Anda di halaman 1dari 69

Hambatan Penglihatan

,, ANAK DENGAN HAMBATAN PENGLIHATAN ‘’


Tunanetra

A. Pengertian Tunanetra

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata ‘tunanetra’ memiliki arti tidak
dapat melihat dan menurut literatur berbahasa Inggris dikenal dengan nama visual
handicapped atau visual impairment. Pada umumnya orang mengira bahwa
tunanetra identic dengan buta, padahal tidaklah demikian karena tunanetra dapat
diklasifikasikan ke dalam beberapa kategori.

Dalam bidang pendidikan khusus, anak dengan gangguan penglihatan disebut


dengan anak tunanetra. Baik itu yang buta total atau yang penglihatan kurang.
Tunanetra dapat diukur dan dilihat dari sudut pandang medis dan pendidikan.
Secara medis, seseorang dikatakan tunanetra jika memiliki visus (tajam
penglihatan) 20/200 atau lantang pandang kurang dari 20 derajat. Sedangkan dari
segi pendidikan, seorang anak dikatakan tunanetra apabila media yang digunakan
dalam pembelajaran adalah indera peraba (tunanetra total/buta total) atau yang
masih bisa membaca dan menulis namun dengan ukuran tulisan yang lebih besar
(low vision/ kurang lihat).

Dengan demikian, pengertian anak tunanetra adalah individu yang indra


penglihatannya tidak berfungsi sebagai saluran penerima informasi dalam
kegiatan sehari-hari seperti orang awas. Anak-anak dengan gangguan penglihatan
ini dapat diketahui dari beberapa kondisi berikut:

1. Ketajaman penglihatannya kurang dari ketajaman penglihatan orang awas.


2. Terjadi kekeruhan pada lensa mata atau terdapat cairan tertentu.
3. Posisi mata sulit dikendalikan oleh saraf otak
4. Terjadi kerusakan susunan saraf yang berhubungan dengan penglihatan.
B. Klasifikasi Anak Tunanetra

1. Klasifikasi tunanetra berdasarkan waktu terjadinya ketunaan menurut


Lowenfeld (1995):
a. Tunanetra sejak lahir, yakni mereka yang sama sekali tidak memiliki
pengalaman penglihatan.
b. Tunanetra setelah lahir, mereka sempat memiliki kesan serta
pengalaman virtual, tetapi mudah terlupakan.
c. Tunanetra pada usia sekolah atau remaja, mereka telah memiliki kesan
visual dan meninggalkan pengaruh yang cukup kuat.
d. Tunanetra pada usia dewasa, umumnya mereka dengan segala
kesadaran mampu melakukan latihan penyesuaian
e. Tunanetra pada usia lanjut, sebagian besar sulit untuk mengikuti latihan
penyesuaian diri.
f. Tunanetra akbibat bawaan/ keturunan (partial sight)
2. Klasifikasi tunanetra berdasarkan kempuan daya penglihatan:
a. Tunanetra ringan (defective vision/low vision), mereka memiliki
hambatan penglihatan, namun masih mamou mengikuti program
pendidikan dan melakukan pekerjaan/ kegiatan dengan menggunakan
fungsi penglihatan yang dimiliki.
b. Tunanetra setengah berat (partially sighted), mereka kehilangan
sebagian daya penglihatan dan memerlukan alat bantu seperti kaca
pembesar serta membaca huruf yang bercetak tebal untuk mengikuti
pendidikan.
c. Tunanetra berat (totally blind), mereka sudah tidak memiliki sisa
penglihatan sama sekali.
3. Klasifikasi tunanetra didasarkan pemeriksaan klinis menurut WHO:
a. Tunanetra yang memiliki visus kurang dari 20/200 dan/atau memiliki
lantang pandang kurang dari 20 derajat.
b. Tunanetra yang masih memiliki visus antara 20/70 sampai dengan
20/200 yang dapat menjadi baik melalui perbaikan.
4. Klasifikasi berdasarkan kelainan pada mata menurut Howarddan Orlansky:
a. Myopia, kelainan penglihatan dimana bayangan tidak terfokus karena
bayangan jatuh di belakang retina. Penglihatan akan menjadi jelas jika
benda didekatkan atau menggunakan kacamata koreksi negatif.
b. Hyperopia, kelainan penglihatan dimana penglihatan tidak terfokus
karena bayangan jatuh di depan retina. Penglihatan akan menjadi jelas
jika benda dijauhkan atau menggunakan kacamata koreksi positif.
c. Astigmatisma, kelainan yang disebabkan oleh kornea mata yang tidak
normal sehingga bayangan benda baik pada jarak dekat maupun jauh
tidak terfokus jatuh pada retina. Untuk membantu proses penglihatan
dibutuhkan kacamata koreksi dengan lensa silindris.

C. Karakteristik Anak Tunanetra


Anak yang memiliki keterbatasan dalam penglihatan memiliki
karakteristik atau ciri khas yang merupakan implikasi atau akibat dari
kehilangan informasi secara visual. Karakteristik tersebut diantaranya adalah:
1. Rasa curiga terhadap orang lain
Karena seorang anak tunanetra tidak dapat melihat ekspresi dari lawan
bicaranya, ketika lawan bicara tersebut berbicara dengan orang lain
dengan suara yang berbisik, anak tunanetra seringkali merasakan
ketidakamanan dan curiga terhadap orang lain. Oleh karena itu, anak
tunanetra perlu dikenalkan dengan orang-orang di sekitar lingkungannya,
khususnya orang-orang yang akan selalu berinteraksi dengannya untuk
memupuk kepercayaan terhadap orang-orang dan lingkungan sekitar.
2. Perasaan mudah tersinggung
Terkadang anak tunanetra seringkali tersinggung terhadap candaan dalam
interaksi dengan lingkungan sekitarnya. Perasaan mudah tersinggung ini
harus diatasi dengan cara memperkenalkan anak terhadap lingkungan
sekitar dan lawan bicara baru agar anak memahami bahwa setiap orang
memiliki karakteristik yang berbeda dalam bersikap, bertutur kata, dan
cara berteman.
3. Verbalisme
Anak tunanetra mengalami keterbatasan dalam pengalaman mengenai
konsep abstrak. Beberapa konsep seperti pelangi tidak dapat dibuat media
konkretnya, oleh karena itu hal ini harus dijelaskan secara verbal untuk
memberikan pemahaman kepada anak tunanetra.
4. Suka berfantasi
Hal ini karena nak tunanetra tidak dapat melihat dan mengamati lingkungan
sekitarnya, maka ia hanya dapat berimajinasi tentang bagaimana keadaan
lingkungan, bagaimana cara orang-orang berperilaku, tanpa tahu yang
sebenarnya.
5. Pemberani
Anak tunanetra yang sudah memiliki konsep diri lebih baik kemungkinan
besar memiliki sikap berani dalam meningkatkan pengetahuan,
kemampuan, keterampilan, dan pengalamannya. Sikap pemberani ini
merupakan konsep diri yang harus dilatih sejak dini agar anak mampu
mandiri dalam aktivitas kesehariannya dan mau untuk menggapai cita-
citanya.

D. Penyebab Ketunaan
1. Prenatal (Sebelum Kelahiran)
Faktor penyebab ketunanetraan pada masa prenatal sangat erat
hubungannya dengan masalah keturunan dan pertumbuhan seorang anak
dalam kandungan. Pada fase prenatal, terdapat dua penyebab, antara lain:
a. Keturunan
Ketunanetraan yang dihasilkan dari faktor keturunan terjadi karena
hasil perkawinan bersaudara, sesame tunanetra, atau mempunyai
kerabat dekat/ orang tua yang merupakan tunanetra.
b. Pertumbuhan seorang anak dalam kandungan
Ketunanetraan pada masa kehamilan dapat terjadi karena hal-hal
berikut:
1) gangguan saat ibu hamil;
2) penyakit menahun seperti tbc yang mempengaruhi pertumbuhan
janin;
3) infeksi atau luka yang dialami oleh ibu hamil akibat terkena rubella
atau cacar air;
4) infeksi karena penyakit kotor, toxoplasmosis, trachoma, dan tumor;
5) kurangnya vitamin tertentu.

2. Postnatal
Penyebab ketunanetraan yang terjadi pada masa postnatal dapat terjadi
sejak atau setelah bayi lahir dengan penyebab sebagai berikut.
a. Kerusakan pada mata atau saraf mata karena benturan alat-alat atau
benda keras.
b. Pada saat persalinan ibu mengalami penyakit seperti gonorhoe yang
tertular kepada bayi dan berakibat hilangnya daya penglihatan bayi.
c. Mengalami penyakit mata yang menyebabkan ketunanetraan, seperti:
1) Xeropthalmia, yakni penyakit mata karena kekurangan vitamin A;
2) Trachoma, yaitu penyakit mata karena bakteri Chlamydia
trachomatis;
3) Katarak, yaitu penyakit mata yang menyerang bola mata sehingga
lensa mata menjadi keruh dan luar mata menjadi tampak putih;
4) Glaucoma, yaitu penyakit mata karena bertambahnya cairan dalam
bola mata, sehingga tekanan pada bola mata meningkat;
5) dan lain-lain.

E. Kebutuhan Khusus Anak Tunanetra


Menurut Bishop (dalam Astati, dkk. 2013, hlm. 49) keterampilan yang diperlukan
atau yang perlu disediakan di lembaga pendidikan bagi tunanetra meliputi;
keterampilan sensoris, perkembangan motoric, pengembangan konsep,
keterampilan komunikasi, keterampilan bahasa, braille, keterampilan sosial,
kemampuan menolong diri sendiri (ADL), orientasi dan mobilitas.
1. Tulisan Braille
Braille adalah serangkaian titik timbul yang dapat dibaca dengan
perabaan jari oleh orang tunanetra. Braille ditemukan pada abad ke-18 oleh
Louis Braille yang memberikan perubahan bagi kehidupan para tunanetra
dan kemajuan di bidang literatur (bacaan), komunikasi, dan pendidikan.
Braille bukanlah bahasa, melainkan kode yang memungkinkan bahasa
seperti bahasa Indonesia, Inggris, Jerman, dan lain-lain agar dapat dibaca
dan ditulis.
Braille terdiri dari titik timbul yang membentuk sebuah susunan dengan
dua kolom dan tiga baris. Posisi titik timbul tersebut disusun secara
berurutan dari 1 hingga 6, nomor 1 s.d. 3 untuk sel sebelah kiri dan 4 s.d. 6 di
sel sebelah kanan.
Berikut alfabet braille

aA bb cc dd ee ff gg hh II jj

kK ll mm nn oo pp qq rr ss tt

uU vv ww xx yy zz

Meskipun sudah banyak sekali alat-alat yang dapat membantu para


tunanetra dalam membaca atau menulis, tetapi penulisan braille secara
manual tetap dilakukan. Contohnya seperti menuliskan catatan-catatan kecil
saat presentasi, rapat, dan lain-lain.
2. Orientasi dan Mobilitas
Orientasi adalah kemampuan seseorang untuk mengenali lingkungannya
dan hubungan dengan dirinya secara ruang (spatial) dan waktu (temporal).
Latihan orientasi dan mobilitas sangat diperlukan oleh tunanetra karena hal
ini dapat membantu para tunanetra untuk bergerak dalam suatu lingkungan
dengan efisien dan selamat. Latihan orientasi mobilitas mencakup (1) latihan
sesnori; (2) latihan pengembangan konsep; (3) pengembangan motoric; (4)
keterampilan orientasi formal; dan (5) keterampilan mobilitas formal.
Latihan orientasi mobilitas terhadap orang dewasa atau anak-anak
yang lebih besar difokuskan agar dapat hidup dengan mandiri dan melatih
mereka dengan keterampilan khusus seperti menyeberang jalan, menaiki
angkutan umum, melewati tangga, dan lain-lain. Sedangkan untuk anak-
anak, latihan ini ditujukan untuk (1) memahami pengguanan informasi
sensoris; (2) pengenalan anggota tubuh dan gerakan yang bisa dilakukan; (3)
pengenalan objek yang ada di lingkungan; (4) memotivasi mereka untuk
bergerak dan bereksplorasi; dan (5) pengenalan berbagai ruang dan
fungsinya.
Ada empat sistem mobilitas yang biasa digunakan oleh tunanetra,
diantaranya adalah:
a. pendamping Awas,
b. tongkat,
c. anjing penuntun, dan
d. alat bantu elektronik.
3. Pengembangan Konsep
Pengembangan konsep adalah proses penggunaan informasi sensoris
untuk membentuk suatu gambaran ruang dan lingkungan. Konsep tentang
ruang akan berkembang tergantung utamanya pada indra penglihatan. Oleh
karena itu, keterbatasan luas dan variasi pengalaman akibat ketunanetraan
tersebut perlu dikembangkan melalui pengembangan konsep. Tetapi ada
beberapa konsep yang mungkin tidak dipahami oleh tunanetra, seperti
bulan, bintang, matahari, warna, dan lain-lain.
Hill dan Blasch (dalam Astati, dkk. 2013) mengemukakan bahwa ada tiga
kategori yang diperlukan dalam orientasi dan mobilitas, diantaranya adalah
(1) konsep tubuh, (2) konsep ruang, dan (3) konsep lingkungan.
4. Aktivitas sehari-hari (Activity of Daily Living/ ADL)
Dalam membangun konsep diri diperlukan pengajaran aktivitas sehari-
hari (Activity of Daily Living/ ADL). Untuk tunanetra, pengajaran yang
diberlakukan adalah dengan menggunakan pengalaman atau learning by
doing.
Pada ADL ada beberapa istilah yang digunakan, seperti daily living skills,
techniques of daily living, self care, self help, dan personal management.
Pengajaran ADL diajarkan secara formal di sekolah, tetapi pengajaran ini
tidak lepas dari kegiatan sehari-hari di rumah. Oleh karena itu, pengajaran
ADL merupakan tanggung jawab bagi keluarga dan masyarakat.
Braille
Braille merupakan salah satu kebutuhan khusus bagi tunanetra. Braille adalah
serangkaian titik timbul berpola yang dapat dibaca dengan cara diraba. Braille
diciptakan oleh Louis Braille pada abad ke-18 dan sejak saat itu, huruf braille menjadi
alat utama bagi penyandang tunanetra dalam membaca dan menulis secara manual.

1. Pembentukan Huruf Braille


2. Abjad Braille

aA bb - cc dd ee ff gg hh II jj

kK ll - mm nn oo pp qq rr ss tt

uU vv ww xx yy zz
3. Angka Arab

L
Bilangan Braille dalam angka arab ditulis dengan menggunakan sepuluh abjad
Braille pertama (a-j) yang didahului tanda angka (3-4-5-6)
Contoh:

1 2 3 4 5

L1 L2 L3 L4 L5
6 7 8 9 10

L6 L7 L8 L9 L10

Bilangan yang terdiri dari dua angka atau lebih ditulis dengan satu tanda angka
saja yang diletakkan di depan angka pertama, termasuk dua bilangan atau
lebih yang dirangkaikan dengan tanda hubung.
Contoh:
10 123 1987
L10 L123 L1987
15-3-1974
L15-3-1974
4. Tanda Baca
Hambatan Pendengaran
,, ANAK DENGAN HAMBATAN PENDENGARAN ’’

Tunarungu

A. Pengertian Tunarungu
Secara umum anak tunarungu dapat diartikan anak yang tidak dapat
mendengar. Tidak dapat mendengar tersebut dimungkinkan kurang dengar
atau tidak mendengar sama sekali. Secara fisik, anak tunarungu tidak berbeda
dengan anak dengar pada umumnya, sebab orang akan mengetahui bahwa
anak menyandang ketunarunguan pada saat berbicara.
Seperti yang sudah kita ketahui bersama bahwa bahasa yang digunakan
oleh anak tunarungu adalah bahasa isyarat yang menitikberatkan padu indra
penglihatan dan gerak tubuh untuk menegaskan kata atau kalimat yang ingin
mereka sampaikan. Pengenalan konsep bahasa yang tepat bagi anak tunarungu
juga harus dimulai sejak usia dini dan bergantung pada peran aktif orang tua
bagaimana membimbing anak yang memiliki tunarungu.
Ketunarunguan adalah seseorang yang mengalami gangguan pendengaran
yang meliputi seluruh gradasi ringan, sedang dan sangat berat yang dalam hal
ini dapat dikelompokkan menjadi dua gołongan, yaitu kurang dengar dan tuli,
yang menyebabkan terganggunya proses perolehan informasi atau bahasa
sebagai alat komunikasi. Seseorang yang mengalami kekurangan atau
kehilangan pendengaran baik sebagian atau seluruhnya yang diakibatkan oleh
tidak fungsinya sebagian atau seluruh alat pendengaran sehingga anak
tersebut tidak dapat menggunakan alat pendengarannya dalam kehidupan
sehari-hari. Hal tersebut berdampak terhadap kehidupannya secara kompleks
terutama pada kemampuan berbahasa sebagai alat komunikasi yang penting.
Gangguan mendengar yang dialami anak tunarungu menyebabkan
terhambatnya perkembangan bahasa anak, karena perkembangan tersebut,
sangat penting untuk berkomunikasi dengan orang lain.
Pakar bidang medis, memiliki pandangan yang sama bahwa unak
tunarungu dikategorikan menjadi dua kelompok. Pertama, hard of hearing
adalah sescorang yang masih memiliki sisa pendengaran sedemikian rupa
sehingga masih cukup untuk digunakan sebagai alat penangkap proses
mendengar sebagai bekal primer penguasaan kemahiran bahasa dan
komunikasi yang baik dengan maupun tanpa menggunakan alat bantu dengar.
Kedua, The Deaf adalah seseorang yang tidak memiliki indra dengar
sedemikian rendah sehingga tidak mampu berfungsi scbagai alat penguasaan
bahasa dan komunikasi, baik dengan ataupun tanpa menggunakan alat bantu
dengar. Soematri, 1995 menyebutkan bahwa seseorang tidak dapat menangkap
berbagai rangsangan, terutama melalui indra pendengarannya. Ketunarunguan
tidak saja terbatas pada kehilangan pendengaran sangat berat, melainkan
seluruh tingkat kehilangan pendengaran dari tingkat ringan, sedang berat,
sangat berat.
B. Klasifikasi Anak Tunarungu
Kemampuan mendengar dari individu yung satu berbeda dengan individu
lainnya. Apabila kemampuan mendengar dari seseorang ternyata sama dengan
kebanyakan orang, berarti pendengaran anak tersebut dapat dikatakan
normal. Bagi tunarungu yang mengalami hambatan pendengaran itu pun masih
dapat dikelompokkan berdasarkan kemampuan anak yang mendengar.
Klasifikasi anak tunarungu yang dikemukakan oleh Samuel A. Kirk.
A 0 dB Menunjukan pendengaran normal
B 0-26 dB Menunjukan masih mempunyai pendengaran normal
C 27-40 dB Mempunyai kesulitan mendengar bunyi-bunyi yang jauh,
membutuhkan tempat duduk yang strategis letaknya dan
memerlukan terapi bicara (tergolong tunarungu ringan).
D 41-55 dB Mengerti bahasa percakapan, tidak dapat mengikuti diskusi
kelas, membutuhkan alat bantu dengar dan terapi bicara
(tergolong tunarungu sedang).
E 56-76 dB Hanya bisa mendengar suara yang dekat, masih mempunyai sisa
pendengaran untuk belajar bahasa dan bicara dengan
menggunakan alat bantu mendengar serta dengan cara khusus
(tergolong tunarungu agak berat).
F 71-90 dB Hanya bisa mendengar bunyi yang sangkat dekat, kadang-
kadang dianggap tuli membutuhkan pendidikan luar biasa yang
intensif, membutuhkan alat bantu dengar dan latihan bicara
secara khusus (tergolong tunarungu berat).
G 91 dB ke atas Mungkin sadar akan adanya bunyi atau suara atau getaran,
banyak tergantung pada penglihatan dari pada pendengaran
untuk proses informasi, dan yang bersangkutan dianggap tuli
(tunarungu berat sekali)
C. Karakteristik Anak Tunarungu
Karakteristik anak tunarungu sangat kompleks dan berbeda-beda satu
sama lain. Secara kasat mata keadaan anak tunarungu sana seperti anak
normal pada umumnya. Apabila dilihat ada beberapa karakteristik yang
berbeda. Karakteristik anak tunarungu dalam segi bahasa dan bicara adalah
sebagai berikut
1. Miskin kosakata.
2. Mengalami kesulitan dalam mengerti ungkapan bahasa yang mengandung
arti kiasan dan kata-kata abstrak.
3. Kurang menguasai irama dan gaya bahasa.
4. Sulit memahami kalimat-kalimat yang kompleks atau kalimat-kalimat yang
Panjang serta bentuk kiasan.

Anak tunarungu juga mempunyai beberapa karakteristik, terutama


keterbatasan kosakata, Hal tersebut yang menyebabkan anak tunarungu
kesulitan berkomunikasi dengan orang lain. Terlebih lagi permasalahan tentang
kejelasan dalam berbicara. Anak tunarungu biasanya mengalami masalah dalam
artikulasi, yaitu mengucapkan kata-kata yang tidak atau kurang jelas. Namun,
hal itu dapat diatasi dengan metode drill, yaitu anak melakukan latihan
mengucapkan kata-kata secara berulang-ulang sampai anak terampil atau
tebiasa berbicara dengan artikulasi yang tepat dan jelas. Anak tunarungu
mempunyai karakteristik yang spesifik bahwa anak tunarungu mempunyai
hambatan dalam perkembangan bahasa (mendapatkan bahasa). Bahasa
seabagai alat komunikasi dengan orang lain, sedangkan anak tunarungu
mempunyai permasalahan dalam wicaranya untuk berkomunikasi dengan
orang lain karena wicara sebagai alat yang sangat penting dalam komunikasi.

D. Penyebab Ketunaan

Secara umum penyebab ketunarunguan dapat terjadi sebelum lahir


(prenatal), ketika lahir (natal), dan sesudah lahir (postnatal). Banyak para ahli
mengungkap tentang penyebab ketulian dan ketunarunguan, tentu saja dengan
pandangan yang berbeda dalam penjabarannya. Trybus (1985) mengemukakan
enam penyebab ketunarunguan pada anak di Amerika Serikat, adalah sebagai
berikut.

1. Keturunan;
2. Campak jerman dari pihak ibu:
3. Komplikasi selama kehamilan dan kelahiran;
4. Radang selaput otak (meningitis);
5. Otitis media (radang pada bagian telinga tengah);
6. Penyakit anak-anak, radang, dan luka-luka.

Dari hasil penelitian, kondisi-kondisi tersebut hanya 60% penyebab dari


kasus- kasus ketunarunguan pada masa kanak-kanak. Untuk lebih jelasnya
faktor-faktor penyebab ketunarunguan dapat dikelompokkan sebagai berikut.

1. Faktor dalam diri anak

a. Disebabkan oleh faktor keturunun dari salah satu atau kedua orang
tuanya yang mengalami ketunarunguan.
b. Ibu yang sedang mengandung menderita penyakit Campak Rubela
(Rubela).
c. Ibu yang sedang mengandung menderita keracunan darah atau
Toxaminia.

2. Faktor luar diri anak

a. Anak mengalami infeksi pada saat dilahirkan atau kelahiran, misalnya,


anak terserang Herpes simplex.
b. Meningtis atau radang selaput otak.
c. Otitis media (radang telinga bagian tengah)
d. Penyakit lain atau kecelakaan yang dapat mengakibatkan kerusakan alat
pendengaran bagian tengah dan dalam.

Ada beberapa pendapat lain tentang penyebab terjadinya anak


berkebutuhan khusus tunarungu, di antaranya sebagai berikut.

1. Penyebab tunarungu tipe konduktif

a. Kerusakan/gangguan yang terjadi pada telinga luar yang dapat


disebabkan, antara lain oleh:
1) Tidak tebentuknya lubang telinga bagian luar (atresia meatus
akustikus externus), dan
2) Terjadinya peradangan pada lubang telinga luar (ofitis exterbal).
b. Kerusakan/gangguan yang terjadi pada telinga tengah, yang dapat
disebabkan antara lain oleh hal-hal berikut ini.
1) Rudakpaksa, yaitu adanya tekanan/benturan yang keras pada
telinga seperti karena jatuh tabrakan, tertusuk, dan sebagainya.
2) Terjadinya peradangan/infeksi pada telinga tengah (otitis media).
3) Otosclerosis, yaitu terjadinya pertumbuhan tulang pada kaki tulang
stapes.
4) Tympanisclerosis, yaitu adanya lapisan kalsium/zat kapur pada
gendang dengar (membrane timpani) dan tulang pendengaran.
5) Anomali congenital dari tulang pendengaran atau tidak terbentuknya
tulang pendengaran yang dibawa sejak lahir.
6) Disfungsi tuba eustaschius (saluran yang menghubungkan rongga
telinga dengan tongga mulut), akibat alergi atau tumor pada
nasopharynx.

2. Penyebab terjadinya tunarungu tipe sensorineural

a. Disebabkan oleh faktor genetik (keturunan).


b. Disebabkan oleh faktor non genetik, antara lain:
1) Rubella (Campak Jerman);
2) Keridaksesuaian antara darah ibu dan anak;
3) Meningtis (radang selaput otak);
4) Trauma akustik.

E. Kebutuhan Khusus Anak Tunarungu


Dalam melakukan kegiatan sehari-hari, anak dengan hambatan
pendengaran memerlukan kebutuhan khusus, seperti:
1. Sistem Isyarat
Bahasa yang digunakan oleh anak tunarungu adalah Isyarat yang
menitikberatkan pada indra penglihatan dan gerak tubuh untuk
menegaskan kata atau kalimat yang ingin mereka sampaikan. Pada
dasarnya Sistem Isyarat berbeda-beda di setiap negara. Di Indonesia,
Isyarat terbagi menjadi dua macam, yaitu SIBI (Sistem Isyarat Bahasa
Indonesia) dan BISINDO (Bahasa Isyarat Indonesia).
2. Oral
Oral merupakan cara berkomunikasi secara lisan dengan membaca
gerak bibir lawan bicara.
3. Komunikasi Total
Komunikasi total adalah pendekatan dalam pendidikan untuk anak
dengan hambatan pendengaran dengan memanfaatkan segala media
komunikasi, yaitu penggunaan sistem isyarat, ejaan jari, bicara, membaca
ujaran, gerak tubuh, mimik dan lain- lain yang dilakukan secara terpadu
guna meningkatkan keterampilan berbahasa.
4. Alat Bantu Dengar (hearing aid)
5. Layanan pengembangan bicara, seperti Terapi Wicara.
6. Layanan bina komunikasi persepsi bunyi dan irama.
Bahasa Indonesia
Hambatan Kecerdasan
,, ANAK DENGAN HAMBATAN KECERDASAN ’’
Tunagrahita

A. Pengertian Tunagrahita
Tunagrahita (retardasi mental) adalah suatu kondisi anak yang
kecerdasannya jauh di bawah rata- rata dan ditandai oleh keterbatasan
inteligensi dan ketidakcakapan dalam komunikasi sosial. Anak berkebutuhan
khusus ini juga sering dikenal dengan istilah terbelakang mental karena
keterbatasan kecerdasannya. Akibatnya anak berkebutuhan khusus
tunagrahita ini sukar untuk mengikuti pendidikan di sekolah biasa.
Istilah anak dengan hambatan kecerdasan dalam beberapa referensi
disebut pula dengan terbelakang mental, lemah ingatan, mental subnormal,
tunagrahita. Beberapa istilah sudah tidak dipakai, saat ini penggunaan istilah
anak dengan hambatan kecerdasan adalah tunagrahita atau retardasi mental.
Semua makna dari sitilah tersebut sama, yakni menunjuk pada seseorang yang
memiliki kecerdasan mental di bawah normal. Seseorang dikatakan
tunagrahita, jika ia memiliki tingkat kecerdasan yang sedemikian rendahnya
(di bawah normal) sehingga untuk meniti tugas perkembangannya memerlukan
bantuan atau layanan secara spesifik, termasuk dalam program
pendidikannya.
Rendahnya kapabilitas mental pada anak tunagrahita akan berpengaruh
terhadap kemampuannya untuk menjalankan fungsi-fungsi sosialnya.
Hendesche memberikan batasan bahwa anak tunagrahita adalah anak yang
tidak cukup daya pikimya, tidak dapat hidup dengan kekuatan sendiri di
tempat sederhana dalam masyarakat. Edgar Doll berpendapat seseorang
dikatakan tunagrahita jika: (1) secara sosial tidak cakap, (2) secara mental di
bawah normal, (3) kecerdasannya terhambat sejak lahir atau pada usia muda,
dan (4) kematangannya terhambat Kirk tahun 1970. Istilah lain dari
tunagrahita sebagai berikut:
1. Lemah Pikiran (feeble-minded) 9. Ketergantungan penuh (totally
dependent) butuh rawat
2. Terbelakang mental (mentally 10. Mental Subnormal
retarded)
3. Bodoh atau dungu (idiot) 11. Defisit mental
4. Pandir (imbecile) 12. Defisit kognitif
5. Tolol (moron) 13. Cacat mental
6. Oligofrenia (oligophrenia) 14. Defisiensi mental
7. Mampu didik (educable) 15. Gangguan Intelektual
8. Mampu latih (trainable)

B. Klasifikasi Anak Tunagrahita


Dalam penilaian yang dituturkan oleh Skala Binet dan Skala Weschler
dijelaskan bahwa klasifikasi dari anak tunagrahita ada tiga hal sebagai berikut:
1. Tunagrahita Ringan
Tunagrahita ringan disebut juga moron atau debil. Menurut Skala
Binet, kelompok ini memiliki IQ di antara 68-52, sedangkan menurut Skala
Weschler (WISC) memiliki J0 antara 69-55. Anak tunagrahita masih dapat
belajar membaca, menulis, dan berhitung sederhana. Dengan bimbingan dan
didikan yang baik, anak tunagrahita ringan akan dapat memperoleh
penghasilan untuk dirinya sendiri.
2. Tunagrahita Sedang
Tunagrahita sedang disebut juga imbesil. Kelompok ini memiliki IQ 51-
36 pada Skala Binet dan 54-40 menurut Skala Weschler (WISC). Anak
tunagrahita sedang sangat sulit untuk belajar secara akademik, seperti
belajar menulis secara sosial. Misalnya, menulis namanya sendiri dan
mengerjakan pekerjaan rumah (makan, minum, mandi, memakai baju).
Dalam kehidupan schari-hari, anak tunagrahita sedang sangat
membutuhkan pengawasan yang terus menerus agar mampu terus
berkesinambungan akan kebiasaan-kebiasaan yang akan terus teringat
dan mampu mengerjakan suatu hal yang sering dilakukannya.
3. Tunagrahita Berat
Tunagrahita berat severe ini sering disebut idiot. Karena IQ pada
anak tunagrahita berat ini adalah 32-20 menurut Skala Binet dan menurut
Skala Weschler (WISC) antara 39-52, tunagrahita sangat berat profound
memiliki IQ di bawah 19-24. Anak tunagrahita berat memerlukan bantuan
perawatan secara total, baik itu dalam hal berkaitan, mandi ataupun
makan. Bahkan, mereka memerlukan perlindungan dari bahaya sepanjang
hidupnya.
C. Karakteristik Anak Tunagrahita
Karakteristik retardasi mental mild (ringan) adalah mereka termasuk
yang mampu didik, bila dilihat dari segi pendidikan. Mereka pun tidak
memperlihatkan kelainan fisik yang mencolok, walaupun perkembangan
fisiknya sedikit agak lambat daripada anak rata-rata.
Karakteristik retardasi mental moderate (menengah) adalah mereka
digolongkan sebagai anak yang mampu latih, di mana mereka dapat dilatih
untuk beberapa keterampilan tertentu. Meskipun sering merespon lama
terhadap pendidikan dan pelatihan. Mereka dapat dilatih untuk mengurus
dirinya sendiri serta dilatih untuk kemampuan membaca, menulis sederhana.
Karakteristik retardasi mental severe adalah mereka memperlihatkan
banyak masalah dan kesulitan, meskipun di sekolah khusus. Oleh karena itu,
mereka membutuhkan perlindungan hidup dan pengawasan yang teliti. Mereka
membutuhkan pelayanan dan pemeliharaan yang terus-menerus. Dengan kata
lain, mereka tidak bisa mengurus dirirmya sendiri tanpa bantuan orang lain
meskipun tugas-tugas sederhana. Mereka juga mengalami gangguan bicara.
Mereka hanya bisa berkomunikasi secara vokal setelah pelatihan secara
intensif. Tanda-tanda kelainan fisik lainnya adalah lidah sering kali menjulur
keluar, bersamaan dengan keluarnya air liur. Kepala sedikit besar dari
biasanya. Kondisi fisik mereka lemah. Mereka hanya bisa dilatih keterampilan
khusus selama kondisi fisik memungkinkan.
Karakteristik retardasi mental profound mempunyai problem yang
serius, baik mengangkut kondisi fisik, inteligensi serta program pendidikan
yang tepat bagi mereka. Kondisi fisik lainnya dapat dilihat dari kepala yang
lebih besar dan sering bergoyang- goyang. Penyesuaian dirinya yang sangat
kurang, dan bahkan sering kali meminta bantuan orang lain karena mereka tak
dapat berdiri sendiri. Mereka tampaknya membutuhkan bantuan medis yang
biak dan intensif.

D. Penyebab Ketunaan
Secara kronologis, penyebab ketunagrahitaan dapat dibagi menjadi tiga
kelompok, seperti penyebab pada prakelahiran atau faktor-faktor yang terjadi
sebelum anak lahir (prenatal); penyebab pada saat kelahiran atau faktor-faktor
yang terjadi saat dilahirkan (natal); dan penyebab selama masa perkembangan
anak-anak dan remaja atau faktor-faktor yang terjadi sesudah dilahirkan
(postnatal). Berikut beberapa penyebab ketunagrahitaan.
1. Prenatal
a. Kelainan Genetik dan Kromosom
b. Maternal malnutrition atau malnutrisi pada ibu hamil yang tidak
menjaga pola makan yang sehat
c. Infeksi penyakit seperti rubela (campak jerman), sifilis, herpes
simpleks
d. Intoksikasi (keracunan). Racun dari alkohol dan obat-obatan ilegal yang
digunakan saat hamil
e. Trauma dan zat radioaktif
f. Pengaruh lingkungan
2. Natal
a. Kelahiran prematur
b. Masalah pada proses kelahiran seperti kekurangan oksigen
c. Kelahiran yang dibantu dengan alat-alat kedokteran berisiko terhadap
anak yang akan menimbulkan trauma pada kepala
3. Postnatal
a. Penyakit radang selaput otak meningitis dan radang otak enchephalitis
yang tidak tertangani dengan baik sehinga mengakibatkan kerusakan
otak pada anak
b. Gangguan metabolisme, pertumbuhan atau gizi atau nutrisi

E. Kebutuhan Khusus Anak Tunagrahita


Dalam melakukan kegiatan sehari-hari, anak dengan hambatan kecerdaan
memerlukan kebutuhan khusus seperti ADL atau Activity of Daily Living
(Aktivitas sehari - hari) atau Bina Diri. ADL meliputi berpakaian, makan,
beristirahat, memelihara kesehatan, toilet trainning, keselamatan diri dan
tindakan pencegahan terhadap penyakit sederhana. Selain ADL yang termasuk
keterampilan dalam kehidupan sehari-hari, keterampilan berkomunikasi,
sosialisasi, dan motorik pun merupakan ranah kebutuhan khusus tunagrahita
agar memiliki perilaku adaptif.
Hambatan Motorik
,, ANAK DENGAN HAMBATAN MOTORIK ‘’
Tunadaksa

A. Pengertian Tunadaksa
Tunadaksa adalah ketidakmampuan anggota tubuh untuk melaksanakan
fungsinya disebabkan oleh berkurangnya kemampuan anggota tubuh untuk
melaksanakan fungsinya secara normal, sebagi akibat bawaan, luka penyakit,
atau pertumbuhan yang tidak sempurna sehingga untuk kepentingan
pembelajarannya perlu layanan secara khusus.
Anak tunadaksa sering disebut dengan istilah anak cacat tubuh, cacat fisik,
dan cacat ortopedi. Istilah tunadaksa berasal dari kata “tuna yang berarti rugi
atau kurang dari dauga diartikan ksa yang berarti tubuh.” Tunadaksa adalah anak
yang memiliki anggota tubuh tidak sempurna, sedangkan istilah cacat tubuh dan
cacat fisik dimaksudkan untuk menyebut anak cacat pada anggota tubuhnya,
bukan cacat indranya. Selanjutnya istilah cacat ortopedi terjemahan dari bahasa
inggris orthopedically handicapped. Orthopedic mempunyai arti yang
berhubungan dengan otot, tulang, dan persedian. Dengan demikian, cacat ortopedi
kelainannya terletak pada aspek otot, tulang, dan persendian atau dapat juga
merupakan akibat adanya kelainan yang terletak pada pusat pengatur sistem
otot, tulang, dann persendian.
Tunadaksa merupakan suatu keadaan rusak atau terganggu sebagai akibat
gangguan bentuk atau hambatan pada tulang, otot dan sendi dalam fungsinya
yang normal. Kondisi ini dapat disebabkan oleh penyakit, kecelakaan, atau dapat
juga disebabkan oleh pembawaan sejak lahir (White House Conference, 1931).
Tunadaksa sering juga diartikan sebagai suatu kondisi yang menghambat
kegiatan individu sebagai akibat kerusakan atau gangguan pada tulang dari otot
sehingga mengurangi kapasistas normal individu untuk mengikuti pendidikan dan
untuk berdiri sendiri.
Istilah tunadaksa merupakan istilah lain dari cacat tubuh/tunafisik, yaitu
berbagai kelainan bentuk tubuh yang mengakibatkan kelainan fungsi dari tubuh
untuk melakukan gerakan-gerakan yang dibutuhkan. Anda akan segera mengenal
apabila melihat atau bertemu dengan anak tunadaksa. Anak tunadaksa dapat
didefinisikan sebagai penyandang bentuk kelainan atau kecacatan pada sistem
otot, tulang dan persendiaan yang dapat mengakibatkan gangguan koordinasi,
komunikasi, adaptasi, mobilisasi, dan gangguan perkembangan keutuhan pribadi.
Salah satu definisi mengenai anak tunadaksa menyatakan bahwa anak tunadaksa
adalah anak penyandang cacat jasmani yang terlhhat pada kelainan bentuk tulang,
otot, sendi, maupun saraf-sarafnya. Istilah tunadaksa maksudnya sama dengan
istilah yang berkembang, seperti cacat tubuh, tunatubuh, tunaraga, cacat
anggota badan, cacat orthopedic, crippled, dan orthopedically handicapped
(Depdikbud, 1996). Selanjutnya, Samuel A Kirk (1986) yang dialih bahasakan oleh
Moh. Amin dan Ina Yusuf Kusumah (1991) mengemukakan bahwa seseorang
dikatakan anak tunadaksa jika kondisi fisik atau kesehatan menganggu
kemampuan anak untuk berperan aktif dalamm kegiatan sehati-hari, sekolah,
atau rumah. Sebagai contoh, anak yang mempunyai lengan palsu, tetapi ia dapat
mengikuti kegiatan sekolah, seperti Pendidikan Jasmani atau ada anak yang
minum obat untuk mengendalikan gangguan kesehatannya, maka anak-anak jenis
itu tidak termasuk penyandang gangguan fisik. Namun, jika kondisi fisik tidak
mampu memegang pena, atau anak sakit-sakitan (mengidap penyakit kronis)
sering kambuh sehingga ia tidak dapat bersekolah secara rutin, maa anak itu
termasuk penyandang gangguan fisik (tunadaksa).
Tunadaksa adalah suatu keadaan rusak atau ternganggu sebagai akibat
gangguan bentuk atau hambatan pada tulang, otot dan sendi dalam fungsinya
yang normal. Kondisi ini dapat disebabkan oleh penyakit, kecelakaan, atau dapat
juga disebakan oleh pembawaan sejak lahir. Ketidakmampuan anggota tubuh
untuk melaksanakan fungsi secara normal akibat luka, penyakit, atau
pertumbuhan yang tidak sempurna. Jadi, anak tunadaksa adalah manusia yang
masih kecil dimana anak tersebut mengalami gangguan pada anggota tubuhnya
baik itu disebabkan oleh penyakit, kecelakaan, atau dapat juga disebabkan oleh
pembawaan sejak lahir.

B. Klasifikasi Anak Tunadaksa


1. Tunadaksa Ortopedi
Anak tunadaksa ortopedi, yaitu anak tunadaksa yang mengalami
kelainan, kecacatan keturunan tertentu pada bagian tulang, otot tubuh,
ataupun daerah persendianm baik itu yang dibawa sejak lahir (congenital)
atapun yang diperoleh kemudian (karena penyakit atapun kecelakaan) sehingga
mengakibatkan terganggunya fungsi tubuh secara normal. Kelainan yang
termasuk dalam kategori tunadaksa ortopedi ini di antaranya poliomyelitis,
tubercolosis tulang, asteomyelitis, arthritis, paraplegia, bemiplegia,
muscledystrophia, kelainan pertumbuhan anggota atau anggota badan yang
tidak sempurna cacat punggung, amputasi tangan, lengan, kaki dan
sebagainya.
2. Tunadaksa Saraf
Anak tunadaksa saraf neurologically handicapped, anak tunadaksa yang
mengalami kelainan akibat gangguan pada susunan saraf otak. Sebagai
pengontrol tubuh, otak memiliki sejumlah saraf yang menjadi pengendali
mekanisme tubuh. Jika otak mengalami kelainan, sesuatu akan terjadi pada
organisme fisik, emosi dan mental.
Sebuah eksperimen dilakukan oleh Penfield dan Rasmuesen dengan
menggunakan rangsangan listrik dari beberapa bagian otak. Hasilnya, selama
dalam kondisi sabar, ternyata manusia mampu menghasilkan gerakan otot
pada bagian-bagian tubuh. Misalnya, rangsangan terhadap daerah
pendengaran, rangsangan terhadap daerah penglihatan menimbulkan sensasi
warna, bentuk dan sebagainya, atau jika yang dirangsang lobus temporalis
akan muncul memori tentang suatu situasi atau lainnya.
Efek luka pada bagian otak tertentu, penderita akan mengalami
gangguan dalam pengembangan, mungkin akan berakibat ketidakmampuan
dalam melaksanakan berbagai bentuk kegiatan. Salah satunya bentuk kelainan
ynag terjadi pada fungsi otak dapat dilihat anak Cerebral Palsy (CP)/ Cerebral
Palsy yang berasal dari kata Cerebral dapat diartikan otak dan Palsy dapat
diartikan ketidakmampuan atau gangguan motorik. Jadi, Cerebral Palsy adalah
gangguan aspek motorik pada otak.
The American Academy of Cerebral Palsy mendefinisikannya berbagai
perubahan gerakan atau fungsi motor yang tidak normal dan timbul sebagai
akibat kecelakaan, luka atau penyakit saraf yang terdapat pada rongga
tengkorak. Cerebral Palsy bukan suatu penyakit, melainkan suatu kondisi yang
ditandai oleh sejumlah gejala yang muncul bersamaan. Hal ini berarti cerebral
Palsy berbeda dengan cacar ait, tuberculosis atau penyakit kanker. Cerebral
Palsy merupakan suatu sindrom dan mempunyai gambatan yang jelas. Dilihat
dari manifestasi yang tampak pada aktivitas morotik, anak Cerebral Palsy
dapat dikelompokkan menjadi spasticity, athetosis, tremor, dan rigidity.
Spasticity terjadi karena lapisan luar otak (khusunya lapisan motor)
bidang piramida dan beberapa kemungkinan bidang ekstrapiramida yang
berhubungan dengan pengontrolan gerakan sadar tidak berfungsi sempura.
Bidang piramida yang terletak di antara gerak dan pengindraan di lapisan luar
dan daerah ekstrapiramida terletak di bawah cortical, lebih masuk di dalam
otak. Daerah tertentu dalam otak dapat menimbulkan gerakan tertentu,
kontraksi atau rangsangan. Fantor yang menyebabkan terjadinya kondisi
tersebut supressor (pendesak). Apabila salah satu dari supressor ini masuk,
akan terjadi suatu desakan. Akibatnya, otot akan berada dalam konsisi tegang
dan kejang. Ketika kondisi otot kejang keseimbangan akan hilang, gerakan
muncul menjadi tidak harmoni, tidak terkontrol, dan kontraksi oto tidak
teratur sehingga gerakan yang tampak seperti suatu entakan. Meskipun
demikian, dalam keadaan normal anak mampu menggerakan otot yang baik
meskipun gerakannya tampak lamban, eksplosif, dan tidak sempurna.
Athetosis penyebabnya adalah luka pada sistem ekstrapiramida yang
terletak pada otak depan maupun tengah. Anak-anak yang menderita Cerebral
Palsy jenis athetosis ini tampak susah payah untuk berjalan, menggeliat-geliat,
dan terhuyung-huyung. Gerakan-gerakan abnormal penderita athetosis ini kian
menghebat, apabila yang bersangkutan melakukan kegiatan disertai emosi
yang tinggi.
Atasia disebabkan oleh luka pada otak keil yang terletak di bagian
belakang kepala (cerebellum) yang bekerja sebagai pengontrol keseimbangan
dan koordinasi pada kerja otot. Anak yang menderita atasia gerakannya tidak
teratur, berjalan dengan langkah yang tonggo dengan mudah menjatuhkannya.
Tremor dan rigidity mirip dengan athetosis, yakni disebabkan oleh luka
pada sistem ekstra piramida. Hal ini terjadi akibat gangguan keseimbangan
antara kelompok otot yang bekerja berlawanan.

C. Karakteristik Anak Tunadaksa


1. Karakteristik Akademik
Pada umumnya tingkat kecerdasan anak tunadaksa yang mengalami
kelainan pada sistem oto dan rangka adalah normal sehingga dapat mengikuti
pelajaran sama dengan anak normal, sedangkan anak tunadaksa yang
mengalami kelainan pada sistem cerebral, tingkat kecerdasaanya berentang
mulai dari tingkat idiocy sampai dengan gifted. Hardman (1990)
mengemukakakn bahwa 45% anak cerebral palsy mengalami keterbelakangan
mental (tunagrahita), 35% mempunyai tingkat keerdasaan normal dan di atas
noram. Sisanya berkecerdasan sedikit di bawah rata-rata. Selanjutnya, P.
Seibel (1984:138) mengemukakan bahwa tidak ditemukan hubungan secara
langsung antara tingkat kelainan fisik dengan kecerdasan anak. Artinya, anak
cerebral palsy yang kelainannya berat, tidak berarti keerdasaanya rendah,
anak cerebral palsy juga.
Selain tingkat kecerdasaan yang bervariasi mengalami kelainan
persepsi, kognisi, dan simbolisasi. Kelainan persepsi terjadi karena saraf
penghubung dan jaringan saraf ke otak mengalami kerusakan sehingga proses
persepsi yang dimulai dari stimulus merangsang alat, maka diteruskan ke otak
oleh saraf sensoris, kemudian ke otak (yang bertugas menerima dan
menafsirkan, serta menganalisis) mengalami gangguan. Kemampuan kognisi
terbatas karena adanya kerusakan otak sehingga menganggu fungsi
kecerdasan, penglihatan pendengaran, bicara, rabaan, dan bahasa, serta
akhirnya anak tersebut tidak dapat mengadakan interaksi dengan
lingkungannya yang terjadi terus-menerus melalui persepsi dengan
menggunakan media sensori (indra). Gangguan pada simbolisasi disebabkan
oleh adanya kesulitan dalam menerjemahkan apa yang didengar dan dilihat.
Kelainan yang kompleks ini akan memengaruhi prestasi akademiknya.
2. Karakteristik Sosial/Emosional
Karakteristik sosial/emosional anak tunadaksa bermula dari konsep diri
anak yang merasa dirinya cacat, tidak berguna, dan menjadi beban orang lain
yang mengakibatkan mereka malas belajar bermain dan perilaku salah lainnya.
Kehadiran anak cacat yang tidak diterima oleh orang tua dan disingkirkan
dari masyarakat akan merusak perkembangan pribadi anak. Kegiatan jasmani
yang tidak dapat dilakukan oleh anak tunadaksa dapat mengakibatkan
timbulnya problem emosi, seperti mudah tersinggung, mudah marah, rendah
diri, kurang dapat bergaul, pemalu, menyendiri, dan frustasi. Problem emosi
seperti itu, banyak ditemukan pada anak tunadaksa dengan gangguan sistem
cerebral. Oleh sebab itu, tidak jarang dari mereka tidak memiliki rasa percaya
diri dan tidak dapat menyesuaikan di dengan lingkungan sosialnya.
3. Karakteristik Fisik/Kesehatan
Karakteristik fisik/kesehatan anak tunadaksa biasanya selain
mengalami cacat tubuh adalah kecenderungan mengalami gangguan lain,
seperti sakit gigi, berkurangnya daya pendengaran, penglihatan, gangguan
bicara, dan lain-lain. Kelainan tambahan itu banyak ditemukan pada anak
tunadaksa sistem serebral. Gangguan bicara disebabkan oleh kelainan motorik
alat bicara (kaku atau lumpuh), seperti lidah, bibir dan rahang sehingga
mengganggu pembetnukan artikulasi yang benar. Akibatnya, bicaranya tidak
dapat dipahami orang laindan diucapkan dengan susah payah. Mereka juga
mengalami aphasia sensoris, artinya ketidakmampuan bicara karena organ
reseptor anak terganggunya fungsinya, dan aphasia motorik, yaitu mampu
menangkap informasi dari lingkungan sekitarnya melalui indra pendengaran,
tetapi tidak dapat mengemukakannya lagi secara lisan. Anak cerebral palsy
mengalami kerusadakan pada pyramidal tract dan estrapyramidal yang
berfugsi mengatur sistem motorik. Tidak heran mereka mengalami kekakuan,
gangguan keseimbangan, gerakan tidak dapat dikendalikan, dan susah
berpindah tempat. Dilihat dari aktivitas motorik, intensitas gangguannya
dikelompokkan atas hiperaktif yang menunjukkan tidak mau diam, gelisah;
hipoaktif yang menunjukkan sikap pendiam, gerakan lamban, dan kurang
merespon rangsangan yang diberikan; dan tidak ada koordinasi, seperti waktu
berjalan kaku, seulit melakukan kegiatan yang membutuhkan integrasi gerak
yang lebih halus, seperti menulis, menggambar, dan menari.

D. Penyebab Ketunaan
Ada beberapa hal yang dapat dikaitkan menjadi penyebab anak mengalami
hambatan motorik/ tunadaksa, diantaranya adalah:
1. Sebelum Kelahiran (Prenatal)
Pada fase ini anak mengalami tunadaksa sejak dalam kandungan dan
karena beberapa hal berikut:
a) Adanya infeksi atau penyakit yang menyerang ketika ibu
mengandung. Misalnya infeksi sypillis, rubella, dan typhus
b) Kelainan kandungan
c) Bayi yang dikandung terkena radiasi
d) RH bayi tidak sama dengan ibunya
e) Ibu mengalami trauma (kecelakaan) yang berdampak pada bayi yang
dikandung
2. Pada saat kelahiran (Natal)
Hal-hal yang dapat menjadi ketunaan pada bayi diantaranya:
a) Proses kelahiran yang terlalu lama karena tulang pinggul ibu yang
kecil yang mengakibatkan bayi kekurangan oksigen dan mengganggu
sistem metabolisme
b) Pemakaian anestesi yang melebihi ketentuan
c) Bayi yang lahir sebelum waktunya (premature)
3. Postnatal
a) Kecelakaan yang dapat secara langsung merusak otak bayi
b) Infeksi penyakit yang menyerang otak
c) Penyakit typhoid atau diphtheri yang memungkinkan dapat
mengakibatkan kekurangan oksigen
d) Keracunan carbon monoxide
e) Tercekik
f) Tumor otak

E. Kebutuhan Khusus Anak Tunadaksa


1. Cerebral Palsy
Kebutuhan khusus anak cerebral palsy sangat berkaitan dengan kondisi
gangguannya, baik yang bersifat fisik motorik ataupun kapastias
intelektualnya. Berdasarkan hambatan-hambatan yang dialami anak, maka
kebutuhan-kebutuhan khususmya harus diperoleh di sekolah melalui program
yang telah direncanakan. Kebutuhan tersebut dapat juga dilaksanakan diluar
sekolah, yang biasanya antara pihak sekolah dengan ahli medis sudah terjalin
hungan kerjasama.
Beberapa kebutuhan khusus anak cerebral palsy, meliputi :
a. Latihan ADL yang kegiatannya sbb :
1) Self Care, terdiri dari :
a) Toilet activities (kegiatan ke kamar kecil)
b) Dressing activities (kegiatan berpakaian)
c) Eating activities (kegiatan makan)
2) Ambulation,elevation, and travelling. Kegiatan ini meliputi : bergerak dari
satu tempat ke tempat lain menggunakan kursi roda, di dalam dan di
luar ruangan.
a) Berjalan dengan menggunakan kendaraan (khusus dan umum)
b) Berjalan mennggunakan crutch atau braces di dalam atau luar
ruangan
c) Berjalan menaiki tangga
3) Hand activities, meliputi :
a) Menulis
b) Menggunakan telepon
c) Memijit bel
d) Menyalakan dan mematikan lampu
e) Membuka dan menutup pintu/kunci
b. Latihan Menggunakan Alat bantu (braces, rutch, wheel chair, alat-alat yang
sudah dimodifikasi)
c. Latihan Penguatan Otot dan Sendi
Melalui latihan ini diharapkan kekuatan otot dan sendi dapat meningkat,
selain itu juga mencegah kontraktur. Latihan ini biasanya dilakukan dibawah
bimbingan fisioterapis dsengan intensitas yang diatur sesuai kebutuhan.
d. Latihan Sensorimotor
Kegiatan latihan ini selain dilakukan oleh ahli, guru pun dapat
melakukannya. Guru yang mengajar anak tingkat persiapan bisa memadukan
bahan dengan latihan ini. Contoh latihan sederhana yang dapat dilakukan
adalah meronce, mewarnai, menempel, bermain puzzle, dll.

2. Poliomyelitis

Berkaitan dengan kondisi dominan pada anak polio yaitu paralysis, maka
kebutuhan khusus yang harus dipenuhi berupa latihan fisik. Selain latihan fisik
dibutuhkan alat-alat bantu untuk melakukan mobilisasi. Kebutuhan-kebutuhan tersebut
meliputi :

a. Latihan melakukan gerak yang dimulai sejak terjadi paralysis. Latihan


bergerak secara kontinu sehingga latihan ini menjadi suatu kebiasan.
b. Supported sitiing
Erupakan alat bantu untuk duduk yang berfumgsi mencegar kontraktur.
c. Active exercise
Merupakan latihan yang dibantu dengan pendukung alat gerak. Latihan ini
bertujuan untuk memperluas gerakan.
d. Latihan dalam air (kolam)
Latihan yang dilakukan seperti berjalan, terapung, dan berenang dengan
menggunakan alat pendukung anggota gerak.
e. Penggunaan wheel board ayau wheel chair dengan alat pendukung lain
untuk mencegah atau memperbaiki kontraktur.
f. Braces untuk mencegah kontraktur dan persiapan berjalan
g. Paralel bars (palang sejajar) untuk mengawali latihan keseimbangan dan
berjalan
h. Walking machine atau walker
i. Crutch yang telah dimodifikasi untuk keseimbangan
j. Crutch untuk lengan bagian bawah

3. Spina Bifida
Memperhatikan berbagai kesulitan yang dialami oleh anak spina bifida
dibutuhkan latihan-latihan khusus untuk mengatasi berbagai hambatannya.
Latihan dimaksudkan untuk mengatasi paralisi, ketidakampuan mengontrol
buang air besar dan kecil, kebal terhadap temperatur dan sakit ektrimitas
bawah.
Jenis latihan meliputi latihan fisik (fisioterapi) dan sensorimotor, selain
latihan dibutuhkan juga alat-alat khusus agar dapat mempermudah segala
aktivitas sehari-hari. Alat-alat pendukung untuk mempermudah mobilitas dapt
berupa kursi roda, leg braces, crutch, atau kombinasi dari alat tersebut. Obat-
obat khusus seperti supositoria juga dibuthkan, sebagai obat pencahar perut.
Latihan untuk keteraturan buang air besar dan kecil hanya dapat
dilakukan dengan melatih memasukkan obat pencahar ke dalam anus. Latihan
tersebut bermaksud agar anak dapat buang air besar dan kecil pada waktu
serta tempat tertentu pula. Latihan latihan yang akan dilaksanakan, dilakukann
oleh seorang ahli, dalam hal ini fisioterapis.

4. Epilepsi
Pada dasarnya kebutuhan khusus anak epilepsi adalah mengupayakan
jangan sampai sering terjadi kejang-kejang, yang akan menurunkan tingkat
kecerdasannya. Untuk itu perlu pemberian obat-obat khusus, selain mencegah
kejangnya itu sendiri, juga menurunkan panas tubuh. Demam tinggi pada anak
dapat diatasi dengan memberi obat demam. Jangan melakukan pengkopresan
dengan lap yang dingin , karena dapat menyebabkan panas di dalam tubuh dan
di luar tubuh berbeda. Kompres dengan lap hangat.
Jika dinyatakan epilepsi, segera minum obat resep dari dokter secra
teratur. Sediakan obat anti kejang dirumah, jika kejang membuat anak tidak
mungkin meminum obat sediakan obat yang diberikan melalui dubur. Sediakan
selalu obat penurun panas dirumah.
Untuk mencegah faktor lain yang dapat memperparah kondisi anak
sewaktu anak kejang, perlu diperhatikan hal-hal berikut :
a. Hindarkan anak dari benda-benda berbahaya yang berpotensi melukai
dirinya.
b. Kendorkan pakaian anak di bagian leher dan pinggang.
c. Taruh bantal atau sesuatu yang lebut di bawah kepala

Hal lain yang harus selalu diingat adalah selalu menuliskan nomor-monor
darutas seperti rumah sakit atau dokter, ditempat yang terjangkau.

Penderita epilepsi tidak dijamin kesembuhan secara total, namun anak


dapat hidup layak bersama anak lain tanpa rasa malu yang menghantuinya.
Untuk itu dibuthkan dukungan orang lain seperti keluarga, guru, teman sebaya,
dan lingkungan sekitar agar anak tidak merasa minder.

5. DMP (Dystrophy Muscular Progressive)


Kebutuhan khusu anak DMP berkaitan dengan kondisi fisik yang lemah
karena kemunduran fungsi otonya sehingga anak sulit melakukan mobilitas.
Untuk itu kebutuhan yang paling utama adalah perawatan pencegahan
terjadinya kontraktur atau memendek dan memadatnya serabut-serabut otot.
Pencegahan kontraktur dilakukan dengan melakukan terapi fisik oleh phisycal
theraphys. Dengan terapi ini diharapkan dapt memelihara bahkan
memperbaiki fungsi ambulasi tanpa ketergantungan pada bantuan orang lain
(Shock, 1985).
Kebutuhan lain yang berperan dalam membantu mobilitas yaitu
pemakaian alat-alat pendukung fungsi tubuh. Alat yang dimaksud yaitu kursi
roda, walkers, braces, night splint, surgical corsets, dan hospital bed
(Kamenets, 1986). Alat-alat pendukung yang dibutuhkan anak harus sesuai
dengan kebutuhan. Hal yang tidak kalah penting yaitu, kenyamanan kursi roda
saat digunakan, serta daya tahan atau kekuatan kursi roda. Hal yang tidak
boleh dilupakan yaitu kursi roda harus mempunyai daya tarik bagi anak.
Kebutuhan penting lainnya yaitu obat-obatan yang berfungsi menambah
kekuatan otot dan menghilangkan dampak buruk terhadap jantung. Orang tua
dan guru memgang peranan penting dalam mengobservasi reaksi obat yang
mungkin terjadi pada anak.
Hal lain juga yang penting dilakukan di sekolah, yaitu anak diupayakan
tetap melakukan aktivitas dan hindari kegiatan yang membuat anak diam
dalam waktu yang lama. Cara yang terbaik dengan melakukan ocuppational
therapy agar terhindar dari berdiam diri.
Hambatan Emosi dan Perilaku
,, ANAK DENGAN HAMBATAN EMOSI DAN PERILAKU ‘’

Tunalaras

A. Pengertian Tunalaras

Tunalaras adalah ketidakmampuan seseorang menyesuaikan diri terhadap


lingkungan sosial, bertingkah laku menyimpang dari norma-norma yang berlaku.
Dalam kehidupan sehari-hari, anak tunalaras sering disebut anak nakal sehingga
dapat meresahkan/mengganggu lingkungan keluarga, sekolah, dan masyarakat.

Istilah yang digunakan untuk terhadap anak tunalaras memang bervariasi,


misalnya para orang tua cenderung menyebut anak tunalaras sebagai anak nakal ( bad
boy), para psikiater atau psikolog lebih sering menyebutnya sebagai anak yang tidak
mampu mengikuti norma sosial (social maladjusted child). Sedangkan jika anak
tersebut melakukan pelanggaran hukum, para hakim sering menyebutnya sebagai
anak-anak pelanggar hukum.

Tunalaras adalah individu yang mengalami hambatan dalam mengendalikan emosi


dan control sosial. Individu tunalaras biasanya menunjukan perilaku menyimpang
yang tidak sesuai dengan norma dan aturan yang berlaku di sekitarnya. Anak
tunalaras sering juga disebut sebagai anak tunasosial karena tingkah laku anak ini
menunjukan pertentangan terhadap norma-norma sosial masyarakat yang berwujud
seperti mencuri, mengganggu, dan menyakiti orang lain. Selain itu, timbul juga
gagasan bahwa tunalaras juga disebut gangguan tingkah laku (behavior disorder).
Dalam dunia pendidikan khusus, anak tunalaras mencakup anak dengan gangguan
emosi (emotional disturbance) dan anak dengan gangguan perilaku (behavior
disorder).

Dapat disimpulkan bahwa anak tunalaras adalah anak yang mengalami hambatan
emosi dan tingkah laku sehingga kurang dapat atau mengalami kesulitan dalam
menyesuaikan diri dengan baik terhadap lingkungannya dan hal ini akan mengganggu
situasi belajarnya. Situasi tersebut dapat mengubah perilaku bermasalahnya semakin
berat dan dapat merugikan anak tersebut jika pelayanannya disamaratakan dengan
anak normal pada umumnya.
B. Klasifikasi Anak Tunalaras

Berdasarkan penglihatan dari pemicu tumbuhnya perilaku yang menyimpang, anak


tunalaras dapat diklarifikasikan sebagai berikut:

1. Penyimpangan tingkah laku ekstrem sebagai bentuk kelainan emosi.


2. Penyimpangan tingkah laku sebagai bentuk kelainan penyesuaian sosial.

Anak yang dikategorikan memiliki kelainan emosi adalah anak yang kesulitan
menyesuaikan perilakunya dengan lingkungan sosial. Hal ini karena adanya tekanan
dari dalam (inner tension) oleh adanya hal-hal yang bersifat neuritis dan psikotis.
Indikasi anak berkelainan emosi dapat dipantau dari tekanan jiwa yang ditunjukan
dalam bentuk kecemasan yang mendalam. Perilaku anak penyandang kelainan emosi
dalam konteks yang lebih besar mengalami penyimpangan penyesuaian perilaku
sosial.

Macam-macam gejala emosi adalah sebagai berikut:

1. Gentar, yaitu suatu reaksi terhadap suatu ancaman yang tidak disadari.
Misalnya, ketakutan yang kurang jelas objeknya.
2. Takut, yaitu suatu reaksi kurang senang terhadap macam benda, makhluk,
keadaan, atau waktu tertentu. Seperti ketakutan terhadap hantu, monyet, dsb.
3. Gugup atau nervous, yaitu rasa cemas yang berwujud dalam perbuatan-
perbuatan aneh. Seperti menyedot atau menggigit jari, mengepalkan jari,
mengernyitkan muka, dll.
4. Sikap iri hati, yakni selalu merasa kurang senang apabila orang lain
memperoleh keuntungan atau kebahagiaan.
5. Perusak, yaitu memperlakukan benda-benda di sekitarnya menjadi hancur dan
tidak berfungsi.
6. Malu, yaitu sikap yang kurang matang dalam menghadapi tuntunan kehidupan.
Mereka kurang berani menghadapi kenyataan.

Pada anak dengan kelainan emosi, ekspresi wujudnya terbentuk sebagain berikut.

1. Kecemasan mendalam, tapi kabur dan tidak menentu arah kecemasan yang
dituju. Kondisi ini digunakan sebagai alat untuk mempertahankan diri melalui
represi.
2. Kelemahan seluruh jasmani dan rohani yang disertai dengan berbagai keluhan
sakit pada beberapa bagian badannya (astenico neurotic).
3. Gejala yang merupakan tantangan balas dendam karena adanya perlakuan
yang kasar (hysterica konversia). Kondisi ini terjadi akibat perlakuan kasar
yang diterima sehingga ia juga akan berlaku kasar terhadap orang lain sebagai
balas dendam untuk kepuasan dirinya.

C. Karakteristik Anak Tunalaras


Karakteristik anak tunalaras menurut Rusli Ibrahim (2005), sebagai berikut:
1. Inteligensia
Anak tunalaras rata-rata memiliki kecerdasan (IQ) yang setelah diuji
menghasilkan sebaran normal 90, dan sedikit memiliki nilai di atas sebaran
nilai anak-anak pada umumnya dan kemungkinan besar memiliki nilai IQ
keterbelakangan mental serta ada juga yang memiliki kecerdasan sangat
tinggi dalam nilai tes kecerdasan.
2. Persepsi dan Keterampilan Motorik
Anak tunalaras sulit melakukan aktivitas yang kompleks, merasa enggan
dalam aktivitas, malas dan merasa tidak mampu dalam melakukan aktivitas
jasmani. Oleh karena itu, disinilah pentingnya pembelajaran pendidikan
jasmani, seperti sepak bola bagi anak tunalaras.
3. Karakteristik Akademik
Kelainan perilaku mengakibatkan penyesuaian sosial dan sekolah yang
buruk. Akibatnya, dalam belajar anak tunalaras memperlihatkan ciri-ciri
sebagai berikut.
a. Hasil belajar di bawah rata-rata
b. Sering berurusan dengan guru BK
c. Tidak naik kelas
d. Sering membolos
e. Sering melakukan pelanggaran, baik di sekolah maupun di
masyarakat, dan lain-lain
4. Karakteristik Sosial/ Emosional
Karakteristik sosial/emosional tunalaras dapat dijelaskan sebagai berikut.
a. Karakteristik sosial masalah yang menimbulkan gangguan bagi orang
lain
1) Perilaku itu tidak diterima masyarakat, biasanya melanggar norma
budaya
2) Perilaku itu bersifat mengganggu dan dapat dikenai sanksi oleh
kelompok sosial
3) Perilaku itu ditandai dengan tindakan agresif, yaitu:
a) tidak mengikuti aturan;
b) bersifat mengganggu;
c) bersifat membangkang dan menentang;
d) tidak dapat bekerja sama;
e) melakukan tindakan yang melanggar hukum dan kejahatan
remaja.
b. Karakteristik Emosional
1) Hal-hal yang menimbulkan penderitaan bagi anak, misalnya tekanan
batin dan rasa cemas.
2) Ditandai dengan rasa gelisah, rasa malu, rendah diri, katakutan dan
sifat perasa/ sensitive.

D. Penyebab Ketunaan
Penyebab ketunaan anak tunalaras diantaranya adalah:
1. Faktor Keluarga
Tak jarang keluarga menjadi pemicu dari timbulnya perilaku-perilaku
yang tak diinginkan. Hal ini erat hubungannya dengan interaksi yang
terjadi di dalam keluarga, seperti faktor kurangnya figure tertentu,
perhatian, kasih saying, dsb.
2. Faktor Sekolah
Faktor ini erat kaitannya dengan bagaimana sekolah memenuhi
kebutuhan dan aksesibiltas belajar siswa agar dapat berkembang secara
positif. Seperti manajemen kelas dan lain - lain.
3. Faktor Lingkungan
Faktor lingkungan yang kurang dapat dimanfaatkan dengan baik atau
kurang digunakan dapat menjadi pemicu timbulnya perilaku yang tidak
dinginkan. Baik berupa media, nilai - nilai dalam masyarakat, teman
sebaya, etnik, sosial kelas baik secara ekonomi atau pendidikan.

E. Kebutuhan Khusus Anak Tunalaras

Dalam rangka memenuhi kebutuhan khusus anak tunalaras, dapat


menggunakan beberapa program, diantaranya modifikasi perilaku,
pengendalian diri dan konseling.

1. Modifikasi Perilaku
Menurut Wolpe (dalam Sunardi, 2010) Modifikasi perilaku adalah Penerapan
prinsip-prinsip belajar yang telah teruji secara eksperimental untuk
mengubah perilaku yang tidak adaptif dengan melemahkan atau
menghilangkannya dan perilaku adaptif ditimbulkan atau dikukuhkan.

Karakteristik Modifikasi Perilaku :


a. Fokus pada perilaku
b. Menekankan pengaruh belajar dan lingkungan
c. Mengikuti pendekatan ilmiah
d. Menggunakan metode-metode aktif dan pragmatik untuk mengubah perilaku

Prinsip-prinsip Modifikasi Perilaku :


a. Respondent/classical conditioning
b. Operant/instrumental conditioning
c. Modeling
d. Cognitive processes

Beberapa Teknik-teknik modifikasi perilaku :


a. Asertivitas
Suatu kemampuan untuk mengkomunikasikan apa yang diinginkan,
dirasakan dan dipikirkan kepada orang lain namun dengan tetap menjaga
dan menghargai hak-hak serta perasaan pihak lain. Dituntut jujur terhadap
dirinya dan jujur pula dalam mengekspesikan perasaan, pendapat dan
kebutuhan secara proporsional, tanpa ada maksud untuk memanipulasi,
memanfaatkan atau merugikan pihak lainnya.
Asertive training adalah latihan untuk mempertahankan diri akibat
perlakuan orang lain yang menimbulkan kecemasan, dengan cara
mempertahankan hak dan harga dirinya.
b. Aversi
Pemberian hukumpan positif yang diikuti sikap tegas dan biasanya
diikuti dengan prompting. Teknik aversi disarankan sebagai opsi terakhir
jika teknik modifikasi perilaku lain tidak efektif. Terapi aversi digunakan
untuk menghilangkan kebiasaan buru, dengan meningkatkan kepekaan anak
agar mengganti respons pada stimulus yang disenanginya dengan kebalikan
stimulus tersebut, dibarengi dengan stimulus yang merugikaan dirinya.
c. Exctinction
Extinction atau pemadaman adalah hilangnya respons. Tingkah laku yang
telah mengalami penguatan, pada beberapa saat/periode waktu tidak lagi
diperkuat, oleh karena itu tingkah laku tersebut berhenti untuk muncul.
Extinction terjadi saat :
- Sebuah tingkah laku sebelumnya telah diperkuat.
- Tidak lagi mengakibatkan penguatan konsekuensi.
d. Satiation
Satiation atau kejenuhan merupakan teknik menghilangkan perilaku yang
tidak dikehendaki dengan menghilangkan alasanny, alasan tersebut berada
pada diri anak. Misal ketika seseorang memberikan perhatian sebelum anak
menuntuj perhatian atau segera mengalihkan kegiatan ke kegiatan lain
sebelum bosan.
Dapat juga dengan cara pembosanan. Misal, anak yang suka berteriak-teriaj
justru diminta dan dibiarkan berteriak terus sampai ia bosan.
e. Modelling
Sebuah prosedur yang menghadirkan contoh perilaku yang diberikan kepada
individu untuk mendorong individu untuk terlibat dalam perilaku yang
serupa. Agar teknik modifikasi modelling efektif digunakan maka yanng
perlu dilakukan adalah :
- Gunakan model teman sebaya yang kompeten dalam hal yang akan
dimodelak
- Lebih dari 1 model akan lebih baik
- Kompleksitas perilaku yang dimodelkan harus sesuai dengan kemampuan
anak
- Sertakan aturan-aturan lain
- Berikan kesempatan anak melihat perilaku model pada saat menerima
penguatanbuat model yang di desai dengan benar
- Model hendaknya serealistik mungkin.
f. Timeout
Teknik modifikasi time out adalah pemisahan anak dari lingkungan atau
kelompoknya dengan tujuan agar anak bisa merefleksikan diri atas
kesalahan atau perilakunya. Pemisahan ini dapat dilakukan melalui observasi
kontingen, penyisahan exclusion dan pemisahan seclusion.
g. Token economy
Suatu saat untuk menghapus perilaku maladaptif dengan cara memberikan
pemerkuat-pemerkuat tertentu yang berupa benda atau penguat simbolik
lain yang bernilai ekonomis sesuai dengan persetujuan bersama.
Prosedur Pelaksanaan Modifikasi Perilaku

a. Menetapkan target behavior


b. Asesmen – melalui pendekatan ABC
c. Menetapkan teknik intervensi yang dipilih
d. Melakukan intervensi
e. Merekam kegiatan pelaksanaan intervensi
f. Mencatat hasilnya
g. Melaporkan hasil

2. Pengendalian diri
Menurut Berk (dalam Gunarsa, 2004 hlm. 251) pengendalian diri adalah
kemampuan individu untuk menahan keinginan atau dorongan sesaat yang
bertentangan dengan norma sosial.
3. Konseling
Menurut Sugiharto (dalam Sudrajat 2008) konseling behavioral dapat
dipakai untuk melatih anak yang mengalami kesulitan untuk menyatakan diri
melalui latihan Asertif, melakukan teknik Desensitisasi ketegangan.
DAFTAR PUSTAKA

Atamaja, J. R. (2018). Pendidikan dan Bimbingan Anak Berkebutuhan Khusus. Bandung:


Remaja Rosdakarya.

Astati, dkk. (2013). Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus. Bandung

Chori, A. Salim. (1995). Ortopedagogik Anak Tuna Daksa. Bandung: Departemen Pendidikan
dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Proyek Pendidikan Tenaga Guru.

Garnida, D. (2018). Pengantar Pendidikan Inklusif (Edisi Kedua). Bandung: Refika Aditama.

HIMA PKh FIP UPI. (2019). Handout Kelas SIBI. Bandung.

HIMA PKh FIP UPI. (2019). Handout Pendidikan Khusus. Bandung.

Indriyati, A. (2017). Jurnal Penelitian Pendidikan: Peningkatan Pengendalian Diri pada Anak
Tunalaras dengan menggunakan Pendekatan Teknik Konseling Behavioral di SMKN 3
Bandung. Bandung.

Laesi, A. (2013). Studi Perbandingan antara Komunikasi Total dengan Ejaan Jari dalam
Meningkatkan Kemampuan Membaca Teknis bagi Siswa Tunarungu Kelas III/B di SLB
Kartini Batam. Jurnal Ilmiah Pendidikan Khusus, 1(02), 1-13. Doi:
https://doi.org/10.24036/jupe11230.64

Somantri, Sutjihati. (2018). Psikologi Anak Luar Biasa. Bandung: Refika Aditama.

Sunardi. (2010). Modifikasi Perilaku. Bandung: PLB UPI. [Daring] Diakses dari:
http://file.upi.edu/Direktori/FIP/JUR._PEND._LUAR_BIASA/196002011987031-
SUNARDI/karya_tls-materi_ajar_pdf/MODIFIKASI_PERILAKU.pdf

Retno, D. (2016). Strategi Pengembangan Perilaku Adaptif Anak Tunagrahita Melalui Model
Pembelajaran Langsung. JPK (Jurnal Pendidikan Khusus), 12(1), 51-66.
Doi: https://doi.org/10.21831/jpk.v12i1.12840

Anda mungkin juga menyukai