Anda di halaman 1dari 35

TUGAS ILMIAH KEPANITERAAN KLINIK FK UMS

CASE REPORT

SEORANG LAKI LAKI USIA 48 TAHUN DENGAN BELL’S PALSY

Oleh :

Fajar Bagus Priawan J510215088


Qonita Rahmadiena J510215026
Nisa Mahmudah J510215020
Faricha Kurnia Illahi J510215013
Lydia Ekaputri Nuroctaviani J510215058
Novendra Maya Melinda J510215056

Pembimbing :
dr. Ana Mursyida, M.Ked.Klin, Sp.KFR

KEPANITRAAN KLINIK ILMU KEDOKTERAN FISIK DAN


REHABILITASI
RSUD DR SAYIDIMAN MAGETAN
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA
2022
HALAMAN PENGESAHAN
Tugas Ilmiah Kepaniteraan Klinik
CASE REPORT
Kepaniteraan Klinik Ilmu Kedokteran Fisik Dan Rehabilitasi
Prodi Profesi Dokter Fakultas Kedokteran
Universitas Muhammadiyah Surakarta
Judul : Seorang Laki Laki Usia 48 Tahun Dengan Bell’s Palsy

Disusun Oleh : Fajar Bagus Priawan J510215088


Qonita Rahmadiena J510215026
Nisa Mahmudah J510215020
Faricha Kurnia Illahi J510215013
Lydia Ekaputri Nuroctaviani J510215058
Novendra Maya Melinda J510215056

Telah disetujui dan disahkan oleh bagian Program Pendidikan Profesi Fakultas
Kedokteran Universitas Muhammadiyah Surakarta

Pembimbing
dr. Ana Mursyida, M.Ked.Klin, Sp.KFR
(...........................................)

Dipresentasikan di hadapan
dr. Ana Mursyida, M.Ked.Klin, Sp.KFR
(...........................................)

KEPANITRAAN KLINIK ILMU KEDOKTERAN FISIK DAN


REHABILITASI
RSUD DR SAYIDIMAN MAGETAN
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA
2022

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ......................................................... Error! Bookmark not defined.


HALAMAN PENGESAHAN ........................................... Error! Bookmark not defined.
DAFTAR ISI...................................................................... Error! Bookmark not defined.
BAB I PENDAHULUAN ................................................................................................... 1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ....................................................................................... 2
BAB III LAPORAN KASUS ........................................................................................... 23
BAB IV KESIMPULAN ................................................................................................. 33
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................................... 34
BAB I
PENDAHULUAN
Bell’s palsy merupakan kelemahan ataupun kelumpuhan saraf fasialis
perifer, bersifat akut, dan penyebabnya belum diketahui secara pasti (idiopatik).
Bell’s palsy ini pertama kali diperkenalkan pada tahun 1812 oleh Sir Charles Bell,
seorang peneliti scotlandia, yang mempelajari mengenai persarafan otot-otot wajah
(Kartadinata, 2011).
Insiden sindrom bell’s palsy ini berkisar 23 kasus per 100.000 orang setiap
tahunnya. Berdasarkan manifestasi klinisnya, terkadang masyarakat awam
mengganggap sindrom bell’s palsy sebagai serangan stroke atau yang berhubungan
dengan tumor sehingga perlu diketahui penerapan klinis sindrom bell’s palsy tanpa
melupakan diagnosa banding yang kemungkinan diperoleh dari klinis yang sama
(Gaharu, 2012)
Data yang dikumpulkan di 4 buah rumah sakit di Indonesia
diperoleh frekuensi Bell,s Palsy sebesar 19,55% dari seluruh kasus neuropati,
dan terbanyakterjadi pada usia 21-30 tahun. Penderita diabetes mempunyai
resiko 29% lebih tinggi. Bell,s Palsy mengenai laki-laki dan wanita dengan
perbandingan yang sama.. Pada kehamilan trisemester ketiga dan 2 minggu
pasca persalinan kemungkinan timbulnya, beberapa penderita didapatkan
riwayat terkena udara dingin, baik kendaraan dengan jendela terbuka, tidur
di lantai, atau bergadang sebelum menderita Bell,sPalsy (Suprayanti, 2008).
Masalah kecacatan yang ditimbulkan oleh Bell’s palsy cukup kompleks,
yaitu meliputi impairment (kelainan di tingkat organ) berupa ketidak-simetrisnya
wajah, kaku dan bahkan bisa berakibatnya terjadi kontraktur; disability /
ketidakmampuan (di tingkat individu) berupa keterbatasan dalam aktivitas sehari-
hari dan handicap (di tingkat lingkungan) berupa keterkaitan dalam profesi terutama
di bidang entertainment, dan masalah selanjutnya dari segi psikologis penderita.

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 ANATOMI SARAF FASIALIS
Saraf fasialis merupakan saraf campuran yang terdiri dari 2 akar saraf, yaitu
akar motorik (lebih besar dan lebih medial) dan intermedius (lebih kecil dan lebih
lateral). Akar motorik berasal dari nukleus fasialis dan berfungsi membawa
serabut- serabut motorik ke otot- otot ekspresi wajah. Saraf intermedius yang
berasal dari nukleus salivatorius anterior, membawa serabut-serabut
parasimpatis ke kelenjar lakrimal, submandibular, dan sublingual. Saraf
intermedius juga membawa serabut- serabut aferen untuk pengecapan pada dua
pertiga depan lidah dan aferen somatik dari kanalis auditori eksterna dan pinna
(Monkhouse 2006).
Kedua akar saraf ini muncul dari pontomedullary junction dan berjalan
secara lateral melalui cerebellopontine angle bersama dengan saraf
vestibulocochlearis menuju meatus akustikus internus, yang memiliki panjang ±
1 centimeter (cm), dibungkus dalam periosteum danperineurium (Ronthal dkk,
2012; Berg 2009). Selanjutnya saraf memasuki kanalis fasialis. Kanalis fasialis
(fallopi memiliki panjang sekitar 33 milimeter (mm), dan terdiri dari 3 segmen
yang berurutan: labirin, timpani dan mastoid. Segmen labirin terletak antara
vestibula dan cochlea dan mengandung ganglion genikulatum. Karena kanal
paling sempit berada di segmen labirin ini (rata- rata diameter 0,68 mm), maka
setiap terjadi pembengkakan saraf, paling sering menyebabkan kompresi di daerah
ini. Pada ganglion genikulatum, muncul cabang yang terbesar dengan
jumlahnya yang sedikit yaitu saraf petrosal. Saraf petrosal meninggalkan ganglion
genikulatum, memasuki fossa cranial media secara ekstradural, dan masuk
kedalam foramen lacerum dan berjalan menuju ganglion pterigopalatina. Saraf ini

2
mendukung kelenjar lakrimal dan palatina (Ronthal dkk, 2012; Berg 2009).
Serabut saraf lainnya berjalan turun secara posterior di sepanjang dinding
medial dari kavum timpani (telinga tengah), dan memberikan percabangannya ke
musculus stapedius (melekat pada stapes). Lebih ke arah distal, terdapat
percabangan lainnya yaitu saraf korda timpani, yang terletak ± 6 mm diatas
foramen stylomastoideus. Saraf korda timpani merupakan cabang yang paling
besar dari saraf fasialis, berjalan melewati membran timpani, terpisah dari kavum
telinga tengah hanya oleh suatu membran mukosa. Saraf tersebut kemudian
berjalan ke anterior untuk bergabung dengan saraf lingualis dan didistribusikan ke
dua pertiga anterior lidah (Ronthal dkk, 2012; Monkhouse 2006).

Gambar 1. Perjalanan nervus fasialis

Korda timpani mengandung serabut- serabut sekretomotorik ke kelenjar


sublingual dan submandibularis, dan serabut aferen viseral untuk pengecapan,
Badan sel dari neuron gustatori unipolar terletak didalam ganglion genikulatum,
dan berjalan malalui saraf intermedius ke traktus solitarius (Ronthaldkk, 2012;
Monkhouse 2006).

Setelah keluar dari foramen stylomastoideus, saraf fasialis membentuk


cabang kecil ke auricular posterior (mempersarafi m.occipitalis dan m.
stylohoideus dan sensasi kutaneus pada kulit dari meatus auditori eksterna) dan ke
anterolateral menuju ke kelenjar parotid. Di kelenjar parotid, saraf fasialis
kemudian bercabang menjadi 5 kelompok (pes anserinus) yaitu temporal,
zygomaticus, buccal, marginal mandibular dan cervical. Kelima kelompok
sarafini terdapat pada bagian superior dari kelenjar parotid, dan mempersarafi dot-
otot ekspresi wajah, diantaranya m. orbicularis oculi, orbicularis oris, m.
buccinatordan m. Platysma (Ronthaldkk, 2012; Berg 2009; Monkhouse 2006).

Gambar 2. Inervasi saraf fasialis


Gambar 3. Saraf intermedius dan koneksinya
2.2 DEFINISI
Bell’s palsy adalah kelumpuhan fasialis perifer akibat proses non-supuratif,
non- neoplasmatik, non-degeneratif primer namun sangat mungkin akibat edema
jinak pada bagian nervus fasialis di foramen stilomastoideus atau sedikit proksimal
dari foramen tersebut, yang mulainya akut dan dapat sembuh sendiri tanpa
pengobatan (Priguna, 2010).

2.3 EPIDEMIOLOGI
Bell’s palsy merupakan penyebab paralisis fasialis yang paling sering
ditemukan, yaitu sekitar 75% dan seluruh paralisis fasialis. Insiden bervariasi di
berbagai Negara di seluruh dunia. Perbedaan insidensi ini tergantung pada kondisi
geografis masing- masing negara. Insiden tahunan yang telah dilaporkan berkisar
11-40 kasus per 100.000 populasi. Puncak insiden terjadi antara dekade kedua dan
keempat (15- 45 tahun). Tidak dijumpai perbedaan prevalensi dalam jenis kelamin.
Insiden meningkat tiga kali lebih besar pada wanita hamil (45 kasus per 100.000).
Sebanyak 5-10% kasus Bell’s palsy adalah penderita diabetes mellitus. (Finsterer
2008; Monini dkk, 2010). Bell’s palsy jarang ditemukan pada anak- anak < 2 tahun.
Tidak ada perbedaan pada sisi kanan dan kiri wajah. Kadang- kadang paralisis
saraf fasialis bilateral dapat terjadi dengan prevalensi 0,3- 2% (Finsterer, 2008).
Resiko terjadinya rekurensi dilaporkan sekitar 8-12% kasus, dengan 36% pada
sisi yang sama dan 64% pada sisi yang berlawanan (Tiemstra dkk, 2007; Kanerva
2008).

2.4 ETIOLOGI
Penyebab adalah kelumpuhan n. fasialis perifer. Umumnya dapat
dikelompokkansebagai berikut (Djamil, 2009):
a. Idiopatik
Sampai sekarang belum diketahui secara pasti penyebabnya yang disebut bell’s
palsy. Faktor-faktor yang diduga berperan menyebabkan Bell’s Palsy antara lain
: sesudah bepergian jauh dengan kendaraan, tidur di tempat terbuka, tidur di
lantai, hipertensi, stres, hiperkolesterolemi, diabetes mellitus, penyakit vaskuler,
gangguan imunologik dan faktor genetik.
b. Kongenital
i. anomali kongenital (sindroma Moebius)
ii. trauma lahir (fraktur tengkorak, perdarahan intrakranial .dll.)
c. Didapat
i. Trauma Penyakit tulang tengkorak (osteomielitis)
ii. Proses intrakranial (tumor, radang, perdarahan dll)
iii. Proses di leher yang menekan daerah prosesus stilomastoideus)
iv. Infeksi tempat lain (otitis media, herpes zoster dll)
v. Sindroma paralisis n. fasialis familial

Banyak kontroversi mengenai etiologi dari Bell’s palsy, tetapi ada 4 teori
yangdihubungkan dengan etiologi Bell’s palsy yaitu :
1. Teori Iskemik vaskuler

Nervus fasialis dapat menjadi lumpuh secara tidak langsung karena gangguan
regulasisirkulasi darah di kanalis fasialis.
2. Teori infeksi virus

Virus yang dianggap paling banyak bertanggung jawab adalah Herpes Simplex
Virus(HSV), yang terjadi karena proses reaktivasi dari HSV (khususnya tipe 1).
3. Teori herediter

Bell’s palsy terjadi mungkin karena kanalis fasialis yang sempit pada keturunan
ataukeluarga tersebut, sehingga menyebabkan predisposisi untuk terjadinya paresis
fasialis.
4. Teori imunologi

Dikatakan bahwa Bell’s palsy terjadi akibat reaksi imunologi terhadap infeksi virus
yangtimbul sebelumnya atau sebelum pemberian imunisasi (Annsilva, 2010).

2.5 PATOFISIOLOGI
Para ahli menyebutkan bahwa pada Bell’s palsy terjadi proses
inflamasi akut pada nervus fasialis di daerah tulang temporal, di sekitar foramen
stilomastoideus. Bell’s palsy hampir selalu terjadi secara unilateral.
Patofisiologinya belum jelas, tetapi salah satu teori menyebutkan terjadinya proses
inflamasi pada nervus fasialis yang menyebabkan peningkatan diameter nervus
fasialis sehingga terjadi kompresi dari saraf tersebut pada saat melalui tulang
temporal.
Berdasarkan data terbaru, penyebab dugaan dapat karena reaktivasi infeksi
herpes virus laten dalam ganglion geniculatum, dan migrasi berikutnya ke N. VII.
HSV-1dan HZV mungkin merupakan penyebab, dengan HZV yang dianggap lebih
agresif karena ini menyebar sepanjang saraf melalui sel satelit (Holland NJ, 2004).
Data tersebut didukung dengan berhasilnya isolasi DNA HSV-1 dari cairan endoneural
N.facialis melalui PCR selama fase akut Bell’s palsy (Murakami S,1996).. N.facialis
membengkak dan mengalami inflamasi sebagai reaksi terhadap infeksi, yang
menyebabkan tekanan di dalam Canalis Fallopian dan menyebabkan iskemia (restriksi
darah dan oksigen menuju sel saraf). Dalam beberapa kasus ringan (dimana
penyembuhan berlangsung cepat), terdapat kerusakan hanya pada selubung myelin
saraf (NINDS, 2014). Sebagaimana disebutkan sebelumnya, literatur mendukung
inflamasi yang dimediasi HSV menyebabkan kompresi dan gambaran klinis facial
paralysis (Peitersen E,2002).

Patofisiologi pasti Bell’s palsy masih diperdebatkan. Perjalanan N.facialis


melalui bagian os temporalis umumnya disebut sebagai facial canal. Sebuah teori
populer menduga edema dan ischemia berasal dari kompresi N.facialis di dalam kanal
tulang ini. Penyebab edema dan iskemia masih belum diketahui. Kompresi ini telah
nampak dalam scan MRI dengan fokus N.facialis (Seok JI, 2008)

Bagian pertama dari canalis facialis, segmen labyrinthine, adalah yang paling
sempit; foramen meatus dalam segmen ini hanya mempunyai diameter 0,66 mm. Ini
adalah lokasi yang diduga paling sering terjadi kompresi N.facialis pada Bell palsy.
Karena sempitnya canalis facialis, ini nampaknya logis bahwa inflamasi,
demyelinasi, iskemia, atau proses kompresi mungkin mengganggu konduksi neural
pada tempat ini (Medscape, 2014).

Kerusakan pada N.facialis dalam Bell Palsy bersifat perifer terhadap nucleus
saraf. Lokasi kerusakan diduga dekat atau pada ganglion geniculatum. Jika lesi
proksimal dari ganglion geniculatum, paralysis motorik diikuti dengan abnormalitas
gustatory dan autonom. Lesi antara ganglion geniculatum dan awal chorda tympani
menyebabkan efek sama, namun tanpa gangguan lakrimasi. Jika lesi berada pada
foramen stylomastoideus, ini mungkin hanya menyebabkan paralisis wajah
(Medscape, 2014).
Nervu fasialis terjepit di dalam foramen stilomastoideus dan menimbulkan
kelupuhan fasialis LMN. Pada lesi LMN biasa terletak di pons, di sudut
serebelo-pontin, di os petrosum atau kavum timpani, di foramen
stilomastoideus dan pada cabang-cabang tepi nervus fasialis. Lesi di pons yang
terletak di daerah sekitar inti nervus abdusens dan fasikulus longitudinalis
medialis. Karena itu paralisis fasialis LMN tersebut akan disertai kelumpuhan
muskulus rektus lateralis atau gerakan melirik ke arahlesi. Selain itu, paralisis
nervus fasialis LMN akan timbul bersamaan dengan tuli perseptif ipsilateral
dan ageusia (tidak bisa mengecap dengan 2/3 bagian depan lidah). Berdasarkan
beberapa penelitian bahwa penyebab utama Bell’s palsy adalah reaktivasi virus
herpes (HSV tipe 1 dan virus herpes zoster) yang menyerang saraf kranialis.
Terutama virus herpes zoster karena virus ini menyebar ke saraf melalui sel satelit.
Pada radang herpes zoster di ganglion genikulatum, nervus fasialis bisa ikut
terlibat sehingga menimbulkan kelumpuhan fasialis LMN.

Gambar 4. Perjalana lesi nervus facialis


Gambar 5. Perbedaan lesi nervus facialis dan lesi supranuclear

2.6 TANDA DAN GEJALA


Onset Bell’s palsy adalah akut, sekitar satu - setengah dari kasus mencapai
kelumpuhan maksimum dalam 48 jam dan hampir semua berjalan dalam waktu 5 hari.
Nyeri di belakang telinga bisa mendahului kelumpuhan selama satu atau dua hari dan
dalam beberapa pasien cukup intens dan terus-menerus.
Gejala dan tanda klinik yang berhubungan dengan lokasi lesi, secara
anatomis dari arah perifer ke sentral bila menggangguan dapat terjadi

a. Di luar foramen stylomastoideum

- Mulut perot, makanan terkumpul antara pipi dan gusi


- Rasa pada muka menghilang
- Tidak dapat bersiul, menutup mata maupun mengerutkan dahi
- Air mata terus keluar bila mata tidak dilindungi
- Bentuk kelumpuhan lower motor neuron
b. Di dalam canalis facialis dan mengenai n. chorda tympani
- Akan terjadi seperti pada A
- Terdapat kehilangan rasa pengecap pada 2/3 anterior lidah
- Produksi saliva pada fihak yang lumpuh akan berkurang
c. Lebih tinggi lagi dalam canalis facialis dan mengenai n.stapedius
- Seperti A dan B
- Terhadap hiperacusis
d. Lebih tinggi lagi dan mengenai ganglion geniculatum
- Gejala dan tanda klinik seperti A, B, C
- Biasanya akut
- Rasa nyeri dibelakang dan di dalam telinga

- Biasanya didahului dengan herpes di membrane tympani dan


concha.

Ramsay Hunt syndrome adalah Bell’s palsy dengan herpes zoster di


ganglion geniculatum, di mana proses herpesnya tampak padamembrane tympani,
meatus acusticus externus dan pina
e. Di dalam meatus acusticus internus

- Gejala dan tanda klinik seperti A, B, C, D

- Terjadi gejala Bell’s palsy denga nada


ketulian (n. VIII terkena)

f. Di tempat n.VII keluar dari pons misalnya karena meningitis’


- Biasanya akan terjadi gejala-gejala Bell’s palsy
seperti di atas disertai gejala-gejala gangguan nervi
cranialis yang lain ( n.V- n. VIII – n. VI –

XI – XIII )
2.7 DIAGNOSIS

Anamnesa
o Perkembangan gejala (perjalanan penyakit dan gejala penyerta)
▪ Progresif paralisis>3 minggu harus dievaluasi untuk neoplasma
▪ Kehilangan pendengaran mendadak dan nyeri hebat
disertai paralisis wajah dapat disebabkanoleh Ramsay Hunt
Syndrome.
o Riwayat penyakit : stroke, tumor, trauma (yang menyebabkanparalisis)
Pemeriksaan
o Nervus fasialis
▪ Inspeksi
a. Kerutan dahi

b. Pejaman mata

c. Plika nasolabialis

d. Sudut mulut

▪ Motorik

a. Mengangkat alis dan mengererutkan dahi

b. Memejamkan mata

c. Menyeringai (menunjukkan gigi geligi)

d. Mencucurkan bibir

e. Menggembungkan pipi

▪ Sensorik
a. Schirmer test
Digunakan untuk mengetahui fungsi produksi air mata.
Menggunakan kertas lakmus merah 5x50 mm dengan salah
satu ujung dilipat dan diselipkan di kantus medial kiri dan
kanan selama 5 menit dengan mata terpejam. Normal:
menjadi biru dan terjadi perembesan 20- 30 mm.
b. Pengecapan 2/3 anterior lidah
Menggunkan cairan Bornstein (4% glukosa, 1% asamsitrat,
2,5% sodium klorida, 0,075% quinine HCl).Pasien diminta
menjulurkan lidah kemudian dikeringkan dahulu baru
dilakukan tes denganmenggunakan lidi kapas. Rasa manis
pada ujung lidah, rasa asamdan asin pada samping lidah dan
rasa pahit pada belakang lidah. Setiap selesai pemeriksaan,
pasien berkumur dengan air hangat

c. Refleks stapedius
Memasang stetoskop pada telinga pasien kemudian
dilakukan pengetukan lembut pada diafragma stetoskop atau
denganmenggetarkan garpu tala 256Hz di dekat stetoskop.
Abnormal jika hiperakusis (suara lebih keras atau nyeri).

o Penunjang penunjang
Tidak ada yang spesifik untuk bell’s palsy, namun tes- tes berikut
dapatberguna untuk mengidentifikasi atau menyingkirkan penyakit
lain :
a. CBC
b. Glukosa darah, HbA1c
Untuk mengetahui adanya diabetes yang tidak terdiagnosa
(orang yang memiliki diabetes 29% lebih beresiko terkena
bell’s palsy)
c. Salivary flow test
Pemeriksa menempatkan kateter kecil pada kelenjar
submandibular yang paralisis dan normal, kemudian pasien
diminta menghisap lemon dan aliran saliva dibandingkan
antara kedua kelenjar. Sisi yang normal menjadi kontrol.

d. CT-Scan, MRI
CT-Scan digunakan apabila paresis menjadi progesif dan
tidak berkurang. MRI digunakan untuk menyingkirkan
kelainan lainnya yang menyebabkan paralisis atau untuk
melihat cerebellopontine angle. MRI pada pasien bell’s palsy
menunjukkan pembengkakan dan peningkatan yang merata
dari N.VII (N. Fasialis) dan ganglion genikulatum. MRI juga
dapat menunjukkan adanya pembengkakan N.VII yang
terjebak di tulang temporal dan tumor yang menekan N.VII
(schwannoma (tersering), hemangioma, meningioma).

Grading
Menurut House danBrackmann, bell’s palsy dikategorikan menjadi
Grade Deskripsi Umum Istirahat Gerakan
1 Normal Normal Normal Normal
Sedikit kelemahan
Asimetris ringan
terlihat pada
mulut dan dahi;
Disfungsi pemeriksaan dekat,
2 Normal menutup mata
Ringan dapat
keseluruhan dengan
memiliki sedikit
usaha
sinkinesis
minimal

Jelas namun Dahi: pergerakan


tidak Nampak ringan atau
perbedaan antara sedang
kedua Mata: dapat
Disfungsi sisi; Nampak Tonus normal menutup keseluruhan
3 Sedang sinkinesis. dan dengan usaha
Kontraktur dan simetris Mulut:sedikit
atau spasme kelemahan
hemifasial namun dengan usaha
tidak maksimal
berat

Dahi : -
Mata: tidak
Disfungsi Kelemahan dan atau Tonus normal menutup sempurna
4 Cukup asimetrisnyata dan Mulut: asimetris
Berat simetris dengan usaha
maksimal
Dahi : -
Hanya gerak Mata: tidak
5 Disfungsi yang hampir Asimetris menutup sempurna
Berat tidak Nampak Mulut: sedikit
gerakan
Paralisis Tidak ada Tidak ada Tidak ada
6
Total gerakan gerakan gerakan

2.8 DIAGNOSA BANDING

Herpes zoster (Ramsay Hunt Syndrome)


Inflamasi n. facialis dan ganglion geniculate yang disebabkan oleh virus
varicella zoster. Biasanya diikuti dengan erupsi vesicular pada membrane mukosa
faring, vesikel pada chonca atau saluran pendengaran externa. Sering melibatkan
nervus ke 8 (n. vestibulocochlearis). Terdapat gejala prodromal sebelumnyaseperti
malaise, sakit kepala, demam.
Lyme disease
Sering bilateral, pada daerah endemic dan diketahui disebabkan oleh gigitan
kuku (erythema chronicum migrans).
Facial diplegia
Sering disebabkan oleh karena Guillainbarre syndrome, juga dapat
disebabkan oleh sarcoidosis yang dikenal sebagai uveoparotid fever (Heefordt
syndrome).

Sarcoidosis
Granuloma dari sarcoid mempunyai kecenderungan untuk mempengaruhi
n. facialis lebih daripada n. kranialis lainnya. Gejala akut diikuti demam,
pembesaran kelenjar parotis, dan uveitis. Meskipun jarang terjadi tetapi
merupakan karakteristik sarcoidosis.
Tumor
Tumor yang menekan n.facialis dapat menyebabkan facial palsy
(meningioma, cholesteatoma, dermoid, carotid body tumor). Permulaannya
tersembunyi dan semakin lama semakin memburuk.
Facial Palsy with Pontine Lesions
Dapat disebabkan oleh adanya infark, tumor. Biasanya diikuti dengan
acular abduction.
Melkersson-Rosenthal Syndrome
Merupakan gangguan yang langka dan penyebabnya tidak diketahui.
Ditandai dengan facial paralisis berulang yang akhirnya menetap, labial edema,
lipatan lidah. Dapat terjadi pada anak-anak dan dewasa.
Hemifacial Spasm
Idiopatik, melibatkan otot wajah disalah satu sisidan diikuti dengan
kontraksi yang tidak beraturan. Kebanyakan dialami oleh wanita dekadeke 5 & ke
6.Kekakuan biasanya dimulai dari m. Orbicularis oculi kemudian menjalar ke otot
lain disisi yang terkena.
Facial Hemiatrophy ( Parry-Romberg Syndrome)
Terjadi terutama pada wanita, ditandai dengan hilangnya lemak dari kulit
dan jaringan subkutan pada satu atau kedua sisi wajah. Dapat dimulai pada masa
remaja atau dewasa. Perjalanan penyakit lambat.
HIV infection
Beberapa individu dengan HIV mengalami unilateral atau bilateral
Bell’s palsy.

2.9 TERAPI

• Non-Medikamentosa
a. Penggunaan selotip untuk menutup kelopak mata saat tidur dan eye
patch untuk mencegah pengeringan pada kornea.
b. Fisikal terapi seperti facial massage dan latihan otot dapat mencegah
terjadinya kontraktur pada otot yang paralisa. Pemberian panas pada area
yang terpengaruh dapat mengurangi nyeri. Dianjurkan pada stadium akut.
Tujuan fisioterapi untuk mempertahankan tonus otot yang lumpuh. Cara
yang sering digunakan yaiut: mengurut/ massage otot wajah selama 5 menit
pagi-sore atau dengan faradisasi

• Medikamentosa
a. Kortikostreoid
Oral kortikosteroid sering diberikan untuk mencegah terjadinya inflamasi
saraf pada pasien dengan Bell’s palsy. Prednisone biasanya diberikan dengan
dosis 60-80 mg per hari selama 5 hari, dan di tappering off 5 hari selanjutnya.
Hal ini dapat memperpendek masa penyembuhan dan meningkatkan hasil
akhirnya.

b. Antivirus

Dikarenakan adanya kemungkinan keterlibatan HSV-1 pada Bell’s palsy,


maka telah diteliti efek dari Valacyclovir (1000 mg per hari, diberikan 5-7
hari) dan Acyclovir (400 mg, 5 kali sehari, diberikan 10 hari). Dari hasil
penelitian, penggunaan antivirus sendiri tidak memberikan keuntungan untuk
penyembuhan penyakit. Tetapi, penggunaan Valacyclovir dan prednisone,
memberikan hasil yang lebih baik, dibandingkan penggunaan prednisone
sendiri, terutama pada pasien dengan gejala klinis yang parah

c. Analgesic untuk meredakan nyeri, dan methylcellulose eye drops untuk


mencegah kekeringan pada kornea
• Operatif

Tindakan operatif umumnya tidak dianjurkan pada anak-anak karena


dapatmenimbulkan komplikasi local maupun intracranial.
Tindakan operatif dilakukan apabila:

- Tidak terdapat penyembuhan spontan

- Tidak terdapat perbaikan dengan pengobatan prednisone


- Pada pemeriksaan elektrik terdapat denervasi total

• Rehabilitasi medik
Menurut WHO adalah semua tindakan yang ditujukan guna
mengurangi dampak cacat dan handicap serta meningkatkan kemampuan
penyandang cacat mencapai integritas social, tujuan rehabilitasi medik pada
Bell’s palsy adalah untuk mengurangi/mencegah paresis menjadi bertambah
dan membantu mengatasi problem sosial serta psikologinya agar penderita
tetap dapat melaksanakan aktivitas kegiatan sehari-hari. Program-program
yang diberikan adalah program fisioterapi, okupasi terapi, sosial medik,
psikologi dan ortotik prostetik.
• Program Fisioterapi
a. Pemanasan
- Pemanasan permukaan dengan infra red.
- Pemanasan dalam berupa Shortwave Diathermy atau Microwave
Diathermy.
• Stimulasi listrik

Tujuan pemberian stimulasi listrik yaitu menstimulasi otot untuk

mencegah/memperlambat terjadi penurunan masa otot sambil menunggu

proses regenerasi dan memperkuat otot yang masih lemah.

• Latihan otot-otot wajah dan massage wajah

Latihan gerak volunteer (sadar) yang diberikan setelah fase akut, latihan
berupa mengangkat alis tahan 5 detik, mengerutkan dahi, menutup mata dan
mengangkat sudut mulut, tersenyum, bersiul/meniup (dilakukan didepan
cermin dengan konsentrasi penuh).

Massage adalah manipulasi sitemik dan ilmiah dari jaringan tubuh


dengan maksud untuk perbaikan/pemulihan. Pada fase akut, Bell’s palsy diberi
pijatan lembut secara perlahan dan berirama. Gentle massage (pijatan lembut)
memberikan efek mengurangi pembengkakan, memberikan relaksasi otot dan
mempertahankan tonus otot.

• Program Terapi Okupasi

Pada dasarnya terapi disini memberikan latihan gerakan pada otot wajah.
Latihan diberikan dalam bentuk aktivitas sehari-hari atau dalam bentuk permainan.
Latihan dapat berupa latihan berkumur, latihan minum dengan menggunakan
sedotan, latihan meniup lilin, latihan menutup mata dan mengerutkan dahi di
depan cermin

• Program Ortotik Prostetik

Dapat dilakukan pemasangan “Y” plester dengan tujuan agar sudut mulut
yang sakit tidak jatuh. Dianjurkan agar plester diganti tiap 8 jam. Perlu
diperhatikan reaksi intoleransi kulit yang sering terjadi

• Program Sosial Medik


Penderita Bell's palsy sering merasa malu dan menarik diri dari pergaulan
sosial. Problem sosial biasanya berhubungan dengan tempat kerja dan biaya.
Petugas sosial medik dapat membantu mengatasi dengan menghubungi tempat
kerja, mungkin untuk sementara waktu bekerja pada bagian yang tidak banyak
berhubungan dengan umum. Untuk masalah biaya, dibantu dengan mencarikan
fasilitas kesehatan di tempat kerja atau melalui keluarga. Selain ils memberikan
penyuluhan bahwa kerja sama penderita dengan petugas yang merawat sangat
penting untuk kesembuhan penderita.

• Program Psikologik

Untuk kasus-kasus tertentu dimana ada gangguan psikis amat menonjol, rasa
cemas sering menyertai penderita terutama pada penderita muda wanita atau
penderita yang mempunyai profesi yang mengharuskan ia séring tampil di depan
umum, maka bantuan seorang psikolog sangat diperlukan

• Program latihan di rumah

Latihan wajah yang dapat dilakukan minimal 2 – 3 kali sehari. Kualitas


latihan lebih utama daripada kuantitasnya, untuk itu lakukan sebaik mungkin.

Lanjutkan dengan gerakan-gerakan wajah tertentu yang dapat


merangsang otak untuk tetap memberi sinyal untuk menggerakkan otot-otot
wajah

Lakukan latihan di depan cermin, gerakan yang dilakukan berupa:

◦ Tersenyum

◦ Mencucurkan mulut kemudian bersiul

◦ Mengatupkan bibir

◦ Mengerutkan hidung

◦ Mengerutkan dahi
◦ Menarik sudut mulut secara manual dengan telunjuk dan ibu jari

◦ Mengangkat alis secara manual dengan keempat jari panjang (selain ibu
jari)

◦ Membuka dan menutup kelopak mata

2.9 KOMPLIKASI
Sekitar 2 dari 10 orang mengalami gangguan jangka panjang oleh sebab
Bell’s palsy,yang bisa menimbulkan hal-hal dibawah ini:

Epifora dan ulkus kornea


Ulkus kornea bisa muncul ketika kelopak mata terlalu lemah untuk menutup
secara penuh dan protective tear film menjad terpengaruh. Sehingga
mengarah pada infeksi dan menyebabkan kebutaan
Kelemahan wajah
Kelemahan wajah permanen bisa dilihat pada 20-30% pasien setelah
terserang Bell’s palsy.
Gangguan bicara
Disebabkan kerusakan pada otot wajah
Synkinesias mata-mulut
Disebabkan n. facialis tumbuh kembali dengan jalan yang beda.
Menyebabkan mata dapat berkedip saat makan, tertawa atau tersenyum,
kadang bisa menjadi sangat parah sehingga mata dapat tertutup penuh saat
sedang makan.
Kontraktur wajah
Otot wajah menjadi kaku, menyebabkan gangguan bentuk seperti mata
menjadi kecil, pipi menjadi tebal atau nasolabial menjadi dalam.
Sensasi rasa di lidah berkurang
Disebabkan kerusakan syaraf yang tidak membaik penuh.
Crocodile tears
Menangis saat sedang makan.
Ramsay Hunt syndrome
Bell’s palsy yang disebabkan oleh varicella-zoster virus dapat menyebabkan
tmbulnya sindrom ini. Sindrom ini ditandai dengan adanya vesikel pada lidah dan di
dalam liang telinga. Terapinya dengan steroid dan antiviral.

2.10 PROGNOSIS

Prognosis ummnya sangat baik. Tingkat keparahan kerusakan syaraf


menentukan proses penyembuhan. Perbaikannya bertahap dan durasi waktu yang
dibutuhkan bervariasi. Dengan atau tanpa terapi, sebagian besar individu membaik
dalam waktu 2 minggu setelah onset gejala dan membaik secara penuh, fungsinya
kembali normal dalam waktu 3-6 bulan. Tetapi untuk beberapa pasien bisa lebih
lama. Pada kasus jarang, gangguan bisa muncul kembali di tempat yang sama atau
di sisi lain wajah (NIH, 2014)
BAB III
LAPORAN KASUS

A. IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn. W
Umur : 48 thn
Alamat : Selosari, Magetan
Pekerjaan : Polisi
Agama : Islam
Tanggal Pemeriksaan : 8 Maret 2022

B. ANAMNESIS
a. Keluhan Utama
Kelemahan pada wajah sisi kanan

a. Riwayat Penyakit Sekarang


Pasien datang ke poli Rehabilitasi Medik RSUD dr Sayidiman Magetan
untuk melakukan kontrol rutin dengan keluhan kelemahan pada wajah sisi
kanan sejak ±3 bulan yang lalu. Pasien menatakan awal mula keluhan tidak bisa
mengunyah makanan pada mulut bagian kanan, setelah itu pasien bercermin,
pasien merasa wajahnya tidak simetris, ketika wudhu pasien merasakan perih
pada mata sisi kanan karena mata kanan tidak menutup. Selain itu pasien
merasa tidak bisa mengangkat alis bagian kanan ketika bercermin dan kesulitan
ketika tersenyum , kelemahan dirasakan terus menerus. Keluhan tidak disertai
demam, pusing maupun riwayat terjatuh tidak ada.

b. Riwayat Penyakit Dahulu


- Trauma : disangkal
- Serupa : disangkal

23
- Hipertensi : diakui
- Diabetes : diakui
- Asam urat : disangkal
- Kolesterol : disangkal
- Riwayat penyakit ginjal : nefrolithiasis

c. Riwayat Penyakit Keluarga


- Serupa : disangkal
- Hipertensi : disangkal
- Diabetes : disangkal
- Asam urat : disangkal
- Kolesterol : disangkal
- Alergi : disangkal

d. Riwayat Sosisal Ekonomi


Pasien tinggal dirumah dengan istrinya, pasien mempunyai 2 anak.
Untuk keadaan dirumah ventilasi cukup, sirkulasi baik, keadaan rumah bersih.
Pasien bekerja sebagai polisi. Setiap hari pasien berangkat bekerja dengan
sepeda motor dengan helm tertutup. Pasien jarang menggunakan kipas angin
dan tidak menggunakan AC ketika tidur. Pasien merupakan pengguna BPJS,
biaya ditanggung oleh BPJS.

e. Riwayat Psikologis
Tidak terganggu.

C. PEMERIKSAAN FISIK
a. Status Generalis
Tanggal Pemeriksaan 8 Maret 2022
Keadaan umum : Tampak sakit ringan
Kesedaran : Kompos Mentis
GCS : E4M6V5 = 15
Tanda Vital : Tekanan Darah : 158/90 mmHg
Nadi : 88 x/menit, reguler
Respirasi : 20 x/menit
Suhu : 36,5°C
BB : 74 kg
TB : 170 cm
BMI : 25.1 (overweight)

Kepala : Konjungtiva anemis ( - ), sklera ikterik ( - ), pupil bulat isokor


diameter 3mm kiri = 3mm kanan, reflex cahaya ( +/+)
Leher : Trakea letak ditengah, pembesaran KGB ( - )
Thoraks : Simetris, retraksi ( - )
Cor : Bising ( - ), BJ 1 dan II (+)
Pulmo : Vesikuler (+/+) Ronkhi ( -/- ) Wheezing ( -/-)
Abdomen : Datar, lemas, bunyi usus ( + ) normal
Hepar/Lien : Tidak teraba
Ekstremitas : Ekstremitas superior : Akral hangat , capillary refill <2 detik
Mata :
• Cekung (-)/(-)
• Konjungtiva anemis (-)/(-)
• Sklera ikterus (-)/(-)
• Edema palpebra (-)/(-)
• Refleks cahaya (+)/(+)
• Pupil isokor (+)/(+)
Leher : PKGB (-)
b. Status Lokalis
Inspeksi
a. smoothing out of forehead sisi kanan
b. Pejaman mata tidak bisa pada sisi kanan, eyelid dan eyebrow turun
c. Plika nasolabialis (-/+)
d. mulut dropping pada sisi kanan
Motorik
a. Mengangkat alis dan mengerutkan dahi (-/+)
b. Memejamkan mata (-/+)
c. Menyeringai (menunjukkan gigi geligi) (-/+)
d. Mencucurkan bibir (-/+)
e. Menggembungkan pipi (-/+)
Sensorik
a. Schirmer test - Tidak dilakukan
b. Pengecapan 2/3 anterior lidah - Tidak dilakukan
c. Refleks stapedius – Tidak dilakukan
House-brackmann score: 4

c. Pemeriksaan penunjang
Tidak dilakukan

d. Resume
- Pasien mengeluhkan kelemahan pada wajah sisi kanan sejak ±3 bulan yang
lalu
- Kesulitan dalam aktifitas sulit tersenyum, mengangkat alis, mecucu,
gerakan cuping hidung, mengunyah makanan & menutup mata kanan.
- Terdapat keterbatasan pada wajah sisi kanan
- Pasien mempunyai riwayat penyakit DM dan hipertensi
e. DIAGNOSIS
Diagnosa klinik : Bell’s Palsy
Diagnosa Etiologi : idiopatik

f. PERMASALAHAN REHABILITASI MEDIK


Impairment : kelemahan pada wajah sisi kanan sejak ±3 bulan yang lalu
Disabilitas : Kesulitan dalam aktifitas sulit tersenyum, mengangkat alis,
mecucu, gerakan cuping hidung & menutup mata kanan
Handicap : Mengganggu aktifitas sehari-hari seperti makan dan minum
g. PENATALAKSANAAN
A. NON MEDIKAMENTOSA
a. Fisioterapi
Assesment :
• Parese wajah sisi kanan
• Hipertensi
• Hiperglikemi
Program :
• IR
• ES
• EXC
B. Medikamentosa
Metil prednisolone 2 x 4mg
Mecobalamin 3 x 500 mg
Paracetamol 2 x 500 mg
Amlodipin 1 x 5 mg

b. Psikologi
Assesment :
• Tidak Terganggu.
Program :
• Memberi dukungan pada penderita agar rajin mengikuti terapi dan
kontrol secara teratur. Memberi dukungan mental pada penderita
agar tidak cemas dengan penyakit yang diderita

c. Sosial Medik
Assesment :
• Biaya hidup sehari-hari cukup, biaya pengobatan ditanggung oleh
BPJS
Program :
• Memberi edukasi pada penderita dan keluarga mengenai penyakit
yang di derita dan memberi dukungan agar penderita rajin mengikuti
terapi.

d. Terapi Wicara
• Tidak diperlukan karena pasien masih dapat berkomunikasi dengan
baik.

e. Edukasi
• Latihan wajah yang dapat dilakukan minimal 2 – 3 kali sehari. Kualitas
latihan lebih utama daripada kuantitasnya, untuk itu lakukan sebaik
mungkin.
• Lanjutkan dengan gerakan-gerakan wajah tertentu yang dapat
merangsang otak untuk tetap memberi sinyal untuk menggerakkan otot-
otot wajah
• Kontrol ke poli rehabilitasi medik secara rutin
• Lakukan latihan di depan cermin, gerakan yang dilakukan berupa:
Tersenyum
Mencucurkan mulut kemudian bersiul
Mengatupkan bibir
Mengerutkan hidung
Mengerutkan dahi
Menarik sudut mulut secara manual dengan telunjuk dan ibu jari
Mengangkat alis secara manual dengan keempat jari panjang (selain ibu
jari)
Membuka dan menutup kelopak mata

h. PROGNOSIS
Qua ad vitam : dubia ad bonam
Qua ad sanationam : dubia ad bonam
Qua ad functionam : dubia ad bonam
BAB IV
KESIMPULAN

Bell’s Palsy merupakan kelumpuhan fasialis perifer akibat proses


nonsupratif, non- neoplasmatik, non- degeneratif primer namun sangat mungkin
akibat edema jinak pada bagian nervus fasialis di foramen stilomastoideus atau
sedikit proksimal dari foramen tersebut, yang mulainya akut dan dapat sembuh
sendiri tanpa pengobatan.

Gejala klinisnya yaitu mulut tampak moncong terlebih pada saat meringis,
kelopak mata tidak dapat dipejamkan (lagoftalmos), waktu penderita disuruh
menutup kelopak matanya maka bola mata tampak berputar ke atas (Bell
phenomen). Penderita tidak dapat bersiul atau meniup, apabila berkumur atau minum
maka air keluar melalui sisi mulut yang lumpuh.

Dan untuk penatalaksanaannya dapat diberikan prednison (kortikosteroid) dan


antiviral sesegera mungkin. Window of opportunity untuk memulai pengobatan adalan
7 hari setelah onset. Prednison dapatdiberikan jika muncul tandatanda radang. Selain
itu dapat pula diberi obat untuk menghilangkan nyeri seperti gabapentin.
DAFTAR PUSTAKA

Bahrudin, Moch. 2011. Bell’s Palsy. Available from:


file:///C:/Users/Asus/Downloads/4073-10556-1-PB%20(1).pdf. Accessed
Maret 2022
Sidharta, Pirguna. Neurologis Klinis Dalam Praktek Umum. Jakarta: PT Dian
Rakyat.1979
Sarojo, Boedi, dan Suharso. Beberapa Segi Klinik Mengenai Bell’s Palsy Di Bagian
Neurologi Rumah Sakit Universitas Gadja Mada. Yogyakarta: Universitas
Gadja Mada. 1976
Chyntia. 2008. Bell’s Palsy. Available from:
http://repository.usu.ac.id/bitstream/handle/123456789/39715/Chapter%20II.p
df?sequence=4. Accessed Maret 2022
Tanto, Chris dkk. 2014. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta: Media Aesculapius.
Dewanto, George. 2007. Panduan Praktis Diagnosis & Tatalaksana Penyakit Saraf.
Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Kurniawa, M. 2016. Acuan Panduan Praktis Klinis Neurologis. Jakarta: Penerbit
Kedokteran Indonesia
Rimadhanti, Ni Made Restianing. 2017. Bell’s Palsy. Available from:
file:///C:/Users/Asus/Downloads/kupdf.com_referat-bellspalsy-rp.pdf .
Accesed November 2017

Robby Tjandra Kartadinata, 2011, Rehabilitasi Medik Bell’s Palsy, Siaran RRI,
Instalasi Rehabilitasi Medik RSUP Dr. Kariadi Semarang

Handoko lowis, Maulana N Gaharu, 2012, Bell’s Palsy, Diagnosis dan Tata Laksana
di Pelayanan Primer, Artikel Pengembangan Pendidikan Keprofesian
Berkelanjutan, Departemen Saraf Rumah Sakit Jakarta Medical Center

Anda mungkin juga menyukai