Anda di halaman 1dari 25

BAB I

PENDAHULUAN

I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Keluarga merupakan unit terkecil dari masyarakat, mempunyai nilai strategis
dalam penyelenggaraan pelayanan kesehatan karena setiap masalah individu merupakan
masalah keluarga dan begitu juga sebaliknya. Pendekatan keluarga diarahkan pada
penggalian dan pemberdayaan potensi keluarga baik secara mandiri maupun dengan
bantuan orang lain untuk mengatasi masalah-masalah kesehatan yang dihadapi oleh
keluarga atau anggota keluarga. Namun dalam menjalankan peran dan fungsi keluarga
kadang-kadang tidak semudah membalikkan tangan. Seringkali kita memembaca,
mendengar di berbagai pemberitaan media adanya kasus-kasus penganiayaan dalam
keluarga yang lebih dikenal dengan “Family Violence” atau sering juga terkenal dengan
istilah “Intimate Partner Violence (IPV)/kekerasan dalam rumah tangga.
Kekerasan dalam rumah tangga ( IPV) mendapat sebuah kritik dari masyarakat
yang peduli dengan masalah kesehatan. Di dalam hasil survei Nasional tentang kekerasan
terhadap wanita (co-sponsored by the Centers for Disease Control and Prevention and the
National Institute of Justice), 25% dari 8000 seluruh responden wanita di US menyatakan
bahwa mereka pernah mengalami penganiayaan oleh patner mereka di dalam hidup
mereka (Tjaden & Thoennes, 1998). Baru–baru ini Sebuah study di Canada (Coker,
Smith, Mckeown & King, 2000) Ditemukan 55,1% dari 1401 wanita yang mengunjungi
praktek klinik keluarga telah mempunyai pengalaman beberapa bentuk kekerasan oleh
patnernya dan 20,2% dari itu peserta saat ini mengalami percobaan IPV. Di dalam
pengaturan jarak melahirkan, studi tersebut telah mengidentifikasi angka kejadian dari
penyalahgunaan waktu kehamilan kurang lebih 18.1% dari sample 1.203 anak remaja dan
wanita dewasa (Parker & Soeken, 1994) sebanyak 37,6% dari sampel hanya anak remaja
yang hamil (Curry, 1998). Dampak negatip dari penganiayaan dalam hubungannya
dengan kesehatan fisik dan mental wanita telah didokumentasikan (Letourneau, Holmes
& Chasedun Roark, 1999; Ullman& Siegel, 1995)Salah satu permasalahan yang sering
terjadi pada keluarga adalah keluarga pasangan baru. Hasil survey sosial ekonomi
nasional (Biro Pusat Statistik, 1997) ditemukan bahwa kekerasan terhadap perempuan di
pedesaan (66,7 %) lebih banyak dari perkotaaan (33,3 %). Khusus perkosaan (66,7 %) di
pedesaan dan (32,3 %) di perkotaan).
Sebagai jawaban atas kejadian ini, program untuk korban kekerasan dalam rumah
tangga yang sudah berkembang di beberapa negara dalam dekade terakhir. Batas
perlindungan yang di berikan pada wanita tidak sebanding sehingga perlu dukungan
teman sebaya, jasa pembela, individu, dan group psikoterapi serta program untuk
pencegahan. Program ini ada di berbagai tempat termasuk rumah sakit, pengadilan,
berbagai tempat di masyarakt, organisasi keagamaan dan organisasi wanita ( Chalk &
King 1998). Di Indonesia UU terhadap perlindungan kekerasan dalam keluarga belum
ada, sehingga tempat pelayanan terhadap korbannyapun sampai sat ini belum ada.
Beberapa LSM sudah mulai membentuk pelayanan korban kekerasan dalam keluarga,
Institusi yang dikelola oleh pemerintah sampai saat ini belum ada.
Melihat fakta demikian muncul pertanyaan “Apakah yang bisa dilakukan oleh
perawat untuk mencegah dan memulihkannya?”. Inilah yang membuat penulis tertarik
untuk membahas dalam makalah ini.

B. Tujuan

1. Tujuan Umum
Mampu menerapkan Asuhan Keperawatan Pada Korban Kekerasa Dalam Keluarga.
2. Tujuan khusus
a. Mampu melakukan pengkajian Keperawatan pada korban kekerasan dalam
keluarga.
b. Mampu menentukan diagnosa keperawatan dan menentukan
prioritas masalah keluarga yang mengalami kekerasan.
c. Mampu membuat perencanaan Keperawatan pada korban kekerasan keluarga.
BAB II
TINJAUAN TEORITIS

A. Konsep Kekerasan Terhadap Keluarga

Kekerasan terhadap keluarga (biasanya perempuan sebagai korban) adalah


segala bentuk tindak kekerasan pada keluarga yang biasanya berbasis gender yang
mengakibatkan atau kemungkinan mengakibatkan kerugian fisik, seksual, psikologis atau
penderitaan terhadap perempuan, termasuk ancaman, paksaan, perampasan kebebasan
yang sewenang-wenang terjadi baik di area publik maupun domestik (PBB, 1993 dalam
Anna Keliat B, 2001). Kekerasan ini biasanya bebentuk verbal ataupun nonverbal. Secara
verbal bahkan kadang-kadang pelakunya tidak menyadari bahwa ia telah melakukan
kekerasan. Bila dalam bentuk non verbal/perilaku akan tampak jelas bentuk aksinya
apalagi yang terkait dengan kekerasan fisik. Penelitian pada tahun 1997, menunjukkan
bahwa perempuan mengalami kekerasan emosional (50 %), kekerasan fisik (36 %),
kekerasan seksual (40 %) dan pelaku yang paling banyak adalah suami kemudian isteri
dan terakhir ayah (Nosek & Howland, 1998).
Macam-macam kekerasan
1. Kekerasan fisik berupa tamparan, pukulan, tendangan, cekik, cubit, sulut rokok,
menyiram dengan air keras/air panas ke muka dan memukul dengan alat.
2. Kekekrasan fisik yaitu dengan power atau kekeuasaan membuat takut orang lain
dengan ancaman : dibunuh, dirusak, diculik anaknya, dibuka rahasianya. Dipaksa
melakukan ha-hal yang tidak dinginkan, dikontrol aktifitasnya : : tidurnya,
makannya, uangnya, dll. Tujuannya adalah agar perempuan dibawah kontrol dan
merasa tidak berarti sama sekali.
3. Kekerasan seksual, yaitu semua kegiatan seksual yang tidak dinginkan perempuan
tetapi dilakukan dengan paksaan. Pelaku kekerasan seksual 99 % pria dan 63 %
dikenal oleh perempuan yang menjadi korban.
Kekerasan rumah tangga mayoritas terjadi oleh suami pada isteri. Kekerasan terhadap
isteri akan semakin kompleks jika isteri melampiaskan kekerasan pada nanaknya. Karena
anak yang melihat atau menjadi korban kekerasan akan berisiko melakukan kekerasan
pada dewasa nanti.
Rentang koping isteri yang menjadi korban kekerasan adalah sebagai berikut :
KOPING ISTERI KORBAN KEKERASAN
Adaptif Maladaptif
 Pergi sementara  Mabuk-mabukan
 Telepon polisi  Menarik diri/isolasi
 Beritau teman  Menutup/nutupi
 Menuntut tanggung jawab  Memarahi anak dan menyalahkan diri
 Mencari bantuan  Mencoba bunuh diri

Sumber : Sinclair, D (1985)


Ada beberapa alasan isteri tetap bertahan di rumah :
1. Takut akan mendapat perlakuan lebih keras lagi, bahkan anak menjadi korban.
2. Perempuan sudah bagian dari keluarga suami sesuai dengan aturan pernikahan
sehingga orang tua tidak menerimanya lagi.
3. Perempuan tidak mempunyai pendidikan pekerjaan dan uang.
4. Perempuan tidak ingin dijuluki sebagai korban kekerasan.
5. Sada ikatan agama atau adat.
6. Perempuan akan diisolasi dari lingkungan.
7. Perempuan takut kehilangan hak merawat anak.
8. Perempuan takut persolannya sampai ke pengadilan.
Dan yang lebih parah adalah alasan klasik isteri harus narimo (menerima) karena suami
adalah kepala rumah tangga yang mencari nafkah dan menghidupi.
Beberapa aspek yang meungkin menjadi faktor penyebab tindak kekerasan adalah :
1. Aspek biologis.
Terkait dengan mekanisme otak sebagai pusat pengatur. Kerusakan beberapa bagian
otak dapat menyebabkan perilaku kekerasa.
2. Aspek psikologis.
Aspek perilaku yang terkait dengan perilaku kekerasan adalah :
a. kegagalan sekolah, pekerjaan, perceraian yang mengakibatkan frustasi dapat
berakhir dengan kekerasan.
b. Penguatan perilaku kekerasan.
c. Korban kekerasan fisik.
3. Aspek sosial.
Lingkungan sosial merupakan tempat belajar yang efektif bagi individu. Sering nya
terpapar kejadian kekerasan merupakan referensi untuk perilaku kekerasan di
kemudian hari.
Prinsip penanganan tindak kekerasan terhadap perempuan adalah dengan
pemberdayaan perempuan :
1. Kerjasama/parnership/mitra.
2. Berbagi informasi.
3. Otonomi memeilih alternatif penyelesaian masalah.
4. Curah pendapat tentang alternatif yang dipilih.
5. Evaluasi makna dari solusi yang dipilih.
Dasar conceptualisasi intervensi ini mempunyai tiga prinsip utama yaitu:
1. Wanita korban kekerasan dimasukan dalam sistem pelayanan kesehatan dengan
membedakan tingkat kesiapan untuk membuat perubahan di dalam hidup mereka
(meliputi kehidupan mitra kekerasannya, termasuk didalamnya pemberian
perlindungan sipil, membuat suatu rencana keselamatan, atau menceritakan
kepada teman atau tetangga tentang kekerasanyang di alami). Beberapa wanita
mungkin menggunakan strategi untuk bercerai, dari beberapa yang
melakukan perceraian mereka mengalami kekurangan dari pendapattannya atau
kurangnya soport sosial untuk merubah hidup mereka. Dengan demikian dari
beberapa wanita yang lain mengalami ambivalen dalam melakukan perubahan
secara keseluruhan.
2. Wanita yang mengalami kekerasan harus memilih strategi untuk mengahiri
kekerasan yang di alami dalam hidupnya, perubahan dari waktu ke waktu, serta
ketergantungannya pada faktor – faktor internal dan eksternal.
3. Wanita korban kekerasan dapat dapat mengembangkan dirinya dengan strategi
untuk menyelamatkan dirinya, tetapi semua strategi ini tidak dapat menjamin
keberhasilan bila wanita korban kekerasan ini masih bergantung kepada mitra
pelaku kekerasan tersebut.
Sedangkan penanganan tindak kekerasan sendiri ada 3 level prevensi :
1. Prevensi primer.
Dapat dilkukan dengan mengidentifikasi kondis risiko dari perempuan dan
melakukan tindakan keperawatan bagi perempuan berisiko pelaku kekerasan.
Tindakan yang bisa dilakukan adalah :
 Menyediakan tempat penitipan anak (TPA) atau daycare di semua tempat kerja
sehingga perempuan dapat tetap kerja walaupun ia puny anak balita.
 Menghentikan peredaran buku, film, media dan atraksi yang memperlihatkan
perempuan sebagai korban.
 Mengontrol pemilik senjata api.
 Menghilangkan hukuman fisik.
 Kurikulum tentang kesehatan umum didisi dengan informasi cara mencegah dan
mengatasi kekerasan seksualdan fisik.
Sedangkan pada keluarga dapat dilakukan beberapa tindakan :
 Promosikan hubungan dalam keluarga tanpa kekerasan yaitu keluarga yang saling
merindukan, mencintai, menghargai, keterbukaan, jujur dan setia.
 Sertakan suami pada saat melahirkan.
 Menghasuh anak tanpa kekerasn.
 Kembangkan cara demokrasi dalam keluarga.
 Tingkatkan komunikasi terbuka.
Upayakan agar kedua suami-isteri dilatih komunikasi yang asertif.
2. Prevensi skunder.
Perawat perlu mengetahui proses yang terjadi pada perempuan setelah mengalami
tindak kekerasan yaitu :
a.Fase pertama.
Mulai dengan pembinaan hubungan denganperawat. Korban sering mengingkari
kejadian dan menganggapnya tidak nyata. Tindakan keperawatan yang bisa dilakukan
:
 Yakinkan klien bahwa perawat percaya semua ungkapannya.
 Beritahu bahwa dia bukan satu-satunya korban kejadian seperti itu.
 Bangkitkan percaya dirinya memalui ketrampilan yang dimiliki.
 Validasi perasaan dan pengalaman klien.
 Fokuskan energi klien pada penyelesaian masalah.
 Beri informasi yang jelas dann sederhana.
 Beri umpan balik yang realistis sesuai dengan ungkapan klien.
 Perlihatkan perhatian kepada klien.
b. Fase kedua.
Fase ini adalah fase yang paling berat bagi korban dan dibutuhkan intervensi krisis :
 Kaji beberapa bahaya yang dihadapi klien.
 Kaji kebutuhan untuk pemeriksaan kesehatan.
 Pastikan hubungan dengan sumber pelayanan dan sumber dukungan.
 Hubungkan klien dengan pengacara.
 Pertahankan kontak.
c.Fase Ketiga.
Fase ini sangat berbahaya karena krena kedua belah pihak bertahan sehingga bisa
berakhir dengan pembunuhan. Tindakan keperawatan yang perluy dilakukan
adalah :kaji kebutuhan tempat tinggal emergency.
d. Fase keempat.
Merupakan fase pemulihan. keberhasilan fase ini butuh dukungan dan bantuan orang
lain, khususnya perawat.
Tindakan perawatan pada prevensi skunder adalah “:
 Lakukan pemeriksaan fisik yang lengkap dan wawancara tentang kejadian.
 Bantu korban memulihkan percaya diri, harga diri dan latihan fisik.
 Lakukankonseling secara teratur.
 Latih korban relaksasi.
 Bantu melakukan sosialisasi, khususnya mencari pekerjaaan.
3. Prvensi tersier.
Prevensi tersier berguna untuk pemulihan keadaan fisik, psikologis dan sosial yang
sudah rusak. Tindakan keperawatan adalah konseling jangka pendek yang dibagi
dalam tiga fase :
a. Fase awal (kontrak).
Tujuan untuk membina hubungan saling percaya dan menyepakati tujuan dari
konseling dan lamanya konseling :
 Membantu korban untuk tidak menjadi korban kekerasan lagi.
 Membantu korban untuk bertanggung jawabmeningkatkan kualitas hidupnya.
b. Fase pertengahan (kerja).
Berjalan kurang lebih 10 sesi, sekali seminggu. Fokus pada dukungan peer group.
Topik yang dibahas dalam kelompok adalah penyelesaian masalah individu dan
mendiskusikan topik yang dipilih. Beberapa topik diskusi yang bisa diangkat :
takut, marah, seksualitas, hukum, dan dampak kekerasan.
c. Fase akhir (terminasi).
Merupakan kesempatan mengevaluasi hasil tindakan dan merenccanakan masa
depan.
BAB III
STUDI KASUS

Studi Kasus :
Suatu keluarga baru menikah tanggal 21 Maret 2004. Tn. M adalah seorang pegawai
negeri di salah satu instansi pemerintah di Jakarta. Tn. M tamat D III dan sudah
bekerja di instansi tersebut kurang lebih 5 tahun yang lalu, sedangkan Ny. N adalah
Seorang Ibu Rumah tangga yang sebelum menikah juga bekerja sebagai pegawai
kontrak di Perusahan swasta. Mereka telah saling mengenal lebih kurang 1 tahun
sebelum mereka memutuskan menikah. Tn. M sekarang berumur 28 tahun sedang Ibu
N berumur 24 tahun. Sebelum menikah ke duanya tinggal di rumah kost masing-
masing. Sementara kedua orang tua pasangan ini tinggal di Propinsi yang berbeda.
Perkawinan kedua disetujui oleh masing-masing orang tua. Orang tua Tn. M berasal
dari Sumatra utara sedangkan orang tua Ibu N dari Solo , Jawa tengah. Setelah
menikah mereka sepakat untuk tinggal bersama. Penghasilan Tn. M Rp.
1.200.000/bln. Atas kesepakatan bersama Tn. M berkeinginan agar Ibu N tidak
bekerja karena menurut pemahamannya seorang Suami tugasnya mencari nafkah
untuk rumah tangga. Sedangkan istri bertugas mengelola rumah tangga. Mereka
menyewa sebuah rumah susun yang yang terdiri dari satu kamar berukuran 4 x 4 m,
sebuah dapur dengan ukuran 2 x 2 m dan sebuah kamar mandi dan WC yang
berukuran 1x 2 m. Pada awalnya keduanya merasakan kebahagiaan dan mersakan
tidak ada kurang apapun. Seiring dengan perjalanan waktu kebutuhan sebagai
keluarga semakin bertambah. Kebutuhan akan alat-alat rumah tangga seperti alat-alat
rumah tangga semakin banyak, Tn. M selalu mencoba mengikuti keinginan
Istrinya.sehingga tanpa terasa ruangan untuk mereka berdua sudah terasa penuh
disamping bawaan barang-barang mereka sebelumnya. Tn. M adalah seorang anak
tunggal dari orang tua. Sedang ibu N mempuanyai 5 bersaudara. Orangtua Tn. M
selalu menanyakan meraka apakah Istrinya sudah hamil atau belum. Tn. M
berkeinginan untuk memenuhi keinginan orang tua nya. Sementara itu Ibu N berharap
bahwa untuk sementara mereka menunda sementara keinginan untuk punya anak
sambil menunggu kesiapan mereka dari segi finansial dan berharap mereka dapat
menyewa rumah yang lebih layak untuk sebuah keluarga yang akan mempunyai anak.
Perbedaan pandangan ini membuat ke 2 nya sering salah paham antara satu dengan
yang lain. Sebenarnya Tn. M juga punya pemikiran yang sama dengan istrinya, tapi
mengingat umur orang tuanya yang sudah 80 tahun Ia berharap orang tuanya dapat
menimang cucu sebelum meninggal. Rasa stres menghadapi kondisi ini membuat Tn.
M bingung, uring-uringan, sering pulang malam dan berkata kasar dan keras kepada
isterinya. Setiap suaminya marah ibu N selalu diam lebih baik mengalah agar
perkawinannya tetap utuh karena budaya yang dianut jawa yang mempunyai persepsi
isteri harus mengabdi pada suami dan narimo. Sementara itu ibu N selalu berusaha
memberikan pengertian tentang kondisi yang sebenarnya. Dalam keseharian kerja Tn.
M bekerja dari jam 7 pagi sampai dengan jam 4 sore. Tn. M selalu makan diluar pada
siang hari sedangkan untuk sarapan dan makan malam mereka lakukan bersama.
Kebiasaan Ibu N bekerja sebelumnya membuat Ia mulai merasa jenuh yang hanya
berada dirumah dengan rutinitas kesehariannya sebagai ibu rumah tangga. Ia sudah
jarang bertemu dengan kawan-kawan dia sebelumnya. Rasa riang dan canda dengan
kawan-kawan muncul dalam bayangannya. Kadang-kadang Ia merasakan
keterikatannya dengan suami jika harus mengunjungi kawannya. Ingin rasanya dia
bercanda dan mengulangi kejadian yang lepas seperti masa sebelumnya. Hal ini tidak
pernah diceritakan pada suaminya apalagi sejak sering marah dan pulang malam, ia
takut suaminya tersinggung, sehingga ia hanya dapat memendam apa yang dia
rasakan.
Pengelompokan data dan masalah keperawatan :
DATA MASALAH
DO : Konflik mengambil keputusan
Keluarga serius menceritakan masalahnya
kapan ingin punya anak
kepada perawat
DS :
Tn. M mengatakan bahwa orang tuanya
menginginkan supaya cepat mempunyai
anak dengan alasan sudah tua dan ingin
segera menimang cucu.
Ny. N mengatakan menginginkan untuk
menunda punya anak dengan alasan
menunggu kesiapan finansial dan dapat
menyewa rumah yang layak untuk punya
anak.
Tn. M mengatakan Perbedaan pandangan
keinginan mempunyai anak ini membuat
dirinya dan isteri sering salah paham antara
satu dengan yang lain, sering uring-uringan
dan marah-marah serta berkata kasar.

Ny. N mengatakan suaminya akhir-akhir


sering pulang malam dan sering uring- Kekerasan psikologis
uringan serta marah. Setiap suaminya
marah ibu N selalu diam lebih baik
mengalah agar perkawinannya tetap
utuh karena budaya yang dianut jawa
yang mempunyai persepsi isteri harus
mengabdi pada suami dan narimo Hal
ini tidak pernah diceritakan pada
suaminya apalagi sejak sering marah
dan pulang malam, ia takut suaminya
tersinggung, sehingga ia hanya dapat
memendam apa yang dia rasakan. .

Prioritas masalah :
Konflik mengambil keputusan kapan ingin mempunyai anak.
No Kriteria Skore Alasan
1. Sifat masalah
Skala : Tidak sehat 1 Dalam keluarga ada stressor
yaitu orang tua ingin punya
anak tetapi ny. B masih ingin
mendanya. Ini akan
menyebabkan konflik dalam
mengambil keputusan.
2. Kemungkinan masalah dapat 1 Tn. M sependapat dengan
diubah : sebagian isterinya, sehingga tinggal
mencari waktu yang tepat
untuk menyampaikan ke orang
tuanya Tn. M.
3. Potensial masalah untuk diatasi: 1 Dasar keduanya menikah
tinggi dilandasi oleh rasa cinta dan
dierestui kedua orang tua dari
kedua belah pihak.
4. Menonjolnya masalah : masalah 1 Masalah ini dirasakan oleh Tn.
dirasakan dan harus segera M sehingga ia bingung harus
ditangani berbuat apa.
Jumlah 4

Kekerasan psikologis dalam keluarga


No Kriteria Skore Alasan
1. Sifat masalah
Skala : kurang/tidak sehat 1 Masalah sudah terjadi dan
komunikasi keduanya
mengalami gangguan

2. Kemungkinan masalah dapat 1 Pengetahuan dan riwayat


diubah : sebagian perjalanan cinta keduanya
dapat dipakai sebagai dasar
menyelesaikan masalah ini.
3. Potensial masalah untuk diatasi: 2/3 Tn. M sependapat dengan
tcukup isterinya sehingga
dimungkinkan dapat mengatasi
maslah ini dengan komunikasi
yang baik.

4. Menonjolnya masalah : masalah 1 Masalah sudah dirasakan oleh


berat, harus segera ditangani. keduanya. Perlu
dikomunikasikan segera.
3 2/3

Prioritas masalah berdasarkan skore :


1. Konflik dalam mengambil keputusan kapan mempunyai anak pada keluarga Tn.
M berhubungan dengan ketidakmampuan keluarga mengenal masalah peran
perkawinan.
2. Kekerasan psikologis dalam keluarga Tn. M khusunya pada Ny. N berhubungan
dengan ketidakmampuan keluarga mengenal komunikasi yang efektif dalam
keluarga.

Rencana asuhan keperawatan :


1. Konflik dalam mengambil keputusan kapan ingin mempunyai anak pada keluarga
Tn. M berhubungan dengan ketidakmampuan keluarga mengenal masalah peran
perkawinan.
Tujuan :
Jangka panjang :
Setelah dilakukan tindakan keperawatan, proses keluarga pada Tn. M berfungsi
optimal sesuai dengan peran perkawinan.
Jangka pendek :
Setelah dilakukan pertemuan selama 2X45 menit keluarga mampu mengenal
masalah perubahan proses keluarga dengan krteria :
Krieteria : Respon verbal : menyebutkan perubahan proses keluarga yang ada.
Standar :
a. Perubahan proses keluarga adalah keadaan dimana keluarga yang
normalnya supaortif mengalami stressor yang menantang kemampuan
keluarga yang sebelumnya berfungsi efektif.
b. Penyebab perubahan proses keluarga yang terjadi adalah akibat adanya
keinginan untuk punya anak dari orang tua Tn. M.
Rencana Intervensi :
1. Kaji pengetahuan keluarga tentang perubahan proses keluarga yang terjadi.
2. Diskusikan perubahan proses keluarga yang sedang terjadi.
3. Diskusikan penyebab perubahan proses keluarga yang sedang terjadi.
4. Motivasi keluarga untuk memahami perubahan proses keluarga yang sedang
terjadi.
Setelah dilakukan pertemuan selama 2X45 menit keluarga mampu mengambil
keputusan yang tepat untuk mencegah perubahan proses keluarga menjadi
berlarut.
Kriteria : Respon psikomotor dan afektif : merencanakan komunikasi yang efektif
untuk suami isteri tentang perencanaan punya anak. Komunikasi dengan orang tua
Tn. M pada waktu yang tepat.
standar :
a. Identifikasi ulang tujuan dan peran masing-masing pada perkawinan yaitu
mempunyai anak dan membangun perkawinan yang memuaskan. Suami
berperan sebagai pencari nafkah, pelindung dan kepala rumah tangga.
b. Adanya keputusan untuk punya anak yang disepakati oleh suami dan isteri.
c. Adanya rencana untuk menyampaikan keputusan yang diambil kepada orang
tua TN. M sesuai dengan waktu yang tepat.
Rencana intervensi :
1. Kaji pengetahuan keluarga tentang tujuan dan peran masing-masing dalam
perkawinan.
2. Diskusikan dengan keluarga tentang tujuan dan peran masing-masing dalam
perkawinan.
3. Motivasi keluarga untuk menyusun rencana yang ingin dicapai dalam waktu
dekat dalam perkawinannya.
4. Motivasi keluarga untuk mengambil keputusan yeng disepakati secara
bersama (suami isteri) dan menyampaikan ke orang Tn. M pada waktu yang
tepat.
5. Berikan reinforcement atas usaha keluarga yang telah dilakukan.
Setelah dilakukan pertemuan 2X45 menit keluarga mampu menyebutkan cara
beradaptasi terhadap stress yang ada di keluarga.
Kriteria : Psikomotor dan afektif : Mendemonstrasikan cara-cara beradaptasi
terhadap stress dan menggunakannya dalam kehidupan sehari-hari.
Standar :
a. Mengenali stress yang terjadi di keluarga yaitu adanya ketidaksepakatan untuk
punya anak.
b. Berusaha beradapatsi terhadap masalah yang dihadapi oleh keluarga dengan
membuat kesepakatan ulang dalam keluarga.
Rencana intervensi :
1. Kaji tindakan yang telah dilakukan oleh keluarga untuk menghadapi stress
yang terjadi.
2. Diskusikan dengan keluarga tentang cara-cara mengatasi stress yang terjadi.
3. Motivasi keluarga untuk melakukan dan mendemendemonstrasikan cara-cara
yang adaptif dalam menghadapi stress.
4. Berikan reinforcement terhadap upaya positip keluarga dalam beradaptasi
dengan stresnya.
Setelah dilakuakn pertemuan 2X45 menit keluarga mampu memodifikasi
lingkungan yang tepat untuk mengatasi perubahan proses keluarga.
Kriteria : Respon psikomotor dan afektif : mengeset ulang lingkungan dan
suasana rumah yang mampu menciptakan kebersamaan.
Standar :
1. Mengeset ulang lingkungan rumah yang dapat sering bersama-sama seperti
saat makan bersama, nonton televisi bersama, dll.
2. Menjaga suasana harmonis yang telah terjalin dengan mengungkapkan
masalah-masalah yang dihadapi secara bersama.
Rencana intevensi :
1. Kaji pengetahuan keluarga tentang lingkungan dan suasana rumah yang
mampu menciptakan kebersamaan.
2. Diskusikan dengan keluarga untuk mengeset ulang lingkungan dan suasana
rumah yang mampu menciptakan kebersamaan.
3. berikan reinforcement terhadap upaya yang telah dilakukan keluarga untuk
menciptakan lingkungan yanmg posistip.
Setelah dilakukan pertemuan selama 1X45 menit keluarga mampu mencari
sumber-sumber dan memanfaatkan sumber tersebut untuk menyelesaikan
masalahnya.
Krteria : Respon verbal dan afektif : menyebutkan sumber dan tempat mencari
bantuan dan konsultasi tentang masalah yang dihadapi.
Standar :
1. Sumber dan tempat pelayanan untuk konsultasi : psikolog, perawat psikiatri,
LSM, PKBI, dll.
2. Memanfaatkan sumber-sumber untuk mengatasi masalahnya.
Rencana intervensi :
1. Kaji pengetahuan keluarga sumber-sumber dan tempat pelayanan untuk
konsultasi tentang maslahnya.
2. Diskusikan dengan keluarga tentang sumber-sumber dan tempat pelayanan
untuk konsultasi tentang masalahnya.
3. Motivasi keluarga untuk menfaatkan sumber-sumber dan fasilitas yang ada
untuk mengatasi masalahnya.
4. Berikan reinforcemen terhadap upaya yang telah dilakukan oleh keluarga.
2. Gangguan komunikasi dalam keluarga Tn. B berhubungan dengan
ketidakmampuan keluarga mengenal komunikasi yang efektif dalam keluarga.
Tujuan :
Jangka panjang :
Setelah dilakukan tindakan perawatan, komunikasi dalam keluarga efektif dan
terbuka diantara suami-isteri.
Jangka pendek :
Setelah dilakukan pertemuan 2X45 menit keluarga mampu mengenal masalah
komunikasi yang tidak efektif dan tidak terbuka antara suami-isteri dalam
keluarga.
Kriteria : Respon verbal : menyebutkan pengertian komunikasi yang efektif dan
terbuka dalam keluarga diantara suami-isteri.
Standar :
1. Menyebutkan definisi komunikasi yang efektif dalam keluarga yaitu
komunikasi 2 arah yang saling menghargai dan terbuka diantara suami-isteri
serta tidak ada tekanan atau rasa takut diantara keduanya.
2. Mengidentifikasi penyebab komunikasi yang tidak efektif yang sedang terjadi.
Rencana intervensi :
1. Kaji pengetahuan keluarga tentang definisi, penyebab komunikasi yang tidak
efektif dalam keluarga.
2. Diskusikan dengan keluarga tentang definisi, penyebab komunikasi yang tidak
efektif dalam keluarga.
3. Motivasi keluarga menyebutkan ulang definisi, penyebab komunikasi yang
tidak efektif dalam keluarga.
Setelah pertemuan 2X45 menit keluarga mampu mengambil keputusan yang tepat
untuk melakukan komunikasi yang efektif dalam keluarga.
Kriteria : Respon psikomotor dan afektif : Mendemonstrasikan komunikasi yang
efektif dan diterapkan dalam praktek kesehariannya dalam keluarga.
Standar :
1. Memahami langkah-langkah komunikasi yang efektif yaitu bahasa yang
mudah dipahami, saling menghargai, tidak ada tekanan dan rasa takut diantar
keduanya.
2. Mendemonstrasikan komunikasi yang efektif dan menerapkan dalam
kehidupan sehari-hari secara bersama.
Rencana intervensi :
1. Kaji pengetahuan dan kemapuan keluarga dalam berkomunikasi yang efektif.
2. Diskusikan dengan keluarga bagaimana komunikasi yang efektif dalam
keluarga.
3. Beri kesempatan kepada keluarga untuk mendemonstrasikan komunikasi yang
efektif.
4. Motivasi keluarga untuk menerapkan komunikasi yang efektif dalam
keluarga..
1. Beri Reinforcemen kepada keluarga atas upaya yanmg telah dilakukan untuk
mengatasi stress.
Setelah dilakukan pertemuan 2X45 menit keluarga mampu melakukan
komunikasi yang efektif.
Kriteria : Psikomotor dan efektif : mendemonstrasikan dan menerapkan
komunikasi yang efektif dalam keluarga dalam kehidupan sehari-harinya.
Standar :
1. Melakukan komunikasi yang efektif dalam keluarga.
Rencana intervensi :
1. Kaji pengetahuan keluarga tentang komunikasi efektif.
2. Diskusikan dan latih keluarga untuk melakukan komunikasi efektif dalam
keluarga.
3. Motivasi keluarga untuk mempraktekan komunikasi efektif dalam keluarga.
Setelah dilakukan pertemuan 1X45 menit keluarga mampu memodifikasi
lingkungan dan suasana rumah tangga yang dapat memotivasi untuk
berkomunikasi yang efektif dalam keluarga.
Krietia : Psikomotor dan afektif : menyusun ulang dan menciptakan suasana
rumah yang memungkinkan untuk sering bersama sehingga dapat berkomunikasi
secara efektif.
Standar :
1. Mengeset ulang lingkungan rumah yang dapat sering bersama-sama seperti
saat makan bersama, nonton televisi bersama, dll.
2. Menjaga suasana harmonis yang telah terjalin dengan mengungkapkan
masalah-masalah yang dihadapi secara bersama.
Rencana intevensi :
1. Kaji pengetahuan keluarga tentang lingkungan dan suasana rumah yang
mampu menciptakan kebersamaan.
2. Diskusikan dengan keluarga untuk mengeset ulang lingkungan dan suasana
rumah yang mampu menciptakan kebersamaan.
3. Berikan reinforcement terhadap upaya yang telah dilakukan keluarga untuk
menciptakan lingkungan yang posistip.
BAB IV
PEMBAHASAN

Kekerasan terhadap keluarga (biasanya perempuan sebagai korban) adalah segala


bentuk tindak kekerasan pada keluarga yang biasanya berbasis gender yang
mengakibatkan atau kemungkinan mengakibatkan kerugian fisik, seksual, psikologis
atau penderitaan terhadap perempuan, termasuk ancaman, paksaan, perampasan
kebebasan yang sewenang-wenang terjadi baik di area publik maupun domestik
Kekerasan terhadap keluarga (biasanya perempuan sebagai korban) adalah segala
bentuk tindak kekerasan pada keluarga yang biasanya berbasis gender yang
mengakibatkan atau kemungkinan mengakibatkan kerugian fisik, seksual, psikologis
atau penderitaan terhadap perempuan, termasuk ancaman, paksaan, perampasan
kebebasan yang sewenang-wenang terjadi baik di area publik maupun domestik. Pada
kasus ini adalah pada keluarga pasangan baru yang diartikan merupakan gabungan
dari 2 pribadi yang berbeda sehingga sumber-sumber dari dua orang digabungkan.
Penggabungan ini memungkinkan banyak masalah bial pada awalnya belum ada
komitmen dari pasangan tersebut. Secara teori tugas perkembangan pada pasanagan
baru adalah membangun perkawinan yang saling memuaskan (Friedman, 1998).
Namun untuk membangun perkawinan yang saling memuaskan ini tidaklah mudah
seperti yang terjadi pada kasus yang dipaparkan dalam kasus ini. Hal ini dipengaruhi
oleh latar belakang mereka yang berebeda yang mungkin belum sempat diungkapkan
dan diketahui oleh masing-masing pihak dan keluarga. Tugas lain yang harus dicapai
oleh keluarga tersebut adalah menghubungkan jaringan persaudaraan secara harmonia
(Friedman, 1998). Tugas ini merupakan perubahan peran dasar yang terjadi pada
perkawinan. Bagi pasangan ini maka mereka harus menupayakan berbagai hubungan
dengan orang tua mereka, sanak saudara, dan dengan ipar-ipar mereka. Hal ini perlu
komunikasi yang baik agar hubungan tersebut berjalan dengan sukses. Pada kasus ini
muncul masalah komunikasi yang disebabkan akibat ada komitmen yang belum
dipahami pada saat menjalani masa pacaran. Tugas yang lainnya adalah keluarga
berencana/keputusan untuk mempunyai anak (Fiedman, 1995). Perencanaan kapan
punya anak adalah hal penting yang harus disepakati bersama oleh pasangan. Namun
kadang factor stress berasal dari orangtua keduanya yang ingin menimang cucu. Ini
terjadi pada kasus yang dibahas pada makalah ini, yaitu orang tua Tn. M. Padahal
pasangan ini mempunyai rencana ingin punya anak setelah mempunyai finansial yang
cukup dan mampu mengontrak rumah yang layak. Ini menyebabkan masalah
perubahan proses keluarga dan dapat memicu terjadinya konflik dalam keluarga.
Kekerasan yang tejadi meskipun hanya dalam bentuk verbal kalau dibiarkan
kemungkinan akan berlanjut pada kekerasan nonverbal. Meskipun sebetulanya pelaku
sendiri tidak merasakan bahwa itu merupakan bentuk kekerasan. Mungkin juga ini
terjadi karena budaya yang dianut adalah budaya sumatera dan isteri menganut
budaya jawa yang menganggap isteri harus mengabdi pada suami dan narimo. Dan ini
terjadi pada kasus ini yaitu konflik yang diakibatkan keinginan orang tua TN. M
untuk segera menimang cucu. Bila dibandingkan konsep teori yang kelompok pakai
dengan kasus yang dikelola adalah sesuai.
BAB V
KESIMPULAN

Kekerasan terhadap keluarga (biasanya perempuan sebagai korban) adalah segala


bentuk tindak kekerasan pada keluarga yang biasanya berbasis gender yang
mengakibatkan atau kemungkinan mengakibatkan kerugian fisik, seksual, psikologis
atau penderitaan terhadap perempuan, termasuk ancaman, paksaan, perampasan
kebebasan yang sewenang-wenang terjadi baik di area publik maupun domestik
Keluarga pasangan baru merupakan tahap awal dalam perkembangan keluarga.
Kadang-kadang pelakunya tidak menyadari bahwa apa yang dirasakan merupakan
bentuk kekerasan. Pada kasus yang diambil ini adalah keluarga pasanagn baru yang
mungkin muncul banyak masalah karena menyatukan 2 individu dari latar belakang
yang berbeda. Tugas perkembangan keluarga pada tahap ini adalah :
 Membina hubungan intim yang menyenangkan atau memuaskan.
 Membina hubungan dengan keluarga lain, teman, kelompok social.
 Mendiskusikan rencana memiliki anak
Masalah-masalah utama yang sering muncul pada tahap ini adalah penyesuaian
seksual dan peran perkawinan, penyuluhan dan konseling keluarga berencana,
penyuluhan dan konseling prenatal, dan komunikasi.
Sedangkan pada kasus yang kelompok kelola pada pasangan baru adalah :
 Konflik dalam mengambil keputusan kapan ingin mempunyai anak.
 Kekerasan psikologis dalam keluarga
Kekerasan selalu mungkin terjadi, oleh karena itu perlu upaya prevensi yang
dilakukan oleh perawat. Mungkin perlu dipikirkan perlunya pusat pelayanan
keperawatan untuk korban kekerasan sesuai dengan peran perawat sebagai pemebri
pelayanan, konsultan, fasilitator dan pelindung klien.pada kasus yang dibahas hal
yang paling mendasar dalam tugas perkembangan ini adalah memutuskan kapan
waktu yang tepat untuk mendapatkan anak dan jumlah anak yang diharapkan.
REFERENSI

Kelliat, B.A., (2001), Ftindak Kekerasan Terhadap Perempuan, Materi Kuliah, Tidak
Dipublikasikan.

Buleched, M.G; McCloskey, C.J, (1999); Nursing Intervention effective Nursing


Treathments, W.B Saunders Company.

Carpenito, J.L, (1999); Handbook of Nursing Diagnosis, 8/E, Lippincott, Philadelphia.

Friedman. M.M, (1998); Family Nursing : Theory & Practice, 4/E, Connectiout :
Appleton- Century- Cropts.

Kekerasan Keluarga, www Google, Langkah-langklah dasar perubahan dari tindakan


untuk korban kekerasan dalam keluarga, diakses tanggal 1 Juni 2004

Wahid, A, dkk., 1996; Seksualitas, Kesehatan Reproduksi, dan Ketimpangan Gender,


Pustaka sinar harapan, Jakarta.
ASUHAN KEPERAWATAN FAMILY VIOLENCE
PADA KELUARGA PASANGAN BARU

TUGAS MATA AJAR : KEPERAWATAN KOMUNITAS LANJUT I


DOSEN : Astuti Yuni Nursasi, SKp., MN

Disusun oleh :
Rochani Istiawan
7303010318

Program Spesialis Keperawatan Komunitas


Fakultas Ilmu Keperawatan
Universitas Indonesia
2004

COLABORATIVE LEARNING
TUGAS MATA AJAR : Manajemen Mutu PelayananKeperawatan
DOSEN : Tien Gartinah, MN

Disusun oleh :
Djuariah Chanafi
Kurniawan Yudianto
Setyowati
Roswita Hasan
Zuraidah

Program Pasca Sarjana


Kepemimpinan dan Manajemen Keperawatan
Fakultas Ilmu Keperawatan
Universitas Indonesia
2004

Anda mungkin juga menyukai