Disusun Oleh:
KELOMPOK I
SEMESTER V/JINAYAH-C
Nama:
Ananda Harahap (0205202078)
Mata Kuliah :
Dosen Pengampu :
Drs. Ishaq, MA
Puji syukur atas kehadiran Allah SWT. Karena berkat rahmat-Nya makalah Tafsir
Ahkam Jinayah ini dapat diselesaikan. Sholawat dan salam semoga tetap tercurahkan kepada
Baginda Muhammad SAW. makalah ini disusun dengan harapan dapat menunjang dan
memenuhi pencapaian tugas kelompok yang diberikan oleh Dosen Pengampu.
Pada kesempatan ini pula kami mengucapkan terima kasih kepada beberapa pihak yang
telah berjasa dalam menyusun makalah ini. Semoga Allah membalas dengan balasan lebih
banyak. Amin.
Akhir kata, kami berharap agar makalah ini dapat diterima oleh dosen pengampu dan
dapat berguna bagi siapa yang memerlukannya dimasa yang akan datang.
Penulis
Kelompok I
ii
DAFTAR ISI
A. Kesimpulan ............................................................................................................... 12
B. Saran ........................................................................................................................ 13
iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam beberapa literatur fikih yang dirujuk, penulis tampaknya menemukan beberapa
hal sehubungan dengan pandangan ulama fikih tentang perbuatan bughah beserta katagori jenis
pidananya. Di kalangan Hanafiyah terdapat syarat-syarat yang menjadi kriteria perbuatan yang
tergolong ke dalam pidana bughah. Pertama, adanya perbuatan melawan pemerintah. Kedua,
mempunyai alasan melawan pemerintah. Ketiga, memiliki kekuatan senjata, dan keempat,
perbuatan itu dilakukan dengan cara anarkis.1 Bagi kalangan Hanafiyah, sejumlah syarat-
syarat yang terkait dengan perbuatan bughah di atas sudah dianggap bagian dari tindak pidana.
Landasan ini berdasarkan kandungan definisi
Tindak pidana bughah yang dimaksudkan oleh Hanafiyah belum mencapai titik akhir;
lantaran jenis pidana bughah masih berada di antara had dan qishas. Untuk mengurai hal ini,
maka alasan yang dipakai oleh kalangan Hanafiyah disebabkan tindakan bughah digerakkan
oleh dua pihak. Pertama, pemerintah. Kedua, kalangan bughah. Kategori alasan pertama,
bahwa pemerintah atau pemimpin sejauh telah bekerja secara maksimal menurut ketentuan
syara' dan diangkat berdasarkan kesepakatan bersama, berarti mentaati menjadi sebuah
kewajiban.
Namun sebaliknya, untuk kategori alasan kedua, bahwa perintah melawan pemimpin
yang zalim juga sebuah perintah wajib. Dikarenakan ada dua perintah yang saling berlawanan;
di satu sisi mengutuk perbuatan bughah, tapi di sisi yang lain, boleh melawan pemimpin yang
zalim, maka tindakan memerangi menurut pandangan ini merupakan jenis pidana yang
dianggap paling tinggi, sekaligus sebagai upaya pilihan; antara had atau qishas. Selanjutnya,
pemerintah harus memiliki sikap sabar dan tidak boleh mendahului sebelum kelompok pelaku
bughah melakukan penyerangan. Alasan yang digunakan karena posisi pemimpin memiliki
status yang lebih tinggi, baik kedudukannya, ilmunya, tanggung jawabnya, dan kewajibannya
sebagai pemimpin. Alasan lain adalah sikap pemerintah melawan kelompok pelaku bughah
untuk mengantisipasi kemungkinan-kemungkinan adanya kejahatan yang mengarah kepada
perbuatan anarkis. Senada demikian, kalangan Malikiyah juga punya pandangan yang hampir
serupa dengan kalangan Hanafiyah. Hanya saja yang menjadi pertimbangan dan tampak
perbedaan di kalangan Malikiyah adalah, ketika membatasi syarat perbuatan bughah terbatas
pada sikap melawan pemerintah saja, meski jenis pidana yang ditetapkan adalah had atau
qishas.
1
Namun tetap saja, apabila melihat pada apa yang ditimbulkan oleh bughat selepas
pemberontakan itu dilakukan, maka pemberontakan itu merupakan kejahatan politik yang
sangat meresahkan. Sebab, kejahatan semacam ini dapat menghancurkan persatuan kaum
muslimin, menyalakan api fitnah dan segala efek negatifnya mulai dari pertumpahan darah,
menghancurkan bangunan negara, menebarkan teror dan penyelewengan hak.
B. Rumusan Masalah
1. Apa Yang Dimaksud Dengan Bughat?
2. Apa Saja Unsur-Unsur Bughat?
3. Bagaimana Ayat-Ayat Bughat Dan Penafsiran Para Ulama?
4. Bagaimana Sanksi Bughat?
5. Bagaimana Tanggungjawab Dan Penerapan Perbuatan Pidana Bughat?
C. Tujuan Penulisan
Adapun Tujuan Kami Dalam Menyusun Makalah Ini Adalah Agar Semua Mahasiswa
Mampu Memahami Tentang Gugatan Dalam Peradilan Tata Usaha Negara
2
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Bughat
Al-Baghyu (pemberontakan) secara bahasa berarti melampaui batas, aniaya, atau zalim.
Ulama lain mengartikan baghyu secara bahasa berarti: mencari atau menuntut sesuatu.
Pengertian tersebut kemudian menjadi populer untuk mencari dan menuntut sesuatu yang tidak
halal, baik karena dosa maupun kezaliman.
Pemberontakan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah proses, cara, atau
penentangan terhadap kekuasaan yang sah. Pelaku albagyu disebut al-baghy yaitu orang yang
menentang pemerintah yang adil dan tidak mau melaksanakan apa yang menjadi kewajibannya.
Secara etimologis (istilah), al-baghyu adalah seseorang keluarnya dari ketaatan kepada
penguasa yang sah karena perbedaan persepsi (takwil). Istilah baghyu ini kemudian dalam
bahasa sehari-hari diartikan dengan pemberontakan atau makar. Pengertian baghyu secara
istilah dikemukakan ulama mazhab dengan redaksi berbeda, sebagai berikut:
a. Pendapat Ulama Hanafiyah
Al-Baghyu (pemberontakan) adalah keluar dari ketaatan kepada khalifah atau imam
(kepala negara) yang legal (sah) dengan caracara yang tidak benar.
b. Pendapat Ulama Malikiyah
1. Al-Baghyu (pemberontakan) adalah penolakan sekelompok orang untuk tunduk dan
taat kepada imam yang kepemimpinannya telah diakui dan tindakan atau kebijakannya
bukan untuk maksiat kepada Allah dan rasul-Nya dengan tujuan untuk menggulingkan
kekuasaannya.
2. Al-Bughat (pelaku pemberontakan) adalah sekelompok kaum Muslimin yang
berseberangan dangan al Imam al a‘zham (kepala negara) atau wakilnya, dengan
menolak untuk menjalankan hak dan kewajiban sebagai warga negara dan bermaksud
menggulingkannya.
3. Pendapat Ulama Syafi’iyah Pemberontakan adalah keluarnya kelompok yang memiliki
kekuatan dan tidak lagi bersedia patuh kepada kepala negara (imam), akibat persepsi
atau menggunakan alasan (ta‘wil) yang tidak benar. Pemberontakan merupakan upaya
merongrong kekuasaan pemerintah yang legal dan selalu berkarakter merusak. Islam
memerintahkan untuk berunding dengan pemberontak dan diperangi, apabila tidak
bersedia bergabung kembali dengan pemerintah (penguasa) yang sah.
3
B. Unsur-Unsur Bughat (Pemberontakan)
Yang dimaksud imam atau khalifah, bukanlah presiden atau raja atau kepala negara
lainnya dari institusi negara yang bukan negara Islam. Abdul Qadir Audah menegaskan 1 ,
“Yang dimaksud imam adalah pemimpin tertinggi (kepala) dari negara Islam (ra`is al-dawlah
al-islamiyah al-a‘la), atau orang yang mewakilinya”. Hal tersebut didasarkan pada kenyataan,
ayat Alquran tentang bughat (Al-Hujurat/49:9) adalah ayat Madaniyah yang diturunkan
sesudah Nabi Saw. hijrah dan berbicara dalam konteks sistem negara Islam (Daulah
Islamiyah), bukan dalam sistem ketatanegaraan yang lain. Hadis Nabi Saw. dalam masalah
bughat, berbicara dalam konteks pemberontakan kepada khalifah, bukan yang lain. 2 Demikian
juga, pemberontakan dalam Perang Shiffin yang dipimpin Muawiyah, gubernur di Siria
melawan Ali bin Abi Thalib sebagai khalifah yang sah, jelas dalam konteks Daulah Islamiyah. 3
1
Abdul Qadir.Audah, al-Tasyri‘ al-Jina`i al-Islamiy, (Beirut: Dar al-Kitab al-„Arabi, 2010). juz ke-2, h. 676.
2
Al-Shan’any, Subul al- Salam, (Jakarta: Dar al-Kutub, 2008). juz ke-3, h.257-261.
3
Al-Manawi, Faidh Al-Qadir, (Beirut: Dar al-Kitab al-„Arabi, 2011), juz ke-2, h. 336.
4
apabila kepala negara memerintahkan sesuatu yang bertentangan dengan syariat, tidak ada
kewajiban bagi siapa pun untuk menaati apa yang diputuskan pemerintah.
Kekuatan para pemberontak harus sedemikian rupa, sehingga untuk mengajak dan
menyadarkan golongan bughat ini, khalifah harus menyediakan dana besar, menyiapkan
4
pasukan, dan mempersiapkan persenjataan untuk perang. Kekuatan dalam konteks
pemberontakan ini, sering diungkapkan fuqaha‘ dengan term al-syaukah yang berarti al-
quwwah (kekuatan). Fuqaha‘ Syafi‘iyyah menyatakan, al-syaukah bisa terwujud dengan
berkumpulnya orang banyak (al-katsrah) dan kekuatan (al-quwwah), serta adan pemimpin
yang ditaati.5
Hal ini jelas mengisyaratkan adanya sekumpulan orang yang bersatu, solid, dan
akhirnya melahirkan kekuatan. Taqiyuddin al-Husaini dalam Kifayat al-Akhyar ketika
membahas syarat “kekuatan,” beliau mengatakan,‖Jika (yang memberontak) itu adalah
individu-individu (afradan), serta mudah mendisiplinkan mereka, mereka itu bukanlah
bughat.‖ Dengan demikian, jika ada yang memberontak kepada khalifah, tetapi tidak
mempunyai kekuatan, misalnya hanya dilakukan satu atau beberapa individu yang tidak
membentuk kekuatan, semua ini tidak disebut bughat. Dengan demikian, bughat harus
didukung kekuatan yang banyak dari para memberontak, ada kekuatan senjata, didukung
logistik dan dana yang memungkinkan mereka mampu mengadakan perlawanan. Ulama
Hanabilah mengartikan kekuatan dengan gabungan orang dan senjata, di mana untuk
menumpasnya dibutuhkan prajurit yang banyak. Ulama Syafi‟iyah mensyaratkan untuk
terwujudnya kekuatan diperlukan seorang pemimpin yang ditaati, karena kekuatan tidak akan
sempurna kecuali dengan adanya seorang pemimpin yang ditaati. Pendapat Ulama Syafi‟iyah
ini cukup beralasan, karena berapa pun anggota dan betapa pun kuatnya suatu kelompok, kalau
tidak ada pemimpinnya dianggap tidak memiliki kekuatan. Dengan demikian, pengertian
kekuatan harus berupa gabungan dari unsur personel, senjata, logistik, dan pemimpin.
Tindak pidana pemberontakan disyaratkan adanya niat melawan hukum. Unsur ini
terpenuhi apabila seseorang bermaksud menggunakan kekuatan senjata mematikan untuk
menggulingkan khalifah. Apabila tidak ada maksud untuk keluar dari khalifah atau tidak ada
4
Taqiyuddin al-Husaini, Kifayat al-Akhyar, (Beirut: Dar al-Kutub al-,Arabi, 2004), juz ke-2, h.197.
5
Abu Yahya Zakaria al-Anshori, Asna al-Mathalib, (Beirut: Dar al-Fikr, tth.,), juz ke-4, h. 111
5
maksud untuk menggunakan kekuatan persenjataan yang mematikan, kelompok itu belum
dikategorikan sebagai pemberontakan. Selain itu, untuk bisa dianggap keluar dari khalifah,
disyaratkan ada niat untuk menggulingkan khalifah. Dengan demikian, apabila niat atau tujuan
pembangkangannya itu untuk menolak kemaksiatan, pelakunya tidak dianggap sebagai
pemberontak. Fuqaha‘ mengungkapkan syarat penggunaan senjata dengan istilah man‘ah, atau
terkadang juga dengan istilah al-silaah (senjata). Selain itu, man‘ah (boleh dibaca mana‘ah)
memiliki arti: al-izz (kemuliaan) atau al-quwwah (kekuatan).
Artinya : Dan apabila ada dua golongan orang-orang mukmin berperang, maka damaikanlah
antara keduanya. Jika salah satu dari keduanya berbuat zalim terhadap (golongan) yang lain,
maka perangilah (golongan) yang berbuat zalim itu, sehingga golongan itu kembali kepada
perintah Allah. Jika golongan itu telah kembali (kepada perintah Allah), maka damaikanlah
antara keduanya dengan adil, dan berlakulah adil. Sungguh, Allah mencintai orang-orang yang
berlaku adil.
Dalam kitab Tafsir al-Qurthubi, Imam Qurthubi mengutip pendapa para ulama.
Menurut Imam Mujtahid bahwasannya ayat ini turun sebagai bentuk respons terhadap
persengketaan yang melibatkan suku Aus dan Khazraj. Persengketaan itu terjadi saling bunuh
antara dua kelompok tersebut. Sedangkan dari versi lain Imam Qatadah mengatakan ayat ini
turun terkait kasus dua orang laki-laki Anshar yang bertengkar mulut tentang perebutan hak
yang diklaim masing-masing pihak yang kemudian berujung pada pertengkaran fisik.
6
tersebut dengan cara memberi nasehat, atau dengan cara-cara yang lain yang tidak
menimbulkan fitnah ditengah masyarakat.
Kedua, ayat ini menunjukkan bahwa memerangi orang-orang yang makar (bughat)
terhadap pemerintahan yang sah adalah wajib. Al-Qurthubi menambahkan, jika sekelompok
orang yang menyatakan menentang pemerintahan sementara mereka tetap tak mengindahakan
untuk kembali taat dan masuk dalam barisan, maka mereka wajib diperangi. Ada yang berkata
wajib di situ itu bermakna fardlu kifayah, sehingga sekiranya yang satu telah
memerangi bughat maka yang lain telah gugur.
Apabila kepala negara memerintahkan sesuatu yang bertentangan dengan syariat, tidak
ada kewajiban bagi siapa pun untuk menaati apa yang diputuskan pemerintah. Allah
mengingatkan dalam firman-Nya, surat An-Nisa‟ ayat ke-59, sebagai berikut:
Artinya : Wahai orang-orang yang beriman! Taatilah Allah dan taatilah Rasul (Muhammad),
dan Ulil Amri (pemegang kekuasaan) di antara kamu. Kemudian, jika kamu berbeda pendapat
tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah (Al-Qur'an) dan Rasul (sunnahnya), jika
kamu beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan
Menurut Al-Bukhari, Muslim, Abu Dawud, dan mukharrij hadis yang lain, ayat ini
turun berkenaan dengan Abdullah bin Hudzafah bin Qais bin ‘Adi, ketika diutus Rasulullah
Saw. dalam konteks sariyah (tawanan perang). 6
6
Al-Suyuthi, al-Durar al-Mantsûrah fi al-Ahadis al-Musytahirah , (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1990),
vol. 2, h. 314.
7
Untuk siapa ayat Alquran ini ditujukan dan dalam konteks apa? Al-Qurtubi dalam
tafsirnya mengatakan, khithâb ayat ini ditujukan kepada seluruh umat Islam untuk tiga hal,
yaitu : Pertama: perintah untuk mentaati Allah Swt., yakni menjalankan perintah-Nya dan
menjauhi larangan-Nya. 7 Kedua: perintah mentaati Rasulullah Saw. yang diutus dengan
membawa risalah dari Allah Swt. yang wajib ditaati. Karena itu, menaati Rasulullah Saw. sama
dengan mentaati Dzat Allah Swt. yang mengutusnya (lihat Q.S. An-Nisa‟/4: 64, 80). Meskipun
mentaati Rasulullah Saw. sejalan dengan mentaati Allah Swt., tetapi ada perbedaan objek yang
ditunjuk. Mentaati Allah Swt. bermuara kepada Kitabullah Alquran, sementara mentaati
Rasulullah Saw. berarti kembali kepada sunah-sunah Nabi Saw. Ketiga: perintah mentaati ulil
amri. Para mufasir berbeda pendapat mengenai makna term ulil amri. Sebagian mufasir,
memaknai ulil amri untuk ulama atau ahli Fikih.
Selain itu, secara eksplisit ditunjukkan dalam Hadis Nabi Saw. yang menjelaskan tercelanya
tindakan memberontak kepada imam (al-khuruj ‘an tha‘at al-imam). Misalnya Hadis Nabi Saw.
yang diriwayatkan sahabat Abu Hurairah127 sebagai berikut:
D. Sanksi Bughat
Suatu gerakan anti pemerintah dinyatakan sebagai bughat (pemberontakan) dan harus
dihukum sebagaimana ditetapkan dalam surat Al-Hujurat ayat 9. Adapun hukuman untuk
bughat (pemberontak) sebagai berikut:
1) Jika pemberontak tidak mau dinasihati untuk diajak kembali loyal dan patuh kepada
pemerintah yang legal, pemerintah harus memerangi pemberontak tersebut sampai kembali
ke jalan yang benar.
2) Jika pemberontak dapat dinasihati secara baik-baik, mereka harus diberlakukan dengan baik
berdasarkan ketentuan yang ada dalam surat Al-Hujurat ayat ke-9
7
Al-Qurthubi, al-Jâmi‘ li Ahkâm al-Qur‘ân, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1993), vol. 3, h. 167.
8
E. Tanggung Jawab dan Penerapan Perbuatan Pidana Bughat
Namun jika perbuatan tersebut sudah mengarah pada tingkat peperangan, maka al-
Mawardi menetapkan tanggung jawab pidana bughah dengan dua cara. Pertama, korban
perang tidak perlu dipertanggungjawabkan. Kedua, harus menanggungnya karena perbuatan
itu sebagai maksiat. Artinya, tidak menghilangkan hak dan tidak pula menghapus kewajiban
utang.9 Bahkan tanggungjawab perbuatan pidana bughah pun masih bisa dikaitkan, apakah
telah mengarah kepada pemberontakan atau perbuatan itu tidak berhubungan dengan
pemberontakan.36 Jika yang dimaksud bahwa perbuatan itu mengarah kepada
pemberontakan, seperti merusak jambatan, membom gudang amunisi, gedung-gedung
pemerintah, membunuh para pejabat atau pun menawannya; maka semua itu tidak ditetapkan
dengan jenis pidana biasa, melainkan dengan jenis pidana yang paling tinggi, yakni hukuman
mati apabila tidak ada pengampunan (amnesti).
8
al-Mawardi, al-Ahkam al-Sultaniyyah wa al-Wilayat al-Diniyyah, (Beirut: Dar al-Kitab al-’Ilmiyah, 1996 M),
h. 123-124.
9
Ibid., h. 124-125.
9
pelaku bughah adalah suatu keharusan dan menjadi pertimbangan yang dianggap penting.
Sebagai tambahan, sekiranya tindakan memerangi kelompok bughah merupakan bagian dari
jenis pidana yang dimaksud, maka besar kemungkinan bahwa pelaku bughah dianjurkan untuk
dibunuh setelah mereka tertangkap dalam peperangan. Adapun perbuatan bughah yang tidak
ada kaitannya dengan pemberontakan, seperti meminum-minuman keras, zina, atau
perkosaan, maka status pidana yang ditempuh sebatas pada jarimah biasa (bukan pidana
politik). Meski kemudian, pelaku perbuatan tersebut tetap ditindak dengan jenis pidana hudud.
Sementara pertanggungjawaban pidana untuk perbuatan bughah model ini tidak ada. Jika
mereka merusak dan menghancurkan aset-aset negara yang dianggap perlu, demi kelancaran
serangan dan upaya pemberontakan, maka ketentuan yang dibuat al-Mawardi tidak
menyebabkan pelaku bughah menerima beban hukum. Adapun perusakan harta yang tidak
berkaitan dengan pemberontakan, misalnya harta kekayaan individu, maka mereka tetap
dibebani pertanggung jawaban perdata.
Karena itu, tuntutan bagi pelaku bughah hanya sebatas pada perdata saja. Barang yang
diambil harus dikembalikan dan yang sudah dihancurkan harus diganti. Pendapat ini
dikemukakan di kalangan Hanafiyah, dan diperkuat kembali di kalangan Syafi’iyah. Bahkan
pendapat yang dimaksud di kalangan Syafi’iyah, di mana tanggung jawab itu berlaku
sepenuhnya bagi pelaku bughah atas semua barang yang dihancurkan, tanpa harus mengaitkan
dengan perbuatan bughah atau tidak. Menurut Syafi’iyah, perbuatan mereka adalah perbuatan
melawan hukum.
Apabila pelaku bughah berupaya meminta bantuan kepada orang kafir zimmi, maka
orang kafir zimmi tersebut tetap dikategorikan sebagai pelaku bughah. Begitu juga dengan
jenis pidana yang akan ditetapkan atas mereka pun sama. Hanya saja menurut kalangan
Hanafiyah, kafir zimmi yang turut serta melawan pemerintah, perjanjian (akad) zimmahnya
tidak rusak (batal). Sementara di kalangan mazhab Syafi’iyah dan Hanabilah berkembang dua
pendapat yang berbeda. Pertama, pendapat itu sama dengan pendapat di kalangan Hanafiyah.
Kedua, di mana perbuatan mereka bisa menggugurkan (batalnya) akad zimmahnya.
Namun sekiranya para pelaku bughah meminta bantuan kepada kafir harbi, jika ia
musta’man maka pemerintah berhak membatalkan perjanjian keamanannya dan status
hukumnya kembali seperti semula, yakni sebagai kafir harbi kecuali keikutsertaannya itu
dipaksa. Apabila kafir harbi tersebut murni, bukan musta’man maka status hukumnya sesuai
dengan status hukum asalnya, yakni sebagai kafir harbi yang setiap saat boleh diperangi atau
10
hartanya dirampas. Karena bagaimana pun, status mereka tidak memiliki perjanjian keamanan
dengan pemerintah setempat.
11
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dalam pandangan hukum Islam, bughat dikategorikan sebagai kejahatan luar biasa
yang dilakukan oleh sekelompok umat Islam yang sudah tidak taat lagi kepada
imam/pemimpin yang sah. Dalam hal ini, jelas telah melanggar syari’at Islam yang ketentuan
hukumnya disebutkan dalam Q.S. An-Nisaa ayat 59, Q.S. Al-Hujuraat ayat 9-10 dan dalam
Al-Hadist yang diriwayatkan oleh Muslim. Karena memang dipandang sebagai suatu
kejahatan yang serius, bahkan para ulama madzhabpun memberikan pandangan mengenai
kejahatan pemberontakan ini. Walaupun para ulama madzhab memberikan pandangan yang
berbeda-beda mengenai bughat ini, namun pada intinya tetap sama yaitu melarang kejahatan
pemberontakan yang dimaksudkan untuk menggulingkan pemerintahan yang sah. Dalam hal
ini jelas bahwa, Islam melarang pemberontakan yang dilakukan terhadap pemerintahan yang
sah, karena lebih banyak menimbulkan masalah dan kerugian yang besar dari pada
mendatangkan manfaatnya.
Banyaknya syarat yang perlu diidentifikasi secara akurat mengenai perbuatan bughah,
sehingga hal ini mempengaruhi upaya untuk mencapai jenis pidana bughah secara tepat
sebagaimana penyebutan status hukum untuk kategori jenis pidana lainnya, seperti pencurian
atau perampokan. Namun begitu, ada beberapa hal yang perlu digarisbawahi menyangkut jenis
pidana bughat.
Pertama, perbuatan bughah tidak bermaksud keluar dari pemerintah atau negara.
Perbuatan mereka hanya sebatas pada "ancaman" politik, yakni hendak menggangu jalannya
pemerintahan atau beberapa hal lainnya yang menyangkut dengan keutuhan negara. Meski
begitu, perlu untuk dibedakan mana perbuatan bughah yang mengarah kepada pemerintah
(melawan pemerintah) atau yang tidak mengarah kepada pemerintah. Jenis pertama dikenakan
pidana ta’zir, sementara jenis kedua dikenakan hudud. Kedua, perbuatan bughah ikut melukai
kepentingan publik (perbuatan maksiat), juga sekaligus sebuah kejahatan yang sifatnya
mukhalafah, yakni melakukan perbuatan makruh dan meninggalkan perbuatan mandub.
Ketiga, perbuatan bughah bisa dikategorikan ke dalam jarimah negatif (jaraim salbiyah),
karena menolak perbuatan yang diperintah, yakni mentaati pemimpin (al-Nisa’ ayat 59).
Sejumlah indikasi dan kriteria yang menjadi standar atas perbuatan bughah sebagaimana
ketiga penyebutan tersebut adalah ukuran atau motif, yang boleh jadi dapat didefinisikan ke
dalam tindak pidana.
12
B. Saran
Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna dan masih banyak
terdapat kesalahan serta kekurangan di dalamnya. Untuk itu kami mengharapkan kritik serta
saran dari pembaca untuk makalah ini supaya makalah ini nantinya dapat menjadi makalah
yang lebih baik lagi.
13
DAFTAR PUSTAKA
Abd al-Qadir ’Audah, al-Tasyri’ al-Jinai al-Islami: Muqaranah bi al-Qanun al-Wadh’i, jilid
1, Beirut: Muassasah al-Risalah, 2001
Abu Yahya Zakaria al-Anshori, Asna al-Mathalib, (Beirut: Dar al-Fikr, tth.).
Taqiyuddin al-Husaini, Kifayat al-Akhyar, (Beirut: Dar al-Kutub al- ‘Arabi, 2004).
14