Anda di halaman 1dari 9

HUBUNGAN ANTARA HUKUM DAN MORAL

DALAM ISLAM
Dibuat untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Filsafat Hukum Islam
Dosen Pengampu: Habib Imam Nurdin Sholeh M. H

Disusun Oleh :
Sherly Mustiko H 33030210088

PROGRAM STUDI HUKUM TATA NEGARA


FAKULTAS SYARI’AH
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SALATIGA
2023
KATA PENGANTAR

Pertama-tama, kami panjatkan puji syukur kepada Allah SWT yang telah memberikan rahmat,
hidayah, serta inayahnya, sehingga dengan mengucap Alhamdulillaahirabbil’aalamiiin kami
mampu untuk kemudian menyelesaikan tugas makalah ini dengan tanpa ada halangan apapun.
Tidak lupa pula kami panjatkan shalawat dan salamnya kepada Nabi Muhammad SAW, dengan
penuh harapan bisa mendapatkan syafa’atnya di hari kiamat nanti. Aamiin Yaa Rabbal
‘Aalamiin.
Pada kesempatan ini, penyusun ingin mengucapkan terimakasih banyak kepada Dosen
Pengampu Mata Kuliah Filsafat Hukum Islam Habib Imam Nurdin Sholeh M. H yang telah
memberikan tugas pembuatan makalah ini kepada kami. Sehingga kami secara mandiri mampu
mempelajari materi yang akan kami jelaskan pada pertemuan perkuliahan.
Tidak lupa pula penyusun mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang turut membantu
dalam merumuskan bahkan meyusun makalah ini hingga selesai. Kami sadari bahwa dalam
penyusunan makalah ini jauh dari kata sempurna. Dan ini adalah langkah yang baik dari studi
yang sesungguhnya.
Oleh karena itu, keterbatasan waktu dan kemampuan kami, maka kritik dan saran yang
membangun senantiasa kami harapkan semoga makalah ini dapat berguna bagi kami dan semua
kaangan pembaca.

Salatiga, 6 Oktober 2023

Penyusun
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .............................................................................................. 2

DAFTAR ISI ............................................................................................................3

BAB I

PENDAHULUAN ...................................................................................................4

A. Latar Belakang ............................................................................................. 4


B. Rumusan Masalah ........................................................................................ 5
C. Tujuan Penulisan .......................................................................................... 5

BAB II
PEMBAHASAN ......................................................................................................6
A. Pengertian Hukum dan Moral ......................................................................5
B. Hubungan Antara Hukum dan Moral Dalam Islam .....................................6

BAB III
PENUTUP ..............................................................................................................14
A. Kesimpulan ................................................................................................ 14
B. Saran ...........................................................................................................14
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................ 15
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Perintah dan larangan adalah sebuah aturan hukum, sedangkan kebaikan dan
keburukan ialah nilai moral dari suatu perbuatan. Eksistensi hukum pada dasarnya
diwujudkan dalam rangka terciptanya tatanan kehidupan yang aman dan tentram dalam
kehidupan bermasyarakat. Hal tersebut berlaku juga dalam hukum islam. hukum islam
mengandung tujuan untuk mewujudkan kemaslahatan dan kehidupan yang baik bagi
manusi, baik secara individu maupun sosial.
Tata hubungan natra manusia dan sesamanya dalam pergaulan dan hubungan
sehari – hari untuk pemenuhan kebutuhan hidupnya telah diatur dalam hukum
muamalat. Tata hubungan manusia dalam berkeluarga dalam linkungan rumah tangga
diatur dalam hukum munakahat sedangkan tata hubungan manusia dengan keselamatan
serta kesejahteraan diatur dalam hukum jinayat.
Adanya hukum niat dalam semua jenis ibadah yang diberi peran menentukan
nilai perilaku mansuia, memperlihatkan dengan jelas peran moral dan hukum itu. Selain
itu juga terlihat titik awal perbedaan antara pemahaman hukum menurut ilmu hukum
dengan hukum islam yang bersumber pada alquran.
Menurut ilmu hukum, hukum terdiri dari 2 perintah dan larangan serta adanya hak dan
kewajiban. Sedangkan moral berada sisi lain atau bisa dikatakan diluar hukum.
B. Rumusan Masalah
1. Pengertian moral dan hukum
2. Hubungan antara hukum dan moral
C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui pengertian dari hukum dan moral
2. Untuk mengetahui hubungan dari hukum dan moral
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Moral dan Hukum
1. Hukum
Menurut Van Kan, hukum ialah keseluruhan peraturan terhadap
kehidupan yang bersifat memaksa untuk melindungi kepentingan mansuia
dalam bermasyarakat. Dalam hukum isla, hukum syara menurut istilah para ahli
ushul fiqh yaitu bersangkutan dengan perbuatan orang – orang mukalaf, baik
dalam bentuk tuntutan, pilihan, atau ketetapan.1
Sedangkan hukum neurut bahsa ialah menetapkan sesuatu atas sesuatu. Nabi
Muhammad SAW bersabda “ yang berhubungan dwngan segala amal perbuatan
mukhalaf, baik titah itu mengandung tuntutan suruhan, larangan atau
membolehkan sesuatu, atau menjadikan sesuatu sebab, syarat atau penghalang
bagi suatu hukum.’’2
Dalam ilmu ushul fiqh terdapat beberapa istilah yang berkaitan dengan
hukum, ada huku, hakim, mahkum fihi, dan mahkum. Secara bahasa hukum
berarti man’u yang memiliki arti mencegah, hukum berarti qadla yang berrati
putusan. Adapun hukum secara istilah yaitu hukum ialah khitab syar’i yang
berhubungan dengan perbuatan seorang mukhalaf, berupa tuntunan, pilihan dan
ketetapan.
Dari beberapa pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa hukum
adalahs ebuah tuntutan atau peraturan yang harus dilaksanakan dan bagi yang
melanggranya akan mendapatkan hukuman atau sanksi sesuai dengan kesalahan
ang diperbuat.

2. Moral
Secara etimologi moral berasal dari Bahasa Belanda moural yang
artinya kesusilaan atau budi pekerti. Dalam islam moral dikenal dengan istilah
akhlak. Al – Ghazali dan Ilya Ulumuddin menjelaskan menegnai definisi
akhlah, bahwa akhlak merupakan perilaku jiwa, yang dapat dengan mudah
melahirkan perbuatan – perbuatan tanpa memerlukan sebuah pemikiran atau
pertimbangan.3 Apabila perilaku mengeluarkan beberapa perbuatan baik
menurut akal maupun tuntunan agama, maka perilaku tersebut disebut dengan
akhlak mulia. Namun jika sebaliknya, maka perilaku tersebut disebut akhlak
tercela.
Sedangkan pengertian moral secara istilah ialah ajaran tentang baik dan
buruk perbuatan dan kelakuan. Adapun seorang ahli yaitu Hassanudin Sinaga
yang menyatakan bahwa moral dan etika memang memiliki kesamaan, namun
ada juga perbedaanya yaitu etika lebih banyak bersifat teori, sedangkan moral

1
Abdul Wahbah Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh. ( Semarang: Dina Utama, 1994 ), hlm.42
2
Moh. Rivai, Ushul Fiqh ( Bandung : PT. Al – Ma’arif, 1993 ), hlm 12
3
Ahmad Mansur Noor, Peranan Moral Dalam Membina Kesadaran Hukum, ( Jakarta : Dirjen Bindaga Islam
DEPAG RI, 1985 ) hal. 7
lebih banyak bersifat praktis. Etika lebih memnadngan pada tingkah laku
manusia sedangkan moral menyatakan sebuah ukuran.
Dalam beberapa hal etika dan moral memiliki perbedaan yang cukup signifikan,
yaitu :
a) Etika lebih mnegedepankan tolok ukur akal tau pikiran, sedangkan
moral tolok ukur yang digunaka ialah norma yang tumbuh dan
berkembang langsung dalam masyarakat.
b) Adapun sebuah pandangan yang dikemukakan oleh Magnis Suseno. Ia
beranggapan bahwa etika merupakan pemikiran kritis dan mendasar
mengenai ajaran dan pandangan moral, sedangkan ajaran moral adalah
ajaran atau ketentuan, petunjuk dan ketetapan tentang bagaimana
mansuia harus hidup menjadi mansia yang baik.
Dalam islam moral dipadankan dengan akhlak, sebagaimana yang
terungkap dalam Ilya Ulummudin yang mendefinisikan akhlak sebgaai perilaku
jiwa yang dapat dengan mudah melahirkan perbuatan tanpa memerlukan
pemikiran dan pertimbangan.
Perebedaan terletak pada bentuk, penerapan, atau pengertian yang tidak
sempurna terhadap konsep moral yang disebut dengan ma’ruf dalam bahasa Al
– qur’an. Walau demikian, setiap orang dan masyarakat tentu memiliki standar
umum yang disepakati untuk menentukan aturan yang harus dijalani.
B. Hubungan antara Hukum dan Moral dalam Islam
Hukum merupakan seperangkat peraturan dasar berdasarkan wahyu Allah dan
Sunah rasul tentang tingkah laku manusia yang diakui dan diyakini agama – agama
lain. Dalam Islam hukum dan agama, hukum dan moral tidak bisa dipisahkan satu sama
lain. Berdasarkan fungsi utama hukum Islam mengklasifikasikan tindakan yang
berkenaan dengan standar mutlak baik dan buruk yang tidak dapat ditentukan secara
rasional, karena Allah sendirilah yang mengetahui apa yang benar-benar baik dan
buruk.
Hukum duniawi memfokuskan diri kepada kesejahteraan sosial dan kurang
memperhatikan etika. Hal ini dapat dilihat adanya beberapa pendapat para filosof dan
moralis Barat dalam meletakkan ukuran value bagi maslahah yang hendak diperoleh
manusia dengan kemampuan nalar akal dalam memahami realitas kehidupan. Misalnya
aliran hedonisme mengatakan bahwa kesenangan adalah tujuan hidup yang terbaik dan
tertinggi.4 Muncul aliran utilitarianisme yang berpandangan bahwa kebahagiaan yang
besar diperoleh dari jumlah yang besar pula. Semakin seseorang mampu memproduksi
kesenangan dan menekan kenistaan berarti ia akan lebih banyak mendapatkan
kebahagiaan. Standar pencapaiannya adalah tidak lain adalah individualisme. Artinya
bila masing-masing diri mampu memproduksi kebahagiaan sebanyak mungkin secara
bebas dan tanpa batas, maka kepentingan kolektif akan terakomodasi dengan
sendirinya5.

4
W. Poespoprodjo, op.cit. hlm. 60.
5
Ibid, hlm. 61. Lihat juga: Abu Yasid, Nalar dan Wahyu Interrelasi dalam Proses Pembentukan Syariat,
Erlangga, Jakarta, 2007, hlm. 134.
Hukum Islam sama sekali dan selamanya tidak mengakui pemisahan peraturan
perundang-undangan dari moralitas. Adapun kemampuan manusia dalam menilai atau
mengetahui baik dan buruk, telah banyak diperdebatkan di kalangan para ahli ilmu
kalam dan hasil pemikiran mereka berpengaruh besar terhadap konsep maslahat yang
dirumuskan ahli ushul fiqh dalam menentukan tujuan hukum Islam.
Menurut ahli ushul fiqh dari kalangan Asy’ariyah pada umumnya jika dalil naqli
bertentangan dengan pemahaman akal dalam masalah syariah maka dalil naqli harus
didahulukan, artinya akal tunduk kepada wahyu. Sebab menurut kelompok ini akal
manusia tidak dapat menetapkan baik atau buruknya suatu perbuatan. Sedang kebaikan
atau keburukan itu hanya ditentukan oleh Allah. Karena itu dalam pandangan mereka
akal tidak mengetahui sesuatu itu baik atau buruk, maslahat atau mafsadat. Namun
demikian, di kalangan penganut Asy’ariyah sendiri, dalam hal tertentu ada yang
berbeda dengan imam mazhabnya.
Abdul Jabbar berpendapat bahwa, akal hanya dapat mengetahui kewajiban-
kewajiban dalam garis besarnya tapi tidak sanggup merincinya. Untuk menjelaskannya
lebih rinci diperlukan wahyu. Oleh karena itu menurutnya perbuatan itu dibagi ke dalam
manaqir aqliah yakni perbuatan-perbuatan yang dicela akal seperti bersikap tidak adil
dan berdusta, dan munaqir syariah yakni perbuatan yang dicela syariat dan wahyu,
seperti mencuri, berzina dan minuman keras. Jadi, rasionalitas yang dibangun paham
ini sesungguhnya memiliki aspek persamaan dengan pandangan moralis Barat dan
dunia filsafat hukum. Mereka beranggapan bahwa tolok ukur manfaat atau kebaikan
atau mafsadat atau kejelekan adalah jumlah kadar yang mampu diserap oleh setiap
individu sehingga memiliki dampak kebaikan pula terhadap kebaikan seluruh
komunitas.
Selain pendapat diatas, adapun pendapat dari Ibnu Taimiyah, seorang pengikut
Hanbali berpendapat bahwa keburukan (al- fahsya) yang dilarang oleh al-Quran pada
hakikatnya merupakan perbuatan yang buruk dari segi esensinya. Kemudian muridnya,
Ibn Qayyim mengembangkan konsep ini dengan berpendapat bahwa sesuatu yang halal
pasti baik sebelum ditetapkan kehalalannya, begitu pula sesuatu yang buruk (al
Khabais) adalah buruk sebelum diharamkan oleh wahyu. Berbeda dengan Asy’ariyah,
Mu’tazilah berpendapat bahwa baik dan buruk adalah dua esensi yang ditetapkan oleh
akal. Artinya akal dapat mengetahui maslahat atau mafsadat dan bahkan dapat
menetapkannya.
Dengan demikian, dasar pemikiran mazhab ini adalah kemampuan akal dan
bukan pretensi syara’ untuk menilainya. Sedang syara’ hanya sebagai konfirmasi untuk
menjustifikasi terhadap apa yang sudah diakses oleh nalar manusia. Oleh karenanya
tidak ada alasan bagi manusia untuk tidak melaksanakan perbuatan yang baik walaupun
syariat belum datang.
Hukum dan moral memiliki hubungan yang sangat erat dalam Islam. Hukum
Islam menjadikan hukum sebagai alat untuk menciptakan ketaatan seorang hamba
terhadap Khaliknya, yang akan melahirkan hamba yang bermoral atau berakhlak
terhadap sesamanya, lingkungannya, dan juga kepada Tuhannya. Islam tidak pernah
memisahkan antara hukum dan moral, karena hukum tanpa moral dianggap sebagai
kezaliman, sedangkan moral tanpa hukum dianggap sebagai anarki dan utopia yang
menjurus kepada peri-kebinatangan.
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Hukum adalah sebuah tuntutan atau peraturan yang harus dilaksanakan dan bagi
yang melanggranya akan mendapatkan hukuman atau sanksi sesuai dengan kesalahan
ang diperbuat. Sedangkan moral ialah perilaku jiwa atau akhlak sebgaai perilaku jiwa
yang dapat dengan mudah melahirkan perbuatan tanpa memerlukan pemikiran dan
pertimbangan.
Dalam Islam, hukum dan moral saling melengkapi dan tidak dapat dipisahkan
satu sama lain. Hukum Islam tidak hanya menjadi faktor utama, tetapi juga faktor yang
memberikan bentuk, sehingga tidak ada perubahan sosial yang mengacaukan atau
menimbulkan karakter tak bermoral dalam masyarakat. Hukum Islam harus berjalan
sesuai dengan prinsip-prinsip moralitas seperti yang dinyatakan oleh Islam

B. Saran
Dalam Islam hukum dan moral tidak dapat dipisahkan dan merujuk pada satu
sumber yang hakiki yaitu Al-Qur’an yang menjadi pedoman hidup bagi manusia. Oleh
karena itu, seorang muslim dalam menjalankan hukum harus diimbangi dengan moral
dan akhlak yang mulia untuk mengharap keridhaan Allah SWT. Dalam menjalankan
kehidupan sehari-hari seorang muslim sebaiknya bersandar pada hukum Allah SWT
yang tertuang dalam Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah SAW, dan senantiasa
mengedepankan moral dan akhlak untuk menyayangi sesama manusia.
DAFTAR PUSTAKA

Ahmad Mansur Noor, Peranan Moral dalam Pembinaan Kesadaran Hukum, Departemen
Agama Republik Indonesia, Jakarta, 1985.
M. Amin Abdullah,. The Idea of Universality of Ethical Norms in Ghazali dan Kant.
Diterjemahkan oleh Hamzah. Antara Ghazali dan Kant: Filsafat Etika Islam, Bandung: Mizan,
2005.
al-Ghazali. Ihya Ulumuddin, Jilid III, Dar Ihya al-Kutub al- Arabiyah, t.tt.
Nurcholis Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban: Sebuah Telaah Kritis tentang Masalah
Keimanan, Kemanusiaan, dan Kemodernan, Wakaf Paramadina, Jakarta, 1992.

Anda mungkin juga menyukai