Pengertian Tunanetra
Dari segi bahasa kata tunanetra terdiri dari kata tuna dan netra. Dalam
kamus lengkap Bahasa Indonesia kata tuna berarti tidak memiliki, tidak
punya, luka atau rusak. Sedangkan kata netra berarti penglihatan. Dengan
demikian tunanetra berarti buta, tetapi buta belum tentu sama sekali gelap
atau sama sekali tidak dapat melihat. Dalam literatur bahasa inggris istilah
tunanetra juga disebut dengan“Visual Impairment (Kerusakan Penglihatan)”
atau“Sight Loss (Kehilangan Penglihatan)”.
Menurut somantri (2012:65) Anak tunanetra adalah individu yang
indera penglihatannya (kedua-duanya) tidak berfungsi sebagai saluran
informasi dalam kegiatan sehari-hari seperti halnya orang awas. Anak-anak
dengan gangguan penglihatan ini dapat diketahui dalam kondisi berikut:
1. Ketajaman penglihatannya kurang dari ketajaman yang dimiliki orang
awas.
2. Terjadi kekeruhan pada lensa mata atau terdapat cairan tertentu.
3. Posisi mata sulit dikendalikan oleh syaraf otak.
4. Terjadinya kerusakan susunan syaraf otak yang berhubungan dengan
penglihatannya.
Jadi dari pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa tunanetra yaitu
orang yang kehilangan penglihatan sedemikian rupa, sehingga seseorang itu
sukar atau tidak mungkin dapat mengikuti pendidikan dengan metode yang
biasanya dipergunakan disekolah biasa.
Anak tunanetra dalam pendidikan tidak saja mempergunakan metode
khusus, melainkan juga alat-alat bantu khusus, yang digunakan untuk
membaca dan menulis. Ada anak tunanetra yang sama sekali tidak ada
penglihatan, anak semacam ini biasanya disebut buta total. Disamping buta
total, masih ada juga anak yang mempunyai sisa penglihatan tetapi tidak
dapat dipergunakan untuk membaca dan menulis huruf biasa. Istilah buta ini
mencakup pengertian yang sama dengan istilah tunanetra atau istilah
asingnya blind. Istilah buta yang sering digunakan masyarakat umum
hendaknya tidak digunakan untuk sebutan atau panggilan terhadap orang
yang memiliki kelainan penglihatan, tetapi hanya digunakan
dalam pengelompokan untuk keperluan layanan pendidikan yang sesuai
dengan tingkat kemampuan penglihatan.
B. Penyebab Terjadinya Ketunanetraan
Penyebab terjadinya tunanetra pada dasarnya sangat beraneka ragam,
baik itu dari pra-natal (sebelum kelahiran) dan post-natal (setelah kelahiran).
1. Prenatal
Faktor penyebab ketunanetraan pada masa pre-natal sangat erat
hubungannya dengan masalah keturunan dan pertumbuhan seorang
anak dalam kandungan, antara lain:
a. Keturunan
Ketunanetraan yang disebabkan oleh faktor keturunan
terjadi dari hasil perkawinan bersaudara, sesama tunanetra atau
mempunyai orang tua yang tunanetra. Ketunanetraan akibat
faktor keturunan antara lain Retinitis Pigmentosa,penyakit pada
retina yang umumnya merupakan keturunan. Penyakit ini sedikit
demi sedikit menyebabkan mundur atau memburuknya retina.
Gejala pertama biasanya sukar melihat di malam hari, diikuti
dengan hilangnya penglihatan periferal, dan sedikit
saja penglihatan pusat yang tertinggal.
b. Pertumbuhan anak dalam kandungan
Ketunanetraan yang disebabkan karena proses
pertumbuhan dalam kandungan dapat disebabkan oleh :
1) Gangguan waktu ibu hamil.
2) Penyakit menahun seperti TBC, sehingga merusak sel-sel
darah tertentu selama pertumbuhan janin dalam
kandungan.
3) Infeksi atau luka yang dialami oleh ibu hamil akibat
terkena rubella atau cacar air, dapat menyebabkan
kerusakan pada mata, telinga, jantung dan sistem susunan
saraf pusat pada janin yang sedang berkembang.
4) Infeksi karena penyakit kotor, toxoplasmosis, trachoma
dan tumor. Tumor dapat terjadi pada otak yang
berhubungan dengan indera penglihatan atau pada bola
mata itu sendiri.
5) Kurangnya vitamin tertentu, dapat menyebabkan
gangguan pada mata sehingga hilangnya fungsi
penglihatan.
2. Postnatal
Penyebab ketunanetraan yang terjadi pada masa post-natal dapat
terjadi sejak atau setelah bayi lahir antara lain :
a. Kerusakan pada mata atau saraf mata pada waktu persalinan,
akibat benturan alat-alat atau benda keras.
b. Pada waktu persalinan, ibu mengalami penyakit gonorhoe,
sehingga baksil gonorhoe menular pada bayi, yang pada
ahkirnya setelah bayi lahir mengalami sakit dan berakibat
hilangnya daya penglihatan.
c. Mengalami penyakit mata yang menyebabkan ketunanetraan.
d. Kerusakan mata yang disebabkan terjadinya kecelakaan, seperti
masuknya benda keras atau tajam, cairan kimia yang berbahaya,
kecelakaan dari kendaraan, dll.
C. Perkembangan Kognitif, Motorik, dan Emosi Anak Tunanetra
1. Perkembangan Kognitif Anak Tunanetra
Manusia berhubungan dengan lingkungan, baik sosial, maupun
melalui kemampuan inderanya. Akibat dari ketunanetraan, maka
pengenalan atau pengertian terhadap dunia luar anak, tidak dapat
diperoleh secara lengkap dan utuh. Akibatnya perkembangan kognitif
anak tunanetra cenderung terhambat dibandingkan dengan anak-anak
normal pada umumnya. Hal ini disebabkan perkembangan kognitif
tidak saja erat kaitannya dengan kecerdasan atau kemampuan
intelegensinya, tetapi juga dengan kemampuan indera penglihatannya.
(dalam Somantri, 2012:67)
Indera peglihatan ialah salah satu indera penting dalam
menerima informasi yang datang dari luar dirinya. Sekalipun cara
kerjanya dibatasi oleh ruang, indera ini mampu mendeteksi objek pada
jarak jauh. Melalui indera ini pula sebagian besar rangsang atau
informasi akan diterima untuk selanjutnya diteruskan ke otak,
sehingga timbul kesan atau persepsi dan pengertian tertentu terhadap
rangsang tersebut. Melalui kegiatan-kegiatan yang bertahap dan terus
menerus seperti inilah yang pada akhirnya mampu merangsang
pertumbuhan dan perkembangan kognitif seseorang sehingga mampu
berkembang secara optimal. (dalam Somantri, 2012:67).
2. Perkembangan Motorik Anak Tunanetra
Perkembangan motorik anak tunanetra dijelaskan Somantri
(2012: 76)Perkembangan motorik anak tunanetra cenderung lambat
dibandingkan dengan anak awas pada umumnya, karena dalam
perkembangan perilaku motorik diperlukan adanya koordinasi
fungsional antara neuromuscular system (sistem persyarafan dan otot)
dan fungsi psikis (kognitif, afektif, dan konatif), serta kesempatan
yang diberikan oleh lingkungan. Fungsi neuromuscular system tidak
bermasalah tetapi fungsi psikisnya kurang mendukung serta menjadi
hambatan tersendiri dalam perkembangan motoriknya. Secara fisik,
mungkin anak mampu mencapai kematangan sama dengan anak awas
pada umumnya, tetapi karena fungsi psikisnya (seperti pemahaman
terhadap realitas lingkungan, kemungkinan mengetahui adanya
bahaya dan cara menghadapi, keterampilan gerak yang serba terbatas,
serta kurangnya keberanian dalam melakukan sesuatu) mengakibatkan
kematangan fisiknya kurang dapat dimanfaatkan secara maksimal
dalam melakukan aktivitas motorik. Hambatan dalam fungsi psikis ini
secara langsung atau tidak langsung terutama berpangkal dari
ketidakmampuannya dalam melihat.
Menurut Somantri (2012: 76-80) perkembangan perilaku
motorik anak tunanetra, yaitu:Perkembangan perilaku motorik yang
baik juga menuntut dua macam perilaku psikomotorik dasar yang
bersifat universal harus dikuasai oleh individu pada masa bayi atau
awal masa kanak-kanak, yaitu berjalan, dan memegang benda. Kedua
macam perilaku psikomotorik ini akan menjadi dasar bagi
keterampilan motorik yang lebih kompleks, seperti bermain dan
bekerja. Bagi anak tunanetra, penguasaan perilaku psikomotorik dasar
seperti berjalan dan memegang benda ini bukanlah pekerjaan yang
mudah, ini menjadi hambatan bagi penguasaan keterampilan motorik
lebih lanjut yang bersifat kompleks.
Pada bayi tunanetra perlu diperhatikan upaya-upaya untuk
melengkapi kekurangan rangsangan visualnya.Sebagai gambaran,
berikut ini adalah tahap perkembangan perilaku motorik permulaan
dalam kaitannya dengan fungsi penglihatan.
a. Tahap Sebelum Berjalan
Anak tunanetra juga mengikuti pola perkembangan
motorik yang sama seperti perkembangan bayi normal yaitu
untuk sampai ke tahap berjalan, harus melalui tahapan
menegakan kepala, telungkup, merayap, merangkak dan
seterusnya namun hanya saja faktor kecepatannya yang berbeda
akibat dari kurangnya rangsangan visual. Gangguan atau
hambatan yang terjadi dalam perkembangan koordinasi tangan
dan koordinasi badan akan berpengaruh pada perilaku motorik
tunanetra dikemudian hari (setelah dewasa).
Menurut Rudiyati (dalam Sumiyati:2014) “Selain
melakukan olahraga dapat pula diberikan kepekaan non-visual
untuk melatih perkembangan motorik penderita tunanetra
melalui kegiatan latihan kepekaan pendengaran, latihan
kepekaan taktual, latihan kepekaan pembau, latihan kepekaan
pencecap, latihan kinestetik dan latihan keseimbangan atau
vestabula.”
3. Perkembangan Emosi Anak Tunanetra
Menurut Somantri, Perkembangan emosi anak tunanetra akan
sedikit mengalami hambatan dibandingkan dengan anak yang awas.
Keterlambatan ini terutama disebabkan oleh keterbatasan kemampuan
anak tunanetra dalam proses belajar. Pada awal masa kanak-kanak,
anak tunanetra mungkin akan melakukan proses belajar mencoba-coba
untuk menyatakan emosinya, namun hal ini tetap dirasakan tidak
efisien karena dia tidak dapat melakukan pengamatan terhadap reaksi
lingkungannya secara tepat. Akibatnya pola emosi yang ditampilkan
mungkin berbeda atau tidak sesuai yang diharapkan oleh diri maupun
lingkungannya.
Perkembangan emosi anak tunanetra akan semakin terhambat
apabila mengalami deprivasi emosi, yaitu kurang memiliki
kesempatan untuk menghayati pengalaman emosi yang
menyenangkan seperti kasih sayang, kegembiraan, perhatian dan
kesenangan. Anak yang mengalami deprivasi emosi ini adalah anak-
anak yang pada masa awal kehidupan atau perkembangannya ditolak
kehadirannya oleh keluarga atau lingkungannya. Deprivasi emosi ini
akan sangat berpengaruh terhadap aspek perkembangan lainnya
seperti kelambatan dalam perkembangan fisik, motorik, bicara,
intelektual, dan sosialnya.
Masalah-masalah lain yang sering muncul dan dihadapi dalam
perkembangan emosi anak tunanetra ialah gejala-gejala emosi yang
tidak seimbang atau pola-pola emosi yang negatif dan berlebihan
seperti perasaan takut, malu, khawatir, cemas, mudah marah, iri hati,
serta kesedihan yang berlebihan.
Perasaan takut yang berlebihan pada anak tunanetra biasanya
berhubungan ketidakmampuannya dalam melihat mengakibatkan ia
tidak mampu mendeteksi secara tepat kemungkinan-kemungkinan
bahaya yang mengancam keselamatannya. Sedangkan perasaan
khawatir dan cemas seringkali menghinggapi anak tunanetra sebagai
akibat dari ketidakmampuan atau keterbatasan dalam memprediksikan
dan mengantisipasi kemungkinan-kemungkinan yang terjadi di
lingkungannya dan menimpa dirinya. Sedangkan perasaan iri hati
biasanya muncul karena kurang atau hilangnya kasih sayang dari
lingkungannya.Biasanya tumbuh dan berkembang dari reaksi
lingkungan terhadap dirinya yang ternyata diperlakukan secara
berbeda karena tunanetra nya.
Jadi perkembangan emosi anak tunanetra harus ditangani
dengan tepat agar tidak terjadi deprivasi emosi melalui kasih sayang,
kegembiraan, perhatian dan kesenangan dari keluarganya.Memberikan
motivasi yang lebih agar anak tunanetra tidak memiliki rasa takut,
malu, khawatir, cemas, mudah marah, iri hati, serta kesedihan yang
berlebihan.
D. Perkembangan Sosial dan Kepribadian Anak Tunanetra
1. Perkembangan Sosial Anak Tunanetra
Perkembangan sosial anak tunanetra dijelaskan Somantri (83-
85), yaitu: Hambatan-hambatan muncul pada anak tunanetra sebagai
akibat langsung maupun tidak langsung dari ketunanetraan, yaitu
kurangnya motivasi, kekuatan menghadapi lingkungan sosial,
perasaan rendah diri, malu, penolakan masyarakat, penghinaan, sikap
tak acuh, ketidak jelasan tuntutan sosial, terbatasnya kesempatan
belajar tentang pola tingkah laku yang diterima merupakan
kecenderungan tunanetra yang dapat mengakibatkan perkembangan
sosialnya menjadi terhambat.
Pengalaman sosial anak tunanetra pada usia dini yang tidak
menyenangkan sebagai akibat dari sikap dan perlakuan negatif orang
tua dan keluarganya akan sangat merugikan perkembangan anak
tunanetra. Hal ini karena usia tersebut merupakan masa-masa kritis
dimana pegalaman-pengalaman dasar sosial yang trbentuk pada masa
itu akan sulit untuk diubah dan terbawa sampai ia dewasa. Untuk
menghindari kemungkinan terjadinya penyimpangan-penyimpangan
dalam perkembangan sosial anak tunanetra, sikap dan perlakuan orang
tua serta keluarga tunanetra nampaknya harus menjadi perhatian
terutama pada usia dini.
Masa sosialisasi yang sesungguhnya akan terjadi pada saat anak
memasuki lingkungan pendidikan kedua, yaitu sekolah. Pada masa ini
anak akan dihadapkan berbagai aturan dan disiplin serta penghargaan
terhadap orang lain. Bagi anak tunanetra, memasuki sekolah atau
lingkungan yang baru adalah saat-saat yang kritis, apalagi ia sudah
merasakan dirinya berbeda dengan orang lain yang tentunya akan
mengundang berbagai reaksi tertentu yang mungkin menyenangkan
atau sebaliknya.
Pada akhirnya dapat disimpulkan bahwa bagaimana
perkembangan sosial anak tunanetra sangat bergantung pada
bagaimana perlakuan dan penerimaan lingkungan terutama
lingkungan keluarga terhadap anak tunanetra itu sendiri. Akibat
ketunanetraan secara langsung atau tak langsung, akan berpengaruh
terhadap perkembangan sosial anak seperti keterbatasan anak untuk
belajar social melalui identifikasi maupun imitasi, keterbatasan
lingkungan yang dapat dimasuki anak untuk memenuhi kebutuhan
sosialnya, serta adanya faktor-faktor psikologis yang menghambat
keinginan anak untuk memasuki lingkungan sosialnya secara bebas
dan aman.
Jadi perkembangan sosial anak tunanetra harus didukung oleh
lingkungan keluarga melalui hal-hal positif agar termotivasi hidupnya
dan memberikan peluang besar untuk diterima di lingkungan
masyarakat seperti kesempatan belajar, berinteraksi secara normal dan
diterima layaknya anak normal
2. Perkembangan Kepribadan Anak Tunanetra
Pada hakikatnya perkembangan apapun mengenai anak
tunanetra sangat bergantung pada orang yang menanganinya.Jika anak
tunanetra didukung dan dipercaya untuk melakukan kegiatan yang
positif maka perkembangannya pun akan bermakna.
Sebagai orang terdekat, orang tua dan keluarga sangat berperan
dalam perkembangan segala aspek anak tunanetra sehingga dianjurkan
bahkan diharuskan pihak-pihak ini memberi dorongan/ motivasi, terus
secara continue memberi semangat dan memberikan input yang dapat
menimbulkan perkembangan positif bagi anak tunanetra termasuk
dalam perkembangan kepribadian sehingga anak tunanetra dapat
menyadari, mengenali dan memiliki konsep diri.
Pada pembahasan konsep diri disampaikan pula 3 aspek yang
terdapat di dalamnya menurut Callhoun dan Acocella (dalam
Sumiyati:2104), yaitu :
a. Pengetahuan merupakan apa yang individu ketahui tentang
dirinya. Di dalam benaknya terdapat satu daftar yang
menggambarkan dirinya, kelengkapan atau kekurangan fisik,
usia, jenis kelamin, kebangsaan, suku, pekerjaan, agama dan
lain-lain.
b. Harapan digambarkan sebagai suatu aspek dimana seseorang
memandang tentang dirinya, kemungkinan dirinya menjadi apa
di masa depan.
c. Penilaian, individu berkedudukan sebagai penilai tentang dirinya
sendiri.
Menurut Somantri (2012: 86) “Anak tunanetra setengah akan
mengalami kesulitan menemukan konsep diri yang lebih besar
daripada anak yang buta total karena mereka sering mengalami
konflik identitas di mana suatu saat oleh lingkungannya disebut anak
awas tapi pada saat yang lain disebut anak tunanetra.”
Konsep diri merupakan hal yang penting yang harus disadari
penderita tunanetra sehingga penderita tunanetra dapat memandang
dirinya lebih bermakna dan berharga, menutupi kekurangan dengan
kelebihan yang akan membuatnya lebih bersyukur dan bisa
membuktikan pada dunia luar jika dirinya juga bisa hidup mandiri
seperti orang lain dengan kondisi fisik yang normal yang pada
akhirnya akan membentuk perkembangan kepribadian yang positif
pada diri penderita tunanetra.
E. Pembelajaran bagi Anak Tunanetraan
Pembelajaran yang terbaik bagi siswa tunanetra (dalam
Humairo:2013) adalah yang berpusat pada apa, bagaimana,dan di mana
pembelajaran khusus yang sesuai dengan kebutuhannya itu tersedia.
Pembelajaran khusus yang sesuai dengan kebutuhan siswa adalah tentang
apa yang diajarkan, prinsip- prinsip tentang metoda khusus yang ditawarkan
dalam konteks bagaimana pembelajaran tersebut disediakan, dan yang
terakhir adalah tempat pendidikan yang sesuai dengan kebutuhan anak
dimana pembelajaran akan dilakukan. Dalam mengajar anak dengan
kelainan penglihatan ada beberapa hal yang perlu mendapat perhatian
secara khusus yaitu :
1. Pembelajaran dalam Kurikulum Inti yang Diperluas
Para ahli mengemukakan (dalam Humairo:2013), bahwa
tunanetra mempunyai dua perangkat kebutuhan kurikulum: pertama
adalah kurikulum yang diperuntukan bagi siswa pada umumnya,
seperti: bahasa, seni, matematika, dan IPS; kedua adalah yang dapat
memenuhi kebutuhan khususnya sebagai akibat dari ketunanetraannya
yaitu kurikulum inti yang diperluas, seperti: keterampilan
kompensatoris, keterampilan interaksi sosial, dan keterampilan
pendidikan karir.
Para ahli pendidikan bagi tunanetra, khususnya mereka yang
memberikan bantuan dan mengajar siswa dalam setting inklusi,
mungkin akan diharapkan dengan dilema apa yang akan diajarkan
dalam waktu yang terbatas. Mereka sebaiknya mengajarkan langsung
kepada siswa tunanetra keterampilan khusus untuk mendukung
keberhasilannya berada di sekolah umum.
2. Model Pendidikan
a. Pendidikan Khusus (SLB)
SLB adalah lembaga pendidikan yang menyelenggarakan
program pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus yang
meliputi: Sekolah Luar Biasa (SLB) Tunanetra, yaitu sekolah
yang hanya memberikan pelayanan pendidikan kepada anak
tunanetra, dan Sekolah Dasar Luar Biasa, yaitu sekolah yang
menyelenggarakan pendidikan khusus, dengan bermacam jenis
kelainan yaitu tunanetra, tunarungu, tunagrahita, dan tunadaksa.
(dalam Adriana:2013)
b. Pendidikan Terpadu
Pendidikan Terpadu ialah model penyelenggaraan
program pendidikan bagi anak yang berkebutuhan khusus yang
diselenggarakan bersama-sama dengan anak normal dalam
satuan pendidikan yang bersangkutan di sekolah reguler
(SD,SMP, SMA dan SMK) dengan menggunakan kurikulum
yang berlaku di lembaga pendidikan yang bersangkutan
(Kepmendikbud No. 002/U/1986). Dalam pendidikan terpadu
ini harus disiapkan:
1) Seorang guru Pembimbing Khusus (Guru PLB),
2) Sebuah ruangan khusus yang dilengkapi dengan alat
pendidikan bagi anak yang berkebutuhan khusus. Ruangan
khusus ini dibuat dengan tujuan apabila anak yang
berkebutuhan khusus tersebut mengalami kesulitan di
dalam kelas, maka ia dibawa ke ruang khusus untuk diberi
pelayanan dan bimbingan oleh guru Pembimbing Khusus.
Bimbingan ini dapat berupa bantuan untuk lebih
memahami dan menguasai materi pelajaran, menggunakan
alat bantu atau alat peraga, pengayaan agar ketika anak
belajar di kelas bersama anak lainnya anak tunanetra
sudah siap menerima materi pelajaran, dan rehabilitasi
sosial bagi anak berkebutuhan khusus yang mengalami
kesulitan dalam bergaul dengan teman sebayanya. (dalam
Adriana:2013)
c. Guru Kunjung
Di dalam sistem Pendidikan Luar Biasa terdapat sebuah
model pelayanan pendidikan bagi anak yang berkebutuhan
khusus yaitu dengan model Guru Kunjung. Model guru kunjung
ini dilakukan dalam upaya pemerataan pendidikan bagi anak
yang berkebutuhan khusus usia sekolah. Oleh karena sesuatu
hal, anak tersebut tidak dapat belajar di sekolah khusus atau
sekolah lainnya, seperti tempat tinggal yang sulit dijangkau
akibat dari kemampuan mobilitas yang terbatas, jarak sekolah
dan rumah terlalu jauh, kondisi anak tunanetra yang tidak
memungkinkan untuk berjalan, menderita penyakit yang
berkepanjangan, dll.
Pelayanan pendidikan dengan model guru kunjung ini
bisa dilaksanakan di beberapa tempat, seperti rumah anak
tunanetra sendiri, sebuah tempat yang dapat menampung
beberapa anak tunanetra, dan rumah sakit. Kurikulum yang
digunakan pada model guru kunjung adalah kurikulum PLB,
kemudian dikembangkan kepada program pendidikan individual
yang disesuaikan dengan kemampuan dan kebutuhan masing-
masing anak. (dalam Adriana:2013)
d. Pendidikan Inklusif
Pendidikan inklusif adalah pendidikan reguler yang
disesuaikan dengan kebutuhan siswa yang memerlukan
pendidikan khusus pada sekolah reguler dalam satu kesatuan
yang sistemik. Berdasarkan Keputusan Mendikbud No.
0491/U/1992, anak-anak yang memiliki kebutuhan khusus
seperti tunanetra dapat belajar secara terpadu dengan anak
sebaya lainnya dalam satu sistem pendidikan yang sama.
Layanan pendidikan di dalam pendidikan inklusif
memperhatikan beberapa hal, yaitu kebutuhan dan kemampuan
siswa, satu sekolah untuk semua, tempat pembelajaran yang
sama bagi semua siswa, pembelajaran didasarkan kepada
hasil assessment, tersedianya aksesibilitas yang sesuai dengan
kebutuhan siswa, sehingga siswa merasa aman dan nyaman, dan
lingkungan kelas yang disesuaikan dengan kebutuhan siswa.
Sementara untuk kurikulum yang digunakan adalah kurikulum
yang fleksibel, disesuaikan dengan kemampuan dan kebutuhan
setiap siswa. (dalam Adriana:2013)