Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH

PERADILAN DALAM ISLAM

Disusun Oleh:

Nama: Nasilah Nadratunnaim

Kelas: XI IPA 7

MADRASAH ALIYAH NEGERI 2 KOTA BIMA

TAHUN AJARAN 2023/2024


KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT. yang telah memberikan nikmat serta hidayah-Nya
terutama nikmat kesempatan dan kesehatan sehingga penulis dapat menyelesaikan
makalah mata pelajaran Fiqih tentang “Peradilan Dalam Islam”.
Sholawat serta salam kita sampaikan kepada Nabi besar kita, Nabi Muhammad
SAW. yang telah menuntun kita dari zaman kegelapan menuju zaman yang terang
benderang. Serta memberikan pedoman hidup yakni Al-Qur'an dan sunah untuk
keselamatan umat manusia di dunia.
Saya berusaha menyusun makalah ini dengan segala kemampuan, namun
saya menyadari bahwa makalah ini masih banyak memiliki kekurangan baik dari
segi penulisan maupun segi penyusunan.

Oleh karena itu, kritik dan saran yang bersifat membangun akan saya terima
dengan senang hati demi perbaikan makalah selanjutnya. Semoga makalah ini
dapat memberikan informasi yang bermanfaat bagi para pembacanya. Atas
perhatian dan kesempatan yang diberikan untuk membuat makalah ini saya
ucapkan terima kasih.

Kota Bima, 1 Desember 2023

Penulis

1
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..........................................................................................i

DAFTAR ISI.......................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN...................................................................................1

BAB II PEMBAHASAN.....................................................................................2

I. PERADILAN.............................................................................................2
a. Pengertian Peradilan..............................................................................2
b. Dasar Hukum Peradilan........................................................................2
c. Prinsip-Prinsip Peradilan.......................................................................3
d. Fungsi dan Tujun Peradilan...................................................................4
II. HAKIM......................................................................................................5
a. Pengertian Hakim..................................................................................5
b. Syarat-Syarat Untuk Menjadi Hakim....................................................6
c. Tata Cara Menentukan Hukuman.........................................................7
III. SAKSI.....................................................................................................8
a. Pengertian Saksi....................................................................................8
b. Syarat menjadi Saksi.............................................................................8
IV. PENGGUGAT DAN BUKTI..................................................................9
a. Pengertian Penggugat dan Bukti...........................................................9
b. Terdakwa yang Tidak Hadir Dalam Persidangan.................................9
V. TERGUGAT DAN SUMPAH.................................................................10
a. Pengertian Tergugat...........................................................................10
b. Tujuan Sumpah..................................................................................10
c. Syarat-Syarat Orang yang Bersumpah...............................................11
d. Lafadz-Lafadz Sumpah......................................................................11
e. Pelanggaran Sumpah..........................................................................11
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................13

2
BAB I
PENDAHULUAN

Peradilan adalah segala sesuatu atau sebuah proses yang dijalankan di


pengadilan yang berhubungan dengan tugas memeriksa, memutus, dan mengadili
perkara dengan menerapkan hukum dan/atau menemukan hukum “in concreto”
(hakim menerapkan peraturan hukum kepada hal-hal yang nyata yang dihadapkan
kepadanya untuk diadili dan diputus) untuk mempertahankan dan menjamin
ditaatinya hukum materil, dengan menggunakan cara prosedural yang ditetapkan
oleh hukum formal.

Dari uraian di atas dapat dikatakan bahwa, pengadilan adalah lembaga tempat
subjek hukum mencari keadilan, sedangkan peradilan adalah sebuah proses dalam
rangka menegakkan hukum dan keadilan atau suatu proses mencari keadilan itu
sendiri.

Peradilan Islam memiliki akar sejarah yang dalam dan kompleks,


mencerminkan nilai-nilai dan prinsip-prinsip hukum yang bersumber dari ajaran
agama Islam. Sistem peradilan ini tidak hanya berfokus pada aspek hukum, tetapi
juga mencakup dimensi moral dan etika. Dalam pandangan Islam, keadilan
menjadi landasan utama, dan peradilan Islam berusaha menerapkan hukum-
hukum Allah secara adil dan merata. Penelusuran sejarah peradilan Islam
mengungkapkan evolusi dan diversifikasi lembaga-lembaga hukum di dunia
Muslim, menunjukkan relevansi dan ketahanan peradilan ini dalam menghadapi
berbagai perubahan zaman.

Peradilan Islam memegang peranan penting dalam mengatur hukum dan


keadilan dalam masyarakat yang menganut ajaran Islam. Sistem peradilan ini
didasarkan pada hukum syariah, yang merujuk pada ajaran dan prinsip-prinsip
Islam yang terdapat dalam Al-Quran dan Hadist. Dalam pendekatan peradilan
Islam, tujuan utamanya adalah menciptakan keadilan, keamanan, dan
kesejahteraan dalam masyarakat, sejalan dengan nilai-nilai dan norma-norma
Islam.

3
BAB II

PEMBAHASAN
I. PERADILAN
a. Pengertian Peradilan
Dalam ilmu fiqih, peradilan merujuk pada sistem pengadilan yang
berlandaskan pada hukum syariah Islam. Ilmu fiqih mempelajari aspek-aspek
hukum Islam dan memberikan panduan tentang tata cara peradilan, proses
pengadilan, serta penegakan hukum sesuai dengan prinsip-prinsip syariah.
Pengambilan keputusan dalam peradilan fiqih didasarkan pada interpretasi dan
aplikasi hukum-hukum Islam yang terdapat dalam Al-Qur’an, Hadist, serta
kaidah-kaidah fiqih yang telah dikembangkan oleh para ulama.

Peradilan dalam Islam merujuk pada sistem pengadilan yang didasarkan


pada hukum syariah, yang merupakan ajaran dan petunjuk hukum dalam Al-
Qur’an dan Hadist. Tujuan utama peradilan Islam adalah mewujudkan
keadilan, melindungi hak-hak individu, serta menegakkan nilai-nilai moral dan
etika Islam. Pengadilan ini berupaya memberikan penyelesaian yang adil dalam
sengketa dan pelanggaran hukum, dengan memperhatikan asas-asas keadilan,
kebenaran, dan kemanfaatan bagi masyarakat. Proses peradilan dalam Islam
juga menekankan aspek perdamaian dan rekonsiliasi sebagai bagian dari
penyelesaian konflik.

b. Dasar Hukum Peradilan


Dasar hukum peradilan dalam Islam berasal dari dua sumber utama: Al-
Qur’an dan Hadist (ucapan dan tindakan Nabi Muhammad). Berikut adalah
penjelasan singkat mengenai dasar hukum tersebut:
Al-Qur’an: Al-Qur’an adalah kitab suci umat Islam yang dianggap sebagai
sumber utama hukum. Terdapat ayat-ayat yang memberikan pedoman hukum
dan prinsip-prinsip peradilan, seperti ayat yang menekankan keadilan,
kesaksian, dan penyelesaian sengketa.
Hadist: Hadist merupakan catatan tentang ucapan, perbuatan, dan
persetujuan Nabi Muhammad. Hadist memberikan penjelasan lebih lanjut
mengenai implementasi hukum Islam dan prosedur peradilan. Sunnah atau

4
tindakan Nabi menjadi contoh dalam menetapkan keputusan hukum.
Ijma (Kesepakatan Umat): Ijma merupakan kesepakatan umat Islam dalam
hal-hal tertentu yang tidak diatur secara eksplisit oleh Al-Qur’an atau Hadist.
Kesepakatan ulama dan umat dapat menjadi sumber hukum peradilan.
Qiyas (Analogi): Qiyas adalah metode analogi di mana hukum yang ada
diterapkan pada situasi baru yang belum diatur oleh Al-Qur’an atau Hadist.
Penggunaan akal sehat dan analogi disetujui untuk menetapkan keputusan
hukum.
Melalui kombinasi ke-empat sumber ini, peradilan dalam Islam membangun
dasar hukumnya untuk mencapai keadilan, menjaga hak-hak individu, dan
menetapkan norma-norma moral dan etika yang sesuai dengan ajaran Islam.

c. Prinsip-Prinsip Peradilan
Prinsip-prinsip peradilan dalam Islam didasarkan pada ajaran syariah dan
nilai-nilai Islam. Beberapa prinsip utama meliputi:
Keadilan (Adalah): Prinsip ini menekankan pentingnya memberikan hak
dan kewajiban sesuai dengan norma-norma Islam tanpa adanya diskriminasi.
Keadilan menjadi landasan utama dalam pengambilan keputusan.
Keterbukaan (Al-Mushawarah): Proses peradilan Islam mendorong
musyawarah dan dialog terbuka antara pihak-pihak yang bersengketa.
Pendekatan ini menghargai partisipasi aktif dalam mencari solusi.
Bukti (Al-Burhan): Sistem peradilan Islam mensyaratkan adanya bukti yang
kuat untuk menetapkan kesalahan atau kebenaran. Keputusan tidak dapat
dibuat berdasarkan asumsi atau dugaan semata.
Pendekatan Restoratif (Al-Islah): Peradilan dalam Islam tidak hanya
bersifat hukuman, tetapi juga mencakup pendekatan restoratif untuk
memperbaiki hubungan dan mengembalikan keadilan.
Perlindungan Hak Asasi Manusia (Hifz al-Hurriyah): Prinsip ini
menekankan perlunya melindungi hak-hak asasi manusia seperti hak hidup,
kebebasan, dan hak properti.
Keseimbangan dan Keadilan Sosial (Al-Mizan): Peradilan Islam bertujuan
untuk menciptakan keseimbangan sosial dan ekonomi dalam masyarakat,

5
menghindari ketidaksetaraan yang merugikan kelompok tertentu.
Kemanfaatan (Al-Maslahah): Keputusan peradilan diarahkan pada
kemanfaatan bagi masyarakat secara keseluruhan. Prinsip ini
mempertimbangkan dampak positif suatu keputusan terhadap kesejahteraan
umum.
Prinsip-prinsip ini mencerminkan pendekatan holistik dan etis terhadap
peradilan dalam Islam, dengan fokus pada keadilan, partisipasi, bukti yang
jelas, dan penyelesaian yang mengedepankan kesejahteraan masyarakat.

d. Fungsi dan Tujun Peradilan


Fungsi dan tujuan peradilan dalam Islam mencakup beberapa aspek penting:
Mewujudkan Keadilan: Peradilan Islam bertujuan untuk menegakkan
keadilan sesuai dengan prinsip-prinsip syariah. Ini mencakup perlakuan adil
terhadap semua individu tanpa memandang status sosial, ekonomi, atau
kebangsaan.
Melindungi Hak-Hak Individu: Peradilan Islam berfungsi sebagai wadah
untuk melindungi hak-hak individu yang diakui dalam hukum Islam. Hak-hak
ini termasuk hak properti, hak hidup, hak kebebasan, dan hak-hak lainnya.
Menjaga Kesejahteraan Masyarakat: Tujuan peradilan Islam adalah
menciptakan dan menjaga kesejahteraan masyarakat. Ini melibatkan
penyelesaian sengketa, pencegahan kejahatan, dan penegakan hukum untuk
menjaga ketertiban dan keamanan.
Penyelesaian Konflik Secara Damai: Peradilan dalam Islam mendorong
penyelesaian konflik secara damai dan rekonsiliasi antara pihak-pihak yang
bersengketa. Prinsip perdamaian menjadi bagian integral dari proses peradilan.
Menegakkan Moral dan Etika Islam: Peradilan Islam bertujuan untuk
menegakkan nilai-nilai moral dan etika Islam dalam keputusan-keputusan
hukumnya. Ini mencakup ketentuan-ketentuan hukum yang sesuai dengan
ajaran agama.
Dengan demikian, peradilan dalam Islam tidak hanya berperan sebagai
lembaga penegak hukum, tetapi juga sebagai instrumen untuk mencapai
keadilan, perlindungan hak-hak individu, dan kesejahteraan masyarakat secara

6
keseluruhan.

II. HAKIM
a. Pengertian Hakim
Hakim adalah pejabat yang bertugas untuk memberikan putusan atau
keputusan dalam suatu pengadilan. Tugas utama hakim adalah memeriksa
fakta-fakta yang diajukan dalam suatu persidangan, menilai bukti-bukti yang
disampaikan, dan kemudian membuat keputusan berdasarkan hukum yang
berlaku.
Dalam konteks Islam, hakim memiliki peran penting sebagai penegak
hukum yang harus menjalankan tugasnya sesuai dengan prinsip-prinsip
syariah. Berikut adalah pengertian hakim menurut Islam:
Penegak Hukum Syariah: Hakim dalam Islam berperan sebagai penegak
hukum yang menerapkan norma-norma syariah dalam pengambilan keputusan.
Tugasnya adalah memastikan bahwa keputusan yang diambil sesuai dengan
ajaran Islam yang terdapat dalam Al-Quran dan Hadis.
Keadilan dan Kesaksamaan: Hakim diharapkan untuk menjalankan
tugasnya dengan penuh keadilan dan kesaksamaan. Prinsip keadilan menjadi
landasan utama, dan hakim dituntut untuk memperlakukan semua individu
dengan adil, tanpa memandang status sosial atau ekonomi.
Menghindari Keadilan Semu (Zulm): Hakim dalam Islam diingatkan
untuk menghindari ketidakadilan atau kezaliman dalam pengambilan
keputusan. Tindakan yang merugikan atau tidak adil terhadap pihak-pihak yang
bersengketa dianggap bertentangan dengan prinsip-prinsip syariah.
Ketaatan pada Hukum Allah: Hakim diharapkan tunduk pada hukum
Allah dan tidak melanggar ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam Al-Quran
dan Hadis. Keputusan hakim seharusnya selaras dengan ajaran Islam dan
prinsip-prinsip kemanfaatan bagi masyarakat.
Dengan demikian, hakim dalam Islam tidak hanya bertindak sebagai
penegak hukum, tetapi juga sebagai penjaga keadilan dan pelaksana prinsip-
prinsip moral serta etika Islam dalam sistem peradilan.

7
b. Syarat-Syarat Untuk Menjadi Hakim
Menurut ilmu fiqih, syarat-syarat untuk menjadi hakim dapat bervariasi
tergantung pada madzhab (aliran hukum) yang dianut. Namun, secara umum,
beberapa syarat yang diakui dalam ilmu fiqih untuk seseorang menjadi hakim
adalah sebagai berikut:
Islam: Calon hakim harus beragama Islam. Keharusan ini didasarkan pada
prinsip bahwa hakim dalam sistem peradilan Islam diharapkan menerapkan
hukum syariah.
Baligh dan Berakal: Hakim harus mencapai usia baligh (dewasa) dan
memiliki akal sehat. Hal ini untuk memastikan bahwa hakim memiliki
kematangan fisik dan mental dalam menjalankan tugasnya.
Merdeka (Bebas dari Pengaruh Eksternal): Hakim sebaiknya bebas dari
pengaruh eksternal yang dapat memengaruhi keputusan hukumnya.
Kemerdekaan ini memastikan bahwa hakim dapat menjalankan tugasnya secara
adil dan tanpa tekanan.
Adil dan Tidak Memihak (Adalah): Hakim harus adil dan tidak memihak.
Prinsip keadilan dan ketidakberpihakan menjadi inti dalam menjalankan fungsi
peradilan.
Mengetahui Fiqih dan Hukum Islam: Hakim harus memiliki pengetahuan
yang memadai tentang ilmu fiqih (ilmu hukum Islam) dan hukum Islam secara
umum. Pengetahuan ini memungkinkan hakim untuk memberikan keputusan
yang sesuai dengan prinsip-prinsip syariah.
Pengalaman Hukum: Pengalaman dalam bidang hukum atau peradilan
dianggap sebagai nilai tambah. Pengalaman praktis dapat membantu hakim
dalam memahami konteks kasus-kasus yang dihadapinya.
Berkarakter Baik dan Bermoral Tinggi: Hakim harus memiliki karakter
baik, bermoral tinggi, dan menjauhi perilaku yang tidak etis. Moralitas dan
integritas hakim sangat penting dalam mempertahankan kepercayaan
masyarakat.
Berpikir Kritis dan Analitis: Hakim perlu memiliki kemampuan berpikir
kritis dan analitis untuk menilai dengan cermat argumen-argumen yang
disajikan dalam persidangan.

8
c. Tata Cara Menentukan Hukuman
Tata cara menentukan hukuman dalam Islam melibatkan serangkaian proses
dan prinsip yang didasarkan pada hukum syariah. Beberapa langkah dan
pertimbangan umum yang dilibatkan dalam menentukan hukuman dalam Islam
meliputi:
Pengumpulan Bukti: Sebelum menentukan hukuman, pengumpulan bukti
yang kuat dan sah merupakan langkah awal. Hukuman tidak dapat dikenakan
tanpa adanya bukti yang memadai.
Pemenuhan Syarat Hukum: Hukuman dalam Islam harus sesuai dengan
syarat-syarat yang dijelaskan dalam hukum syariah. Misalnya, dalam kasus
hukuman hudud, syarat-syarat tertentu harus terpenuhi sebelum hukuman dapat
diterapkan.
Mempertimbangkan Keringanan: Islam menganjurkan keringanan dan
toleransi. Oleh karena itu, hakim atau otoritas yang berwenang harus
mempertimbangkan keringanan sebelum memberlakukan hukuman, terutama
jika terdapat keraguan atau kebingungan dalam bukti.
Adanya Kesaksian: Kesaksian saksi-saksi merupakan elemen penting
dalam menentukan hukuman. Kesaksian haruslah sah dan memenuhi kriteria
yang ditetapkan oleh hukum syariah.
Konsultasi dengan Ulama: Dalam beberapa kasus, terutama yang
kompleks atau memerlukan interpretasi hukum yang mendalam, hakim dapat
berkonsultasi dengan ulama atau cendekiawan hukum Islam untuk
mendapatkan pandangan dan nasihat mereka.
Keadilan dan Proporsionalitas: Prinsip keadilan dan proporsionalitas
sangat penting. Hukuman harus sesuai dengan tingkat pelanggaran yang
dilakukan dan tidak boleh bersifat melampaui batas yang ditetapkan oleh
hukum syariah.
Mempertimbangkan Niat dan Konteks: Niat pelaku dan konteks
perbuatan juga dapat menjadi faktor yang diperhatikan. Hukuman dapat
bervariasi tergantung pada niat dan kondisi yang mungkin mempengaruhi
perbuatan tersebut.

9
Rekonsiliasi dan Pemaafan: Islam mendorong rekonsiliasi dan pemaafan.
Sebelum menetapkan hukuman, upaya untuk mencapai perdamaian dan
rekonsiliasi harus diupayakan, terutama dalam kasus-kasus yang melibatkan
konflik antarindividu atau kelompok.

III. SAKSI
a. Pengertian Saksi
Saksi menurut pasal 1 Nomor 26 KUHAP adalah orang yang dapat
memberikan keterngn guna kepentingn penyidikan, penuntutan, an peradilan
tentang suatu perkara pidana yang dengar, lihat, dan alami sendiri.
Pengertian ini telah diperluas berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi
Nomor 65/PUU-VIII/2010 sehingga yang dimaksud sebagai saksi tidak
hanya orang yang mendengar, melihat, atau mengalami sendiri, tetapi jjuga
setiap orang yang dapat memberikan keterangan dalam rngka penyidikan,
penuntutan, dan peradilan suatu tindak pidana yang tidak selalu ia dengar,
lihat, dan ia alami sendiri.
Dalam kamus fikih saksi juga disebutkan sebagai orang yang
mengemukakan keterangan untuk menetapkan hak atas orang lain, dalam
pengadilan, pembuktian dengan saksi adalah penting sekali, apalagi bahwa
ada kebiasaan di dalam masyarakat bahwa perbuatan hukum yang dilakukan
itu tidak dicatat.

b. Syarat Menjadi Saksi


Menurut para ulama fiqih, syarat-syarat saksi adalah:
1). Islam
2). Baligh
3). Berakal
4). Merdeka
5). Adil

IV. PENGGUGAT DAN BUKTI


a. Pengertian Penggugat dan Bukti

10
Penggugat adalah orang yang mengajukan gugatan karena merasa
dirugikan oleh pihak tergugat (orang yang digugat). Penggugat dalam
mengajukan gugatannya harus dapat membuktikan kebenaran gugatannya
dengan menyertakan bukti-bukti yang akurat, saksi- saksi yang adil atau
dengan melakukan sumpah. Ucapan sumpah dapat diucapkan dengan
kalimat semisal: “Apabila gugatan saya ini tidak benar, maka Allah akan
melaknat saya”. Ketiga hal tersebut (penyertaan bukti-bukti yang akurat,
saksi-saksi yang adil, dan sumpah) merupakan syarat diajukannya sebuah
gugatan.
Sedangkan bukti adalah segala sesuatu yang ditunjukkan oleh penggugat
untuk memperkuat kebenaran dakwaannya. Bukti-bukti tersebut dapat
berupa surat- surat resmi, dokumen, dan barang-barang lain yang dapat
memperjelas masalah terhadap terdakwa. Terkait dengan hal ini Rasulullah
Saw. bersabda:
Artinya: “Dari Jabir bahwasannya ada dua orang yang bersengketa
tentang seekor unta betina masing-masing orang diantara keduanya
mengatakan : “Peranakan unta ini milikku” dan ia mengajukan bukti. Maka
Rasulullah SAW. memutuskan bahwa unta ini miliknya.

b. Terdakwa yang Tidak Hadir Dalam Persidangan


Terdakwa yang tidak hadir dalam persidangan harus terlebih dahulu
dicari tahu sebab ketidak hadirannya. Menurut imam Abu Hanifah
mendakwa orang yang tidak ada atau tidak hadir dalam persidangan
diperbolehkan. Allah Swt. berfirman:
Artinya: “Maka berilah keputusan (perkara) diantara manusia dengan
adil.” (QS. Ṣād: 26)
Nabi Muhammad saw pernah memberi keputusan atas pengaduan istri
Abu Sufyan, sedang kala itu Abu sufyan tidak hadir dalam persidangan.
Rasulullah bersabda kepada istri Abu Sofyan:
Artinya: “Ambillah yang mencukupimu.” (HR. Bukhari Muslim)

V. TERGUGAT DAN SUMPAH

11
a. Pengertian Tergugat
Orang yang terkena gugatan dari penggugat disebut tergugat. Tergugat
bisa membela diri dengan membantah kebenaran gugatan melalui dua cara:
1). Menunjukkan bukti-bukti
2). Bersumpah
Rasulullh saw bersabda yang artinya: “Pendakwa harus menunjukkan
bukti-bukti dan terdakwa harus bersumpah“ (HR al-Baihaqi).
Dalam peradilan ada beberapa pengistilahan yang perlu dipahami:
1). Materi gugatan disebut hak
2). Penggugat disebut mudda’i
3). Tergugat disebut mudda’a ‘alaih
4). Keputusan mengenai hak penggugat disebut mahkum bih
5). Orang yang dikenai putusan untuk diambil haknya disebut mahkum
bih (istilah ini bisa jatuh pada tergugat sebagaimana juga bisa jatuh
pada penggugat)

b. Tujuan Sumpah
Tujuan Sumpah dalam perspektif Islam ada dua, yaitu:
1). Menyatakan tekad untuk melaksanakan tugas dengan sungguh-
sungguh dan bertanggung jawab terhadap tugas tersebut.
2). Membuktikan dengan sungguh-sungguh bahwa yang bersangkutan di
pihak yang benar.

Tujuan sumpah yang kedua inilah yang dilakukan di pengadilan. Sumpah


tergugat adalah sumpah yang dilakukan pihak tergugat dalam rangka
mempertahankan diri dari tuduhan penggugat. Selain sumpah, tergugat juga
harus menunjukkan bukti-bukti tertulis dan bahan-bahan yang meyakinkan
hakim bahwa dirinya memang benar-benar tidak bersalah.

c. Syarat-syarat Orang yang Bersumpah


Orang yang bersumpah harus memenuhi tiga syarat berikut:
1. Mukallaf
2. Didorong oleh kemauan sendiri tanpa ada paksaan dari siapapun

12
3. Disengaja bukan karena terlanjur dan lain-lain

d. Lafadz-Lafadz Sumpah
Ada tiga lafadz yang bisa digunakan untuk bersumpah, yaitu:
Arti ketiga lafadz tersebut adalah “Demi Allah”. Rasulullah pernah
bersumpah dengan menggunakan lafadz Wallahi, sebagaimana dijelaskan
dalam riwayat berikut:
Artinya: “Demi Allah, sesungguhnya aku akan memerangi kaum quraisy.
Kalimat ini belia ulangi tiga kali. (HR. Abu Daud).
e. Pelanggaran Sumpah
Konsekuensi yang harus dilakukan oleh seseorang yang melanggar
sumpah adalah membayar kaffarah yamin (denda pelanggaran sumpah)
dengan memilih salah satu dari ketiga ketentuan berikut:
1. Memberikan makanan pokok pada sepuluh orang miskin, dimana
masing- masing dari mereka mendapatkan ¾
2. Memberikan pakaian yang pantas pada sepuluh orang
3. Memerdekakan hamba

Jika pelanggar sumpah masih juga tidak mampu membayar kaffarah


dengan melakukan salah satu dari tiga hal di atas, maka ia diperintahkan
untuk berpuasa tiga hari. Sebagaimana hal ini Allah jelaskan dalam firman-
Nya, artinya: “Maka kafarat ( melanggar) sumpah itu ialah memberi makan
sepuluh orang miskin, yaitu dari makanan yang biasa kamu berikan kepada
keluargamu atau memberi pakaian kepada mereka atau memerdekakan
budak. Barang siapa yang tidak sanggup melakukan yang demikian maka
kafaratnya adalah puasa selama tiga hari.” (QS. Al-Maidah : 89).

DAFTAR PUSTAKA

https://an-nur.ac.id/pengertian-tergugat-tujuan-sumpah-syarat-syarat-orang-yang-
bersumpah-lafadz-lafadz-sumpah-dan-pelanggaran-sumpah/

http://digilib.uin-suka.ac.id

13
https://ejournal.iainbengkulu.ac.id

https://ejournal.an-nadwah.ac.id

https://perpustakaan.komnasperempuan.go.id

http://repository.uin-suska.ac.id/5372/4/BAB III.pdf

14

Anda mungkin juga menyukai