Anda di halaman 1dari 20

REFERAT

RETENSIO URINE

Pembimbing
dr. Samsul Islam, Sp.U

Oleh :
Kusumaningdiah Sekar Jatiningrum
201410330311027

SMF ILMU BEDAH


RSU HAJI SURABAYA
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG
2019
LEMBAR PENGESAHAN
REFERAT
RETENSIO URINE

Referat dengan judul “Retensio Urine” telah diperiksa dan disetujui sebagai salah
satu tugas dalam rangka menyelesaikan studi kepaniteraan Dokter Muda di bagian
Ilmu Bedah.

Surabaya, Agustus 2019


Pembimbing

dr. Samsul Islam, Sp.U


KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr. Wb
Puji syukur kehadirat Allah SWT, atas limpahan berkat dan rahmatnya kepada
penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan referat di Bagian Ilmu Bedah
dengan judul “Retensio Urine”.
Pada kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada semua
pihak, rekan sejawat, dan terutama dr. Samsul Islam, Sp.U selaku dokter
pembimbing yang telah meluangkan waktunya untuk membimbing, memberi saran,
dan petunjuk sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan referat ini dengan
baik.
Penulis menyadari bahwa referat ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh
karena itu, penulis mohon maaf yang sebesar-besarnya. Penulis mengharapkan
kritik dan saran demi memperbaiki kekurangan atau kekeliruan dalam referat.
Semoga referat ini dapat bermanfaat bagi semua pihak.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

Surabaya, Agustus 2019

Penulis
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL

LEMBAR PENGESAHAN ..................................................................................... i

KATA PENGANTAR ............................................................................................ ii

DAFTAR ISI .......................................................................................................... iii

BAB I PENDAHULUAN ........................................................................................1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA..............................................................................2


2.1 Definisi Retensio Urine ..........................................................................2

2.2 Epidemiologi Retensio Urine .................................................................2

2.3 Klasifikasi Retensio Urine .....................................................................2

2.4 Etiologi Retensio Urine ..........................................................................2

2.5 Patofisiologi Retensio Urine ..................................................................3


2.6. Gejala Klinis Retensio Urine ................................................................4
2.7 Diagnosis Retensio Urine.......................................................................6
2.8 Tatalaksana Retensio Urine .................................................................13
BAB III KESIMPULAN ........................................................................................23

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................24


BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Traktus urinarius bagian bawah memiliki dua fungsi utama, yaitu: sebagai
tempat untuk menampung produksi urine dan sebagai fungsi ekskresi. Fungsi
kandung kencing normal memerlukan aktivitas yang terintegrasi antara sistim
saraf otonomi dan somatik. Jaras neural yang terdiri dari berbagai refleks fungsi
destrusor dan sfingter meluas dari lobus frontalis ke medula spinalis bagian
sakral, sehingga penyebab neurogenik dari gangguan kandung kencing dapat
diakibatkan oleh lesi pada berbagai derajat.
Retensio Urine merupakan suatu keadaan darurat urologi yang paling sering
ditemukan dan dapat terjadi kapan saja dan dimana saja. Retensio Urine adalah
ketidakmampuan seseorang untuk mengeluarkan urine yang terkumpul di dalam
buli-buli hingga kapasitas maksimal buli-buli terlampaui.
Salah satu penyebab retensio urine adalah BPH. Benign Prostat Hyperplasia
merupakan penyakit yang sering diderita pada pria. Di klinik 50 % dijumpai
penderita BPH berusia 60-69 tahun, yang menimbulkan gejala-gejala bladder
outlet obstruction. Pada wanita salah satu komplikasi umum yang terjadi setelah
proses persalinan, baik persalinan pervaginam atau sectio caesarea adalah
retensi urin postpartum. Pada tahun 1998, dr. Kartono dkk dari FKUI-RSCM
Jakarta melansir data bahwa terdapat 17,1% kejadian retensi urin pada ibu
melahirkan yang telah dipasang kateter selama enam jam dan 7,1% untuk yang
dipasang selama 24 jam pasca operasi sectio caesarea. Yip SK (Hongkong,
1997) melaporkan terdapat angka 14,6% untuk kasus retensi urin postpartum
pervaginam.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi
Retensio Urine adalah ketidakmampuan seseorang untuk mengeluarkan
urine yang terkumpul di dalam buli-buli hingga kapasitas maksimal buli-buli
terlampaui.

2.2. Anatomi Saluran Kemih


Alat-alat kemih terdiri dari : ginjal, pelvis renalis (pielum), ureter, buli-buli
(vesika urinaria), dan uretra. Dinding alat-alat saluran kemih mempunyai lapisan
otot yang mampu menghasilkan gerakan peristaltik. Gambaran anatomi saluran
kemih sebagai berikut :
Ginjal
Ginjal menghasilkan air seni dengan membuang air dan berbagai bahan
metabolik yang berbahaya yang mayoritas dihasilkan oleh alat-alat lain.
Pelvis Renalis (Pielum)
Mengumpulkan air seni yang datang dari apeks papilla. Mengecil menjadi
ureter yang dilalui air seni dalam porsi-porsi kecil sampai ke dalam kandung kemih.
Kapasitas rata-rata 3-8 ml. Air seni mula-mula terkumpul di kaliks, saat sfingter
kaliks berkontraksi. Kemudian, otot-otot dinding kaliks, sfingter forniks,
berkontraksi dan pada waktu yang bersamaan sfingter kaliks berelaksasi. Lalu air
seni terdorong ke dalam pelvis renalis. Air seni dibuang dengan cepat oleh
penutupan bergantian dari sfingter pelvis dan kaliks.

Ureter
Berbentuk seperti pipa yang sedikit memipih, berdiameter 4-7 mm. Panjang
bervariasi + 30 cm pada laki-laki dan + 1 cm lebih pendek dari wanita. Kedua ureter
menembus dinding kandung kemih pada fundusnya, terpisah dalam jarak antara 4-
5 cm, miring dari arah lateral, dari belakang atas ke medial depan bawah.
Ureter berjalan sepanjang 2 cm di dalam kandung kemih dan berakhir pada
suatu celah sempit (ostium ureter).

Pandangan umum alat-alat Penampang frontal melalui


urogenital wanita kandung kemh pria
Kandung kemih (Buli-buli)
Pada dasar buli-buli, kedua muara ureter dan meatus uretra internum
membentuk suatu segitiga yang disebut trigonum buli-buli. Buli-buli berfungsi
menampung urine dari ureter dan kemudian mengeluarkannya melalui uretra dalam
mekanisme berkemih. Kapasitas maksimal (volume) untuk orang dewasa + 350-
450 ml; kapasitas buli-buli pada anak menurut Koff : Kapasitas buli-buli = [ Umur
(tahun) + 2] x 30 ml
Bila buli-buli terisi penuh, verteks dan dinding atas terangkat dan membentuk
suatu bantal yang lonjong dan pipih, yang dapat meluas sampai tepi atas simfisis
pubis. Selama kontraksi otot kandung kemih, ketika dikosongkan selama berkemih,
bentuknya menjadi bulat.

Uretra
Uretra merupakan tabung yang menyalurkan urine keluar dari buli-buli
melalui proses miksi. Secara anatomis, uretra dibagi menjadi 2 bagian, yaitu : uretra
posterior dan uretra anterior. Uretra diperlengkapi dengan sfingter uretra interna
yang terletak pada perbatasan buli-buli dan uretra, serta sfingter uretra eksterna
yang terletak pada perbatasan uretra anterior dan uretra posterior. Sfingter uretra
interna terdiri atas otot polos yang dipersarafi oleh saraf simpatik sehingga saat
buli-buli penuh, sfingter terbuka. Sfingter ani eksterna terdiri atas otot bergaris yang
dipersarafi oleh sistem somatik yang dapat diperintah sesuai keinginan seseorang;
pada saat kencing, sfingter ini terbuka dan tetap menutup pada saat menahan
kencing.
Panjang uretra wanita + 3-5 cm dengan diameter 8 mm, berada di bawah
simfisis pubis dan bermuara di sebelah anterior vagina. + 1/3 medial uretra terdapat
sfingter uretra eksterna yang terdiri atas otot bergaris. Tonus otot sfingter uretra
eksterna dan tonus otot Levator ani berfungsi mempertahankan agar urin tetap
berada di dalam buli-buli pada saat perasaan ingin miksi. Miksi terjadi bila tekanan
intra vesika melebihi tekanan intrauretra akibat kontraksi otot detrusor, dan
relaksasi sfingter uretra eksterna.
Panjang uretra pria dewasa + 23-25 cm. Uretra posterior pria terdiri atas uretra
pars prostatika yaitu bagian uretra yang dilingkupi oleh kelenjar prostat, dan uretra
pars membranasea. Uretra anterior adalah bagian uretra yang dibungkus oleh
korpus spongiosum penis; uretra anterior terdiri atas : (1) pars bulbosa, (2) pars
pendularis, (3) fossa navikularis, dan (4) meatus uretra eksterna.

2.3 Fisiologi
1. Pengisian urine
Pada pengisian kandung kencing, distensi yang timbul ditandai dengan
adanya aktivitas sensor regang pada dinding kandung kencing. Pada kandung
kencing normal, tekanan intravesikal tidak meningkat selama pengisian sebab
terdapat inhibisi dari aktivitas detrusor dan active compliance dari kandung
kencing. Inhibisi dari aktivitas motorik detrusor memerlukan jaras yang utuh antara
pusat miksi pons dengan medula spinalis bagian sakral. Mekanisme active
compliance kandung kencing kurang diketahui namun proses ini juga memerlukan
inervasi yang utuh mengingat mekanisme ini hilang pada kerusakan radiks s2-S4.
Selain akomodasi kandung kencing, kontinens selama pengisian memerlukan
fasilitasi aktifitas otot lurik dari sfingter uretra, sehingga tekanan uretra lebih tinggi
dibandingkan tekanan intravesikal dan urine tidak mengalir keluar
2. Pengaliran urine
Pada orang dewasa yang normal, rangsangan untuk miksi timbul dari
distensi kandung kencing yang sinyalnya diperoleh dari aferen yang bersifat sensitif
terhadap regangan. Mekanisme normal dari miksi volunter tidak diketahui dengan
jelas tetapi diperoleh dari relaksasi otot lurik dari sfingter uretra dan lantai pelvis
yang diikuti dengan kontraksi kandung kencing. Inhibisi tonus simpatis pada leher
kandung kencing juga ditemukan sehingga tekanan intravesikal diatas/melebihi
tekanan intra uretral dan urine akan keluar. Pengosongan kandung kemih yang
lengkap tergantung dari refleks yang menghambat aktifitas sfingter dan
mempertahankan kontraksi detrusor selama miksi.

2.4. Etiologi
Penyebab retensi urine :
1. Kelemahan otot detrusor :
- Kelainan medulla spinalis.
- Kelainan saraf perifer.
2. Hambatan / obstruksi uretra :
- Batu uretra.
- Klep uretra.
- Striktura uretra.
- Stenosis meatus uretra.
- Tumor uretra.
- Fimosis.
- Parafimosis.
- Gumpalan darah.
- Hiperplasia prostat.
- Karsinoma prostat.
- Sklerosis leher buli-buli.
3. Inkoordinasi antara Detrusor-Uretra :
Cedera kauda ekuina.

Menurut lokasi, penyebab retensio urine :


a. Supravesikal :
Kerusakan terjadi pada pusat miksi di Medula Spinalis setinggi Th12-L1;
kerusakan saraf simpatis dan parasimpatis, baik sebagian atau seluruhnya.
b. Vesikal :
Berupa kelemahan otot detrusor karena lama teregang, atoni pada pasien
DM atau penyakit neurologis.
c. Infravesikal (distal kandung kemih) :
Berupa pembesaran prostat (kanker, prostatitis), tumor pada leher vesika,
fimosis, stenosis meatus uretra, tumor penis, striktur uretra, trauma uretra, batu
uretra, sklerosis leher kandung kemih (bladder neck sclerosis).
Pada retensio urine kronik, disebabkan oleh : obstruksi uretra yang
semakin hebat, sehingga akhirnya kandung kemih mengalami dilatasi. Pada
keadaan ini, urine keluar terus menerus karena kapasitas kandung kemih
terlampaui. Penderita tidak mampu berkemih lagi, tetapi urin keluar terus tanpa
kendali.
2.5. Klasifikasi
Retensio urine dapat terjadi secara akut, yaitu : penderita secara tiba-tiba
tidak dapat miksi, buli-buli penuh disertai rasa sakit yang hebat di daerah
suprapubik dan hasrat ingin miksi yang hebat disertai mengejan, seringkali urin
belum menetes atau sedikit-sedikit; dapat pula terjadi secara kronis, yaitu penderita
secara perlahan-lahan dan dalam waktu yang lama tidak dapat miksi, merasakan
nyeri di daerah suprapubik hanya sedikit / tidak ada sama sekali walaupun buli-buli
penuh.
Retensio urine dapat terjadi sebagian, yaitu penderita masih bisa
mengeluarkan urine, tetapi terdapat sisa kencing yang cukup banyak di kandung
kemih ; pada retensio urine total, penderita sama sekali tidak dapat mengeluarkan
urine.

2.6. Patofisiologi
Proses berkemih melibatkan 2 proses yang berbeda yaitu pengisian dan
penyimpanan urine dan pengosongan kandung kemih. Hal ini saling berlawanan
dan bergantian secara normal. Aktivitas otot-otot kandung kemih dalam hal
penyimpanan dan pengeluaran urine dikontrol oleh sistem saraf otonom dan
somatik. Selama fase pengisian, pengaruh sistem saraf simpatis terhadap kandung
kemih menjadi bertekanan rendah dengan meningkatkan resistensio saluran kemih.
Penyimpanan urine dikoordinasikan oleh hambatan sistem simpatis dari aktivitas
kontraktil otot detrusor yang dikaitkan dengan peningkatan tekanan otot dari leher
kandung kemih dan proksimal uretra. Pengeluaran urine secara normal timbul
akibat dari kontraksi yang simultan otot detrusor dan relaksasi saluran kemih. Hal
ini dipengaruhi oleh sistem saraf parasimpatis yang mempunyai neurotransmiter
utama yaitu asetilkholin, suatu agen kolinergik. Selama fase pengisian, impuls
afferen ditransmisikan ke saraf sensoris pada ujung ganglion dorsal spinal sakral
segmen 2-4 dan informasikan ke batang otak. Impuls saraf dari batang otak
menghambat aliran parasimpatis dari pusat kemih sakral spinal. Selama fase
pengosongan kandung kemih, hambatan pada aliran parasimpatis sakral dihentikan
dan timbul kontraksi otot detrusor. Hambatan aliran simpatis pada kandung kemih
menimbulkan relaksasi pada otot uretra trigonal dan proksimal. Impuls berjalan
sepanjang nervus pudendus untuk merelaksasikan otot halus dan skelet dari
sphincter eksterna. Hasilnya keluarnya urine dengan resistensio saluran yang
minimal. Retensi postpartum paling sering terjadi. Setelah terjadi kelahiran
pervaginam spontan, disfungsi kandung kemih terjadi 9-14 % pasien; setelah
kelahiran menggunakan forcep, angka ini meningkat menjadi 38 %. Retensio ini
biasanya terjadi akibat dari dissinergis antara otot detrusor-sphincter dengan
relaksasi uretra yang tidak sempurna yang kemudian menyebabkan nyeri dan
edema. Sebaliknya pasien yang tidak dapat mengosongkan kandung kemihnya
setelah sectio cesaria biasanya akibat dari tidak berkontraksi dan kurang aktifnya
otot detrusor

2.7. Diagnosis
Gambaran Klinis
- Rasa tidak nyaman hingga rasa nyeri yang hebat pada perut bagian bawah
hingga daerah genital.
- Tumor pada perut bagian bawah.
- Tidak dapat kencing.
- Kadang-kadang urine keluar sedikit-sedikit, sering, tanpa disadari, tanpa
bisa ditahan (inkontinensi paradoksa).
Pada retensio urine akut, penderita akan merasa nyeri yang hebat di daerah
suprapubik, dan bila penderita tidak terlalu gemuk, akan terlihat / teraba benjolan
di daerah suprapubik.
Pada retensio urine totalis, penderita sama sekali tidak bisa miksi, gelisah,
mengedan bila ingin miksi, dan terjadi inkontinensia paradoksal.
Pada anamnesa, pasien akan mengeluh sulit buang air kecil. Pada inspeksi,
palpasi dan perkusi, akan didapatkan buli-buli yang mengembang. Pada perkusi
akan terdengar pekak, yang menentukan adanya buli-buli yang penuh pada
penderita yang gemuk.
Pada pemeriksaan bimanual : 1 tangan di atas suprapubik dan jari telunjuk
tangan lainnya melakukan colok dubur.
Pemeriksaan colok dubur

Disadur dari Basuki B. Purnomo, Dasar-dasar Urologi, edisi kedua, halaman 20


2.8 Pemeriksaan Penunjang
a. Foto polos abdomen  menunjukkan bayangan buli-buli penuh, mungkin
terlihat bayangan batu opak pada uretra atau pada buli-buli.
b. Uretrografi  akan tampak adanya striktur uretra.
c. Pemeriksaan darah rutin : Hb, leukosit, LED, Trombosit.
d. Pemeriksaan Faal Ginjal : kreatinin, ureum, klirens kreatinin.
e. Pemeriksaan urinalisa : warna, berat jenis, pH.

2.9 Komplikasi
- Buli-buli akan mengembang melebihi kapasitas maksimal sehingga tekanan
didalam lumennya dan tegangan dari dindingnya akan meningkat.
- Bila keadaan ini dibiarkan berlanjut, tekanan yang meningkat didalam lumen
akan menghambat aliran urine dari ginjal dan ureter sehingga terjadi
hidroureter dan hidronefrosis dan lambat laun terjadi gagal ginjal.
- Bila tekanan didalam buli-buli meningkat dan melebihi besarnya hambatan di
daerah uretra, urine akan memancar berulang-ulang (dalam jumlah sedikit)
tanpa bisa ditahan oleh penderita, sementara itu buli-buli tetap penuh dengan
urine. Keadaan ini disebut : inkontinensi paradoksa atau "overflow
incontinence"
- Tegangan dari dinding buli-buli terns meningkat sampai tercapai batas
toleransi dan setelah batas ini dilewati, otot buli-buli akan mengalami dilatasi
sehingga kapasitas buli-buli melebihi kapasitas maksimumnya, dengan akibat
kekuatan kontraksi otot buli-buli akan menyusut.
- Retensio urine merupakan predileksi untuk terjadinya infeksi saluran kemih
(ISK) dan bila ini terjadi, dapat menimbulkan keadaan gawat yang serius
seperti pielonefritis, urosepsis, khususnya pada penderita usia lanjut.

Urine yang tertahan lama di dalam buli-buli, secepatnya harus dikeluarkan, karena
jika dibiarkan, akan menimbulkan masalah, seperti : mudah terjadi infeksi saluran
kemih, kontraksi otot buli-buli menjadi lemah, timbul hidroureter dan
hidronefrosis yang selanjutnya akan dapat menimbulkan gagal ginjal.
Akibat retensio urine kronis dapat terjadi : trabekulasi (serat-serat otot
detrusor menebal), sacculae (tekanan intravesika meningkat, selaput lendir diantara
otot-otot membesar), divertikel, infeksi, fistula, pembentukan batu, overflow
incontinence.
PENANGANAN RETENSIO URINE

Urine dapat dikeluarkan dengan cara Kateterisasi atau Sistostomi.


Penanganan pada retensi urin akut berupa : kateterisasi – bila gagal – dilakukan
Sistostomi.

3.1. Kateterisasi
Kateterisasi Uretra adalah memasukkan kateter ke dalam buli-buli melalui
uretra.

Tujuan Kateterisasi
Tindakan ini dimaksudkan untuk tujuan diagnosis maupun untuk tujuan
terapi.
Tindakan diagnosis antara lain adalah :
1. Kateterisasi pada wanita dewasa untuk memperoleh contoh urine guna
pemeriksaan kultur urine.
2. Mengukur residu (sisa) urine yang dikerjakan sesaat setelah pasien selesai miksi.
3. Memasukkan bahan kontras untuk pemeriksaan radiologi, antara lain : Sistografi
atau pemeriksaan adanya refluks vesiko-ureter melalui pemeriksaan voiding
cysto-urethrography (VCUG).
4. Pemeriksaan urodinamik untuk menentukan tekanan intra vesika.
5. Untuk menilai produksi urine pada saat dan setelah operasi besar.
Indikasi kateterisasi :
1. Mengeluarkan urine dari buli-buli pada keadaan obstruksi infravesikal, baik
yang disebabkan oleh hiperplasia prostat maupun oleh benda asing (bekuan
darah) yang menyumbat uretra.
2. Mengeluarkan urine pada disfungsi buli-buli.
3. Diversi urine setelah tindakan operasi sistem urinaria bagian bawah, yaitu pada
operasi prostatektomi, vesikolitektomi.
4. Sebagai splint setelah operasi rekonstruksi uretra untuk tujuan stabilisasi uretra.
5. Memasukkan obat-obatan intravesika, antara lain sitostatika atau antiseptik
untuk buli-buli.
Kontraindikasi kateterisasi :
Ruptur uretra, ruptur buli-buli, bekuan darah pada buli-buli.
Macam-macam Kateter
Kateter dibedakan menurut ukuran, bentuk, bahan, sifat, pemakaian, sistem
retaining (pengunci), dan jumlah percabangan. Ukuran Kateter Ukuran kateter
dinyatakan dalam skala Cheriere’s (French). Ukuran ini merupakan ukuran
diameter luar kateter.
1 Cheriere (Ch) atau 1 French (Fr) = 0,33 milimeter atau
1 milimeter = 3 Fr
Jadi, kateter yang berukuran 18 Fr artinya diameter luar kateter itu adalah 6 mm.
Kateter yang mempunyai ukuran yang sama belum tentu mempunyai diameter
lumen yang sama karena adanya perbedaan bahan dan jumlah lumen pada kateter
itu.
Bahan kateter dapat berasal dari logam (stainless), karet (lateks), lateks
dengan lapisan silikon (siliconized) dan silikon.

Bentuk Kateter
Straight catheter merupakan kateter yang terbuat dari karet (lateks),
bentuknya lurus dan tanpa ada percabangan. Contoh kateter jenis ini adalah kateter
Robinson dan kateter Nelaton.

Disadur dari Basuki B. Purnomo, Dasar-dasar Urologi, edisi kedua, halaman 230
Coude catheter yaitu kateter dengan ujung lengkung dan ramping. Kateter
ini dipakai jika usaha kateterisasi dengan memakai kateter berujung lurus
mengalami hambatan yaitu pada saat kateter masuk ke uretra pars bulbosa yang
berbentuk huruf “S”, adanya hiperplasia prostat yang sangat besar, atau hambatan
akibat sklerosis leher buli-buli. Contoh jenis kateter ini adalah kateter Tiemann.

Tindakan Kateterisasi
Pada wanita
Pemasangan kateter pada wanita jarang menjumpai kesulitan karena uretra
wanita lebih pendek. Kesulitan yang sering dijumpai adalah pada saat mencari
muara uretra karena terdapat stenosis muara uretra atau tertutupnya muara uretra
oleh tumor uretra / tumor vaginalis / serviks. Untuk itu mungkin perlu dilakukan
dilatasi dengan busi a boule terlebih dahulu.

Pada pria
Teknik kateterisasi pada pria adalah sebagai berikut :
1. Setelah dilakukan desinfeksi pada penis dan daerah sekitarnya, daerah genitalia
dipersempit dengan kain steril.
2. Kateter yang telah diolesi dengan pelicin / jelly dimasukkan ke dalam orifisium
uretra eksterna.
3. Pelan-pelan kateter didorong masuk dan kira-kira pada daerah daerah sfingter
uretra eksterna akan terasa tahanan; pasien diperintahkan untuk mengambil
nafas dalam supaya sfingter uretra eksterna menjadi lebih relaks. Kateter terus
didorong hingga masuk ke buli-buli yang ditandai dengan keluarnya urine dari
lubang kateter.
4. Kateter terus didorong masuk ke buli-buli hingga percabangan kateter
menyentuh meatus uretra eksterna.
5. Balon kateter dikembangkan dengan 5-10 ml air steril.
6. Jika diperlukan kateter menetap, kateter dihubungkan dengan pipa penampung
(urinbag).
7. Kateter difiksasi dengan plester di daerah inguinal atau paha bagian proksimal.
3.2 Kateterisasi Suprapubik

Kateterisasi Suprapubik adalah memasukkan kateter dengan membuat


lubang pada buli-buli melalui insisi suprapubik dengan tujuan mengeluarkan
urine.

Kateterisasi suprapubik ini biasanya dikerjakan pada :


1. Kegagalan pada saat melakukan kateterisasi uretra.
2. Ada kontraindikasi untuk melakukan tindakan transuretra, misalkan pada ruptur
uretra atau dugaan adanya ruptur uretra.
3. Untuk mengukur tekanan intravesikal pada studi sistotonometri.
4. Mengurangi penyulit timbulnya sindroma intoksikasi air pada saat TUR Prostat.

3.3. Prognosis
Prognosis pada penderita dengan retensio urine akut akan bonam jika retensio
urine ditangani secara cepat.
BAB III
RINGKASAN

Retensio Urine adalah ketidakmampuan seseorang untuk mengeluarkan urine


yang terkumpul di dalam buli-buli hingga kapasitas maksimal buli-buli terlampaui.
Menurut lokasi, penyebab retensio urine :
a.Supravesikal :
Kerusakan terjadi pada pusat miksi di Medula Spinalis setinggi
Th12-L1.
b. Vesikal :
Berupa kelemahan otot detrusor karena lama teregang, atoni pada
pasien DM atau penyakit neurologis.
c. Infravesikal (distal kandung kemih)
Penanganan retensio urine dengan mengevakuasi urine dari kandung kemih.
Urine dapat dikeluarkan dengan cara Kateterisasi atau Sistostomi. Penanganan pada
retensio urine akut berupa : kateterisasi.
Daftar Pustaka

1. Evaluasi Biakan Urine Pada Penderita BPH Setelah Pemasangan Kateter


Menetap Pertama Kali dan Berulang.Bagian Bedah. Universitas Sumatera
UtaraA
2. Manifestasi Neurologis Gangguan Miksi. Iskandar Japardi. Fakultas
Kedokteran Bagian Bedah. Universitas Sumatera Utara
3. Purnomo B.B . 2003. ‘Dasar-dasar Urologi’. SMF Bedah Fakultas
Kedokteran Universitas Brawijaya. CV.Infomedika : Jakarta. 227-233.
4. Retensio Urine Permasalahan dan Penatalaksanaan Widjoseno Gardjito
Lab/UPF Ilmu Bedah FK Unair/RSUD Dr. Soetomo Surabaya

Anda mungkin juga menyukai