Anda di halaman 1dari 17

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Seluruh pekerjaan kemanusiaan harus mengambil tindakan mulai dari tahap awal
keadaan darurat untuk mencegah kekerasan seksual dan menyediakan bantuan selayaknya
kepada para korban.

Kekerasan gender yang khususnya kekerasan seksual adalah masalah serius yang
mengancam jiwa perempuan dan anak-anak perempuan. Dalam banyak kasus kekerasan
berbasis gender adalah masalah internasional yang berkaitan dengan kesehatan masyarakat
dan hak azazi manusi dan bahwa pencegahan dan penanganan menyeluruh tidak pernah
ditemukan di hampir seluruh negara di seluruh dunia. Kekerasan gender merupakan persoalan
khusus dalam konteks keadaan darurat yang pelik dan bencana alam dimana perempuan dan
anak-anak sering kali menjadi sasaran kekerasan dan sangat rentan terhadap eksploitasi
kekerasan dan kesewenang-wenangan karena jenis kelamin, usia, dan status mereka dalam
masyarakat.

Kekerasan gender adalah pelanggarakan hak azasi manusia universal yang dilindungi
oleh konvensi hak azasi manusia internasional termasuk hak seorang untuk merasa aman, hak
untuk mencapai tingkat tertinggi kesehatan fisik dan mental, hak untuk bebas dari penyiksaan
dan perlakuan kejam atau tidak manusiawi dan melecehkan, dan hak untuk hidup.

Dengan demikian, ruang lingkup kekerasan terhadap perempuan terjadi dalam rumah
tangga (keluarga), di masyarakat luas (tempat publik), serta di wilayah negara. Landasan
hukum perumusan ini adalah Konvensi Penghapusan Segala bentuk Diskriminasi terhadap
Perempuan (1979) dan dikuatkan oleh Rekomendasi Umum CEDAW (Convention on the
Elimination of all Discrimination Againts Women) No. 19/1992 tentang kekerasan terhadap
perempuan sebagai kekerasan berbasis gender dan merupakan suatu bentuk diskriminasi
terhadap perempuan.

B. Rumusan Masalah

1. Apakah pengertian kekerasan seksual?

2. Bagaimana upaya yang dapat dilakukan?

1
3. Bagaimana penanganan kekerasan seksual terhadap perempuan?

4. Bagaimana persoalan-persoalan khusus kekerasan seksual?

5. Apa pemantauan yang dilakukan terhadap kekerasan seksual?

6. Bagaimana penggunaan Metode Pil Kontrasepsi Darurat?

C. Tujuan

1. Untuk mengetahui pengertian kekerasan seksual?

2. Untuk mengetahui upaya yang dapat dilakukan?

3. Untuk mengetahui penanganan kekerasan seksual terhadap perempuan?

4. Untuk mengetahui persoalan-persoalan khusus kekerasan seksual?

5. Untuk mengetahui pemantauan yang dilakukan terhadap kekerasan seksual?

6. Untuk mengetahui penggunaan Metode Pil Kontrasepsi Darurat?

2
BAB II

KAJIAN TEORI

2.1 Pengertian Kekerasan Seksual

Istilah kekerasan berasal dari bahasa Latin violentia, yang berarti keganasan,
kebengisan, kedahsyatan, kegarangan, aniaya, dan perkosaan (sebagaimana dikutip Arif
Rohman : 2005). Tindak kekerasan, menunjuk pada tindakan yang dapat merugikan orang
lain. Misalnya, pembunuhan, penjarahan, pemukulan, dan lain-lain. Walaupun tindakan
tersebut menurut masyarakat umum dinilai benar. Pada dasarnya kekerasan diartikan sebagai
perilaku dengan sengaja maupun tidak sengaja (verbal maupun nonverbal) yang ditujukan
untuk mencederai atau merusak orang lain, baik berupa serangan fisik, mental, sosial,
maupun ekonomi yang melanggar hak asasi manusia, bertentangan dengan nilai-nilai dan
norma-norma masyarakat sehingga berdampak trauma psikologis bagi korban.
Menurut Thomas Hobbes, kekerasan merupakan sesuatu yang alamiah dalam
manusia. Dia percaya bahwa manusia adalah makhluk yang dikuasai oleh dorongan-dorongan
irasional, anarkis, saling iri, serta benci sehingga menjadi jahat, buas, kasar, dan berpikir
pendek. Hobbes mengatakan bahwa manusia adalah serigala bagi manusia lain (homo homini
lupus). Oleh karena itu, kekerasan adalah sifat alami manusia. Dalam ketatanegaraan, sikap
kekerasan digunakan untuk menjadikan warga takut dan tunduk kepada pemerintah. Bahkan,
Hobbes berprinsip bahwa hanya suatu pemerintahan negara yang menggunakan kekerasan
terpusat dan memiliki kekuatanlah yang dapat mengendalikan situasi dan kondisi bangsa.

Kekerasan berbasis gender (selanjutnya akan disebut KBG) adalah setiap tindakan
berdasarkan perbedaan jenis kelamin yang berakibat kesengsaraan atau penderitaan pada
seseorang baik secara fisik, seksual, ekonomi atau psikologis, termasuk ancaman tindakan
tertentu, pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara sewenang-wenang baik yang
terjadi di depan umum atau dalam lingkungan kehidupan pribadi.

Kekerasan Berbasis Gender melanggar sejumlah hak asasi manusia universal yang
dilindungi oleh berbagai peraturan dan konvensi internasional. Banyak tetapi tidak semua
bentuk dari KBG adalah ilegal dan merupakan tindakan kriminal seperti yang diatur dalam
hukum dan kebijakan satu negara. Di seluruh dunia, KBG lebih banyak terjadi kepada
perempuan dan anak-anak perempuan daripada laki-laki dan anak lelaki. Istilah “kekerasan
berbasis gender” seringkali dipergunakan secara bersamaan dengan istilah “kekerasan

3
terhadap perempuan” karena istilah “kekerasan berbasis gender” menyoroti dimensi gender
dalam bentuk-bentuk tindakan ini terjadi karena konstruksi gender telah menempatkan status
perempuan sebagai kelas kedua di dalam masyarakat dan oleh karena relasi kuasa yang tidak
setara ini, perempuan menjadi sangat rentan terhadap kekerasan. Penting untuk diingat bahwa
laki-laki dan anak-anak lelaki bisa menjadi korban KBG, khususnya kekerasan seksual,
terutama bila karena konstruksi gender budaya setempat membuat laki-laki dan anak laki-laki
berada pada posisi yang lemah (tidak berkuasa) dibandingkan dengan strata laki-laki lain
ataupun perempuan (IASC, 2015).

Kekerasan Berbasis Gender dapat terjadi di wilayah pribadi (misalnya kekerasan


dalam rumah tangga atau pacaran) maupun publik (kekerasan di tempat kerja atau di tempat
umum), dalam situasi normal ataupun sulit (bencana, perang, konflik), baik yang terjadi di
tingkat individu, komunitas, atau negara.

2.2 Upaya Pencegahan


1. Mengintegrasikan KBG ke dalam pengelolaan program, mulai dari kajian/asesmen,
perencanaan, pelaksanaan, monitoring, dan evaluasi. Pengintegrasian ini dapat menjadi
salah satu strategi untuk pencegahan terjadinya KBG pada respon bencana/kemanusiaan.

Kajian dan  Lakukan kajian dan analisis dampak dari krisis kemanusiaan terhadap
Analisis: perempuan, anak perempuan, anak laki-laki dan laki-laki
 Pastikan, misalnya, semua kajian kebutuhan memasukkan isu gender
dalam pengumpulan informasi dan tahapan analisis
 Pastikan bahwa perempuan, anak perempuan, anak laki-laki dan laki-
laki diajak berdiskusi (konsultasi) dalam proses kajian (asesmen),
pemantauan dan evaluasi

Merancang  Rancanglah layanan-layanan yang memenuhi kebutuhan laki-laki dan


Layanan/ perempuan secara berimbang (setara).
Bantuan:  Masing-masing sektor sebaiknya melihat kembali bagaimana cara
mereka bekerja dan memastikan bahwa perempuan dan laki-laki
mendapatkan manfaat yang sama dari layanan/bantuan yang
diberikan. Misalkan adanya kamar mandi yang terpisah untuk laki-
laki dan perempuan yang terjamin keamanannya, pemilihan waktu

4
untuk pelatihan, pendistribusian bantuan makanan maupun non-
pangan yang memungkinkan setiap orang untuk datang atau
mengakses, dll

Memastikan  Pastikan bahwa perempuan dan laki-laki mendapatkan akses layanan


Akses : yang setara
 Setiap sektor sebaiknya melakukan pemantauan secara berkelanjutan
siapa yang menggunakan akses layanan tersebut dan
mengkonsultasikannnya dengan masyarakat untuk memastikan bahwa
setiap orang dapat mengakses layanan/ bantuan yang tersedia.

Memastikan  Pastikan perempuan, anak perempuan, laki-laki, dan anak laki-laki


partisipasi dapat berpartisipasi secara setara dalam merancang, melaksanakan,
/pelibatan: memantau, dan mengevaluasi respon/aksi kemanusiaan
 Pelibatan juga memastikan perempuan terlibat sebagai pengambil
keputusan
 Jika menyulitkan untuk memasukkan perempuan sebagai anggota
komite (yang membuat keputusan) maka bisa dengan cara menyusun
mekanisme yang dapat memastikan suara perempuan (dan juga anak-
anak) disampaikan dan pada komite pembuat keputusan dan
dipertimbangkan dalam membuat keputusan

Pelatihan:  Pastikan bahwa perempuan dan laki-laki mendapat manfaat yang


setara dari berbagai pelatihan atau bentuk kegiatan penguatan
kapasitas lainnya yang dilakukan oleh berbagai pemangku
kepentingan (berbagai pihak)
 Pastikan perempuan dan laki-laki memiliki kesempatan yang setara
untuk mengembangkan kapasitasnya dan mengikuti pelatihan
termasuk kesempatan yang setara untuk bekerja atau dipekerjakan

Menyasar  Pastikan bahwa setiap sektor melakukan upaya/aksi tertentu untuk


Isu KBG: mencegah atau merespon terhadap KBG
 Panduan Intervensi KBG dalam Situasi Kemanusiaan yang
dikembangkan oleh IASC sebaiknya digunakan oleh setiap pihak

5
sebagai alat untuk melakukan perencanaan dan koordinasi

Pemilahan  Kumpulkan dan analisis data untuk melakukan respon kemanusiaan


Data berdasarkan usia dan jenis kelamin, dengan analisis dan penggunaan
Berdasarkan yang berbeda yaitu untuk mengembangkan profil (gambaran)
Usia dan kelompok rentan dan bagaimana kebutuhan mereka dapat dipenuhi
Jenis oleh bantuan yang diberikan pada tiap sektor
Kelamin:

Sasaran  Berdasarkan analisis gender yang dilakukan, pastikan bahwa


Aksi perempuan, anak perempuan, laki-laki, dan anak laki-laki menjadi
(Penerima sasaran dari aksi/ kegiatan khusus bila diperlukan.
Manfaat) :  Ketika satu kelompok dianggap lebih berisiko (rentan) dari kelompok
lain, maka penilaian khusus perlu dilakukan untuk melindungi
kelompok tersebut. Misalnya keberadaan ruang ramah perempuan dan
penilaian yang dilakukan untuk melindungi anak laki-laki dari
perekrutan paksa dalam situasi konflik atau untuk bekerja

Koordinasi:  Bentuklah (bangunlah) jaringan dukungan untuk isu gender untuk


memastikan koordinasi dan pengarusutamaannya
(pengintegrasiannya) dilakukan dalam berbagai bidang pada kerja-
kerja kemanusiaan.
 Para pelaku aksi kemanusiaan dari berbagai sektor sebaiknya terlibat
aktif dalam mekanisme koordinasi tersebut

2. Pengelolaan Informasi KBG dalam alat bantu Komunikasi, Informasi dan Edukasi (KIE)

KIE menggabungkan strategi, pendekatan, dan metode yang memungkinkan individu,


keluarga, kelompok, organisasi, dan komunitas untuk aktif berperan dalam mencapai,
melindungi, dan menjaga keberlangsungan dan kesejahteraan mereka. Pada KIE juga terdapat
proses belajar yang memberdayakan orang untuk membuat keputusan, merubah perilakunya,
dan juga merubah kondisi sosial.

6
Pada konteks KBG maka perubahan perilaku yang disasar dengan KIE adalah:
1. Menurunkan angka kejadian KBG
2. Memastikan mereka yang mengalami KBG mendapatkan layanan penanganan
KBG sesuai yang mereka butuhkan
2.3 Penanganan Kekerasan Seksual terhadap Perempuan

Pencegahan dan Penanggulangan Tindak Kekerasan Terhadap Perempuan

Pencegahan dan penanganan kekerasan terhadap perempuan, masyarakat menyadari


bahwa kekerasan terhadap perempuan sebagai masalah yang perlu diatasi. Diantaranya
dengan :

a. Menyebarluaskan produk hukum tentang pelecehan seks di tempat kerja. Membeli


perempuan tentang penjagaan keselamatan diri. Melaporkan tindak kekerasan pada
pihak berwenang.
b. Peran petugas kesehatan dalam mencegah kekerasan terhadap perempuan di antaranya
melakukan penyuluhan untuk pencegahan dan penanganan kekerasan terhadap
perempuan.
c. Meningkatkan pengetahuan dan kemampuan dalam menangani kasus kekerasan
terhadap perempuan. Bermitra dan berpartisipasi dalam pengembangan jaringan kerja
untuk menanggulangi masalah KTP dengan instansi terkait, lembaga social
masyarakat.
Upaya-upaya penanggulangan terhadap kekerasan seksual terhadap perempaun :
- Mengubah pandangan masyarakat yang selalu menganggap bahwa perempuan
hanyalah warga negara kelas dua (second class citizen).
- Kekerasan dalam rumah tangga dapat diatasi dengan adanya saling pengertian
diantara pasangan suami istri, saling percaya, keterbukaan, saling menghargai,
kesetaraan gender, dll.
- Menumbuhkan kepedulian masyarakat terhadap masalah tindak kekerasan
terhadap perempuan.
- Penyuluhan kepada masyarakat tentang pentingnya hak-hak dan kedudukan
perempuan dalam masyarakat, bentuk tindak kekerasan terhadap perempuan,
tindakan-tindakan yang perlu dilakukan untuk mencegah terjadinya tindak
kekerasan terhadap perempuan.

7
- KUHP sebagai salah satu sumber hukum pidana yang mempunyai kaitan langsung
dengan tindak kekerasan terhadap perempuan, dapat dijadikan instrumen dalam
penanggulangan secara yuridis.
- Penegakan hukum terhadap kasus kekerasan seksual terhadap perempuan
- Pendidikan kesehatan sebagai upaya memberikan penjelasan kepada perorangan,
kelompok atau masyarakat untuk menumbuhkan pengertian, dan kesadaran
mengenai perilaku sehat atau kehidupan yang sehat.
- Kerja sama antara sektor kesehatan, kepolisian, sistem hukum pidana, pendidikan,
kesejahteraan sosial, ketenagakerjaan, dan sektor lain untuk menghadapi persoalan
kekerasan terhadap perempuan.
- Dukungan pemerintah pusat dan daerah sangat diperlukan untuk memberi
landasan hukum dan operasional serta alokasi anggaran untuk memastikan
layanan bagi perempuan korban kekerasan dapat berjalan.
Peran Komitmen Komnas Perempuan
Sebagai Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan)
yang independen, sesuai mandatnya Komnas Perempuan memfokuskan diri pada upaya
penghapusan kekerasan terhadap perempuan serta upaya menciptakan suasana kondusif bagi
pemenuhan hak asasi perempuan, termasuk hak-hak perempuan korban kekerasan, yaitu hak
atas kebenaran, keadilan dan pemulihan. Untuk mewujutkan mandatnya kmnas perempuan
bekerja dengan membentuk 4 sub komisi, yaitu sub komisi Reformasi Hukum,Sub Kom
Pemulihan,Sukom Pemantauan dan Sub Kom Litbang dan Pendidikan.
Komnas Perempuan dalam menjalankan mandatnya bermitra kerja dengan institusi
pemerintah, LSM,Organisasi sosial dan budaya, organisasi agama dan PT di pusat maupun
daerah, regional maupun internasional.
Sub Kom Reformasi Hukum dan Kebijakan pada periode 2007-2009 salah satu
program kerjanya menjalin hubungan dengan aparat penegak hukum dan organisasi
kemasyakatan sipil (Penguatan Penagak Hukum/PPH). Hasil dari kerjasama ini telah
terwujud dari Sistem Peradilan Pidana Terpadu (SPPT) antara aparat penegak hukum dan
para advokat/pengacara.
“Pertama, pencegahan kekerasan dan penanganan yang salah terhadap anak. Anak-
anak yang mengalami kekerasan dan terpapar pada orangtua yang saling menyakiti lebih
berisiko mengalami hubungan yang menyakitkan, baik sebagai pelaku maupun korban," ujar
Garcia-Moreno.

8
"Kedua, pemberdayaan perempuan, dengan pemberian akses terhadap pendidikan
menengah, akses untuk pekerjaan, peluang ekonomi. Ketiga, intervensi terkait norma-norma
sosial. Masih banyak negara yang menganggap kekerasan terhadap permpuan adalah sesuatu
yang dapat diterima."
WHO mencatat bahwa membicarakan kekerasan terhadap perempuan dianggap tabu
di banyak negara, jadi penyiksaan terus berlanjut. Organisasi ini mengatakan kesadaran dan
diskusi terbuka mengenai masalah ini adalah kunci pencegahan.
Panduan-panduan baru dari WHO menekankan pentingnya pelatihan di semua tingkat
pekerja kesehatan untuk menyadari ketika perempuan berisiko mengalami kekerasan dari
pasangannya dan untuk mengetahui bagaimana mengatasi masalah tersebut. WHO
mengatakan pemberlakuan dan penegakkan undang-undang lebih banyak dan lebih baik
adalah penting untuk mengekang kekerasan terhadap perempuan.

2.4 Persoalan-Persoalan Khusus terkait KBG


1. Perkosaan/Percobaan perkosaan
Merupakan hubungan seksual yang tidak disetujui bersama. Hal ini termasuk
penyerangan terhadap bagian tubuh manapun dengan menggunakan alat kelamin
dan/atau penyerangan terhadap alat kelamin atau lubang dubur dengan benda apapun
atau bagian tubuh apapun. Perkosaan dan percobaan perkosaan mengandung unsur
kekuasaan, ancaman, dan/atau paksaan. Penetrasi dalam bentuk apapun adalah
perkosaan. Upaya untuk memperkosa seseorang tetapi tanpa penetrasi adalah
percobaan perkosaan.

Perkosaan/percobaan perkosaan termasuk:

- Perkosaan terhadap perempuan dewasa


- Perkosaan terhadap anak-anak (perempuan atau laki-laki), termasuk juga
hubungan sedarah (incest)
- Perkosaan yang dilakukan oleh lebih dari satu pelaku
- Perkosaan dalam pernikahan, antara suami dan istri
- Perkosaan terhadap laki-laki, atau dikenal sebagai sodomi
2. Penganiayaan Seksual
Penganiayaan seksual adalah bentuk nyata atau ancaman fisik secara seksual,
baik dengan menggunakan kekerasan atau di bawah ketidaksetaraan atau kondisi
pemaksaan.

9
3. Eksploitasi seksual
Merupakan bentuk nyata atau percobaan penganiayaan yang mengandung
unsur kerentanan, perbedaan kekuasaan, atau kepercayaan, untuk tujuan-tujuan
seksual, termasuk untuk, tetapi tidak membatasi, keuntungan finansial, secara sosial
atau politik dengan mengeksploitasi seseorang secara seksual.
4. Kekerasan seksual
Merupakan tindakan seksual apapun, percobaan untuk melakukan kegiatan
seksual, kata-kata atau cumbuan seksual yang tidak diinginkan, atau perdagangan
seksualitas seseorang, menggunakan paksaan, ancaman atau paksaan fisik, oleh
siapapun apapun hubungannya dengan si korban, di mana pun, termasuk tetapi tidak
hanya di rumah atau di tempat kerja”. Kekerasan seksual terjadi dalam banyak bentuk,
termasuk perkosaan, perbudakan seks, dan/atau perdagangan, kehamilan yang
dipaksakan, pelecehan seksual, eksploitasi seksual dan/atau penganiayaan, dan
pengguguran kandungan yang dipaksakan.
5. Kekerasan fisik mengacu pada tindakan yang menyakiti tubuh.
6. Kekerasan psikologis mengacu pada tindakan atau peniadaan yang menyebabkan atau
dapat menyebabkan penderitaan mental atau emosional, seperti –namun tidak terbatas
pada- intimidasi, pelecehan, penguntitan, pengerusakan properti/barang,
dipermalukan, kekerasan verbal, dan perselingkuhan. Menyaksikan kekerasan
terhadap anggota keluarga, pornografi, menyaksikan penyiksaan hewan, atau
melarang mengunjungi anak juga merupakan bentuk dari kekerasan psikologis.
7. Penelantaran ekonomi merujuk pada perilaku yang membuat perempuan bergantung
secara finansial, misalnya dengan cara:
a. Menarik dukungan finansial atau melarang korban bekerja
b. Diambil atau diancam untuk diambil sumber penghasilannya dan hak untuk
menikmati harta bersama
c. Mengontrol uang dan kepemilikan korban
8. Bentuk kekerasan berbasis gender lainnya, kategori ini dipakai jika tidak memenuhi
kriteria di atas. Namun KDRT, kekerasan pada anak, tindak pidana perdagangan
orang, perbudakan seksual dan eksploitasi tidak termasuk di dalam kategori ini.

10
2.5 Pemantauan

Dalam perjalanan melaksanakan mandat pemantauan, sampai saat ini Komnas


Perempuan sudah mengembangkan setidaknya tujuh bentuk pemantauan dengan kerangka
Hak Asasi Perempuan dengan beberapa ciri dan kekhasan yang membedakan pendekatan satu
dan yang lain, mekanisme tersebut adalah sebagai berikut:

1. Pembentukan UPR (Unit Pengaduan dan Rujukan)

Seiring dengan kerja-kerja Komnas Perempuan yang semakin beragam, maka pengaduan
kasus-kasus Kekerasan terhadap Perempuan yang ditujukan ke Komnas Perempuan melalui
surat, telepon, datang langsung dan e-mail yang masuk ke Komnas Perempuan semakin
meningkat. Ini dapat dianggap sebagai indikator kepercayaan publik terhadap kelembagaan
Komnas Perempuan. Namun karena Komnas Perempuan tidak memiliki mandat untuk
melakukan penanganan kasus maupun pendampingan individu, maka dibentuklah Unit
Pengaduan dan Rujukan (UPR). Unit ini berdiri sejak tahun 2005, yang dikelola oleh relawan
dan Komnas Perempuan sebagai upaya pelibatan masyarakat dalam menghapuskan
Kekerasan terhadap Perempuan. Setiap tahunnya rata-rata Komnas Perempuan menerima dan
merujuk 800 pengaduan. Kepada para pengelola UPR juga telah dikenalkan case conference
atau gelar kasus untuk menganalisis dan mengidentifikasi kekerasan berbasis gender untuk
kasuskasus yang masuk serta mekanisme care for care givers yaitu upaya pemulihan bagi
para penerima pengaduan kasus.

2. Pencarian Fakta (Fact Finding)

Pencarian fakta adalah langkah awal yang diambil agar mendapatkan gambaran dasar
dan menyeluruh atas suatu peristiwa yang akan dipantau. Biasanya pencarian fakta dilakukan
dalam waktu yang tidak terlalu lama dengan melakukan kunjungan lapangan, dan bertemu
para pihak terkait. Pencarian fakta yang pernah dilakukan Komnas Perempuan adalah pada
Kasus Lapindo dan penembakan Petani Alas Tlogo, Pasuruan dan peristiwa penyerangan
komunitas Ahmadiyah di Cianjur dan NTB.

3. Pembentukan Tim Pemantau

Tim Pemantau dibentuk jika dirasa perlu untuk melakukan pemantauan lebih lanjut. Tim
ini dapat terdiri dari tim internal Komnas Perempuan, maupun bekerja sama dengan mitra
Komnas Perempuan.

11
4. Mengembangkan Jaringan Pemantau

Jaringan Pemantau biasanya dibentuk di wilayah di mana akan dilakukan pemantauan,


bekerja sama dengan lembaga-lembaga mitra di lokasi/wilayah pemantauan dilaksanakan.
Harapannya kelak, lembaga-lembaga mitra ini memiliki pengalaman dan kapasitas memantau
pelanggaran Hak Asasi Perempuan.

5. Membangun Data Kekerasan terhadap Perempuan secara berkala

Sejak tahun 2001 Komnas Perempuan menginisiasikan pengumpulan data nasional


tahunan tentang Kekerasan terhadap Perempuan (KtP), ini biasa disebut CATAHU (Catatan
Tahunan). Data didapat dari para mitra Komnas Perempuan mencakup Pengadilan (Negeri,
Tinggi, Agama), Kejaksaan, Kepolisian, Rumah Sakit, dan Lembaga-lembaga pengada
layanan, pada tahun 2010 ini lembaga mitra yang berkontribusi data-untuk diolah mencapai
383 lembaga. Berdasarkan kompilasi data kekerasan terhadap perempuan dari 383 lembaga
mitra pengada layanan yang mengisi dan mengirim kembali datanya kepada Komnas
Perempuan diperoleh jumlah korban KTP tahun 2010 ini, yaitu 105.103 korban. Jika
dibandingkan dengan kompilasi data tahun yang lalu, angka kekerasan pada tahun ini lebih
kecil kurang-lebih 27%. Lebih kecilnya angka korban KTP tahun ini tidak dapat diartikan
bahwa dalam tahun 2010 kekerasan terhadap perempuan berkurang. Ada sejumlah faktor
yang ditengarai menjadi penyebab, khususnya berkaitan dengan pendokumentasian kasus
kekerasan terhadap perempuan yang dilakukan oleh masing-masing lembaga. Di antara
sejumlah faktor penyebab yang hampir selalu disebutkan oleh lembaga mitra pengada
layanan adalah: keterbatasan SDM (dalam hal ketrampilan pendataan dan pergantian –
turnover yang cepat), keterbatasan fasilitas (perangkat komputer, dan peralatan lain yang
diperlukan untuk pendataan), pemahaman akan pengisian format pendataan (yang juga
seringkali diubah atau disesuaikan dengan keadaan pengaduan dari tahun ke tahun),
pendanaan dalam rangka mendukung pendokumentasian kasus, dan keengganan korban
untuk secara formal dicatat kasusnya (karena kekhawatiran dan ketakutan akan adanya
stigma atau tanggapan negatif dari masyarakat tentang kasus kekerasan yang dialaminya).
Kendala lain yang ditengarai oleh Komnas Perempuan di antaranya pembenahan internal
organisasi sehingga yang biasa turut berpartisipasi mengirimkan data pada tahun ini tidak
berhasil mengirimnya tepat waktu. Ada pula sejumlah lembaga yang pada tahun ini secara
khusus mempersiapkan dokumentasi laporan dalam rangka memperingati 100 Tahun Hari
Perempuan Internasional. Secara umum, kendala seperti disebutkan oleh berbagai pihak ini

12
menunjukkan bahwa memang ‘kesadaran’ akan pentingnya pendokumentasian kasus KTP
masih sangat kurang. Oleh karena itu, Komnas Perempuan berupaya melakukan sosialisasi
pentingnya CATAHU bagi semua pihak dalam kerangka advokasi kebijakan untuk
menghapuskan segala bentuk kekerasan terhadap perempuan.

Dari pencatatan KtP secara berkala ini dapat terlihat besarnya jumlah KTP, kenaikan tersebut
dicatat Komnas Perempuan karena sistem pendokumentasian di masingmasing lembaga
semakin tahun semakin baik dan dikarenakan semakin banyak perempuan korban kekerasan
yang berani melaporkan kasusnya. Yang pada tahun ini secara khusus mempersiapkan
dokumentasi laporan dalam rangka memperingati 100 Tahun Hari Perempuan Internasional.
Secara umum, kendala seperti disebutkan oleh berbagai pihak ini menunjukkan bahwa
memang ‘kesadaran’ akan pentingnya pendokumentasian kasus KTP masih sangat kurang.
Oleh karena itu, Komnas Perempuan berupaya melakukan sosialisasi pentingnya CATAHU
bagi semua pihak dalam kerangka advokasi kebijakan untuk menghapuskan segala bentuk
kekerasan terhadap perempuan. Dari pencatatan KtP secara berkala ini dapat terlihat besarnya
jumlah KTP, kenaikan tersebut dicatat Komnas Perempuan karena sistem pendokumentasian
di masingmasing lembaga semakin tahun semakin baik dan dikarenakan semakin banyak
perempuan korban kekerasan yang berani melaporkan kasusnya. Yang pada tahun ini secara
khusus mempersiapkan dokumentasi laporan dalam rangka memperingati 100 Tahun Hari
Perempuan Internasional. Secara umum, kendala seperti disebutkan oleh berbagai pihak ini
menunjukkan bahwa memang

‘kesadaran’ akan pentingnya pendokumentasian kasus KTP masih sangat kurang. Oleh
karena itu, Komnas Perempuan berupaya melakukan sosialisasi pentingnya CATAHU bagi
semua pihak dalam kerangka advokasi kebijakan untuk menghapuskan

segala bentuk kekerasan terhadap perempuan. Dari pencatatan KtP secara berkala ini dapat
terlihat besarnya jumlah KTP, kenaikan tersebut dicatat Komnas Perempuan karena sistem
pendokumentasian di masingmasing lembaga semakin tahun semakin baik dan dikarenakan
semakin banyak perempuan korban kekerasan yang berani melaporkan kasusnya. Isu-isu
tertentu Laporan Pelapor Khusus adalah independen dan tidak harus

selalu mencerminkan pandangan Komnas Perempuan. Sampai sekarang Komnas Perempuan


telah menyelesaikan laporannya dari Pelapor Khusus Aceh, Pelapor Khusus Poso, dan
Pelapor Khusus Mei 1998.

13
Prinsip Utama Pemantauan

Sedikit banyak, pekerjaan pemantauan adalah kerja melayani kebutuhan perempuan korban
kekerasan. Karena itu ada rambu-rambu yang perlu diperhatikan ketika melakukan
pemantauan, seperti:

1. Kejelasan (clarity); kejelasan fokus pemantauan;

2. Menghargai hak korban, bahwa mungkin saja korban memiliki kehendak sendiri yang
harus dihargai;

3. Pemahaman dari perspektif korban mensyaratkan kemampuan untuk sungguh-sungguh


meyakini dan menghormati hak-hak asasi dan martabat manusia, terlepas dari atribut
apapun yang dibawa oleh korban: kelas sosial ekonomi, agama, suku, pendidikan,
ideologi, dan tentu saja, gender. Pemahaman dari perspektif korban mensyaratkan
kemampuan memahami adanya ketidakseimbangan kekuasaan antara pihak-pihak terkait
dalam kekompleksannya;

4. Obyektif; bebas dari praduga dan tidak bias;

5. Independen; keputusan yang diambil oleh pemantau bebas dari kepentingan manapun;

6. Non-Diskriminasi; tidak membeda-bedakan pekerjaan berdasarkan ras, jenis, kelamin,


budaya, serta asal-usul;

7. Akuntabel; berpegang pada mandat sebagai pemantau;

8. Menjaga kerahasiaan: narasumber dan dokumen-dokumen serta hasil temuan. Batas-


batas kerahasiaan, dan untuk apa informasi itu dirahasiakan dan bagaimana
menggunakannya perlu diinformasikan kepada narasumbe;

9. Pemberdayaan; pemantauan untuk memberdayakan yaitu membuka peluang bagi para


pemantau dan narasumbe untuk meningkatkan kapasitas kemampuan diri.

2.6 Metode Pil Kontrasepsi Darurat

Ada dua macam kontrasepsi darurat :


1. Mekanik

14
Satu –satunya kondar mekanik adalah AKDR copper (yang mengandung tembaga).
Jika di pasang dalam waktu kurang dari tujuh hari setelah senggama, AKDR ini mampu
mencegah kehamilan.
2. Medik
Paling sedikit ada 5 cara pemberian kontrasepsi darurat yang telah di teliti secara luas.
5 motoda terbanyak masing – masing bersifat hormonal dan saat ini di terapkan secara oral. 5
cara tersebut adalah: pil KB kombinasi (mycrogynon), pil progestin (postinor-2), pil
estrogenc(premarin), mifepristone(RU-468), danazol(danocrine).
Sedangkan di Amerika serikat telah di perkirakan bahwa kontrasepsi darurat akan
dapat mencegah 1,7 juta kehamilan yang tidak di inginkan. Menurut Speroff dan Darney
kontrasepsi ini merupakan pilihan yang penting bagi pasien, dan harus di pertimbangkan saat
terjadi terlepas dari tempatnya, atau setelah penggunaan metode lain.
Dalam penelitian di unit –unit aborsi, 50% – 60% pasien seharusnya dulu cocok
untuk menggunakan kontrasepsi darurat dan akan menggunakan jika mudah di peroleh
(Speroff, Darney, 2003).
Dosis berbagai merek pil yang diperlukan sebagai kontrasepsi darurat

Nama pil Isi Jumlah yang harus diminum


Max 72 jam 12 jam
kemudian
Neogynon EE: 2 2
ethiylestradiol
50 mg,
LNG:
levonorgestrel
250 mg
Eugnon 50, ovral EE 50 mg+ NG: 2 2
dl. Norgestrel
500 mg
Mycrogynon 30, EE 30 mg+ 4 4
nordette LNG: 150 mg
Microlut LNG 30 mg 25 25

15
BAB III

PENDAHULUAN

3.1 Kesimpulan

Kekerasan berbasis gender (selanjutnya akan disebut KBG) adalah setiap


tindakan berdasarkan perbedaan jenis kelamin yang berakibat kesengsaraan atau penderitaan
pada seseorang baik secara fisik, seksual, ekonomi atau psikologis, termasuk ancaman
tindakan tertentu, pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara sewenang-wenang baik
yang terjadi di depan umum atau dalam lingkungan kehidupan pribadi. Tindakan kekerasan
berbasis gender ini memerlukan penanganan dan penanggulangan oleh masyarakat maupun
pemerintah untuk menghindari kekerasan yang berkelanjutan.

3.2 Saran

Dengan mengetahui penanggulangan kekerasan seksual dan kekerasan berbasis


gender diharapakan pembaca dapat mengaplikasikan ilmu ini dalam kehidupan sehari-hari
sehingga kekerasan berbasis gender dapat dihindari.

16
DAFTAR PUSTAKA

Nani Kurniasih.2011.Kajian Yuridis Sosiologis terhadap Kekerasan yang Berbasis


Gender.Jakarta: Erlangga.

Panduan Pencegahan Berbasis Gender (GBV) Masa Kondisi Darurat Kemanusiaan Berfokus
pada Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual dalam Masa Darurat.

17

Anda mungkin juga menyukai