Anda di halaman 1dari 15

HUKUM DAN MORAL DALAM ISLAM

Dosen Pengampu :

Sudirman Suparmin, Dr., Lc., M.a.

Disusun oleh:

Ridho Akbar 1906200519

Filsafat Hukum Islam

Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara

MEDAN

2022

1
BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Antara Hukum dan Moral memiliki perbedaan juga memiliki


persamaan. Diibaratkan pelangi mereka memiliki warna yang berbeda
tetapi memiliki keindahan yang sangat luar biasa. Di dalam islam Hukum
dan moral tidak bisa dipisahkan, diantaranya merupakan satu kesatuan.
Berbeda halnya dengan pemikiran filsafat barat yang melakukan
perdebatan panjang tentang hukum dan moral tersebut, ada diantara
pemikir tersebut yang memisahkan hubungan dan tugasnya dalam
kehidupan, sehingga perdebatan tersebut berlanjut hingga saekarang. Di
dunia barat semenjak zaman Plato soal ini telah diperbincangkan, mereka
berdebat panjang tentang apakah moral menjadi unsur penting dalam
hukum, apakah ajaran moral harus diindahkan oleh norma hukum. Meski
pada umumnya terdapat perbedaan dan hubungan antara hukum dan moral
dapat mereka jelaskan. Dengan demikian, sebenarnya, pembahasan soal
tersebut dalam tradisi barat adalah dalam rangka mencari landasan yang
kokoh bagi berlakunya suatu hukum.

Namun dalam islam hukum dan moral memiliki hubungan sangat


erat meski memiliki makna yang berbeda. Sumber dari hukum dan moral
tersebut berasal Allah SWT yang merupakan sumber tertinggi, aturan
tersebut yang terkumpul dalam kitab suci Al-Qur’an dan Sunnah
Rasulullah (Hadits). Manusia memiliki pemikiran yang terbatas akan hal
yang demikian. Wahyu yang diturunkaNya menjadi landasain utama
dalam Islam. Ketika mereka merasa bahwa apa yang difikirkannya adalah
hukum Tuhan, maka soal-soal filosofi yang pelik seperti itu tidak lagi
merisaukan mereka. Setiap tindakan baik yang berkaitan dengan individu,
individu dan masyarakat telah diatur dalam Al-Qur’an dan hadits. Meski
dalam pandangan manusia moral merupakan tidakan yang berasal dari hati

2
nurani yang dianggap mampu menghasilkan tindakan yang baik akan
tetapi dalam islam, hati nurani yang baik adalah berlandaskan pada ajaran
Allah SWT.

1.2. Perumusan Masalah

Dari latar belakang di atas dapat dirumuskan suatu permasalah yakni:

“Bagaimana huhungan Hukum dan moral dalam Islam?”.

1.3. Tujuan Penulisan

Adapun tujuan penulisan ini dilakukan adalah sebagai berikut:

1. Untuk meengetahui pengertian Hukum dan moral dalam islam

2. Untuk mengetahui persamaan dan perbedaan Hukum dan moral dalam


islam

3. Untuk mengetahui hubungan Hukum daan moral dalam islam

3
BAB II

PEMBAHASAN

2.1. Pengertian Hukum dan Moral

a. Moral

Secara etimologi moral berasal dari bahasa Belanda moural, yang berarti


kesusilaan, budi pekerti. Sedangkan menurut W. J. S. Poerwadarminto moral
berarti ajaran tentang baik buruk perbuatan dan kelakuan. Dalam Islam moral
dikenal dengan istilah akhlak. Al-Ghazali dalam Ihya Ulumuddin menerangkan
tentang definisi akhlak. Akhlak adalah perilaku jiwa, yang dapat dengan mudah
melahirkan perbuatan-perbuatan, tanpa memerlukan pemikiran dan
pertimbangan.1Apabila perilaku tersebut mengeluarkan beberapa perbuatan baik
dan terpuji, baik menurut akala maupun tuntunan agama, perilaku tersebut
dinamakan akhlak yang baik. Apabila perbuatan yang dikeluarkan itu jelek, maka
perilaku tersebut dinamakan akhlak yang jelek.

Lebih lanjut Al-Ghazali menguraikan:Induk atau prinsip dari budi pekerti itu
ada empat: (1) kebijaksanaan (al-hikmah), (2) keberanian, (3) menjaga diri, dan
(4) keadilan. Maksud kebijaksanaan adalah perilaku jiwa yang dapat menemukan
kebenaran dari yang salah dalam semua perbuatan yang dikerjakan.2Ukuran
perseorangan bagi baik dan buruk, bagus dan jelek berbeda menurut perbedaan
presepsi seseorang, perbedaan masa, perubahan keadaan dan tempat. Namun
demikian, dalam setiap masyarakat dan dalam suatu masa ada ukuran umum,
artinya ukuran yang diakui oleh seluruh atau sebagian terbesar dari anggota-
anggotanya. Namun Bagi umat islam pendasaran baik dan buruk bagi perbuatan
adalah kepada kitab pedomannya, yaitu Al-Quran dan Sunnah. Apa yang

1
Ahmad Mansur Noor, Peranan Moral Dalam Membina Kesadaran Hukum, (Jakarta : Dirjen
Bindaga Islam DEPAG RI, 1985) hal. 7
2
. Al-ghazali imam, ihyal ulumuddin jilid 1.
4
dinyatakan baik, maka itulah ukuran kebaikan bagi manusia, demikian pula yang
jelek.

Moral dan akhlak sangat penting dalam pergaulan hidup di dunia ini. Oleh
karena itu Allah SWT. sengaja mengutus Nabi Muhammad SAW. untuk
menyempurnakan akhlak yang mulia sebagaimana sabda beliau yakni sebagai
berikut3:

)‫الق (الحديث‬
ِ ‫األخ‬ ُ ‫اِنَ َما بُ ِع ْث‬
ْ ‫ت ألتَ ِّم َم َم َكا َر َم‬

Artinya: Aku hanya diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia.

Telah dijelaskan pula dengan firman-Nya dalam surah al-Qalam ayat 4yang
berbunyi sebagai berikut:

ٍ ُ‫ك لَ َعلَى ُخل‬


‫ق َع ِظي ٍْم‬ َ َّ‫َواِن‬

Artinya: Sungguh engkau (Ya Muhammad) benar-benar berbudi pekerti yang


agung.

Kemudian Allah SWT. memerintahkan kaum muslimin untuk mengambil contoh


teladan dari moral Nabi Muhammad SAW dengan firman-Nya dalam surah al-
Ahzab ayat 21sebagai berikut:

Artinya: Sesungguhnya Telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri


teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat)
Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah..

b. Hukum

Menurut Van Kan Hukum adalah keseluruhan peraturan hidup yang bersifat
memaksa untuk melindungi kepentingan manusia di dalam masyarakat. Wiryono
Kusumo Hukum adalah keseluruhan peraturan baik yang tertulis maupun tidak
tertulis yang mengatur tata tertib di dalam masyarakat dan terhadap pelanggarnya
umumnya dikenakan sanksi.

3
HR. Bukhari, ahmad dan Baihaqi
5
Dalam Islam, Hukum syara’ menurut istilah para ahli ilmu ushul fiqh
ialah: Khithab Syari’ yang bersangkutan dengan perbuatan orang-orang
mukallaf, baik dalam bentuk tuntutan, pilihan, atau ketetapan.4

Hukum menurut bahasa, artinya : “ Menetapkan sesuatu atas sesuatu ” ‫اثبات‬


‫ شئ على شئ‬sedang menurut istilah, ialah : “Khithab (titah) Allah, atau sabda
Nabi Muhammad s.a.w.yang berhubungan dengan segala amal perbuatan
mukallaf, baik titah itu mengandung tuntutan suruhan, larangan atau
membolehkan sesuatu, atau menjadikan sesuatu sebab, syarat atau penghalang
(mâni’) bagi sesuatu hukum“.5

Hukum berasal dari bahasa arab yang berbentuk mufrad (tunggal). Kata
jamaknya diambil alih dalam bahasa indonesia menjadi “hukum”. Hukum juga
dinamakan recht yang berasal dari kata rechtum, di ambil dari bahasa latin
yang berarti pimpinan atau tuntunan atau pemerintahan.

Di dalam ilmu ushul fiqih terdapat beberapa istilah yang berkaitan dengan
hukum, yaitu hukum (‫)الحكم‬, hakim (‫اكم‬nn‫)الح‬, mahkum fihi (‫وم فيه‬nn‫)محك‬, dan
mahkum ‘alaih (‫)محكوم عليه‬. Secara bahasa hukum (‫ )الحكم‬berarti man’u (‫)المنع‬
yang berarti “mencegah”, hukum juga berarti qadla’ (‫اء‬nn‫ )القض‬yang berarti
“putusan”.6Adapun secara istilah, pengertian hukum menurut ulama’ ushul
yaitu:

.‫ طلبا او تخييرا او وضعا‬, ‫الحكم هو خطاب الشارع المتعلق بافعال المكلفين‬

“Hukum adalah khitab syari’ (Allah) yang berhubungan dengan perbuatan


seoarang mukallaf, berupa tuntutan, pilihan ataupun ketetapan”.7

4
Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqih, (Semarang:Dina Utama, 1994), hlm.142.
5
Moh Rivai, Ushul Fiqih, (Bandung : PT. Al-Ma’arif, 1993), hlm.12.
6
Nasrun, ushul fiqih 1, hlm. 20.
7
Khallaf, ilmu ushul fiqih, hlm.100

6
Dapat disimpulkan bahwa hukum bermakna sebuah ketentuan atau peraturan-
peraturan yang harus dilaksanakan dan bagi yang melanggarnya akan
mendapatkan hukuman atau sanksi sesuai dengan kesalahan yang diperbuat.8

2.2.Hubungan Hukum dan Moral

Manusia memiliki cara berfikir yang berbeda dengan sifat dan tingkah
laku yang berbeda. Hal ini akan mempengaruhi tindakannya. Pada
masayarakat sederhana akan memadai untuk menciptakan ketertiban dan
mengarahkan tingkah laku masyarakat. Kesusilaan memberikan peraturan-
peraturan kepada seseorang supaya menjadi manusia sempurna. Hati
nuraninya akan menyatakan perbuatan mana yang jahat serta akan
menentukan apakah ia akan melakukan suatu perbuatan. Akan tetapi pada
masyarakat yang sudah maju kaidah adat tersebut tidak lagi mencukupi. Hal
ini dilatarbelakangi oleh persandaran moral adalah kebebasan pribadi. Padahal
cara berpikir manusia tidaklah sama, sifat dan tingkah lakunya pun berbeda,
sehingga banyak sekali usaha baik yang mendapat tantangan dan hambatan.
Untuk mengatur segalanya diperlukan aturan lain yang tidak disandarkan pada
kebebasan pribadi, tetapi juga mengekang kebebasan pribadi dalam bentuk
paksaan, ancaman dan sanksi. Aturan itulah yang disebut dengan hukum.9

Perbedaan cara pandang tiap manusia dengan pengaruhnya terhadap moral


masyarakat inimenimbulkan dua kelompok pemikiran, yakni kelompok yang
berpendapat bahwa Hukum bersatu dengan Moral, dan kelompok dua
berpendapat bahwa Hukum terpisah dengan Moral.

1. Hukum Bersatu dengan Moral

Prof. Dr. Hazairin dalam buku Demokrasi Pancasila menyatakan bahwa


hukum tanpa moral adalah kezaliman. Moral tanpa hukum adalah anarki dan
utopia yang menjurus kepada peri-kebinatangan. Hanya hukum yang dipeluk
oleh kesusilaan dan berakar pada kesusilaan yang dapat mendirikan
kemanusiaan. Lebih lanjut Dr. M. Muslehuddin menerangkan bahwa hukum
8
Ibrahim Lubis, Pengertian Hukum (Medan: Majannaii, 2012).
9
Prof Dr. Sathipto Rahardjo,SH, Ilmu Hukum, cet III, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1991),
hlm 27-28
7
tanpa keadilan dan moralitas bukanlah hukum dan tidak bisa bertahan lama.
Sistem hukum yang tidak memiliki akar substansial pada keadilan dan
moralitas pada akhirnya akan terpental. Menurut Prof. Dr. H. M. Rasjidi,
hukum dan moral harus berdampingan, karena moral adalah pokok dari
hukum.

Menurut Kant, hukum moral adalah hukum dalam arti sebenarnya.


Menurut Friedmann, tidak ada dan tidak pernah ada pemisahan total hukum
dari moralitas. Dalam suatu masyarakat ada hubungan erat antara moralitas
sosial dan perintah hukum. Pengaruh moralitas sosial atas perintah hukum
pada umumnya tergantung pada karakter masyarakat. Masyarakat yang liberal
dan plural akan lebih mudah merefleksikan berbagai nilai etika daripada
masyarakat otoriter. Dalam masyarakat yang terikat dengan kebiasaan, ada
transformasi berangsur-angsur tingkah laku sosial menjadi kebiasaan hukum
dan dari kebiasaan menjadi rumusan legislatif.

2. Hukum Terpisah dari Moral 

Hukum positif yang didukung oleh Coulson dan Kerr dipisahkan dari
keadilan dan etika. Menurut hukum murni ala Kelsen, etika dan filsafat sosial
jauh dari hukum. Ia menentang filsafat dan berkeinginan untuk menciptakan
ilmu hukum murni, meninggalkan semua materi yang tidak relevan, dan
memisahkan yurisprudensi dari ilmu-ilmu sosial.

Aliran Imperatif Austin menganggap hukum sebagai perintah penguasa.


Menurutnya hukum positif suatu aturan umum tentang tingkah laku yang
ditentukan oleh petinggi politik untuk kelompok yang lebih rendah. Tujuan
Austin adalah untuk memisahkan secara tajam hukum positif dan aturan-
aturan sosial semisal kebiasaan dan moralitas, dan penekanannya terletak pada
perintah mencapai tujuan ini. Konsep perintah secara tidak langsung
menyatakan ancaman bagi pelaksanaan sanksi jika perintah itu tidak dipatuhi.

3.2. Hubungan Hukum dan Moral dalam Islam

a. Urgensi Moral dalam Hukum

8
Di dalam islam, moralitas yang berasal dari agama adalah bagian integral
manusia. Manusia mungkin dapat menetapkan moralitasnya sendiri tanpa
agama, tetapi dengan mudah ia akan menggunakannya untuk kepentingannya
sendiri sehingga ukuran moral dapat berubah-ubah. Moralitas agama tidak
demikian, ia berasal dari tuhan, berhubungan dengan akal sehat, hati nurani
dan keyakinan kepada Allah.

Islam berbeda dari agama-agama lain, karena islam tidak mengkhotbahkan


spiritualitas yang mandul. Al-Quran berulang kali meyakinkan manusia bahwa
semua yang berada di surga dan di bumi disediakan untuk mereka. Dalam
islam hukum dan agama, hukum dan moral, hukum dan yang disebut ‘gereja’
tidak bisa dipisahkan. Nilai etika inilah yang membedakannya dengan hukum
Barat. Oleh karena itu, ruang lingkup hukum islam mencakup semua bentuk
hubungan, baik kepada Tuhan maupun kepada manusia. Karena asal-usul,
sifat dan tujuannya, hukum islam secara ketat diikat oleh etika agama.
“Berdasarkan funsi utama, hukum islam mengklasifikasikan tindakan yang
berkenaan dengan standar mutlak baik dan buruk yang tidak dapat ditentukan
secara rasional, karena Tuhan sendirilah yang mengetahui apa yang benar-
benar baik dan buruk.Masyarakat sering berubah dari satu ke lain bentuk, baik
secara historis maupun ideologis.

Dalam masyarakat islam, hukum bukan hanya faktor utama tapi juga
faktor pokok yang memberikannya bentuk. Masyarakat islam secara ideal
harus sesuai dengan kitab hukum, sehingga tidak ada perubahan sosial yang
mengacaukan atau menimbulkan karakter yang tidak bermoral dalam
masyarakat. Hukum islam harus berjalan sesuai dengan prinsip-
prinsip moralitas seperti yang dinyatakan oleh islam. Hukum islam
memberikan ketentuan bahwa kaidah kesusilaan tidak boleh bertentangan
dengan syarat-syarat yang termaktub dalam Al-Quran dan Sunnah. Dengan ini
nyatalah bahwa hukum islam menuju kepada kesusilaan yang lebih pasti
isinya dan lebih tetap mutu dan haluannya, karena islam tidak membiarkan
semuanya hanya tergantung pada masyarakat dan manusia saja.

9
Menurut H.M Rasjidi terdapat tiga macam hubungan antara hukum dan
moral sebagaimana yang dibahas dalam filsafat hukum umum, yaitu:10

1. Hukum dan moral harus berdampingan karena moral merupakan pokok


hukum.

2. Masing-masing hukum dan moral ada bidangnya, tetapi moral lebih tinggi
daripada hukum.

3. Masing-masing hukum dan moral ada bidangnya sendiriyang tiada


hubungannya satu dengan yang lain. 

Hubungan hukum dan moral menurut ajaran islam tercermin terutama


dalam hal sebagai berikut:11

1. Beberapa ketentuan hukum islam mempertahankan tegaknya moral luhur,


seperti terdapat dalam hukum pidanan yang menetukan bahwa perzinaan
adalah delik moral yang diancam dengan pidana cambuk 100 kali, tanpa
memerlukan aduan pihak yang bersangkutan.

2. Beberapa ketentuan hukum islam mengandung nilai moral luhur, seperti


terdapat dalam ketentuan hukum muamalat yang mengajarkan agar orang
yang berpiutang mengalami kesulitan untuk membayar utangnya pada
waktu yang telah ditentukan dalam perjanjian.

3. Dalam melaksanakan hukum hendaknya dilandasi dengan nilai moral


luhur yang betumpu pada sikap patuh, taat, dan rela melaksanakan
ketentuan hukum yang telah ditetapkan dalam Al-Quran dan Sunnah
Rasul. Berhelah untuk menghidari ketentuan hukum yang bertentangan
dengan nilai moralitas islam.

Dalam Islam hukum dan moral tidak dapat dipisahkan, sehingga ruang
lingkup hukum Islam mencakup semua bentuk hubungan, baik kepada Tuhan

10
Ahmad Azhar Basyir, Pokok-Pokok Persoalan Filsafat Hukum Islam, (Yogyakarta: UII Press,
2000)., hlm 58
11
Ahmad Azhar Basyir, Pokok-Pokok Persoalan Filsafat Hukum Islam, (Yogyakarta: UII Press,
2000)., hlm 59
10
maupun kepada manusia. Karena asal-usul, sifat, dan tujuan hukum Islam
secara ketat diikat oleh etika agama.

Hukum Islam harus berjalan sesuai dengan prinsip-prinsip moralitas


seperti yang dinyatakan oleh Islam. Adapun syari’ah Islam yang merupakan
kode hukum dank kode moral yang ada secara sekaligus merupakan pola yang
luas tentang tingkkah laku manusia yang berasal dari otoritas kehendak Allah
yang tertimggi, sehingga garis pemisah antara hukum dan moralitas sama
sekali tidak bisa ditarik secara jelas.

Contohnya seperti hukum Islam lain yang sangat mengutamakan moralitas


adalah dalam ketentuan dalam hukum pidana Islam. Dalam hukum pidana
terdapat ketentuan bahwa orang yang melakukan zina diancam dengan pidana
cambuk seratus kali di depan umum seperti yang termaktub dalam al- Qur’an
surah al- Nur ayat 2. Sedangkan dalam surah al- Isra’ ayat 32 bahwa zina
menurut ajaran Islam dinilai sebagai perbuatan keji dan merupakan perbuatan
terburuk yang ditempuh manusia beradab. Begitu pula persoalan-persoalan
yang lain seperti dalam surah al- Baqarah ayat 280 tentang memakan riba,
Huud ayat 85, serta hadis Nabi tentang penangguhan pembayaran hutang.12

Adapun dengan adanya moralitas khusus hukum Allah meletakkan aturan-


aturan universal bagi perbuatan manusia. Seperti pendapat yang dikemukakan
oleh H.A.R. Gibb bahwa hukum Islam memiliki jangkauan paling jauh dan
alat efektif dalam membentuk tatanan sosial dan kehidupan masyarakat Islam.
Di sisi lain hukum Islam juga memiliki norma-norma etika baik dan buruk,
kejahatan dan kebajikan, yang masyarakat secara ideal harus menyesuaikan
diri di dalamnya, sehingga hukum Islam mempengaruhi semua aspek
keshidupan sosial, ekonomi dan semua aspek lainnya.

b. Keadilan Mutlak

12
KH. Ahmad Azhar, MA, Refleksi atas Persoalan Keislaman, cet II, (Bandung: Mizan, 1994),
hlm 137-138
11
Kemakmuran masyarakat tidak terlalu tergantung pada kerasnya hukum
melainkan pada kebenaran yang diilhami oleh ketakwaan. Oleh karena itu,
syari’ah merupakan tatanan tingkah laku moral, sedangkan takwa merupakan
standar bagi pertimbangan tindakan manusia, seperti firman Allah SWT.
dalam surah al- Hujurat ayat 13 sebagai berikut:

Artinya: “Hai manusia, Sesungguhnya kami menciptakan kamu dari


seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa -
bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya
orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling
taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha
Mengenal.”

Keadilan dalam Islam merupaka perpaduan yang menyenangkan antara


hukum dan moralitas. Islam tidak bermaksud untuk menghancurkan
kebebasan individu tetapi mengontrolnya demi kepentingan masyarakat yang
terdiri dari individu itu sendiri, dan karenanya juga melindungi kepentingan
yang sah. Hukum memainkan perannya dalam mendamaikan pribadi dengan
kepentingan masyarakat dan bukan sebaliknya. Individu diperbolehkan
mengembangkan hak pribadinya dengan syarat tidak mengganggu
kepentingan masyarakat. Ini mengakhiri perselisihan dan memenuhi tuntutan
keadilan. Oleh karena itu berlaku adil berarti hidup menurut prinsip-prinsip
Islam.

Untuk mempermidah dalam memahami huhungan Hukum dan Moral dalam


Islam, dapat digambarkan dalam bentuk skema berikut ini:

Allah,

kitab Al Qur’an dan Hadits

Hukum

 , Moral, Manusia Hukum, ketaqwaan.

12
KESIMPULAN

Dalam Islam moral dikenal dengan istilah akhlak. Al-Ghazali dalam Ihya
Ulumuddin menerangkan tentang definisi akhlak. Akhlak adalah perilaku jiwa,
yang dapat dengan mudah melahirkan perbuatan-perbuatan, tanpa memerlukan
pemikiran dan pertimbangan. Apabila perilaku tersebut mengeluarkan beberapa
perbuatan baik dan terpuji, baik menurut akala maupun tuntunan agama, perilaku
tersebut dinamakan akhlak yang baik.

Dalam Islam, Hukum syara’ menurut istilah para ahli ilmu ushul fiqh ialah:
Khithab Syari’ yang bersangkutan dengan perbuatan orang-orang mukallaf, baik
dalam bentuk tuntutan, pilihan, atau ketetapan.

Prof. Dr. Hazairin dalam buku Demokrasi Pancasila menyatakan bahwa hukum


tanpa moral adalah kezaliman. Moral tanpa hukum adalah anarki dan utopia yang
menjurus kepada peri-kebinatangan. Hanya hukum yang dipeluk oleh kesusilaan
dan berakar pada kesusilaan yang dapat mendirikan kemanusiaan.

Menurut H.M Rasjidi terdapat tiga macam hubungan antara hukum dan moral
sebagaimana yang dibahas dalam filsafat hukum umum, yaitu:

1. Hukum dan moral harus berdampingan karena moral merupakan pokok


hukum.

2. Masing-masing hukum dan moral ada bidangnya, tetapi moral lebih tinggi
daripada hukum.

3. Masing-masing hukum dan moral ada bidangnya sendiriyang tiada


hubungannya satu dengan yang lain. 

13
DAFTAR PUSTAKA

Khallaf Abdul Wahhab, Ilmu Ushul Fiqih, Semarang, Dina Utama, 1994

Al-ghazali imam, ihyal ulumuddin jilid 1

Azhar Basyir, Ahmad, Pokok-Pokok Persoalan Filsafat Hukum Islam,


Yogyakarta: UII Press, 2000

14
  Djamil, Fathurrahman,  Filsafat Hukum Islam (Bagian Pertama), Ciputat: Logos
Wacana Ilmu, 1997

Lubis Ibrahim, Pengertian Hukum, Medan: Majannaii, 2012

Muhammad Syah, Ismail, Filsafat Hukum Islam, Jakarta, Radar Jaya Offset, 1992.

Nor Mansur Ahmad , Peranan Moral Dalam Membina Kesadaran Hukum, Jakarta,
Dirjen Bindaga Islam DEPAG RI, 1985

Rivai Moh, Ushul Fiqih, Bandung, PT. Al-Ma’arif, 1993

Rahardjo Sathipto Prof Dr.,SH, Ilmu Hukum, cet III, Bandung, PT. Citra Aditya
Bakti, 1991

15

Anda mungkin juga menyukai