf pada pasien dengan Bell’s palsy. Prednisone biasanya diberikan dengan
dosis 60-80 mg per hari selama 5 hari, dan di tappering off 5 hari selanjutnya.
Hal ini dapat memperpendek masa penyembuhan dan meningkatkan hasil
akhirnya.
b. Antivirus
• Rehabilitasi medik
Menurut WHO adalah semua tindakan yang ditujukan guna
mengurangi dampak cacat dan handicap serta meningkatkan kemampuan
penyandang cacat mencapai integritas social, tujuan rehabilitasi medik pada
Bell’s palsy adalah untuk mengurangi/mencegah paresis menjadi bertambah
dan membantu mengatasi problem sosial serta psikologinya agar penderita
tetap dapat melaksanakan aktivitas kegiatan sehari-hari. Program-program
yang diberikan adalah program fisioterapi, okupasi terapi, sosial medik,
psikologi dan ortotik prostetik.
• Program Fisioterapi
a. Pemanasan
- Pemanasan permukaan dengan infra red.
- Pemanasan dalam berupa Shortwave Diathermy atau Microwave
Diathermy.
• Stimulasi listrik
Latihan gerak volunteer (sadar) yang diberikan setelah fase akut, latihan
berupa mengangkat alis tahan 5 detik, mengerutkan dahi, menutup mata dan
mengangkat sudut mulut, tersenyum, bersiul/meniup (dilakukan didepan
cermin dengan konsentrasi penuh).
Pada dasarnya terapi disini memberikan latihan gerakan pada otot wajah.
Latihan diberikan dalam bentuk aktivitas sehari-hari atau dalam bentuk permainan.
Latihan dapat berupa latihan berkumur, latihan minum dengan menggunakan
sedotan, latihan meniup lilin, latihan menutup mata dan mengerutkan dahi di
depan cermin
Dapat dilakukan pemasangan “Y” plester dengan tujuan agar sudut mulut
yang sakit tidak jatuh. Dianjurkan agar plester diganti tiap 8 jam. Perlu
diperhatikan reaksi intoleransi kulit yang sering terjadi
• Program Psikologik
Untuk kasus-kasus tertentu dimana ada gangguan psikis amat menonjol, rasa
cemas sering menyertai penderita terutama pada penderita muda wanita atau
penderita yang mempunyai profesi yang mengharuskan ia séring tampil di depan
umum, maka bantuan seorang psikolog sangat diperlukan
◦ Tersenyum
◦ Mengatupkan bibir
◦ Mengerutkan hidung
◦ Mengerutkan dahi
◦ Menarik sudut mulut secara manual dengan telunjuk dan ibu jari
◦ Mengangkat alis secara manual dengan keempat jari panjang (selain ibu
jari)
2.9 KOMPLIKASI
Sekitar 2 dari 10 orang mengalami gangguan jangka panjang oleh sebab
Bell’s palsy,yang bisa menimbulkan hal-hal dibawah ini:
2.10 PROGNOSIS
A. IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn. W
Umur : 48 thn
Alamat : Selosari, Magetan
Pekerjaan : Polisi
Agama : Islam
Tanggal Pemeriksaan : 8 Maret 2022
B. ANAMNESIS
a. Keluhan Utama
Kelemahan pada wajah sisi kanan
23
- Hipertensi : diakui
- Diabetes : diakui
- Asam urat : disangkal
- Kolesterol : disangkal
- Riwayat penyakit ginjal : nefrolithiasis
e. Riwayat Psikologis
Tidak terganggu.
C. PEMERIKSAAN FISIK
a. Status Generalis
Tanggal Pemeriksaan 8 Maret 2022
Keadaan umum : Tampak sakit ringan
Kesedaran : Kompos Mentis
GCS : E4M6V5 = 15
Tanda Vital : Tekanan Darah : 158/90 mmHg
Nadi : 88 x/menit, reguler
Respirasi : 20 x/menit
Suhu : 36,5°C
BB : 74 kg
TB : 170 cm
BMI : 25.1 (overweight)
c. Pemeriksaan penunjang
Tidak dilakukan
d. Resume
- Pasien mengeluhkan kelemahan pada wajah sisi kanan sejak ±3 bulan yang
lalu
- Kesulitan dalam aktifitas sulit tersenyum, mengangkat alis, mecucu,
gerakan cuping hidung, mengunyah makanan & menutup mata kanan.
- Terdapat keterbatasan pada wajah sisi kanan
- Pasien mempunyai riwayat penyakit DM dan hipertensi
e. DIAGNOSIS
Diagnosa klinik : Bell’s Palsy
Diagnosa Etiologi : idiopatik
b. Psikologi
Assesment :
• Tidak Terganggu.
Program :
• Memberi dukungan pada penderita agar rajin mengikuti terapi dan
kontrol secara teratur. Memberi dukungan mental pada penderita
agar tidak cemas dengan penyakit yang diderita
c. Sosial Medik
Assesment :
• Biaya hidup sehari-hari cukup, biaya pengobatan ditanggung oleh
BPJS
Program :
• Memberi edukasi pada penderita dan keluarga mengenai penyakit
yang di derita dan memberi dukungan agar penderita rajin mengikuti
terapi.
d. Terapi Wicara
• Tidak diperlukan karena pasien masih dapat berkomunikasi dengan
baik.
e. Edukasi
• Latihan wajah yang dapat dilakukan minimal 2 – 3 kali sehari. Kualitas
latihan lebih utama daripada kuantitasnya, untuk itu lakukan sebaik
mungkin.
• Lanjutkan dengan gerakan-gerakan wajah tertentu yang dapat
merangsang otak untuk tetap memberi sinyal untuk menggerakkan otot-
otot wajah
• Kontrol ke poli rehabilitasi medik secara rutin
• Lakukan latihan di depan cermin, gerakan yang dilakukan berupa:
Tersenyum
Mencucurkan mulut kemudian bersiul
Mengatupkan bibir
Mengerutkan hidung
Mengerutkan dahi
Menarik sudut mulut secara manual dengan telunjuk dan ibu jari
Mengangkat alis secara manual dengan keempat jari panjang (selain ibu
jari)
Membuka dan menutup kelopak mata
h. PROGNOSIS
Qua ad vitam : dubia ad bonam
Qua ad sanationam : dubia ad bonam
Qua ad functionam : dubia ad bonam
BAB IV
KESIMPULAN
Gejala klinisnya yaitu mulut tampak moncong terlebih pada saat meringis,
kelopak mata tidak dapat dipejamkan (lagoftalmos), waktu penderita disuruh
menutup kelopak matanya maka bola mata tampak berputar ke atas (Bell
phenomen). Penderita tidak dapat bersiul atau meniup, apabila berkumur atau minum
maka air keluar melalui sisi mulut yang lumpuh.
Robby Tjandra Kartadinata, 2011, Rehabilitasi Medik Bell’s Palsy, Siaran RRI,
Instalasi Rehabilitasi Medik RSUP Dr. Kariadi Semarang
Handoko lowis, Maulana N Gaharu, 2012, Bell’s Palsy, Diagnosis dan Tata Laksana
di Pelayanan Primer, Artikel Pengembangan Pendidikan Keprofesian
Berkelanjutan, Departemen Saraf Rumah Sakit Jakarta Medical Center