Anda di halaman 1dari 88

1

I
IDENTITAS

A. Nama Mata Kuliah : Hukum Internasional


B. Kode Mata Kuliah : HIH 320124
C Jumlah SKS : 4 (Empat)
.
D Nama Dosen/Team Teaching : 1. Harisman, S.H.,M.H
. 2. Hj. Mirsa Astuti, S.H.,M.H
3. M.Nasir Sitompul, S.H.,M.H
4. Hj. Rabiah Z Harahap, S.H.,M.H
2

II
PENDAHULUAN

A. Deskripsi Mata Kuliah


Mata kuliah Pengantar Hukum Internasional memberikan landasan untuk
mendukung mata kuliah lain, sehingga memudahkan pemahaman mata kuliah
hukum yang bukan bersifat pengantar lagi. Mata kuliah ini mempelajari dasar-
dasar atau sendi-sendi hukum internasional untuk mengantarkan mahasiswa
yang mempelajari hukum ke arah yang sebenarnya. Kajian Hukum Internasional
meliputi: Pengertian, Batasan dan istilah Hukum Internasional; Masyarakat dan
Hukum Internasional, Sejarah dan Perkembangan Hukum Internasional; Hakekat
dan Dasar Berlakunya Hukum Internasional; Hubungan Antara Hukum
internasional dan Hukum Nasional; Subjek Hukum Internasional; Sumber Hukum
Internasional; Pengakuan (Recognation) Dalam Hukum Internasional, Kedaulatan
Teritorial, Jurisdiksi Negara Dalam Hukum Internasional, Tanggung Jawab Negara
Dalam Hukum Internasional; dan Suksesi Negara. Proses pembelajaran dilakukan
dengan metode ceramah dan diskusi.
B. Capaian Pembelajaran Mata Kuliah
1. Berkontribusi dalam peningkatan mutu kehidupan bermasyarakat, berbangsa,
bernegara, dan kemajuan peradaban berdasarkan Pancasila;
2. Mampu menerapkan pemikiran logis, kritis, sistematis, dan inovatif dalam
konteks pengembangan atau implementasi ilmu pengetahuan dan teknologi
yang memperhatikan dan menerapkan nilai humaniora yang sesuai dengan
bidang keahliannya;
3. Mampu mengkaji implikasi pengembangan atau implementasi ilmu
pengetahuan teknologi yang memperhatikan dan menerapkan nilai
humaniora sesuai dengan keahliannya berdasarkan kaidah, tata cara dan
etika ilmiah dalam rangka menghasilkan solusi, gagasan, desain atau kritik
seni, menyusun deskripsi saintifik hasil kajiannya dalam bentuk skripsi atau
laporan tugas akhir, dan mengunggahnya dalam laman perguruan tinggi;
4. Mampu mengambil keputusan secara tepat dalam konteks penyelesaian
masalah di bidang keahliannya, berdasarkan hasil analisis informasi dan data;
3

5. Mampu menerapkan ilmu hukum dengan memanfaatkan IPTEKS untuk


menghasilkan keputusan yang berkepastian hukum, berkeadilan dan
bermanfaat bagi masyarakat
6. Mampu mengambil keputusan yang tepat di bidang hukum berdasarkan
informasi dan data yang relevan;
7. Menguasai dan memahami hakekat Tuhan, manusia dan kehidupan sesuai
dengan tuntutan Al Qur’an dan hadist serta ilmu pengetahuan;
8. Menguasai konsep teoritis dan prinsip hukum dan dapat memanfaatkan Ilmu
Pengetahuan, Teknologi dan Seni (IPTEKS) yang berorientasi pada
kecakapan hidup (life skills) untuk menghadapi perkembangan hukum di
masyarakat;
9. Menguasai konsep teoritis dan prinsip hukum untuk menyelesaikan berbagai
masalah hukum di masyarakat.
C. Sub Capaian Pembelajaran Mata Kuliah
1. Mahasiswa dapat menjelaskan Pengertian, Batasan dan istilah Hukum
Internasional;
2. Mahasiswa dapat menjelaskan Sejarah dan Perkembangan Hukum
Internasional.
3. Mahasiswa dapat menjelaskan Hakekat dan Dasar Berlakunya Hukum
Internasional.
4. Mahasiswa dapat menjelaskan Hubungan Antara Hukum internasional dan
Hukum Nasional.
5. Mahasiswa dapat menjelaskan Subjek Hukum Internasional.
6. Mahasiswa dapat menjelaskan Sumber-Sumber Hukum Internasional.
7. Mahasiswa dapat menjelaskan Pengakuan (Recognation) Dalam Hukum
Internasional.
8. Mahasiswa dapat menjelaskan Kedaulatan Teritoriala.
9. Mahasiswa dapat menjelaskan Jurisdiksi Negara Dalam Hukum
Internasional.
10. Mahasiswa dapat menjelaskan Tanggung Jawab Negara Dalam Hukum
Internasional.
11. Mahasiswa dapat menjelaskan Suksesi Negara.
4

III
PEMBELAJARAN

A. KEGIATAN PEMBELAJARAN I
PENGERTIAN, BATASAN DAN ISTILAH HUKUM INTERNASIONAL

1. Tujuan Materi Pembelajaran:


Mahasiswa dapat menjelaskan Pengertian, Batasan dan istilah Hukum
Internasional serta mampu untuk membedakan hukum internasional dan hukum
nasional

2. Materi Pembelajaran 1:
2.1. Pengertian dan Batasan Hukum Internasional;
Hukum internasional yang dipelajari dalam pembahasan ini adalah hukum
internasional publik. Meskipun Mochtar Kusumaatmadja dalam bukunya telah
membedakan hukum internasional menjadi hukum internasional publik disatu sisi
dan hukum perdata internasional disisi lainnya. Hukum perdata internasional ialah
keseluruhan kaidah dan asas hukum yang mengatur hubungan perdata yang
melintas batas negara. Dengan perkataan lain hukum yang mengatur hubungan
hukum perdata antara para pelaku hukum yang masing-masing tunduk pada pada
hukum perdata (nasional) berlainan.(1977:1) Sedangkan hukum internasional publik
ialah keseluruhan kaiah dan asas hukum yang mengatur hubungan atau persoalan
yang melintasi batas negara (hubungan internasional) yang bukan bersifat perdata.
Walaupun kedua pengertian di atas terdapat adanya perbedaan tetapi
ditemukan pula ada persamaannya. Persamaannya ialah keduanya mengatur
hubungan atau persoalan yang melintasi batas negara (internasional).
Perbedaannya terletak dalam sifat hukum hubungan atau persoalan yang diaturnya
(obyeknya). Mochtar Kusumaatmadja menganggap bahwa cara pembedaan
demikian lebih tepat dari pada membedakan berdasarkan pelaku (subjek hukum)
nya dengan mengatakan bahwa hukum internasional publik mengatur hubungan
antara negara-negara, sedangkan hukum perdata internasional antara orang
perorang. (Kusumaatmadja, Pengantar Hukum Internasional, 1999, p. 1) Dari apa
yang dikemukan Mochtar Kusumaatmadja jelas dapat dipahami bahwa hukum
internasional bukanlah membahas persoalan-persolan hubungan yang bersifat
perdata, melainkan hubungan-hubungan yang bersifat publik seperti antara lain:
5

hubungan negara dengan negara, negara dengan organisasi internasional, negara


dengan individu, organisasi internasional dengan organisasi internasional, dan
hubungan organisasi internasional dengan individu. Meskipun terkadang sangat
sulit untuk membedakan persoalan-persoalan yang mana masuk dalam kajian
hukum perdata internasional dan persoalan-persoalan yang merupakan hukum
internasional publik, tetapi tidak ada alasan untuk tidak membedakannya.
Untuk lebih memahami apa itu hukum internasional, ditemukan para
sarjana telah merumuskan dengan memberikan beberapa pengertian seperti
sebagai berikut:
a. Mochtar Kusumaatmadja, hukum internasional ialah keseluruhan kaidah dan
asas yang mengatur hubungan atau persoalan yang melintasi batas negara
antara: negara dan negara, dan negara dengan subjek hukum lain bukan
negara atau subjek hukum bukan negara satu sama lain.
b. Charles Chendy Hyde sebagaimana dikutip J.G.Starke yang mendefenisikan
hukum internasional sebagai sekumpulan hukum yang bagian terbesar terdiri
atas prinsip-prinsip dan peraturan-peraturan tingkah laku di mana negara-
negara itu sendiri merasa terikat dan menghormatinya, dan oleh karena itu,
juga harus menghormati dalam hubungan antara mereka satu dengan yang
lainnya, dan yang juga mencakup:
a) Peraturan-peraturan hukum yang berkenaan dengan fungsi-fungsi
lembaga atau organisasi internasional, hubungan antara organisasi
internasiona itu satu dengan lainnya; hubungan antara organisasi
internasional itu dengan negara/negara-negara; dan hubungan antara
organisasi internasional dengan individu/ individu-individu.
b) Peraturan-peraturan hukum tertentu yang berkenaan dengan individu-
individu dan subjek-subjek hukum bukan negara (non state entities)
sepanjang hak-hak dan kewajiban-kewajiban individu dan subjek-
subjek hukum bukan negara itu bersangkut paut dengan masalah
masyarakat internasional.
c. Boer Mauna merumuskan hukum internasional sebagai suatu kaidah atau
norma-norma yang mengatur hak-hak dan kewajiban-kewajiban para subjek
hukum internasional, yaitu: negara, lembaga dan organisasi internasional, serta
individu dalam hal-hal tertentu (Mauna, 2000, p. 2)
6

d. John O’Brien mengemukakan hukum internasional adalah sistem hukum yang


terutama berkaitan dengan hubungan antar negara. (Sefriani, Hukum
Internasional Suatu Pengantar, 2014, p. 3)
Berdasarkan pada beberapa pengertian di atas, tergambar sudah apa yang
merupakan isi dan ruang lingkup hukum internasional itu sendiri. Di dalamnya
terkandung unsur subjek atau pelaku-pelaku yang berperan, hubungan-hubungan
hukum antara subjek tersebut serta kaedah-kaedah maupun prinsip-prinsip hukum
yang lahir dari hubungan antara subjek tesebut yang keseluruhannya itu
merupakan suatu kesatuan yang saling terjalin satu dengan lainnya. (Parthiana,
1990, p. 4)
Adanya berbagai macam dalam pemberian pengertian yang telah diberikan
seperti di atas, dipengaruhi oleh adanya perkembangan hukum internasional
terutama berkaitan dengan subjek hukum internasional. Pada awalnya hukum
internasional semata-mata mengatur hubungan antar negara. Negara dianggap
sebagai satu-satunya sebagai subjek hukum internasional.

2.2. Ruang Lingkup Hukum Internasional,


Mengacu pada berbagai pengertian yang ada, terlihat bahwa isi atau materi
cakupan hukum internasional meliputi prinsip-prinsip dan peraturan-peraturan
hukum, yang: (Parthiana, 1990, p. 8) Berkenaan dengan subjek-subjek hukum
internasioanl itu sendiri yang menurut Mochtar Kusumaatmadja dibedakan menjadi
dua golongan yakni, negara dan subjek hukum bukan negara;
1) Isi atau ruang lingkup dari hukum internasional itu yang meliputi:
a) Persoalan atau hubungan anatar negara dengan negara;
b) Persoalan atau hubunga hukum antara negara dengan subjek hukum
bukan negara;
c) Persoalan atau hubungan hukum antara subjek hukum bukan negara
dengan subjek hukum bukan negara satu dengan lainnya.

2.3. Istilah Hukum Internasional;


Beragam penggunaan istilah ditemukan untuk memberikan penyebutan
tentang hukum internasional. Adanya Keragaman penyebuta ini sebenarnya tidak
perlu dipersoalkan disebabkan perbedaan penggunaan istilah-istilah hukum
internasional sangat dipengaruhi oleh sejarah dan perkembangan dari hukum
7

internasional itu sendiri terutama dipengaruhi oleh perkembangan subjek hukumnya


dan juga sifat persoalan atau hubungan hukumnya.
I Wayan Partiana mengemukan bahwa penggunaan istialh-istilah itu dalam
batas-batas tertentu juga menggambarkan isi dan ruang lingkup dari hukum
internasional tersebut maupun era berlakunya. (Parthiana, 1990, p. 9)
Ditemukan beberapa istilah lain yang pernah digunakan untuk menyebutkan
hukum internasional seperti: hukum bangsa-bangsa (the law of nation), hukum antar
negara (inter states law), hukum internasional (international law), dan hukum
transnasional (Transnational Law). Dari berbagai istilah yang ada dan paling tepat
digunakan adalah hukum internasional disebabakan sesuai dengan keadaan dan
kenyataan yang ada saat ini. (Kusumaatmadja, Pengantar Hukum Internasional,
1999, pp. 3-4) Untuk lebih memahaminya penggunaan istilah-istilah tersebut akan
dijelaskan berikut Ini.
Pertama kalinya istilah yang digunakan ialah hukum bangsa-bangsa yang
menunjukkan pada kebiasaan dan aturan (hukum ) yang berlaku dalam hubungan
antara raja-raja zaman dulu, ketikan hubungan demikian baik karena jarangnya
maupun karena sifat hubungannya, belum dapat dikatakan merupakan hubungan
antara anggota suatu masyarakat bangsa-bangsa.
Penggunaan istilah hukum bangsa-bangsa timbul dari hubungan hukum
antara bangsa-bangsa atau negara-negara yang berasaskan kebangsaan. Istilah
hukum bangsa-bangsa berasal dari istilah Romawi Ius gentium yang memiliki makna
bukan berarti hukum yang berlaku antara bangsa-bangsa saja, melainkan pula
kaidah-kaidah dan asas hukum yang mengatur hubungan antara orang romawi
dengan orang bukan romawi dan antara orang bukan Romawi satu sama lain.
Dalam perkembangannya ternyata penggunaan istilah hukum bangsa-
bangsa mulai tinggalkan disebabkan tidak identiknya lagi antara bangsa-bangsa dan
negara-negara. Negara sudah dipandang sebagai kesatuan territorialitas
(kewilayahan) yang didasarkan pada asas teritorialitas (kewilayahan) dan tidak lagi
dipandang bedasarkan asas kebangsaan, sehingga istilah yang digunakan ialah
hukum antar negara. Hukum antar negara digunakan untuk menunjukkan pada
kompleks kaidah dan asas yang mengatur hubungan antara anggota masyarakat
bangsa-bangsa atau negara-negara yang dikenal sejak munculnya negara dalam
bentuknya yang modern sebagai negara nasional (nation-state).
8

Namun dengan semakin berkembangnya masyarakat termasuk masyarakat


internasional, dimana subjek atau pelaku-pelaku di dalam hubungan yang melintas
batas-batas negara tidak lagi dilakukan hanya oleh negara-negara saja, dan
demikian pula kaedah-kaedah dan prinsip-prinsip hukum yang muncul pun sudah
semakin luas dan kompleks, maka istilah hukum antar negara itupun sudah
dipandang tidak memadai lagi. Maka istilah hukum internasional mulai dipergunakan
untuk mengganti istilah-istilah terdahulu yang sudah tidak sesuai lagi. Istilah hukum
internasional dipandang lebih sesuai oleh karena mampu menggambarkan dan
mencakup keseluruhan prinsip-prinsip dan kaedah-kaedah hukum yang ada. Hukum
internasional mengatur hubungan antara negara dengan negara, mengatur pula
hubungan antara negara dengan subjek hukum lainnya bukan negara dan antara
subjek hukum bukan negara satu sama lainnya.
Semakin bertambah luasnya, kompleksnya dan canggihnya hubungan–
hubungan internasional, mengakibatkan pula semakin kaburnya batas-batas antara
hukum internasional publik pada satu pihak dengan hukum perdata internasional
pada lain pihak. Bahkan mengalami kesulitan untuk menemukan garis pemisah dan
pembeda antara hubungan-hubungan hukum bersifat perdata disatu sisi dan publik
disisi lainnya. Melihat sulitnya untuk menarik garis pemisah dan membedakan
hubungan-hubungan hukum yang ada, maka timbul usulan untuk menggunakan
istilah hukum transnasional. Sarjana yang pertama kali memperkenalkannya adalah
Philip C Jessup (Amerika Serikat) dan Sunaryati Hartono (Indonesia).

2.4. Bentuk Perwujudan Hukum Internasional,


Hukum internasional dilihat dari sudut bentuk perwujudannya ada yang
bilateral, trilateral, regional, multilateral maupun universal. (Sefriani, Hukum
Internasional Suatu Pengantar, 2014, p. 6) Mochtar Kusumaatmadja membagi
bentuk perwujudan hukum internasional terdiri atas, yaitu: hukum internasional
umum, hukum internasional regional, dan hukum internasional khusus.
(Kusumaatmadja, Pengantar Hukum Internasional, 1999, pp. 5-6) Adanya
pengkereterian bentuk perwujutan hukum internasional seperti ini pada dasarnya
dilihat dari sudut jumlah pihak-pihak yang terikat, dan tempat lokasi keberlakuannya.
Berdasarkan jumlah pihak-pihak yang terikat meliputi hukum internasional bilateral,
trilateral dan multilateral, sedangkan berdasarkan tempat lokasi keberlakuannya
meliputi, yaitu: hukum internasional regional dan hukum internasional umum.
9

Hukum internasional bilateral berarti aturan tersebut dibuat oleh dua negara
dan hanya mengikat pada kedua negara itu saja seperti: perjanjian ekstradisi ialah
perjanjian berkaitan dengan penyerahan pelaku kejahatan, dan perjanjian
perbatasan wilayah misalnya perjajian berkaitan wilayah perbatasan negara baik di
darat dan dilaut. Hukum internasional multilateral merupakan aturan yang dibuat
oleh lebih dari dua negara dan mengikat bagi negara peserta serta terbuka pula bagi
negara bukan peserta untuk terikat contohnya Perjanjian di bidang perdagangan
seperti General Agreement Trade and Tarif of World Trade Organisation 1994
(GATT/WTO) dan Konvensi Hukum Laut 1982. Hukum Internasional universal
merupakan aturan hukum yang ditujukan berlakukan bagi semua negara-negara,
contohnya Declaration of Human Rights 1948, Konvensi Wina 1961 tentang
Hubungan Diplomatik, Konvensi Jenewa 1949 tentang Hukum Perang dan Space
treaty 1967.
Hukum internasional regional merupakan aturan yang dibuat dan mengikat
bagi negara-negara yang berada sekawasan atau sewilayah dengan melibatkan
organisasi regional, seperti misalnya: Deklarasi HAM Eropa, Deklarasi HAM Amerika
Serikat, Deklarasi HAM Afrika, Deklarsi HAM ASEAN, dan konvensi Montevidio
1933 tentang hak-hak dan kewajiban-kewajiban negara-negara yang diberlakukan
bagi negara-negara inter Amerika. Keberadaan hukum internasional regional ini
tidak bertentangan dengan hukum internasional universal. Bahkan terkadang hukum
internasional regional diberlakukan pula menjadi hukum internasional universal.

2.5. Hukum Internasional dan Hukum Dunia;


Mochtar Kusumaadmadja dalam rangka untuk lebih memahami yang
bagaimana dimaksud dengan pengertian hukum internasional di dalam bukunya
“Pengantar Hukum Internasional” mencoba untuk membedakannya dengan
penggunaan istilah hukum dunia (Word law, Weltstaatsrecht). Penggunaan kedua
istilah ini dapat menunjukan adanya perbedaan yang dilihat dari tertib hukumnya,
yaitu: tertib hukum koordinasi dan tertib hukum subordinasi. (Kusumaatmadja,
Pengantar Hukum Internasional, 1999, p. 7) Pembagian tertih hukum seperti ini oleh
Safriani disebutnya sebagai melihat dari sifat hukumnya. (Safriani, 2016, p. 4)
Tertib hukum koordinsi maksudnya tertib hukum yang menunjukkan adanya
hubungan yang sederajat. Sedangkan tertib hukum subordinasi maksudnya adanya
hubungan tinggi rendah antara yang diperintah (rakyat) dengan yang memerintah.
10

N
Subordinasi
N N
N N
N
N

N
Tertib Hukum Koordinasi

Berdasarkan pemahaman atas tertib hukum di atas dapatlah dikemukakan


bahwa pengertian hukum internasional memperlihatkan pada tertib hukum/sifat
hukum koordinasi. Dalam pengertian seperti ini bahwa masyarakat internasional
terdiri dari sejumah negara yang berdaulat dan merdeka (independent) dalam arti
masing-masing berdiri sendiri yang satu tidak di bawah kekuasaan yang lain. TIdak
ada suatu badan yang berdiri di atas negara-negara, baik dalam bentuk negara
dunia (world state) maupun badan supransional yang lain. (Kusumaatmadja,
Pengantar Hukum Internasional, 1999, p. 7) Ini berarti bahwa hukum internasional
dilandasi oleh adanya persamaan kedudukan antara negara-negara/anggota
masyarakat bangsa-bangsa. Tidak ada satu yang lebih tinggi dari yang lainnya.
Yang tertinggi dalam struktur masyarakat internasional adalah masyarakat
internasional itu sendiri. (Sefriani, Hukum Internasional Suatu Pengantar, 2014, p. 5)
Seperti keberadaan Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) sebagai organisasi
internasional yang berkedudukan sebagai lembaga koordinasi bagi negara-negara
anggotanya. Dalam arti kata PBB bukan lah lembaga supranasional meskipun
memiliki struktur kelembagaan yang cukup lekap, tapi tidak memiliki kekuasaan atas
negara-negara anggotanya. Terikatnya negara-negara anggota terhadap berbagai
ketentuan hukum internasional yang dihasilkan PBB didasarkan adanya keinginan
untuk menerima sebagai perangkat kaidah dan asas yang mengikat dalam
hubungan diatara mereka .

N
PBB
N N

Berbeda halnya dengan hukum dunia (world law) yang menunjukkan tertib
hukum subordinasi seperti halnya tertib hukum nasional yang banyak dipegaruhi
11

oleh analogi hukum tata negara. Hukum dunia merupakan semacam negara
(federasi) dunia yang meliputi semua negara di dunia ini. Negara dunia secara
hirarki berdiri sendiri di atas negara-negara nasional. Ditemukan adanya badan
supranasional atau pemerintahan dunia (world government) yang memiliki
kewenangan membuat sekaligus memaksakan berlakunya suatu aturan
internasional.
Penggunaan istilah seperti ini, dapat memperlihatkan adanya perbedaan
antara hukum internasional dan hukum nasional yang tertib hukumnya/sifat
hukumnya sama dengan istilah hukum dunia. Hukum nasional memiliki struktur yang
lebih lengkap dibandingkan dengan hukum internasional. Dalam hukum
internasional tidak ada kekuasaan tertinggi yang dapat memaksakan keputusan-
keputusannya kepada negara-negara, tidak ada badan legislative internasional yang
membuat ketentuan-ketentuan hukum yang mengikat langsung negara-negara
anggota disamping tidak adanya angkatan bersenjata, dan kepolisian untuk
melaksanakan sanksi-sanksi kepada negara-negara pelanggar hukum. (Mauna,
2000, p. 2)

3. Rangkuman
Pada awalnya terdapat beberapa istilah yang pernah digunakan untuk
menyebutkan hukum internasional. Pengunaan istilah-istilah yang ada disesuaikan
dengan saat berlakukannya hukum internasional tersebut dan memperhatikan
pihak-pihak yang terlibat dalam hubungan internasional yang mengalami
perkembangan secara bertahap sesuai dengan zamannya. Melalui istilah-istilah
yang pernah ada dapat dipahami pengertian hukum internasional. yang dimaksud
adalah mengandung unsur publik dan bukan unsur perdata. Pemahaman
terhadap hukum internasional dapat pula dilakukan dengan melihat pada bentuk
perwujutannya dan sifat hukum/tertib hukum internasional. Melalui sifat
hukum/tertib hukum internasional ditemukan bahwa hukum internasional
merupakan sistem hukum koordinasi yang berbeda dengan hukum nasional yang
subordinasi.

4. Tugas
tentang perbadingan antara hukum internasional dan hukum Nasional, dan
hukum internasinal publik dan hukum perdata internasional. .
12

5. Evaluasi
1. Jelaskan apa itu hukum Internasional?
2. Jelaskan apa yang menjadi ruang lingkup dari hukum internasional?
3. Sebutkan dan jelaskan apa itu hukum dunia?

B. KEGIATAN PEMBELAJARAN II
MASYARAKAT DAN HUKUM INTERNASIONAL
1. Tujuan Materi Pembelajaran:
Mahasiswa dapat mengetahui dan menjelaskan Masyarakat dan Hukum
Internasional.

2. Materi Pembelajaran:
a. Adanya masyarakat internasional sebagai landasan sosiologis hukum
internasional.
Hukum internasional sebagai asas-asas hukum dan ketentuan hukum yang
berlaku bagi negara-negara tidak dapat dipisahkan dari keberadaan perkembangan
masyarakat internasional itu sendiri. Hukum internasioanl itu tumbuh dan
berkembang di dalam masyarakat internasional. (Parthiana, 1990, p. 11) Masyarakat
internasional itu sendiri lah yang menciptakan hukum internasional dengan maksud
untuk dapat hidup berdampingan secara bersama-sama dan dapat saling
berhubungan satu dengan yang lainnya. Hal ini sesuai dengan apa yang pernah
dinyatakan oleh Aristoteles dalam ungkapan klasiknya “ubi societas ubi ius “ artinya:
“dimana ada masyarakat disana ada hukum”. Begitu pula Levina Yustitianingtyas,
masyarakat lah yang menjadi dasar pembentukan hukum internasional.
(Yustianingtyas, Masyarakat dan Hukum Internasional (Tinjauan Yuridis Terhadaap
Perubahan-Perubahan Sosial Dalam Masyarakat Internasional), 2015, p. 90) Mochta
r Kusumaatmadja dalam bukunya mengemukakan bahwa masyarakat internasional
lah sebagai landasan sosiologis hukum internasional.
Yang dimaksud dengan masyarakat internasional adalah subjek-subjek
hukum internasional itu sendiri yang saling mengadakan hubungan satu dengan
yang lainnya. Untuk adanya masyarakat internasional ditandai dengan dipenuhinya
13

beberapa unsur sebagai berikut: (Kusumaatmadja, Pengantar Hukum Internasional,


1999, pp. 8-10)
1) Adanya sejumlah negara di dunia ini .
2) Adanya hubungan yang tetap antara anggota masyarakat internasional.
3) Adanya asas hukum bersamaan yang berlaku.
Masyarakat internasional terdiri dari sejumah negara-negara di dunia yang
berdaulat, sederajat dan merdeka mempunyai kepentingan-kepentingan untuk
melakukan hubungan secara tetap dan terus menerus. Setiap negara secara bebas
tanpa ada campurtangan untuk melakukan hubungan dengan negara lain.
Karenanya tidak satu negara pun dalam melakukan hubungan internasional dapat
dipaksakan sebagai konsekwensi dari adanya kedaulatan dan kemerdekaan yang
dimilikinya. Oleh karena kedaulatan atau souvereignity merupakan suatu sifat atau
ciri hakiki negara. Mochtar kusumaatmadja menyatakan negara berdaulat
dimaksudkan bahwa negara itu mempunyai kekuasaan tertinggi. Adanya pengertian
kedaulatan seperti ini dapat menimbulkan banyak salah paham. Dengan maksud
bahwa seolah-olah bahwa hukum internasional tak mungkin mengikat negara
apabila negara itu merupakan kekuasaan tertinggi yang tidak mengakui suatu
kekuasaan yang lebih tinggi di atasnya. Oleh karena sepintas lalu terlihat kekuasaan
tertinggi yang dimiliki setiap negara bertentangan dengan hukum internasional
sebagai suatu sistem hukum yang mengatur hubungan internasional terutama antar
negara. (Kusumaatmadja, Pengantar Hukum Internasional, 1999, p. 11)
Walaupun demikian hubungan internasional yang terjadi harus
memperhatikan.pula kepentingan-kepentingan negara-negara lainnya. Hal ini
sebagai konsekwensi dari adanya atribut kedauatan yang dimiliki negara. Adanya
aspek kedaulatan yang dimiliki oleh setiap negara memiliki konsekwensi kedalam
dan keluar. Negara-negara memiliki kekuasaan tanpa ada campurtangan dari pihak
lain untuk mengurus dan mengatur urusan dalam negerinya sendiri merupaka
kedaulatan kedalam. Sedangkan kedaulatan keluar berarti negara-negara memiliki
kekuasaan secara bebas untuk melakukan hubungan luar negeri dengan negara
lainnya.
ini bukan berarti negara-negara saja lah yang merupakan anggota
masyarakat internasional, tapi terdapat pula yang lainnya, seperti: tahta suci,
organisasi internasional, palang merah internasional, pemberontak (billegerent) dan
terakhir individu yang turut pula saling berhubungan satu dengan lainnya. Dipilihnya
14

negara-negara dalam pembahasan ini disebabkan negara merupakan anggota


masyarakat internasional yang utama dan pertama yang melakukan hubungan
internasional dibandingkan dengan yang lainnya. Negaralah untuk pertamakali yang
melakukan hubungan internasional dan kemudian diikuti oleh subjek hukum
internasional lainnya. dan negaralah yang pertama didalam hukum internasional
diakui sebagai subjek hukum internasional. Dalam perkembangan selanjutnya
tumbuh dan berkembang pelaku-pelaku baru dalam melakukan hubungan
internasional selain negara-negara.
Timbulnya hubungan internasional dikarena adanya faktor saling
membutuhkan antar negara dalam berbagai kepentingan, misalnya kepentingan
politik, ekonomi, budaya, ilmu pengetahuan, sosial dan masih banyak lagi
kepentingan-kepentingan dalam masyarakat internasional yang dapat dijadikan
dasar atau menimbulkan hubungan antar negara. (Yustianingtyas, Masyarakat da
Hukum Internasional (tinjauan Yuridis Terhadap Perubahan-Peubahan Sosisal
Dalam Masyarakat Internasional) , 2015, p. 90) Apalagi dilihat dari sudut keadaan
letak geografis dan sumber daya alam yang dimiliki oleh negara-negara misalnya:
ada yang memiliki sumber daya alam yang surplus dan ada yang minus. Demikian
pula dilihat dari sudut letak geografisnya, ada negara yang beruntung secara
geografis dan ada yang tidak beruntung secara geografis sebagai contoh misalnya:
Indonesia dan Singapura sama-sama memiliki wilayah laut tapi kondisinya berbeda.
Indonesia memiliki wilayah laut yang memiliki kekayaan sumberdaya alam yang
berlimpah, sedangkan Singapura meskipun memiliki wilayah laut namun minim
sumberdaya alam.
Adanya perbedaan yang didasarkan atas kepentingan, letak geografis, dan
sumber daya alam yang dimiliki oleh negara-negara seperti ini, mendorong
melakukan hubungan yang tetap dan terus menerus. Ini berarti tidak ada satu
negara pun dapat hidup sendiri dan saling membutuhkan satu dengan lainnya.
Kebutuhan negara-negara untuk hidup berdampingan satu sama lain dan hidup
bersama merupakan dasar sosiologis yang tidak dapat dipungkiri dalam hubungan
antar masyarakat internasional.
Untuk menjaga terjalinnya dan terpeliharanya hubungan–hubungan
internasional untuk hidup bersama seperti ini menimbulkan keinginan dari negara-
negara untuk memelihara dan mengaturnya. Keinginan negara-negara untuk
memelihara dan mengatur hubungan-hubungan yang bermanfaat seperti ini
15

merupakan suatu kepentingan bersama. Kepentingan bersama bagi masyarakat


internasional dapat diikat melalui pemberlakuan asas-asas hukum yang bersamaan.
Adanya asas-asas hukum yang bersamaan ini merupakan penjelmaan
hukum alamiah (natuurrecht) yang mengharuskan bangsa-bangsa di dunia ini hidup
berdampingan secara damai dapat dikembalikan pada akal manusia (ratio) dan
naluri untuk mempertahankan jenisnya. (Kusumaatmadja, Pengantar Hukum
Internasional, 1999, pp. 10-11) Meskipun kenyataannya setiap negara memilki
sistem hukum positifnya masing-masing dan bahkan dapat berbeda satu dengan
yang lainnya. Dengan asas hukum yang bersama ini sehingga berbagai perbedaan
kepentingan dari negara-negara dapat di atasi dan pada akhirnya dapat menghindari
terjadinya pertikaian dalam hubungan internasional. Ketidak serasian dalam menjalin
hubungan internasional dapat menimbulkan pertikaian antar negara-negara
sehingga dapat mengganggu ketertiban, keamanan dan perdamaian internasional,
seperti yang pernah terjadi pada Perang Dunia I dan Perang Dunia II.

b. Struktur Masyarakat Internasional


Hukum internasional sebagai suatu sistem hukum memiliki perbedaan yang
cukup mendasar dengan sistem hukum nasional. Perbedaannya dapat dilihat dari
struktur masyarakat internasional yang bersifat koordinasi dan buka sub ordinasi
seperti dalam hukum nasional. Melalui perbedaan yang ada dapat memperlihatkan
bagaimana eksistensi hukum internasional dalam mengatur masyarakat
internasional.
Hukum internasional sebagai suatu sistem hukum yang koordinasi
menempatkan negara-negara sebagai pemengang kekuasaan tertinggi, tidak ada
kekuasaan yang lain di atas negara. Negara-Negara lah yang secara bersama-sama
menyepakati untuk membentuk dan memberlakukan hukum internasional. Negara-
negara memiliki kedudukan dan peran serta memiliki hak-hak dan kewajiban-
kewajiban yang sama di dalam masyarakat internasional sebagai subjek hukum
internasional. Ini berarti masyarakat internasional tidak mengenal adanya lembaga
supranasional yang berada di atas negara-negara. Secara sederhana bentuk
masyarakat internasional yang koordinasi dapat digambarkan bahwa negara-negara
kedudukannya sejajar dan sederajat.
I Wayan Parthiana menyatakan:
“masyarakat internasional tidak mengenal badan atau lembaga di atasnya
yang mempunyai kedudukan lebih tinggi daripada masyarakat internasional
16

itu sendiri. Dengan kata lain tida ada lagi badan yang berkedudukan lebih
tinggi daripada masyarakat internasional itu.”
Terikatnya negara-negara untuk tunduk dan patuh pada hukum internasional
bukan berarti kedudukan negara berada dibawah hukum internasional. TIdak ada
satu kewenangan manapun dapat memaksakan negara-negara untuk tunduk dan
patuh pada hukum internasional. Begitu pula dengan tergabungnya dalam
organisasi internasional seperti Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan Organisasi
Internasional lainnya bukan berarti negara-negara berkedudukan dibawahnya, tetapi
diperankan sebagai lembaga yang mengkoordinasikan kepentingan bersama dari
berbagai negara-negara. Seperti PBB bukanlah merupakan lemabaga supranasional
meskipun memiliki sejumlah anggota dan berbagai organ yang mengurusi berbagai
masalah politik, ekonomi, sosial, hukum, keamanan dan lain-lain. (Safriani, 2016, p.
5)
Berbeda halnya dengan struktur masyarakat nasional yang sub ordinasi
munjukkan tinggi rendah antara yang diperintah dengan yang memerintah. Dalam
struktur masyarakat nasional terdapat pemegang kekuasaan tertinggi sebagai
pemberi perintah yang dapat memaksakan keputusan-keputusannya kepada yang
diperintah. Struktur masyarakat nasional mengakui adanya lembaga tinggi negara
seperti legislative, eksekutif dan judikatif serta angkata bersenjata dan kepolisian
yang tidak dimiliki dalam struktur masyarakat internasional.
Walaupun struktur masyarakat internasional tidak sesempurna strukur
masyarakat nasional yang sub ordinasi, tapi negara-negara tetap percaya bahwa
hukum internasional itu ada. Negara-negara menjunjung tinggi dan menghormatinya
sebagai kewajiban moral untuk mentaati hukum internasional. Negara-negara
mematuhi hukum internasional karena kepatuhan diperlukan untuk mengatur
hubungannya antara satu dengan yang lain dan untuk melindungi kepentingannya
sendiri. Negara-negara tersebut patuh karena merupakan kepentingan mereka untuk
berbuat demikian. (Mauna, 2000, pp. 2-3)

3. Rangkuman
Hukum internasioanl itu tumbuh dan berkembang di dalam masyarakat
internasional. Masyarakat internasional adalah subjek-subjek hukum internasional itu
sendiri yang saling mengadakan hubungan satu dengan yang lainnya. Masyarakat
internasional memiliki struktur yang berbeda dengan masyarakat nasional yag
bersifat subordinasi.
17

4. Tugas MANDIRI
Setelah mempelajari masyarakat dan hukum internasional, maka mahsiswa/I
ditugasi untuk mengidentifikasi dan sekaligus menganalisa dengan mengambil
salah satu contoh berkaitan dengan hubungan-hubungan dalam masyarakat
internasional yang masuk dalam ruang lingkup hukum internasional.

5. Evaluasi
1. Jelaskan apa itu masyarakat Internasional?
2. Sebutkan dan uraikan apa yang menjadi dasar sosiologis dari adanya
masyarakat Internasional?
3. Jelaskan bagaimana strukur masyarakat internasional?

C. KEGIATAN PEMBELAJARAN III


SEJARAH DAN PERKEMBANGAN HUKUM INTERNASIONAL
1. Tujuan Materi Pembelajaran:
Mahasiswa dapat mengetahui dan menjelaskan sejarah dan perkembangan
hukum internasional

2. Materi Pembelajaran:

2.1. Pada Jaman Kuno;


Hukum internasioal merupakan hukum yang memiliki usia cukup tua.
Berbagai buku referensi memperlihatkan bahwa keberadaan hukum internasional
sudah ada sejak pada zaman India kuno, zaman yunani kuno dan zaman romawi.
Hukum internasional yang ditemukan pada zaman ini masih dalam bentuk hubungan
yang sangat sederhana dan masih sebatas hubungan antara raja-raja atau bangsa-
bangsa. (Kusumaatmadja, Pengantar Hukum Internasional, 1999, p. 18)
Seperti dalam lingkup kebudayaan India kuno ditemukan aturan-aturan
sebagai berikut: adat kebiasaan yang mengatur hubungan antara raja-raja atau
kerajaan, atura kedudukan dan hak istimewa diplomatik atau utusan raja yang
dinamakan duta, aturan perjanjian (treaties), hak dan kewajiban raja, dan aturan
perang berkaitan dengan perbedaan combatant dan non combatant, aturan
perlakuan tawanan perang dan cara melakukan perang. Hal ini memperlihatkan
pada zaman India Kuno telah ada ditemukan semacam hukum yang dikenal dengan
18

nama hukum bangsa-bangsa. Pada zaman ini pengaturan hukum bangsa-bangsa


belum dipisahkan dengan persoalan agama, kemasyarakatan dan negara.
(Kusumaatmadja, Pengantar Hukum Internasional, 1999, p. 19)
Tidak jauh berbeda pada zaman Yunani kuno juga mengenal adanya
semacam hukum internasional. Sumbangan terbesar yang diberikan terhadap
perkembangan hukum internasional di zaman ini ialah kosep hukum alam yaitu
hukum yang berlaku secara mutlak dimana pun juga dan yang berasal dari rasio
atau akal manusia. Ajaran hukum alam seperti ini telah memainkan peranan penting
dalam sejarah hukum internasional. (Kusumaatmadja, Pengantar Hukum
Internasional, 1999, p. 20)
Praktek-praktek yang menggambarkan hukum internasional sudah ada di
zaman ini sebagaimana dikemukakan oleh Arthur Nussbaum dalam bukunya A
Concise History of The Law of Nations, ialah berupa pranata-pranata hukum tentang
perwasitan (arbitrase), diplomasi dan konsul. (Parthiana, 1990, p. 29) Selain itu
Boer Mauna dalam bukunya menyebutkan bahwa ketentuan-ketentuan yang ada
pada zaman itu menyangkut perang dan penghormatan terhadap utusan-utusan
negara. Namun ketetuan-ketentuan yang ada pada zaman tersebut masih belum
didasarkan atas prinsip-prinsip hukum yang mengikat tetapi atas percampuran
moral, agama dan hukum. (Mauna, 2000, p. 5)
Sangat berbeda dengan sejarah hukum internasional di zaman Romawi Kuno
yang dianggap lebih maju dari zaman sebelumnya. Dikarenakan hubungan
internasional sudah ditandai dengan adanya negara-negara dalam arti kata
sebenarnya. Yang sebelumnya di zaman Yunani Kuno masih berbentuk negara-
negara kota yang membagi penduduk menjadi 2 (dua) golongan, yaitu: orang Yunani
dan orang luar yang dianggap sebagai orang-orang biadab (barbar).
(Kusumaatmadja, Pengantar Hukum Internasional, 1999, p. 20) Praktek hubungan
internasional yang ada berbentuk perjanjian-perjanjian antara kerajaan Romawi
dengan negara-negara lain, seperti: perjanjian-perjanjian persahabatan, persekutuan
dan perdamaian. Disamping itu kerajaan Romawi juga mengembangkan ketentuan-
ketentuan yang berhubungan dengan perang dan damai. (Mauna, 2000)
Keberadaan hukum internasional pada zaman Romawi tidak terlepas pula
dari pengaruh ajaran hukum alam. Meskipun dalam perkembangannya hukum alam
di zaman ini untuk sementara waktu terdesak oleh berkembangnya konsep hukum
positivis yang didasarkan pada kesepakatan bersama antar negara-negara dalam
19

wujud perjanjian-perjanjian dan kebiasaan-kebiasaan internasional. Selain itu


perkembangan hukum internasional dipengaruhi pula oleh adanya aturan hukum
yang diberlakukan di Romawi saat itu yang dinamakan dengan “Ius gentium” dalam
bahasa latin yang artinya “hukum bangsa-bangsa”. (Kusumaatmadja, Pengantar
Hukum Internasional, 1999, p. 20) Ius gentium memuat tentang kaedah-kaedah
hukum yang mengatur hubungan bangsa Romawi dengan bukan bangsa Romawi
juga mencakup kaedah-kaedah hukum yang mengatur hubungan antara orang
Romawi dengan orang bukan Romawi.
Walaupun hukum internasional sudah dikenal pada zaman Romawi, tapi tidak
berkembang. Disebabkan diberlakukannya suatu sistem hukum yang didasarkan
pada pandangan bahwa masyarakat dunia berada dibawah satu kekuasaan dunia
yang dinamakan imperium Romawi. Oleh karena kerajaan Romawi merupakan
suatu imperium yang menguasai seluruh wilayah dalam lingkungan kebudayaan
Romawi. Akibatnya tidak ada tempat bagi kerajaan-kerajaan untuk terpisah dari
yang lainnya dan tidak ada pula hukum bangsa-bangsa yang mengatur hubungan
antar kerajaan-kerajan tersebut.
Tidak berkembangnya hukum internasional pada zaman ini, bukan berarti
hukum romawi tidak banyak memberikan kontribusi yang berarti. Banyak asas-asas
dan konsep-konsep hukum romawi yang berasal dari hukum perdata kemudian
memegang peranan penting dalam hukum internasional seperti anatara lain: konsep
accupation, servitut dan bona fides. Selanjutnya asas “pacta sun servanda”, asas
“good fait” (itikat baik) dan lainnya. Dengan melihat seperti ini, tidak lah salah apa
yang dikatakan oleh Mochtar Kusumaatmadja dalam bukunya, bahwa hukum
Romawi mempunyai pengaruh yang sangat besar dalam perkembanan hukum
internasional. (Kusumaatmadja, Pengantar Hukum Internasional, 1999, p. 21)
2.2. Abad Pertengahan
Hukum internasional di abad pertengahan tidak mengalami perkembangan
sama sekali disebabkan struktur masyarakat eropa pada abad itu berada dibawah
satu kekuasaan besar Imperium Romawi. Tidak ada kesempatan bagi wilayah-
wilayah yang berada dibawah kekuasaan imperium Romawi untuk mengadakan
hubungan hubungan hukum secara mandiri dan sama derajat antara satu dengan
lainnya. (Parthiana, 1990, p. 30) Masa ini sering juga disebut dengan abad
kegelapan (dark eges) masyarakat eropa.
20

Selain itu di abad pertengahan di masyarakat Eropa juga berlaku adanya


kekuasaan yang berpusat kepada gereja yang berpuncak pada Paus sebaga Kepala
Gereja Katolik Roma. Hal ini dipengaruhi oleh ajaran Ketuhanan yang memandang
hukum berasal dari Tuhan sehingga kehidupan hukum-hukum lainnya tidak
memungkinkan untuk berkembang termasuk hukum internasional.
2.3. Abad ke 16, 17, 18, 19 dan Masa sesudah Perang Dunia ke II.
Abad ke 16 merupakan titik awal perkembangan baru dari apa yang
dinamakan dengan hukum internasional modern yang berlaku saat ini.
Perkembangan baru hukum internasional ditandai dengan berakhirnya kekusaaan
Kekaisaran Romawi yang suci (The Holy Roman Emperor) di masyarakat eropa
melalui Perjanjian Perdamaian Westphalia Tahun 1648. Perjanjian perdamaian ini
menandai berakhirnya perang tiga puluh tahun di eropa atau sering dinamakan
masa kegelapan di Eropa (dark eght). Selain itu Perjanjian Westphalia juga
membawa perubahan terhadap struktur masyarakat Eropa dengan mulai munculnya
negara-negara kebangsaan bercorak territorial (kewilayahan) dan berdasarkan pada
prinsip-prinsip kemerdekaan, kedaulatan, dan kesamaan derajat serta hubungan
antara negara-negara didasarkan pada prinsip-prinsip dan kaedah-keadah hukum .
(Parthiana, 1990, p. 31) Ini berarti Perjanjian Westphalia mempunyai pengaruh yang
cukup besar terhadap perubahan menuju hukum internasional modern.
Perubahan ciri masyarakat internasional yang terdapat di Eropa setelah
Perjanjian Perdamaina Westphalia adalah sebagai berikut: (Kusumaatmadja,
Pengantar Hukum Internasional, 1999, pp. 22-23)
1) Negara merupakan satuan territorial yang berdaulat. Setiap negara dalam
batas wilayahnya mempunyai kekuasaan tertinggi yang ekslusif;
2) Hubungan nasional satu dengan yang lainnya didasarkan atas
kemerdekaan dan persamaan derajat;
3) Masyarakat negara-negara tidak mengakui kekuasaan di atas mereka
seperti seorang kaisar pada zaman abad pertengahan dan paus sebagai
kepala gereja;
4) Hubungan antara negara-negara berdasarkan atas hukum yang banyak
mengambil oper pengertian lembaga hukum perdata hukum Romawi:
5) Negara mengakui adanya hukum internasional sebagai hukum yang
mengatur hubungan antara negara-negara tetapi menekankan peranan
yang besar yang dimainkan negara dalam kepatuhan terhadap hukum ini;
21

6) Tidak adanya mahkamah (internasional) dan kekuatan polisi internasional


untuk memaksakan ditaatinya ketentuan hukum internasional;
7) Anggapan terhadap perang yang dengan lunturnya segi-segi keagamaan
beralih dari anggapan mengenai doktrin bellum justum sebagai ajaran
“perang suci” ke arah ajaran yang menganggap perang sebagai salah
satu cara penggunaan kekerasan (di samping respresaille) dalam
penyelesaian sengketa untuk mencapai tujuan kepentingan nasional
(perang yang benar).
Meskipun masyarakat internasional memiliki ciri-ciri seperti di atas, tetapi
hukum internasional belum menemukan bentuknya yang pasti. Hukum internasional
masih berada dalam tahap mencari bentuk dan isinya. (Parthiana, 1990, pp. 31-32)

Menyadari akan hal di atas, perjanjian Westphalia bukanlah sebagai titik awal
munculnya hukum internasional yang sebenarnya sudah ada dan dikenal sejak pada
zaman Kuno. Sangat keliru apabila muncul pendapat yang menyatakan bahwa
hukum internasional itu ada sejak diadakannya Perjanjian Perdamaian Westphalia
1648. Mochtar Kusumaatmadja menegaskan bahwa: “keliru sekali kita menggangap
Perjanjian Westphalia ini sebagai suatu peristiwa yang mencanangkan suatu zaman
baru dalam sejarah masyarakat internasional yang tidak ada hubungannya dengan
masa lampau.” (Kusumaatmadja, Pengantar Hukum Internasional, 1999, p. 22)
Patriana mengemukakan bahwa pada masa ini (1648-1907) memperlihatkan bahwa
hukum internasional dalam tahap mencari bentuk dan isinya. (Parthiana, 1990, p.
32)
Selain perkembangan hukum internasioal dipengaruhi Perjanjian Perdamaian
Wespelia terdapat beberapa sumbangan pemikiran yang cukup besar diberikan
oleh para sarjana diantaranya adalah Grotius atau Hugo De Groot (Belanda),
Pemikiran Grotius sangat berpengaruh terhadap hukum internasional adalah
keberanaiannya dalam menyusun sistematikan secara ilmiah tentang hukum
internasional menjadi dua golongan besar yaitu hukum internasional bagian perang
dan hukum internasioanl bagaian damai yang dituangkannya dalam karyanya yang
berjudul De jure Belli ac Pacis (tentang hukum Perang dan Damai).
Grotius mendasarkan sistem hukum internasional ini atas berlakunya hukum
alam yang telah dilepaskannya dari pengaruh unsure-unsur agama dan kegerejaan.
Disamping itu Grotius memberikan tempat bagi praktek negara-negara nasional dan
22

perjanjian antar negara sebagai sumber hukum internasional di samping hukum


alam yang diilhami oleh akal manusia. (Kusumaatmadja, Pengantar Hukum
Internasional, 1999, pp. 23-24) Begitu besarnya pengaruh pemikiran Grotius
terhadap perkembangan hukum interasional sehingga disebut sebagai Bapak
Hukum Internasional.
Sebelumnya terdapat pula para sarjana lain yang memberikan sumbangan
pemikiran terhadap perkembangan hukum internasional antara lain sebagai berikut:
1. Francisco Vittoria (Spayol) melalui bukunya berjudul Relectio de Indis
memuat tentang hubungaan Spanyol dan Portugis dengan orang India
Amerika. Dalam buku ini dikemukakannya bahwa negara dalam tingkah
lakunya tidak bisa bertindak sekehendak hatinya. Dengan demikian, maka
hukum bangsa-bangsa yang ia namakan ius intergentes tidak hanya
terbatas pada dunia Kristen Eropa, melainkan meliputi seluruh umat
manusia.
2. Francisco Suarez (Spanyol) menulis De legibus ae Deo legislatore (on
Law and God as Legislator) yang mengemukakan adanya suatu hukum
atau kaidah obyektif yang harus dituruti oleh negara-negara dalam
hubungan antara mereka. Dalam tulisan ini Francisco Suarez meletakkan
dasar ajaran hukum internasional yang meliputi seluruh ummat manusia.
Kedua pemikiran yang diberikan di atas memperlihatkan bahwa hukum
internasional masih di dasarkan pada hukum alam yang sangat berbeda dengan
dasar pemikiran Grotius yang sudah memurnikan hukum alam dari unsur
keagamaan. Apalagi hukum internasional dalam kedua pemikiran tersebut belum
ada pemisahan antara unsur-unsur etika, agama dan hukum.
Setelah masa Grotius bermunculan pula berbagai pemikiran tentang hukum
internasional yang dapat dikelompokkan menjadi 3 (tiga) golongan antara lain
sebagai berikut:
1. Penganut Ajaran Hukum Alam
a. Pufendorf memandang hukum internasional merupakan bagian dari
hukum alam yang sebagian hukum yang berpangkal pada akal manusia
mengatur kehidupan manusia kapan saja dan dimana saja ia berada,
apakah ia hidup berorganisasi dalam negara atau tidak.
b. Christian Wolf mengemukakan teori mengenai Civitas Maxima yang
sebagai suatu negara dunia meliputi negara-negara di dunia.
23

2. Penganut ajaran Hukum Positivis, antara lain Zouche, Bynkershoek dan Von
Martens memandang bahwa hukum internasional sebagai praktek negara
sebagai sumber hukum sebagaimana terjelma dalam adat kebiasaan dan
perjanjian-perjanjian.
3. Penganut jalan tengah dengan melihat sisi-sisi baik dari dua aliran hukum
alam dan hukum positivis dinamakan seorang ecclectic yaitu: Emerich Vattel
yang dalam tulisannya banyak mengadung adat kebiasaan dan perjanjian-
perjanjian antar negara yang berharga sebagai sumber atau bukti hukum.
Perjanjian Perdamaian Wesphalia dan berbagai pemikiran para ahli di atas
sangat berpengaruh dalam memperkuat keberadaan hukum internasional yang
memperlihatkan semakin mapannya negara-negara nasional yang didasarkan pada
asas kebangsaan dan asas teritorialitas serta hidup berdampingan secarara damai
dalam suasana merdeka, berdaulat dan sama derajat. Begitu pula dalam
peyelesaian berbagai sengketa yang ada dilakukan secara damai melalui
perudingan, konperensi dan kongres-kongres internasional. Dalam perkembangan
selanjutnya konprensi-konprensi internasional itu tida saja berfungsi sebagai sarana
untuk menyelesaikan sengketa internasional tetapi juga sebagai sarana untuk
membentuk kaedah-kaedah hukum internasional mengenai suatu masalah tertentu.
Seperti Konprensi Perdamaian Den Haag I tahun 1899 dan Konprensi Perdamaian
Dn Haag II Tahun 1907 yang menghasilkan kaedah-kaedah yang menjadi dasar
bagi hukum perang internasional yang dalam era sekarang ini berkembang menjad
hukum humaniter internsional.
Perkembangan dimasa ini (1648 – 1907) menjadi peletak dasar bagi
perkembangan hukum internasional dimasa konsolidasi antara tahun 1907 -1945
yang memperlihatkan bahwa masyarakat internasional yang terdiri atas negara-
negara nasional dan lembaga-lembaga atau oraganisasi internasional semakin
menampakkan kedewasaannya. (Parthiana, 1990, p. 36) Namun dimasa konsolidasi
ini bukan berarti tidak ada akses negatif yang muncul, yaitu usaha saling merebut
pengaruh antara negara-negara terhadap satu dengan yang lainnya dengan cara-
cara melanggar hukum hukum internasional. Akibatnya menimbulkan apa yang
dikenal dengan peristiwa Perang Dunia I Tahun 1914 dan berakhir Tahun 1918.
Peperangan yang terjadi memberikan pelajaran berarti bagi masyarakat
internasional sehingga ada keinginan bersama membentuk dan mendirikan suatu
lembaga sebagai upaya untuk mencegah agar Perang Dunia I tidak terulang yang
24

dikenal dengan nama Liga Bangsa-Bangsa disingkat LBB (The League of Nations)
pada tahun 1919. Tujuan utama LBB adalah mewujudkan ketertiban, keamanan dan
perdamaian duni. Demikian pula LBB berfungsi sebagai badan pembentuk hukum
internasional dan mengatur hubungan-hubungan internasional beradasarkan pada
kaedah-kaedah hukum internasional.
Disamping itu dimasa kosolidasi ini dibentuk pula badan peradilan
internasional permanen (Permanent Court of International Justice) yang merupakan
salah satu organ dari LBB, dilaksanakannya perudingan-perundingan bilateral
maupun konprensi-konprensi internasional multilateral yang diandalkan untuk
mencapai tujuan. Seperti misalnya Pakta Briand Kellog (Briand Kellog Pact) tahun
1928 antara Prancis dan Amarika Serikat yang bertujuan untuk menghapus perang,
dan diselenggarakannya Konfrensi kodifikasi hukum internasioan di Den Haag
Negeri Belanda pada tahun 1930 yang menghasilkan beberapa konvesi
internasional yang sangat berarti bagai pertumbuhan hukum internasional.
Meskipun LBB dibentuk tapi kenyataanya tidak berumur panjang dengan
meletusnya Perang Dunai II pada tahun 1939 dan disusul dengan Perang Asia
Timur Raya pada tahun 1942 merupakan peristiwa yang kedua kalinya memporak
porandakan struktur masyarakat internasional yag sudah mulai mapan. Dengan
belajar dari pegamalaman sebelumnya, dibentu suatu lembaga yang tidak jauh
berbeda dengan LBB yang dikenal dengan nama Perserikatan Bangsa-Bangsa
disingkat PBB pada tanggal 24 Oktober 1945.
Berdirinya PBB yang menandai berakhirnya Perang Dunia II membawa
angin positif bagi perkembangan struktur masyarakat internasional kearah yang
lebih maju dari sebelumnya menuju apa yang dinamakan dengan tahap emansipasi
bagi negara-negar baru merdeka dan bangsa-bangsa terjajah. Kemajuan
masyarakat internasional dimasa ini ditandai antara lain:
1. Lahirnya negara-negara baru;
2. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi;
3. Penghormatan terhadap hak-hak dan kewajiban asasi manusia
4. Munculnya dan berkembangnya Organisasi-Organisasi Internasional
5. Semakin bertambahnya jumlah penduduk dunia serta kebutuhan yang
semaki meningkat.
Berbagai kemajuan yang ada menunjukkan tahap emansipasi dari hukum
internasional yang semakin dinamis adanya dan menunjukkan bentuk wujudnya. Ini
25

memperlihatkan bahwa kedudukan hukum internasional benar-benar adanya dan


masyarakat internasioal mengakuinya.
3. Rangkuman
Hukum internasional sudah ada sejak jaman kuno yang ditandai oleh adanya
praktek-prakte peperangan dan diplomasi yang masih didasarkan pada hukum
kebiasaan. Perjanjian Perdamaian Wesphalia tahun 1648 menandai lahirnya hukum
internasional modern. Sajarah Perkembangan Hukum Internasional setelah aabad
pertengahan dapat dibagi menjadi 3 tahap yaitu: tahap mencari bentuk, tahap
kondolidasi dan tahap emansipasi bagi negara-negara baru merdeka dan bangsa-
bangsa terjajah.
4. Tugas MANDIRI
Menganalisis sumbangan islam terhadap sejarah perkembangan hukum
internasional ?

5. Evaluasi
1) Jelaskan apakah hukum internasional mulai ada sejak Perjanjian Perdamaian
Wesphalia 1948?
2) Jelaskan arti penting Perjanjian Perdamaian wesphalia 1648?
3) Jelaskan bagaimana sejarah perkembangan hukum internasional di masa
tahun 1907-1945?

D. KEGIATAN PEMBELAJARAN IV
HAKEKAT DAN DASAR BERLAKUNYA HUKUM INTERNASIONAL

1. Tujuan Materi Pembelajaran


Mahasiswa dapat mengetahui dan mejelaskan bagaimana hakekat dan dasar
kekuatan berlakunya hukum Internasional bagi negara-negara sebagai sistem
hukum.

2. Materi Pembelajaran
a. Daya Mengikat Hukum Internasional:
Keberadaan hukum internasional sebagai suatu sistem hukum yang mengatur
masyarakat internasional sudah tidak perlu diragukan dan dipersoalkan lagi.
Masyarakat internasional kini telah menerimanya sebagai suatu norma hukum yang
26

mengatur masyarakat internasional. Terbukti sebagaimana dipraktekkan oleh


negara-negara seperti misalnya: kaedah-kaedah hukum internasional dapat diterima
dan diadaptasi sebagai bagian dari hukum nasional negara-negara seperti
ketentuan-ketentuan yang berkaitan hak asasi manusia, perselisihan-perselisihan
internasional diselesaikan melalui jalur-jalur hukum internasional misalnya melalui
jalur mahkamah internasional atau arbitrase internasional, alat-alat perlengkapan
negara khususnya bertugas menagani urusan luar negeri atau internasional
menghormati kaedah-kaedah hukum internasional yang mengatur hubungan-
hubungan yang diadakannya dengan sesama alat-alat perlengkapan dari negara-
negara lain dan praktek-praktek lainnya.
Walaupun keberdaan hukum internasional tidak perlu dipermasalahkan, tapi
muncul suatu pertanyaan berikutnya bagaimana daya mengikatnya hukum
internasional bagi masyarakat internasional umumnya dan negara-negara
khususnya? Untuk menjawab hal ini terdapat beberapa pendekatan teori digunakan
seperti berikut ini:
a. Teori Hukum Alam
Hukum alam diartikan sebagai hukum ideal yang didasarkan atas hakeket
manusia sebagai makhluk yang berakal atau kesatuan kaidah yang diilhamikan alam
pada akal manusia. Hukum internasional mengikat karena hukum internasional itu
tidak lain dari pada hukum alam yang diterapkan pada kehidupan masyarakat
bangsa-bangsa. Dengan kata lain negara itu terikat atau tunduk pada hukum
internasional dalam hubungan antara mereka satu sama lain karena hukum
internasional itu merupakan bagian dari hukum yang lebih tinggi yaitu: “Hukum
Alam”.
Keberatan terhadap teori hukum alam terlihat dari Apa yang dimaksud
dengan hukum alam itu sangat samar dan tergantung dari pada subjektifitas dari
yang bersangkutan mengenai keadilan, kepentingan masyarakat internasional dan
lain-lain konsep yang serupa.
b. Teori Kehendak Negara
Kekuatan mengikat hukum internasional itu atas kehendak negara itu sendiri
untuk tunduk pada hukum internasional. Teori ini dipengaruhi oleh Falsafah Hegel:
“pada dasarnya negaralah yang merupakan sumber segala hukum, dan hukum
internasional itu mengikat karena negara itu atas kemauan sendiri mau tunduk pada
27

hukum internasional, dan Pendapat Zorn: “hukum internasional itu tidak lain dari
pada hukum tata negara yang mengatur hubungan luar suatu negara.
Kelemahan: Mereka tidak dapat menerangkan dengan memuaskan
bagaimana caranya hukum internasional yang tergantung dari kehendak negara
dapat mengikat negara itu
Untuk mengatasi kelemahan tersebut Tripel berusaha membuktikan bahwa
hukum internasional itu mengikat bagi negara bukan karena kehendak mereka satu
persatu untuk terikat, melainkan karena adanya suatu kehendak bersama, yang
lebih tinggi dari kehendak masing-masing negara, untuk tunduk pada hukum
internasional. Tripel mendasarkan kekuatan mengikat hukum internasional pada
kehendak negara tetapi membantah kemungkinan suatu negara melepaskan dirinya
dari ikatan itu dengan suatu tindakan sepihak. Teori-teori yang mendasarkan
berlakunya hukum internasional itu pada kehendak negara (teori vountaris) ini
merupakan pencerminan dari teori kedaulatan dan aliran positivism yang menguasai
alam pikir dunia ilmu hukum di Benua Eropa – terutama Jerman pad bagia kedua
bad ke 19. Ini berarti teori kehendak negara berbeda dengan teori kehendak
bersama negara yang berarti dengan melepaskan dari kehendak individual negara
dan mendasarkannya pada kemauan bersama. (Kusumaatmadja, Pengantar Hukum
Internasional, 1999, pp. 35-36)
c. Mazhab Winna
Mazhab Winna mengemukakan bahwa Kekuatan mengikat hukum
internasional lepas dari kehendak negara, melainkan suatu norma hukumlah yang
merupakan dasar terakhir kekuatan mengikat hukum internasional. Menurut Mazhab
ini kekuatan mengikat suatu kaidah hukum internasional didasarkan suatu kaidah
yang lebih tinggi yang pada gilirannya didasarkan pula pada suatu kaidah yang
lebih tinggi lagi dan demikian seterusnya. Akhirnya sampailah pada puncak piramida
kaidah hukum dimana terdapat kaidah dasar (Grundnorm) yang tidak dapat lagi
dikembalikan pada suatu kaidah yang lebih tinggi, melainkan harus diterima adanya
sebagai suatu hipotesis asal yang tak dapat diterapkan secara hukum.
Kaidah dasar

Hukum Internasional
28

Kelemahan Mazhab ini tidak dapat menjelaskan mengapa kaidah dasar itu
sendiri mengikat. Oleh karena tindak mungkin persoalan kekuatan mengikat hukum
internasional itu didasarkan atas suatu hipotesis. Dengan pengakuan bahwa
pesolaan kekuatan Grundnorm merupakan suatu persoalan di luar hukum yang tak
dapat diterangkan, maka persoalan mengapa hukum internasional itu mengikat
dikembalikan kepada nilai-nilai kehidupan manusia di luar hukum yakni rasa
keadilan, dan moral. (Kusumaatmadja, Pengantar Hukum Internasional, 1999, p.
37)
d. Mazhab Prancis
Mazhab Perancis mengatakan kekuatan mengikat hukum internasional
seperti juga segala hukum – pada faktor biologis, sosial dan sejarah kehidupan
manusia yang mereka namakan fakta kemasyarakatan yang menjadi dasar
kekuatan mengikatnya segala hukum, termasuk hukum internasional. Jadi dasar
kekuatan mengikat hukum (internasional) terdapat dalam kenyataan sosial bahwa
mengikatnya hukum itu mutlak perlu untuk dapat terpenuhinya kebutuhan manusia
(bangsa) untuk hidup bermasyarakat.

2.2. Kelemahan Hukum Internasioal


Meskipun hukum internasional tidak dapat ditolak keberadaannya sebagai
suatu norma hukum yang berlaku bagi masyarakat internasional, namun masih
terdapat beberapa faktor yang menjadikan hukum internasinal sebagai hukum yang
lemah. Martin Dixon menerangkan ada beberapa faktor yang menyebabkan hukum
internasional lemah adalah sebagai berikut: (Dixon, Textbook on International Law,
2000, pp. 9-11)
1) Kurangnya institusi-institusi formal penegakan hukum:
a. TIdak adanya polisi yang sipa sedia mengawasi dan menindak
pelanggaran hukum internasional;
b. Meskipun ada jaksa dan haki di pengdilan internasional, namun mereka
tidak memiliki otoritas memaksa negara pelanggar secara langsung
sebagaimana yang umumnya terjadi di pengadilan;
c. Tidak adanya pengadilan internasional yang memiliki yurisdiksi wajib
(compulsory jurisdiction)
29

2) Tidak jelasnya aturan-aturan hukum internasional yang ada (unclear)


sehingga mendukung terjadinya berbagai penafsiran di lapangan dan
mengakibatkan kurangnya kepastian hukum.

3. Rangkuman
Masyarakat internasional kini telah menerimanya sebagai suatu norma hukum
yang mengatur masyarakat internasional. Untuk mengetahui bagaimana daya
mengikat hukum internasional dapat dilihat dari pendekatan teori yang antara lain,
teori hukum alam, teori kehendak negara, mazhab winna dan mazhab Prancis.
Meskipun berdasarkan teori yang ada menyatakan hukum internasional memiliki
daya mengikat, tapi tidak terlepas pula adanya kelemahan.

4. Tugas MANDIRI
Mahasiswa membandingkan dari berbagai teori mengenai daya mengikat
hukum internasional

5. Evaluasi
1) Jelaskan bagaimana pandangan teori hukum Alam tentang daya mengikat
hukum internasional?
2) Jelaskan bagaimana yang dimaksud kehendak negara sebagai dasar
mengikatnya hukum internasional bagi negara-negara?
3) Jelaskan bagaimana mazhab Prancis dalam memandang kekuatan mengikat
hukum internasional?

E. KEGIATAN PEMBELAJARAN V
HUBUNGAN ANTARA HUKUM INTERNASIONAL DAN HUKUM NASIONAL.

1. Tujuan Materi Pembelajaran

Mahasiswa dapat mengetahui dan menjelaskan hubungan antara hukum


internasional dan hukum nasional.

2. Materi Pembelajaran
2.1. Tempat Hukum Internasional dalam tata hukum secara keseluruhan.
30

Hukum internasional merupakan bagian dari hukum pada umumnya.


Anggapan seperti ini tidak dapat dihindari apabila hukum internasional dipandang
sebagai suatu perangkat ketentuan dan asas yang efektif yang benar-benar hidup
dalam kenyataan dan mempunyai hubungan yang efektif dengan ketentuan atau
bidang hukum lainnya, diantaranya dengan hukum nasional masing-masing negara
yang berlaku dalam kehidupan manusia pada lingkungan kebangsaannya masing-
masing. (Kusumaatmadja, Pengantar Hukum Internasional, 1999, p. 39)
Apalagi masyarakat internasional yang terdiri dari negara-negara nasional
secara praktis dihadapkan pada keberlakuan 2 (dua) sistem hukum yang berbeda
tapi hidup secara berdapingan, yaitu: hukum internasional dan hukum nasional.
Adanya perbedaan antara hukum internasional dan hukum nasional hendaknya
tidak dijadikan sebagai hal yang perlu untuk dipersoalkan dan dipertentangkan satu
dengan yang lainnya. Kenyataannya negara-negara nasional sebagai bagian dari
masyarakat internasional secara praktis mengakui keberlakuan kedua sistem
hukum tersebut. Sebenarnya yang penting dipersoalkan adalah bagaimana
hubungan antara berbagai hukum nasional itu dengan hukum internasional.
Untuk melihat bagaimana hubungan antara hukum nasional dan hukum
internasional, terlebih dahulu memahami bagaimana keberlakuan hukum
internasional bagi negara-negara nasional yang dilihat secara teori. Dalam teori
terdapat 2 (dua) pandangan tentang hukum internasional, yaitu: (Kusumaatmadja,
Pengantar Hukum Internasional, 1999, p. 40)
1) Pandangan voluntarisme, yang mendasarkan berlakunya hukum
internasional bahkan persoalan ada atau tidaknya hukum internasioanl
ini pada kemauan negara, dan
2) Pandangan Objektivis yang menganggap ada dan berlakunya hukum
internasional ini lepas dari kemauan negara.
Berdasarkan kedua pandangan di atas dapatlah dikemukan bahwa
pandangan pertama membawa akibat bahwa hukum internasional dan hukum
nasional sebagai dua satuan perangkat hukum yang hidup berdampingan dan
terpisah. Sedangkan pandangan kedua menganggapnya sebagai dua bagian dari
satu kesatuan perangkat hukum. Timbulnya pandangan seperti ini didasari oleh
berbagai teori yang digunakan untuk melihat daya mengikat hukum internasional
sebagaimana telah dibahas pada bagian sebelumnya. Pandangan voluntarisme
31

didasarkan pada Teori kehendak negara, sedangkan Pandangan objektivis


didasarkan pada teori hukum alam, mazhab Winna dan mazhan Prancis.
Kedua cara pandangan yang digunakan untuk menjelaskan bagaimana
hubungan antara hukum internasional dan hukum nasional seperti di atas dapat
dikelomokkan menjadi 2 (dua) aliran atau sudut pandang yaitu: Aliran dualisme dan
Paham monisme.
Aliran dualisme berpandangan bahwa daya ikat hukum internasional
bersumber pada kemauan negara, maka hukum internasional dan hukum nasional
merupakan dua sistem atau perangkat hukum yang terpisah satu dari yang lainnya.
Pendapat seperti ini didasarkan pada alasan-alasan sebagai berikut:
1. kedua perangkat hukum tersebut mempunyai sumber yang berlainan,
hukum nasional bersumber pada kemauan negara, sedangkan hukum
internasional bersumber pada kemauan bersama masyarakat negara;
2. Berlainan subjek hukumnya, Hukum nasional subjek hukumnya adalah
orang perorang baik dalam hukum perdata maupun hukum publik,
sedangkan hukum internasional ialah negara.
3. Sebagai tata hukum, hukum nasional dan hukum internasional
menampakkan pula perbedaan dalam strukturnya.
Apa yang dikemukakan oleh aliran dualisme juga menimbulkan beberapa
akibat sebagai berikut:
1. Kaidah kaidah dari perangkat hukum yang satu tidak mungkin bersumber
atau berdasar pada perangkat hukum yang lain. (tidak ada hirarki)
2. Tidak mungkin ada pertentangan antara kedua perangkatut hukum itu,
yang mungkin hanya penunjukan (renvoi) saja.
3. Hukum internasional memerlukan transformasi menjadi hukum nasional
sebelum dapat berlaku dalam lingkungan hukum nasional.
Bukan berarti apa yang menjadi pandangan aliran dualisme tidak ada
keberatan. Keberatan terbesar terhadap aliran dualisme ialah Pemisahan mutlak
antara hukum internasional dan hukum nasional tidak dapat menerangkan dengan
cara memuaskan kenyataan bahwa dalam praktek sering kali hukum nasioanal itu
tunduk pada atau sesuai dengan hukum internasional
Berbeda halnya dengan Paham monisme yang didasarkan atas pemikiran
kesatuan dari seluruh hukum yang mengatur hidup manusia. Dalam kerangka
pemikiran ini hukum internasional dan hukum nasional merupakan dua bagian dari
32

satu kesatuan yang lebih besar yaitu hukum yang mengatur kehidupan manusia
(hukum internasional bersumber dari hukum nasional). Akibat pandangan seperti ini
bahwa antara dua perangkat ketentuan hukum ini mungkin ada hubungan hirarki
yang menyebabkan lahirnya 2 (dua) sudut pandang yang berbeda dalam aliran
monism, yakni: Aliran monisme dengan primat hukum nasional dan aliran monism
dengan primat hukum internasional.
Aliran Monisme dengan Primat Hukum Nasional berpandangan bahwa
Hukum internasional itu tidak lain dari merupakan lanjutan hukum nasional belaka,
atau tidak lain dari hukum hukum nasional untuk urusan luar negeri (mazhab bonn
(jerman), tokoh: Max Wenzel). Ini berarti hukum internasional itu bersumber pada
hukum nasional. Alasan utama anggapan ini ialah:
1. Tidak ada satu organisasi di atas negara-negara yang mengatur
kehidupan negara negara di dunia ini.
2. Dasar hukum internasional yang mengatur hubungan internasional
terletak dalam wewenang negara untuk mengadakan perjanjian
internasional, jadi kewenangan konstitusional
Aliran Monisme dengan Primat Hukum Nasional memiliki beberapa
kelemahan sebagai berikut:
1. Paham ini terlalu memandang hukum itu sebagai hukum yang tertulis
semata-mata sehingga sebagai hukum internasional dianggap hanya
hukum yang bersumberkan perjanjian internasioanl, suatu hal
sebagaimana diketahui tidak benar .
2. Adanya penyangka;an terhadap adanya hukum internasional yang
mengikat negara . Sebab apabila terikatnya negara pada Hk
Internasional digantungkan pada hukum nasional, hal ini sama dengan
menggantungkan berlakunya hukum internasional itu pada kemauan
negara itu. Sendiri. Ini berarti memiliki paham yang sama dgn aliran
dualisme.
Berdasarkan alasan-alasan diatas paham monisme dengan primat nasional
pada hakekatnya merupakan penyangkalan terhadap adanya hukum internasional
walaupun secara teoritis dan konstruksi logika apa yng dikemukakannya memang
mungkin.
Menurut paham monisme dengan primat hukum internasional, maka Hukum
nasional itu bersumber pada hukum internasional yang menurut pandangannya
33

merupakan suatu perangkat ketentuan hukum yang hirarki lebih tinggi. Adanya
Pendelegasian dari Hukum Internasional pada hukum nasoinal. Hal ini sesuai
dengan (Kusumaatmadja, Pengantar Hukum Internasional, 1999) paham yang
dikembangkan oleh “Mazhab Vienna” dan disokong oleh mazhab Prancis.
Kelemahan dari paham ini ialah sebagai berikut:
1. Hukum nasional itu tergantung dari hukum internasional yang mau tidak
mau mendalilkan bahwa hukum internasional telah ada lebih dahulu dari
hukum nasional, bertentangan dengan kenyataan sejarah.
2. Tidak dapat dipertahankan dalil bahwa hukum nasional itu kekuatan
mengikatnya diperoleh dari hukum internasional atau bahwa hukum
nasional merupakan suatu derivasi darinya.
Melihat dari uraian diatas terlihat bahwa kedua paham yang ada tidak
mampu memberikan jawaban yang memuaskan dalam melihat hubungan antara
hukum internasional dan nasional. Untuk itu Mochtar Kusumaatmadja berpendapat
Hukum nasional tunduk pada hukum internasional mau tidak mau harus kita diterima
kalu kita mengakui adanya hukum internasional. (Kusumaatmadja, Pengantar
Hukum Internasional, 1999, p. 45)

2.2. Primat hukum internasional menurut Praktek Internasional.


Hukum internasional cukup memiliki wibawa terhadap hukum nasional untuk
mengatakan bahwa pada umumnya hukum internasional itu ditaati dan hukum
nasional itu pada hakekatnya tunduk pada hukum internasional. Beberapa contoh
yang dapat dilihat berkaitan dengan sebagai berikut:
1. Ketaatan negara negara mentaati hukum internasional mengenai batas
wilayah negara sebagai suatu hukum yang mengikat dirinya dalam
pergaulandengan negara lain, khususnya dengan negara tetangganya,
2. Ketaatan negara negara terhadap kewajiban yang bersumber pada
perjanjian internasional antar negara, seperti; hubungan diplomatic dan
konsuler dan perlakuan orang asing termasuk miliknya

2.3. Hubungan antara Hukum Internasional dan Hukum Nasional menurut


hukum positif beberapa negara-negara
Pada bagian ini melihat bagaimana hukum internasional dapat diterapkan
menjadi hukum nasional dari negara-negara untuk menggambarkan adanya
hubungan antara hukum internasional dan hukum nasional. Untuk mengkaji hal
34

tersebut digunakan apa yang dikenal dengan nama doktrin inkorporasi. Doktrin
inkorporasi beranggapan bahwa hukum internasional adalah hukum negara atau
bagian dari hukum nasional. Dalam praktek doktrin inkorporasi teleh diterima dan
dianut oleh Inggris dan Amarika Serikat. Namun praktek yang dilakukan oleh Inggris
dan Amerika Serikat dalam menerapkan doktrin inkorporasi ternyata berbeda.
Di Inggris daya laku doktrin ini diterapkan berbeda antara :
1. Hukum kebiasaan internasional ;
2. Hukum internasional yang tertulis (traktat, konvensi atau perjanjian)
Berkaitan dengan hukum kebiasaan internasional dapat dikatakan bahwa
doktrin inkorporasi berlaku dengan dua pengecualian, yaitu:
1. Ketentuan hukum kebiasaan internasional itu tidak bertentangan dengan
suatu UU, baik yang lebih tua maupun yang diundangkan kemudian
2. Ketentuan hukum kebiasaan internasional yang ditetapkan oleh
keputusan Mahkamah yang tertinggi, maka semua pengadilan terikat oleh
keputusan itu meskipun terjadi perkembangan.
Berbeda halnya terhadap penerapan hukum internasional yang tertulis pada
umumnya perjanjian yang memerlukan persetujuan Parlemen, memerlukan pula
pengundangan nasional sedangkan yang tidak memerlukan persetujuan badan ini
dapat mengikat dan berlaku secara langsung setelah penandatanganan dilakukan
Begitu pula praktek yang dilakukan Amerika Serikat menerapkan doktrin
inkorporasi dengan pertimbangan bahwa apabila suatu perjanjian internasional tidak
bertentangan dengan konstitusi dan termasuk golongan perjanjian yang “self
executing”, maka isi perjanjian demikian (dianggap) menjadi bagian dari hukum
yang berlaku di AS tanpa memerlukan pengundangan melalui perundang-undangan
nasional. Sebaliknya perjanjian yang tidak termasuk golongan yang berlaku dengan
sendirinya (yaitu yang “non self executing”) baru dianggap mengikat pengadilan di
AS setelah adanya perundang-undangan yang menjadikannya berlaku sebagai
hukum.
Membandingkan praktek yang dilakukan di Inggris dan Amerika serikat
terlihat bahwa penerapan doktrin inkorporasi di Inggris dianggap lebih fleksibel dan
pragmatis dalam memecahkan persoalan hubungan antara hukum internasional dan
hukum nasional. Walaupun kedua negara tersebut sama-sama menganut ajaran
atau doktrin inkorporasi (incorporation)
35

Contoh lain negara yang secara tegas menerapkan doktrin inkorporasi adalah
Republik Federasi Jerman yang mengakui sebagaimana dicantumkan pada Pasal
25 Undang Undang Dasar (Grund Gesezt) yang dimilikinya bahwa ketentuan-
ketentuan hukum internasional merupakan bagian dari hukum nasional Jerman. A.
Peaslee mengemukakan bahwa ketentuan demikian lebih tinggi kedudukannya dari
undang-undang nasional dan langsung mengakibatkan hak dan kewajiban bagi
penduduk wilayah Federasi Jerman. (Kusumaatmadja, Pengantar Hukum
Internasional, 1999, p. 62)
Demikian pula halnya dianut dalam sistem hukum Prancis sesuai dengan
Pasal 55 Undang-Undang Dasar 1958 menyatakan bahwa traktat atu perjanjian
internasional lainnya yang telah disahkan atau diterima menurut undang-undang
mempunyai kedudukan yang leih tinggi dari undang-undang nasional mulai sejak
berlakunya perjanjian itu dengan ketentuan bahwa pihak lain (peserta) juga
melakukannya.
Berdasarkan praktek doktrin inkorporasi yang dilakukan oleh negara-negara
terlihat bahwa tidak dipersoalkan bagimana diberlakunya hukum internasional ke
dalam hukum nasional. Apakah melalui cara “resepsi” atau “transformasi” perjanjian
internasional itu ke dalam hukum nasional, melainkan terlebih dahulu melalui
perundang-undangan nasional. Mengikat dan mulai berlakunya perjanjian itu sesuai
dengan ketentuan hukum nasional tentang pengesahan perjanjian dan
pengumumnya secara resm sudah mencukupi. (Kusumaatmadja, Pengantar Hukum
Internasional, 1999)

2.4. Indonesia dan Hukum Internasional


Indonesia sebagai anggota masyarakat internasional membutuhkan hukum
internasional untuk melakukan hubungan dengan subjek hukum internasional yang
lain terutama negara-negara. Tidak dapat dipungkiri bahwa Indonesia mengakui
keberlakuan hukum internasional kedalam hukum nasional walupun Undang-
Undang Dasar 1945 tidak memuat secara tegas sebagaimana negara-negara lain
seperti di atas.
Ini bukan berarti Indonesia tidak mengakui supremasi hukum internasional
atas hukum nasional, Apalagi kita menganut pendirian bahwa hukum nasional
mengatasi hukum internasional. (Kusumaatmadja, Pengantar Hukum Internasional,
1999, p. 63) Pandangan seperti ini bukan berarti kita menentang supremasi hukum
36

internasional atas hukum nasional, tetapi kita tidak begitu saja menerima secara
langsung ketentuan–ketentuan hukum internasional yang ada. Moctar
kusumaatmadja mengemukakan bahwa “sikap kita terhadap hukum international
seperti ini ditentukan oleh kesadaran akan kedudukan kita dalam masyarakat
internasional yang sedang berkemabang, merupakan suatu sikap yang wajar”.
(Kusumaatmadja, Pengantar Hukum Internasional, 1999, p. 63)
Mengigat persolan ini tidak dinyatakan secara tergas dalam UUD 1945, maka
satu-satunya petunjuk dalam usaha melihat hubungan antara hukum internasional
dan hukum nasional ialah didasarkan atas praktek dalam pelaksanaan kewajiban
kita sebagai peserta beberapa perjanjian internasional yang telah kita adakan.
Mochtar kusumaadmadja berpendapat bahwa kita (Indonesia) tidak menganut teori
“transformasi” dalam menerapkan hukum internasional menjadi hukum nasional
melainkan langsung menggap diri kita (Indonesia) terikat dalam kewajiban
melaksanakan dan mentaati semua ketentuan perjanjian dan konvesi yang telah
disahkan tanpa perlu mengadakan lagi perundang-undangan pelaksanaan
(Implementing legislation). (Kusumaatmadja, Pengantar Hukum Internasional, 1999,
p. 66) Walaupun demikian dalam hal –hal tertentu pengundangan dalam undang-
undang nasional adalah mutlak diperlukan seperti berkaitan dengan hak warga
negara sebagai individu (perseorangan). .

3. Rangkuman
Hukum internasional dan hukum nasional merupakan dua perangkat hukum
yang meskipun berbeda hidup berdampingan dan saling berhubungan dalam
mengatur masyarakat internasional. Untuk melihat hubungan kedua perangkat
hukum ini dapat diketahui dari bebarapa pendekatan teori, seperti: pandangan
voluntarisme dan pandangan objektivis, dan aliran dualisme hukum dan aliaran
monisme yang meliputi monisme dengan primat hukum nasional dan monism
dengan primat hukum internasional.

4. Tugas MANDIRI
Mahasiswa menganalisis persoalan kekuatan perjanjian internasional yang
sudah diterima dan diakui tapi dianggap merugikan kepentinga nasional

5. Evaluasi
1) Jelaskan bagaimana pandangan voluntarisme terhadap hukum internasional?
37

2) Jelaskan bagaimana hubungan antara hukum internasional dan hukum nasional


menurut aliran dualisme?
3) Jelaskan bagaimana sikap bangsa Indonesia dalam memandang hubungan
antar hukum internasional dan hukum nasional?

F. KEGIATAN PEMBELAJARAN VI-VII


SUBJEK HUKUM INTERNASIONAL

1. Tujuan Materi Pembelajaran


Mahasiswa dapat mengetahui dan menjelaskan tentang subjek hukum
internasional.

2. Materi Pembelajaran
2.1. Pengertian dan Batasan Subjek Hukum Internasional.
Subjek hukum Internasional adalah pemegang segala hak dan kewajiban
menurut hukum internasional. Ini berarti subjek-subjek hukum internasioanl harus
memiliki kapasitas hukum atau kecakapan–kecakapan hukum internasional untuk
mewujudkan kepribadian hukum internasionalnya dalam hal-hal sebagai berikut:
(Dixon, Texbook on International Law, 2000, p. 105)
1. Mampu untuk menuntut hak-haknya di depan pengadilan internasional
dan nasional
2. Menjadi subjek dari beberapa atau semua kewajiban yang dierikan oleh
hukum internasional;
3. Mampu membuat perjanjian internasional yang sah dan mengikat dalam
hukum internasional
4. Menikmati imunitas dari yuridiksi pengadilan nasional.
Apa yang menjadi kecakapan-kecakapan hukum subjek hukum internasional
sebagaimana dinyatakan oleh Martin Dixon seperti di atas praktiknya hanya dimiliki
sepenuhnya oleh negara dan organisasi internasional. Sebagaimana Boer Mauna
telah mengkategorikan subjek hukum internasional atas: subjek hukum internasional
yang aktif yakni negara dan organisasi negara, dan subjek hukum internasional pasif
yaitu subjek hukum internasional non negara dan non organisasi internasional.
(Sefriani, Hukum Internasional Suatu Pengantar, 2014, p. 102)
38

Pada awal mula kelahiran hukum internasional, hanya negaralah satu-


satunya dipandang sebagai subjek hukum internasional. Hal ini memang dapat
dimegerti sebab pada masa itu tidak atau jarang sekali ada pribadi-pribadi hukum
lain selai daripada negara yang melakukan hubungan-hubungan internasional.
(Parthiana, 1990, p. 59)
Dalam perkembangannya sudah diakui sebagai subjek hukum internasional
adalah:
a. Negara;
b. Organisasi Internasional
c. Palang Merah Internasional
d. Tahta Suci atau Vatikan
e. Organisasi Pebebasan atau Bangsa-Bangsa yang sedang
memperjuangkan hak-haknya
f. Kaum Pemberontak dan pihak dalam sengketa/ Billigerensi.
g. Individu. .

2.2. Macam-Macam Subjek Hukum Internasional:


a. Negara.
Negara merupakan merupakan subjek hukum internasional yang utama,
karena negara satu-satunya yang memegang “kedaulatan” . Negara memiliki
kewenangan terpenting dan terbesar sebagai subjek hukum internasional serta
memiliki semua kecakapan hukum sebagaimana telah diuraikan sebelumnya.
(Safriani, 2016, p. 103)
Berkaitan dengan pengertian negara belum ada ditemukan keseragaman
yang sama dalam Hukum Internasional, tetapi masih berdasarkan pendapat para
sarjana. Untuk mengetahui yang begaimana dinamakan “negara” dalam hukum
internasioanl digunakan pendekatan unsur-unsur yang dimiliki untuk adanya negara
sebagaimana tercantum dalam Pasal 1 Konvensi Montevidio tahun 1933 tentang
hak dan kewajiban negara. Konvensi ini sebenarnya hanya merupakan konvensi
regional di kawasan Amerika Regional dan ketentuan pasal ini sudah dijadikan
sebagi prinsip-prinsip umum hukum internasional untuk menyebutkan negara. Pasal
Konvensi Montevideo 1933 menyatakan bahwa karakteristik negara adalah sebagai
berikut:
1) Memiliki penduduk yang tetap (a permanent population)
39

2) Memiliki wilayah yang pasti (a defined territory)


3) Memiliki pemerintahan (government)
4) Memiliki kemampuan untuk melakukan hubungan internasional dengan
negara lain (capacity to enter into relations with other states).
Kriterian negara sebagaimana di atas secara teoritis dapat dikelompokkan
menjadi 2 (dua) unsur, yaitu: 1) unsur konstitutif yang terdiri atas unsur no. 1. 2 dan
3, sedangkan unsur deklaratif meliputi unsur nomor 4. Unsur konstitutif
dimaksudkan sebagai kereterian yang harus ada untuk lahirnya suatu negara, tanpa
terpenuhinya kreterian tersebut maka tidak dapat disebut negara. sedangkan unsur
deklaratif dimaksudkan sebagai kreteria yang ada untuk menyebutkan negara
bukanlah bersifat mutlak, tanpa terpenuhinya kreteria tersebut tetap disebut negara.
Guna lebih memahami bagiamana negara, maka perlu untuk menjabarkan
kreteria-kreteria di atas sebagai berikut:
ad. 1 Penduduk yang Tetap
Penduduk yang tetap merupakan sekumplan manusia yang hidup bersama di
suatu tempat tertentu sehingga merupakan suatu kesatuan masyarakat yang diatur
oleh suatu tertib hukum nasional yang dinamakan warga negara. Partianan
menyebutkan bahwa penduduk suatu negara adalah sekelompok orang yang secara
tetap atau permanen mendiami atau bermukim dalam suatu wilayah yang sudah
pasti luasnya (Parthiana, 1990, p. 63). Penduduk sebagai kreteria untuk mendirikan
negara tidak mensyaratkan adanya besar atau kecilnya jumlal penduduknya.
Hukum internasional memberikan hak bagi penduduk yang tinggal secara
tetap dalam suatu wilayah untuk menentukan nasib sendiri yang kemudian dikenal
dengan prinsip the right of self-determination. Perluh dipahami bahwa prinsip ini
hanya dapat digunakan bagi bangsa-bangsa yang terjajah.
Adapun dasar negara untuk menentukan siapa saja yang termasuk warga
negaranya (penduduk tetap) secara teori terdapat beberapa asas yang lajim
digunakan yaitu: asas jus sanguinis (berdasarkan keturunan), asas jus soli
(berdasarkan tempat kelairan) danasas naturalisasi. Berdasarkan Pasal 1 Konvensi
Den Haag 1930 tentang Konflik Hukum kewarganegaraan penerapan asas-asas ini
mengacu pada pengaturan dalam hukum nasional masing-masing.
ad. 2. Wilayah yang pasti
Suatu wilayah yang pasti atau tetap merupakan persyaratan mendasar
adanya suatu negara. Priatna menyatakan agar wilayah itu dapat dikatakan tatap
40

atau pasti sudah tentu harus jelas batas-batasnya. (Parthiana, 1990, p. 64) luas
wilayah negara bukanlah menjadi prasyarak untuk berdirinya negara. Wilayah
merupakan hal yang cukup penting dimiliki negara, karena diwilayah itulah negara
memiliki kedaulatan, Tanpa adanya wilayah sangat sulit negara itu memiliki dan
melaksanakan kedaulatan.
Wilayah yang menjadi milik negara meliputi tiga gatra, yaitu: gatra darat, gatra
laut dan gatra udara yang batas-batasnya ditetapkan melalui perjanjian bilateral
dengan negara-negara bersebelahan (tetangga).
ad. 3. Pemerintahan
Pemerintahan yang menjadi kreteria untuk adanya negara merupakan
pemerintahan yang mendapat dukungan dari rakyatnya. Lauterpacht berpendapat
bahwa adanya unsur pemerintahan, merupakan syarat utama untuk adanya suatu
negara. Jika pemeritahan tersebut ternyata kemudian secara hukum atau secara
faktanya menjadi negara boneka atau negara setelit dari suatu negara lainnya,
maka negara tersebut tidak dapat digolongkan sebagai negara”.
ad. 4 Memiliki kemampuan untuk melakukan hubungan internasional dengan
negara lain (capacity to enter into relations with other states).
Kemampuan untuk melakukan hubungan internasional dengan negara lain
merupakan manifestasi dari kedaulatan, kemerdekaan, pengakuan dan mempunyai
kemampuan internasional. Partiana mengemukakan kemampuan untuk melakuan
hubungan dengan negara lain adalah kemampuan dalam pengertiani juridis baik
berdasarkan hukum nasional maupun internasional, bukan kemampuan secara fisik.
(Sefriani, Hukum Internasional Suatu Pengantar, 2014, p. 106)

b. Organisasi Internasional;
Organisasi internasional adalah suatu organisasi yang dibentuk dengan
perjanjian internasional oleh dua negara atau lebih berisi fungsi, tujuan,
kewenangan,asas, struktur organisasi. Pasal 2 ayat 1 Konvensi WIna 1969 tetang
Hukum Perjanjian menyebutkan organisasi internasional adalah orgnisasi antar
pemerintahan.
Organisasi internasional baru diakui sebagai subjek hukum internasional
sejak keluarnya Advisory Case 1958 yang diberikan oleh Mahkamah
Internasional .dalam kasus “Reparation of Injuries” yang berkaitan dengan peristiwa
terbunuhnya Pangeran Bernadotte dari Swedia di Israel dalam menjalankan tugas
41

sebagai anggota Komisi PBB pada tahun1958. Majelis Umum PBB minta pendapat
hukum kepada Mahkamah Internasional tentang hal apakah PBB mempunyai
kemampuan pribadi (legal personality) serta kemampua hukum (legal capacity)
untuk mengajukan tuntutan ganti rugi terhadap pemerntahan “de jure’ atau “de
facto”, Israel yang bertanggung jawab atau tidak. Mahkamah Internasional dalam
pendapat hukumnya (advisory opinion) menyatakan bahwa secara de jure atau de
facto cukup PBB sebagai suatu organisasi Internasional yang memiliki legal
personality serta Legal Capacity untuk bertindak di depan hukum mewakili
kepentingan PBB sendiri juga kepentingan korbannya. Legal personality dan legal
capacity adalah hal yang sangat penting dimiliki oleh suatu organisasi internasional
agar mereka dapat menjalankan fugsinya. (Akehurst, 1983, p. 69) Ini berarti suatu
organisasi internasional baru disebut sebagai subjek hukum internasional harus
memiliki legal personality dan legal capacity.
Organisasi internasional untuk mendapatkan legal personality sebagai subjek
hukum internasional setidaknya harus memenuhi kreteria berikut: (Safriani, 2016, p.
143)
a. Dibentuk dengan suatu perjanjian internasional oleh lebih dari dua negara,
apa pun namanya dan tunduk pada rezim hukum internasional;
b. Memiliki sekretaria tetap.
Dengan international personality yang dimiliki organisasi internasional seperti
ini, maka akan dengan mudah mendapatkan kecakapan hukum internasional
(international legal capacity). International legal capacity yang dimiliki organisasi
internasional antara lain: (Safriani, 2016, p. 144)
a. Dapat membuat perjanjian internasional dengan sesame organisasi
internasional, negara atau subjek hukum internasional lainnya;
b. Dapat memiliki harta kekayaan atas namanya sendiri;
c. Dapat melakukan perbuatan-perbuatan hukum untuk dan atas nama
anggota-anggotanya;
d. Dapat menuntut dan dituntut di pengadilan internasional.
Pada dasarnya organisasi internasional dan subjek-subjek lain non negara
adalah subjek derefatif, subjek turunan yang keberadaannya atas kehendak negara.

c. Palang Merah Internasional;


42

Palang Merah Internasional merupakan organisasi internasional yang bukan


beranggotakan negara-negara. Tetapi karena faktor sejarah, posisi Palang Merah
Internasioanl di dalam hubungan dan hukum internasional menjadi sangat unik dan
disamping itu juga menjadi sangat strategis. Dikatakan unik oleh karena pada awal
mulanya Palang Merah Internasional merupakan organisasi dalam ruang lingkup
nasional yaitu sesuai dengan hukum nasional Swiss yang didirikan oleh 5 (lima)
orang warga negara Swiss yang dipinpin oleh Henry Dunant dan bergerak dalam
bidang kemanusian. Tegasnya memberikan pertolongan yang berlandaskan dan
berjiwakan kemanusiaan kepada anggota tentara yang menjadi korban perang tanpa
memandang kawan maupun lawan, kebangsaan, agama, dan lainnya. (Parthiana,
1990, p. 80)
Dikarenakan Palang Merah Internasional bergerak di bidang kemanusiaan
terutama dimasa peperangan, oleh masyarakat internasional menempatkan dan
mengakui kedudukannya sebagai pribadi Internasional yang mandiri. Walaupun
dalam perkembangannya peran Palang Merah Internasioan semakin meluas bukan
hanya dalam peperangan termasuk pula dibidang seperti bencana alam dan
penanganan pengungsi. Bahkan Palang Merah Internasional memiliki kontribusi
dalam pembentukan konvensi-konvensi Jenewa 1949 tentang perlindungan korban
perang beserta dengan protocol-protokolnya yang lebih dikenal denga sebutan
konvensi–konvensi Palang Merah Internasional Apalagi kedudukan Palang Merah
internasional diperkuat dalam Konvensi Jenewa 1949. Sekarang Palang Merah
Internasioanl diakui sebagai organisasi internasional yang memiliki kedudukan
sebagai subjek hukum internasional walaupun dengan ruang lingkup yang sangat
terbatas.
d. Tahta Suci atau Vatikan;
Tahta suci diakui sebagi subjek hukum internasional juga berdasarkan alasan
sejarah. Sejak jaman Roma kedudukan Tahta suci sudah diakui memiliki
kewenangan dalam bidang kerohaniaan atau keagamaan juga dalam bidang
keduniawian atau kenegaraan. Dalam perkembangannya kekuasaan Tahta Suci
dibatasi hanya dalam bidang kerohanian atau keagamaan, sedangkan bidang
keduniawian diserhkan kepada negara. Meskipun demikian negara-negara tetap
menghargai dan memberikan tempat tersendiri kepada Tahta Suci dalam hubungan-
hubungan internasional sejajar dengan negara-negara dan subjek-subjek hukum
internasional lainnya.
43

Berdasarkan Traktat Lateran (Lateran Treaty) tanggal 11 Februari 1929


antara Italia dan Tahta Suci mengadakan perjanjian penyerahan pengembalian
sebidang tanah di Roma kepada Tahta Suci dan memungkinkan didirikannya negara
Vatikan. Dengan Traktak itu sekaligus sebagai pengakuan Italia atas eksistensi
Tahta Suci sebagai pribadi internasional yang berdiri sendiri. HIngga saat ini Tahta
Suci mempunyai perwakilan diplomatic di banyak negara dan diakui kedudukannya
sejajar dengan wakil diplomatic negara-negara lain. Hal ini memerkuat kedudukan
Tahta suci sebagai subjek hukum Internasional.
e. Organisasi Pembebasan atas Bangsa-Bangsa yang sedang
memperjuangkan hak-haknya;
Sejarah munculnya Organisasi Pembebasan maupun Bangsa erat kaitannya
dengan kebangkitan rakyat-rakyat wilayah jajahan atas hak-hak mereka untuk
mendirikan negara merdeka yang sejajar atau sederajat dengan negara-negara
penjajahnya. Sebenarnya sulit untuk menentukan yang bagaimana dimaksud
dengan Organisasi Pembebasan atau Bangsa. Hal ini disebabkan masih kontroversi
pemberian penilaian atau pandangan dari masyarakat internasional yang umunya
didasarkan pada faktor-faktor maupun pertimbangan politik.
Apalagi tidak setiap pergolakan dalam suatu negara atau wilayah dapat
secara mudah untuk diberikan predikat sebagai Organisasi Pembebasan atau
bangsa yang sedang berjuang. Oleh karena belum ada kreteria objektif untuk
menentukan apakah kelompok orang itu sebagai suatu Organisasi Pembebasan
atau Bangsa. Patriana mengemukakan beberapa faktor yang dapat digunakan untuk
diakui sebagai Organisasi Pembebasan atau bangsa antara lain: (Parthiana, 1990,
p. 83)
a. kemampuan suatu kelompok orang untuk menyakinkan masyarakat
internasional mengenai keberadaan dan cita-cita yang diperjuangkannya;
b. kemampuan untuk mendapatkan penerimaan atau dukungan dari
masyarakat internasional itu sendiri.
Sebagai contoh Organisasi Pembebasan atau Bangsa yang dapat dilihat ialah
Organisasi Pembebasan Palestina (Palestina Liberation Organitation/ PLO) yang
memang sudah sejak tahun 1948 memperjuangkan hak-haknya untuk mendirikan
sebuah Negara Palestina Merdeka di wilayah yang sekarang dikuasai oleh Israel.
Sebagian besar masyrakat internasional telah mengakui eksistensi PLO sebagai
wakil syah bangsa Palestina yang memang berhak untuk memperjuangkan
44

aspirasinya untuk mendirikan Negara Palestian Merdeka. Bahkan pada tanggal 15


Nopember 1988 Dewan Nasional Palestina semacam Parlement Palestina dalam
pengasingannya telah memproklamasikan berdirinya Negara palestina Merdeka
yang segera memperoleh pengakuan dari berbagai penjuru dunia. Walaupun batas-
batas wilayahnya sendiri masih belum jelas, masyarakat internasional sudah
menempatkan Palestina sejajaran sederajat dengan negara.negara. (Parthiana,
1990, pp. 83-84)
f. Kaum Billigerensi
Pemberontak pada hakekatnya muncul sebagai masalah yang semula adalah
masalah dalam negeri dari suatu negara. Pemberontakan yang terjadi dalam suatu
negara merupakan urusan intern negara yang bersangkutan. Hukum internasional
melarang negara lain untuk tidak melakukan intervensi tanpa persetujuan negara
tersebut. Negara-negara lain berkewajiban menghormati kedulatan negara yang
bersangkutan termasuk menghormati hak negara tersebut menerapkan hukum
nasionalnya terhadap peristiwa pemberontakan itu. (Parthiana, 1990, p. 85)
Apabila pemberontakan dalam suatu negara telah mengambil porsi
sedemikian rupa, sehingga negara negara lain tidak mungkin lagi menutup mata
terhadap peristiwa tersebut, maka negara-negara lain dengan sesuatu cara
menunjukan perhatiannya dengan pengakuan (recognition of Insurgency) dan
bukan dengan penghukuman. Pemberian pengakuan bagi kaum pemberontak bukan
berarti menunjukkan keberpihakan melainkan tuntutan agar kaum pemberontak
diperlakukan sesuai tuntutan kemanusiaan. Kaum pemberontak seharusnya tidak
diperlakukan seperti penjahat-penjahat kriminal. (Tasrif, 1990, p. 73)
Bila kedudukan pemberontak dipandang pemerintah semakin kuat, secara de
facto menguasai sebagian wilayah cukup luas, telah mempunyai pemerintahan
sendiri, maka dalam literature hukum internasional dikenal adanya pengakuan
Belligerent. Kaum pemberontak untuk mendapatkan pengakuan sebagai belligerent
hendaknya memenuhi kreteria berikut:
a. terorganisir secara rapi dan teratur di bawah kepemimpinan yang jelas;
b. harus menggunakan tanda penegal yang jelas yang dapat menunjukkan
identitas;
c. harus sudah menguasai secara efektif sebagian wilayah sehingga wilayah
tersebut benar-benar teah dibawah kekuasaannya;
d. harus mendapat dukungan dari rakyat di wilayah yang didudukinya.
45

Adanya kreteria seperti di atas, bukan berarti mudah untuk mendapatkan


pengakuan sebagai kaum billegerent. Oleh karena pemberian pengakuan dapat
merusak hubungan baik yang dijalin oleh negara-negara, disebabkan dianggap
mencampuri urusan dalam negeri negara dan berpihak pada kaum billegerent.
Selain itu Pasal 3 Konvesi Jenewa 1949 mengatur pertikaian bersenjata yang
tidak bersifat internasional secara tersirat mengakui keberadaan kaum pemberontak
sebagi pihak dalam koflik bersenjata. Pasal 3 kovensi ini menegaskan bahwa dalam
hal terjadinya pertikaian bersenjata yang tidak bersifat internasional yang
berlangsung dalam wilayah salah satu pihak agung penandatangan, tiap pihak yang
bertikai harus memperhatikan aturan-aturan tentang kemanusiaan, antara lain
larangan tindakan kekerasan atas jiwa dan raga, penyanderaan, perkosaan atas
kehormatan pribadi dan menghukum dan menjalankan hukuman mati tanpa
didahului keputusan yang dijatuhkan oleh suatu pengadilan yang dibentuk secara
teratur. (Haryo Mataram, 1994, p. 50)
Demikian pula Protocol Tambahan 1977 bagian ke II juga mengakui
keberadaan kaum pemberontak (organized group). Ini berarti dimasukkanya
pengaturan tentang kaum pemberontak dalam Konvensi Jenewa 1949 dan Protokol
Tambahan 1977 bagian II menunjukan bahwa kaum pemberontak dapat disebut
sebagai subjek internasional.
g. Individu.
Kedudukan Individu sebagai subjek hukum internasonal tidak perlu di ragukan
lagi. Sejak Perjanjian Perdamaian Versailles tahun 1919 yang mengakhiri Perang
Dunia I antara Jerman dengan Inggris dan Prancis memberikan kemungkinan bagi
individu (orang perorang) untuk mengajukan perkara ke hadapan Mahkaman
Arbitrase Internasioal. Hal ini sama dengan perjanjian antara Jerman dan Polandia
tahun 1922 mengenai Silesia (Upper Silesia).
Selain ketentuan di atas status individu sebagai subjek hukum internasional
ditemukan dalam kasus Kewenangan Pengadilan di Danzing (case Cocerning
Compentence of the Court of Dazing) tahun 1928 berkaitan dengan perkara
pegawai kereta api Danzig (Danzig Railway Official’s Case). Dalam perkara ini
diputuskan oleh Mahkamah bahwa apabila suatu perjanjian internasional
memberikan hak tertentu kepada orang perorang, maka hak itu harus diakui dan
mempunyai daya laku dalam hukum internasional, artinya diakuinya oleh badan
46

peradilan internasional. (Kusumaatmadja, Pengantar Hukum Internasional, 1999, pp.


74-75)
Selanjutnya pasca Perang Dunia ke II dalam pengadilan ad hoc Nurenberg
dan Tokyo berkaitan dengan kejahatan perang , dinyatakan bahwa individu memiliki
international personality, maupun menyandang hak dan kewajiban yang diberikan
hukum internasional padanya. Individu (orang perorang) bertanggung jawab secara
pribadi , dan dapat dituntut di pengadilan internasional atas kejahatan perang yang
dilakukannya tanpa dapat berlindung dibalik negaranya. (Sefriani, Hukum
Internasional Suatu Pengantar, 2014, p. 147)
Pengadilan-pengadilan serupa lainnya yang mengadili dan memintakan
pertanggung jawaban individu atas perbuatannya sebagai international personality
atau subjek hukum internasional seperti ICTY tahun 1993 untuk kasus bekas negara
Yugoslavia juga ICTR tahun 1994 untuk kasus Rwanda. Dari berbagai kasus yang
ada terlihat bahwa pengakuan hukum internasional terhadap individu sebagai subjek
hukum internasional terbatas pada dimungkinkannya individu dituntut di depan
pengadilan Internasional untuk bertanggung jawab secara pribadi atas namanya
sendiri terhadap kejahatan-kejahata internasional yang telah dilakukannya (Sefriani,
Hukum Internasional Suatu Pengantar, 2014, p. 148).
Dalam perkembangan selanjutnya status individu sebagai subjek hukum
internasional semakin mapan dengan dibentuknya berbagai konvensi-konvensi hak
asasi manusia. Dibuatnya berbagai konvensi hak asasi manusia menunjukkan
keseriusan hukum internasional menempatkan individu sebagai subjek hukum
internasional. Tetapi tanpa adanya penguatan hak individu untuk mengajukan
tuntutan atas nama dirinya sendiri ke depan pengadilan internasional keberadaan
konvensi-konvensi hak asasi manusia kurang berarti.

3. Rangkuman
Subjek hukum internasional merupakan pemegang segala hak dan
kewajiban menurut hukum internasional yang memiliki legal personality dan legal
capacity. Subjek hukum internasional yang pertama dan utama ialah negara. Sesuai
dengan perkembangan hukum internasional, bahwa negara bukanlah satu-satunya
subjek hukum internasional yang diakui.

4. Tugas
47

Mahasiswa menganalisis apakah perusahaan Transnasional dapat


dimasukkan sebagai salah satu subjek hukum internasional.

5. Evaluasi
1) Jelaskan apa itu subjek hukum internasional?
2) Jelaskan apa yang dimaksud negara menurut kaca mata hukum internasional?
3) Jelaskan bagaimana organisasi internasional sebagai subjek hukum
internasional?

G. KEGIATAN PEMBELAJARAN VIII


SUMBER-SUMBER HUKUM INTERNASIONAL

1. Tujuan Materi Pembelajaran


Agar mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan sumber-sumber hukum
internasional

2. Materi Pembelajaran
2.1. Pengertian Sumber Hukum Internasional
Perkataan sumber hukum dapat dipergunakan dalam beberapa arti. Secara
material sumber hukum dapat diartikan sebagai sumber isi hukum atau dasar
berlakunya hukum dan atau tempat di mana kaidah-kaidah hukum itu diciptakan.
Juga dapat pula diartikan sebagai sumber hukum yang mempersoalkan sebab
apakah hukum itu mengikat? dan juga berarti sebagai sumber hukum yang
menyelidiki masalah apakah yang menjadi dasar mengikatnya hukum itu?
Sedangkan secara formal, sumber hukum dapat diartikan sebagai sumber
yang memuat tentang ketentuan-ketentuan hukum secara formal yang dapat
diterapkan sebagai kaidah dalam suatu persoalan yang konkrit. Juga dapat berarti
sebagai sumber yang merupakan tempat di mana ketentuan-ketentuan atau kaidah-
kaidah hukum dapat ditemukan dan sumber yang memberikan jawaban atas
48

pertanyaan dimanakah kita dapat menemukan atau mendapatkan ketentuan-


ketentuan hukum yang dapat diterapkan sebagai kaidah di dalam suatu persoalan
yang aktual dan konkrit.
Sementara dalam arti lain, sumber hukum dapat diartikan sebagai kekuatan-
kekuatan atau faktor-faktor (politic, sociologic, ekonomis, teknis, dan psikologis),
yang membantu dalam pembentukan hukum sebagai suatu bentuk perwujudan atau
fenomena sosial dalam kehidupan kemasyarakatan manusia. Dapat juga diartikan
sebagai sumber hukum yang meneliti faktor-faktor kausal atau penyebab yang turut
membantu di dalam pembentukan suatu kaidah.

2.2. Macam-Macam Sumber Hukum Internasional


Menurut Pasal 38 Piagam Mahkamah Internasional sumber sumber hukum
internasional terdiri atas:
1. Perjanjian Internasional, baik yang bersifat umum maupun khusus yang
mengandung ketentuan hukum yang diakui secara tegas oleh negara-
negara yang bersengketa.
2. Kebiasaan Internasional, sebagai bukti dari suatu kebiasaan umum yang
telah diterima sebagai hukum. 
3. Prinsip hukum umum yang diakui oleh bangsa-bangsa yang beradab.
4. Keputusan pengadilan dan ajaran para sarjana yang paling terkemuka dari
berbagai negara sebagai sumber tambahan bagi menetapkan kaidah
hukum.

ad. 1. Perjanjian Internasional


Perjanjian Internasional ialah perjanjian yang diadakan anggota masyarakat
bangsa-bangsa dan bertujuan untuk mengakibatkan akibat tertentu. Perjanjian ini
harus diadakan oleh subjek hukum internasional yang menjadi anggota masyarakat
internasional. Istilah lain untuk perjanjian internasional antara lain : traktat (treaty),
pakta (pact), konvensi (convention), piagam (statute), charter, declaration, protocol,
arrangement, accord, modus vivendi, covenant dan sebagainya.
Dewasa ini hukum internasional cenderung mengatur hukum perjanjian
internasional antara organisasi internasional dengan organisasi internasional atau
antara organisasi internasional dengan subjek hukum internasional secara tersendiri.
Hal ini disebabkan oleh perkembangan yang pesat dari organisasi internasional di
lapangan ini.
49

Berdasarkan praktik beberapa negara kita dapat membedakan perjanjian


internasional itu ke dalam beberapa golongan. Pada satu pihak terdapat perjanjan
internasional yang diadakan menurut tiga tahap pembentukan yaitu perundingan,
penandatanganan, dan ratifikasi. Di pihak lain perjanjian internasional ada yang
hanya melalui dua tahap yakni perundingan dan penandatanganan. Biasanya
perjanjian golongan pertama diadakan untuk hal yang dianggap penting sehingga
memerlukan persetujuan dari badan yang memiliki hak untuk mengadakan
perjanjian (treaty making power), sedangkan perjanjian golongan kedua yang lebih
sederhana sifatnya diadakan untuk perjanjian yang tidak begitu penting dan
memerlukan penyelesaian yang cepat.
Mengenai klasifikasi perjanjian internasional terdapat beberapa
penggolongan. Penggolongan yang pertama ialah perbedaan perjanjian
internasional dalam dua golongan yakni perjanjian multilateral dan bilateral.
Perjanjian bilateral artinya perjanjian antara dua pihak contohnya perjanjian antara
Republik Indonesia dengan RRC mengenai masalah dwikewarganegaraan
sedangkan multilateral artinya perjanjian antara banyak pihak misalnya Konvensi
Jenewa tahun 1949 mengenai perlindungan korban perang.
Penggolongan lain yang lebih penting dalam pembahasan hukum
internasional sebagai sumber hukum formal ialah penggolongan perjanjian dalam
treaty contract dan law making treaties. Dengan treaty contract dimaksudkan
perjanjian seperti suatu kontrak atau perjanjian hukum perdata yang hanya
mengakibatkan hak dan kewajiban antara para pihak yang mengadakan perjanjian
itu. Dengan law making treaties dimaksudkan perjanjian yang meletakan ketentuan
atau kaidah hukum bagi masyarakat internasional sebagai keseluruhan.
Perbedaan antara treaty contract dan law making treaties jelas nampak bila
dilihat dari pihak yang tidak turut serta dalam perundingan yang melahirkan
perjanjian tersebut. Pihak ketiga umumnya tidak dapat turut serta dalam treaty
contract. Pada law making treaties selalu terbuka bagi pihak lain yang semula tidak
turut serta dalam perjanjian karena yang diatur dalam perjanjian itu merupakan
masalah umum yang mengenai semua anggota masyarakat.
Apabila ditinjau secara yuridis maka menurut bentuknya setiap perjanjian baik
treaty contract maupun law making treaties adalah suatu contract yaitu suatu
perjanjian atau persetujuan antara pihak yang mengadakannya dan yang
mengakibatkan timbulnya hak dan kewajiban bagi para pesertanya.
50

2. Kebiasaan Internasional
Hukum kebiasaan internasional ialah kebiasaan internasional yang
merupakan kebiasaan umum yang diterima sebagai hukum. Perlu diketahui
bahwasannya tidak semua kebiasaan internasional dapat menjadi sumber hukum.
Untuk dapat dikatakan bahwa kebiasaan internasional itu merupakan sumber hukum
perlu terdapat unsur-unsur sebagai berikut:
1. harus terdapat suatu kebiasaan yang bersifat umum (material)
2. kebiasaan itu harus diterima sebagai hukum (psikologis).
Sebagai suatu sumber hukum kebiasaan internasional tidak berdiri sendiri.
Kebiasaan internasional erat hubungannya dengan perjanjian internasional dimana
hubungan ini adalah hubungan timbal balik. Perjanjian internasional yang berulang
kali diadakan mengenai hal yang sama dapat menimbulkan suatu kebiasaan dan
menciptakan lembaga hukum.

3. Prinsip hukum umum


Asas hukum umum ialah asas hukum yang mendasari sistem hukum modern
yaitu sistem hukum positif yang didasarkan atas asas dan lembaga hukum negara
barat yang untuk sebagian besar didasarkan atas asas dan lembaga hukum
Romawi. Menurut Pasal 38 ayat (1) asas hukum umum merupakan suatu sumber
hukum formal utama yang berdiri sendiri di samping kedua sumber hukum yang
telah disebut di muka yaitu perjanjian internasional dan kebiasaan.
Adanya asas hukum umum sebagai sumber hukum primer tersendiri sangat
penting bagi pertumbuhan dan perkembangan hukum internasional sebagai sistem
hukum positif. Pertama dengan adanya sumber hukum ini mahkamah tidak dapat
menyatakan “non liquet” yakni menolak mengadili perkara karena tiadanya hukum
yang mengatur persoalan yang diajukan. Berhubungan erat dengan ini ialah bahwa
kedudukan mahkamah internasional sebagai badan yang membentuk dan
menemukan hukum baru diperkuat dengan adanya sumber hukum ini. Keleluasaan
bergerak yang diberikan oleh sumber hukum ini kepada mahkamah dalam
membentuk hukum baru sangat berfaedah bagi perkembangan hukum internasional.

4. Sumber hukum tambahan :


Keputusan pengadilan dan pendapat para sarjana terkemuka di dunia. Lain
dengan sumber utama yang telah dijelaskan di atas, keputusan pengadilan dan
51

pendapat para sarjana hanya merupakan sumber subsider atau sumber tambahan.
Artinya keputusan pengadilan dan pendapat para sarjana dapat dikemukan untuk
membuktikan adanya kaidah hukum internasional mengenai suatu persoalan yang
didasarkan atas sumber hukum primer.
Keputusan pengadilan dan pendapat para sarjana itu sendiri tidak mengikat
artinya tidak dapat menimbulkan suatu kaidah hukum. Keputusan Mahkamah
Internasional sendiri tidak mengikat selain bagi perkara yang bersangkutan, maka “a
fortion” keputusan pengadilan lainnya tidak mungkin mempunyai keputusan yang
mengikat. Walaupun keputusan pengadilan tidak mempunyai kekuatan yang
mengikat namun keputusan pengadilan internasional, terutama Mahkamah
Internasional Permanen (Permanent Court of International Justice), Mahkamah
Internasional (Iternational Court of Justice), Mahkamah Arbitrase Permanen
(Permanent Court Arbtration) mempunyai pengaruh besar dalam perkembangan
hukum intersional.
Mengenai sumber hukum tambahan yang kedua yaitu ajaran para sarjana
hukum terkemuka dapat dikatakan bahwa penelitian dan tulisan yang dilakukan oleh
sarjana terkemuka sering dapat dipakai sebagai pegangan atau pedoman untuk
menemukan apa yang menjadi hukum internasional walaupun ajaran para sarjana
itu sendiri tidak menimbulkan hukum.

3. Rangkuman
Sumber hukum internasional dapat diartikan sebagai dasar kekuatan
mengikatnya hukum internasional, metode penciptaan hukum internasional dan
tempat di ketemukanya ketentuan-ketentuan hukum internasional yang dapat
diterapkan pada suatu persoalan konkrik. Arti yang relevansi dengan hubungan
internasional adalah bahwa sumber hukum internasional sebagai tempat
diketemukanya ketentuan-ketentuan hukum internasional untuk memecahkan
persoalan yang timbul dalam hubungan antar Negara.
J.G.Starke menguraikan bahwa sumber-sumber materiil hukum internasional
dapat di definisikan sebagai bahan-bahan aktual yang digunakan oleh para ahli
hukum internasional untuk menetapkan hukum yang berlaku suatu peristiwa atau
situasi tertentu. Pada garis besarnya bahan-bahan tersebut dapat di katagorikan
dalam lima bentuk, yaitu;
1. kebiasaan,
52

2. Traktat,
3. Keputusan Pengadilan atau badan-badan arbitrase,
4. Karya-karya hukum,
5. Keputusan atau ketetapan organ-organ/lembaga internasional.

4. Tugas
Terkait dengan sumber-sumber hukum internasional lalu jelaskanlah dalam
bentuk tulisan ke-dalam lembar kerja anda!

5. Evaluasi
1) Sebutkan dua jenis sumber Hukum Internasional!
2) Sebutkan sumber-sumber Hukum Internasional!
3) Tuliskan apa yang dimaksud dengan perjanjian internasional dalam Hukum
Internasional!
4) Sebutkan ketentuan-ketentuan yang harus diperhatikan dalam pemberlakuan
treaty contract sebagai sumber Hukum Internasional!
5) Mengapa dalam Pasal 38 Statuta Mahkamah Internasional tidak memasukkan
keputusan-keputusan badan arbitrasi sebagai sumber hukum internasional?
6) Sebutkan dua macam aturan dalam Hukum Internasional!
7) Sebutkan fungsi traktat sebagai sumber Hukum Internasional!

H. KEGIATAN PEMBELAJARAN IX:


PENGAKUAN (RECOGNATION) DALAM HUKUM INTERNASIONAL

1. Tujuan Materi Pembelajaran


Agar mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan pengakuan dalam
hukum internasional

2. Materi Pembelajaran
2.1. Pengakuan
Pengakuan dalam hukum internasional merupakan persoalan yang cukup
rumit karena sekaligus melibatkan masalah hukum dan politik. Unsur-unsur politik
dan hukum sulit untuk dipisahkan secara jelas karena pemberian dan penolakan
pengakuan oleh suatu negara sering dipengaruhi pertimbangan politik, sedangkan
53

akibatnya mempunyai ikatan hukum. Pengakuan sebagai suatu istilah meliputi


bermacam-macam situasi fakta yang minta diakui oleh negara-negara lain misalnya
lahirnya negara baru, perubahan pemerintahan di luar kerangka konstitusional,
perubahan wilayah terutama sebagai akibat penggunaan kekerasan pihak-pihak
pada perang saudara dan lain-lain.
Timbulnya Negara baru dalam masyarakat internasional tentunya mempunyai
pengaruh dalam pergaulan masyarakat internasional. Suatu Negara yang baru
muncul , keberadaanya tentu saja harus sesuai atau memenuhi unsur-unsur adanya
suatu Negara menurut hukum internasional. Sebuah Negara baru, sebelum masuk
dalam pergaulan internasional haruslah melalui suatu tahap yang disebut dengan
pengakuan ( recognition)
Meskipun demikian bukan berarti tanpa pengakuan, suatu Negara tidak
dapat melangsungkan hidupnya. Negara baru tidaklah lahir karena adanya
pengakuan dari Negara lain terhadapnya. Terlepas dari itu suatu Negara baru
asalkan telah memenuhi semua unsur yang harus ada untuk terbentuknya suatu
Negara, maka Negara tersebut telah memiliki kedaulatan. Sedangkan pengakuan
bagi Negara baru akan membuat hubungan yang lebih lengkap dan sempurna
kepada Negara-negara lain (Adolf, 2002, p. 35)
Suatu negara yang belum diakui dapat memberi kesan kepada Negara lain
bahwa Negara tersebut “tidak mampu” menjalankan kewajiban-kewajiban
internasionalnya. Pengakuan menurut Oppenheim merupakan suatu pernyataan
kemampuan Negara baru ( recognition is a declaration of capacity). Menurut para
ahli hukum internasional, pengakuan itu sering sulit dalam pelaksanaanya. Oleh
sebat itu tidak ada ketentuan yang wajib secara mutlak oleh Negara-negara dalam
menerapkan lembaga pengakuan tersebut. Selanjutnya hal yang perlu diketahui
bahwa tindakan pemberian pengakuan dalam banyak hal sering dilakukan semata-
mata hanya didasarkan pada alasan-alasan politis, bukan alasan-alasan hukum.

2.2. Teori Pengakuan


Teori-teori pengakuan terdiri dari :
1. Teori Konstitutif
2. Teori Deklaratoir
3. Teori Pemisah atau Jalan Tengah
ad. 1.Teori Konstitutif
54

Berdasar teori ini suatu negara menjadi subjek hukum internasional hanya
melalui pengakuan. Jadi dengan pengakuanlah suatu negara baru itu dapat diterima
sebagai anggota masyarakat internasional. Ada dua alasan yang melatarbelakangi
teori ini, yaitu:
1. Jika kata sepakat menjadi dasar berlakunya hukum internasional, maka
tidak ada negara atau pemerintah yang diperlakukan sebagai subjek
hukum internasional tanpa adanya kesepakatan dari negara yang telah
ada terlebih dahulu.
2. Suatu negara atau pemerintah yang tidak diakui, tidak mempunyai status
hukum sepanjang negara atau pemerintah itu berhubungan dengan
negara-negara yang tidak mengakui. ( Huala Adolf: 1991 : 66)

ad.2. Teori Deklaratoir


Teori ini lahir sebagai reaksi dari teori Konstitutif. Menurut teori ini pengakuan
hanyalah merupakan penerimaan suatu negara baru oleh negara-negara lainnya.
Suatu negara mendapat kemapuannya dalam hukum internasional bukan
berdasarkan kesepakatan dengan negara-negara yang telah ada, namun
berdasarkan suatu situasi-situasi negara tertentu. Kemampuanya secara hukum
ditentukan oleh usaha-usahanya serta keadaan-keadaan yang nyata yang tidak
perlu diakui oleh negara lain.
Jadi apabila semua unsur kenegaraan telah dimiliki, maka dengan sendirinya
ia telah merupakan negara. Dengan perkataan lain, hukum internasional secara ipso
facto harus menganggap masyarakat yang bersangkutan sebagai suatu negara
dengan hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang dengan sendirinya melekat
kepadanya. (Tasrif, 1990, p. 34)

ad.3. Teori Pemisah Atau Jalan Tengah


Teori ini lahir karena ketidakpuasan akan teori tersebut di atas, maka di
rumuskanlah sebuah teori baru yang dinamakan teori pemisahan atau teori jalan
tengah. Hal ini disebabkan karena mereka ingin mengadakan pemisahan antara
“kepribadian internasional” yang dimiliki oleh suatu negara dengan penggunaan hak-
hak internasional yang melekat kepada kepribadian itu. Jadi di satu pihak diakui
bahwa suatu negara dapat menjadi “pribadi internasional” tanpa pengakuan (teori
deklaratif), tapi untuk mempergunakan hak-hak sebagai “pribadi internasional” itu,
55

negara tersebut memerlukan pengakuan negara lainnya (teori kostitutif). (Bachtiar


Hamzah; sulaiman Hamid, 1997, p. 11)
2.3. Bentuk-bentuk Pengakuan
1. Pengakuan terhadap negara baru (recognition of a new state)
  Eksistensi di dalam hubungan internasional Peristiwa apapun yang menimpa
suatu negara, sepanjang tidak menghilangkan salah satu atau beberapa unsurnya,
kesinambungan/kontinyuitas negara tersebut tetap berlangsung terus. Inilah yang
disebut dengan prinsip kesinambungan negara (continuity of state). Lahirnya negara
baru,Kelahiran negara baru tersebut dalam masyarakat internasional akan
menimbulkan reaksi negara-negara lain yang dimanifestasikan dalam pernyataan
sikap menerima atau mengakui kehadiran negara-negara tersebut atau mungkin
sebagian lagi ada negara-negara yang justru menolak atau tidak mau memberikan
pengakuannya. Apakah    pengakuan    merupakan    unsur    negara?
(teorikonstitutif, teori deklaratif dan teori jalan tengah)
2.   Pengakuan terhadap pemerintah baru
           Status  pemerintah  suatu  negara  dalam  Hukum  Nasionalnya dan dalam
Hukum Internasional Pengakuan terhadap suatu negara baru, di dalamnya tersimpul
pula adanya pengakuan terhadap pemerintah itu sendiri. Sebab pemerintah
hanyalah merupakan salah satu unsur negara. Tetapi patut diingat bahwa
pemerintah mempunyai status tersendiri dalam negara yang bersangkutan maupun
dalam hukum internasional. Sebagai sebuah negara berdaulat, yang melaksanakan
kedaulatannya adalah pemerintah. Ke dalam: pemerintah bertindak menjalankan
kekuasaan berdaulat demi tercapainya tujuan negara itu sendiri. Dalam arti luas,
pemerintah itu termasuk di dalamnya badan/lembaga eksekutif, legislatif, dan
yudikatif.Ke luar: pemerintah yang bertindak mewakili untuk dan atas nama negara
dalam mengadakan hubungan-hubungan dengan     negara-negara     ataupun    
subjek-subjek hukum internasional lainnya.
3. Pengakuan terhadap kaum pemberontak
Adapun tujuan pemberontakan itu ada bermacam-macam, seperti: untuk
menggulingkan pemerintah yang sah untuk diganti dengan pemerintah baru sesuai
dengan keinginan kaum pemberontak, memisahkan diri dari negara induk dan
membentuk negara merdeka, ataupun untuk bergabung dengan negara lain;
maupun untuk menuntut otonomi yang luas.
4.   Pengakuan terhadap suatu bangsa
56

 Pranata hukum yang berupa pengakuan terhadap suatu bangsa ini,


umumnya masih sangat muda. Munculnya pranata hukum internasional tentang
pengakuan atas suatu bangsa  ini, sebenarnya menguntungkan dan memberikan
dorongan kepada bangsa-bangsa terjajah untuk memperjuangkan hak-haknya,
seperti hak untuk menentukan nasib sendiri ataupun hak mendirikan sebuah negara
merdeka, di dalam percaturan politik internasional.Dewasa ini kelompok yang layak
untuk mendapat predikat sebagai bangsa yang sedang memperjuangkan hak-
haknya adalah Organisasi Pembebasan Palestina atau PLO   dan Organisasi Rakyat
Afrika BaratDaya.
5.  Pengakuan atas Hak-hak Teritorial Baru
Pengakuan atas hak-hak teritorial baru, berkenaan dengan adanya suatu
peristiwa atau fakta di mana suatu negara memperoleh tambahan wilayah, yang
berarti hak negara yang bersangkutan atas wilayah baru tersebut sebagai bagian
dari wilayahnya. Dengan adanya pengakuan dari negara-negara lain atas tambahan
wilayah tersebut dapat menjadi semakin kuat dan sah menurut hukum internasional.

2.4. Macam-macam Pengakuan :


1.  Pengakuan de facto : 
Pengakuan de facto diberikan kepada pihak yang diakui, hanya berdasarkan
pada fakta atau kenyataan saja, tanpa mempersoalkan keabsahan secara yuridis
dari pihak yang diakui.
2. Pengakuan de jure: 
Pengakuan de jure baru dapat diberikan apabila menurut pendapat dari pihak
yang hendak memberikan pengakuan, pihak yang akan diakui secara de jure
tersebut telah memenuhi kualifikasi sebagai berikut:
a. Telah menguasai secara efektif baik secara formal maupun secara
substansial wilayah dan rakyat yang berada di bawah kekuasaannya.
b. Rakyatnya itu sendiri sebagian besar atau seluruhnya telah memberikan
dukungan yang sepenuhnya, artinya menerima dan mengakui kekuasaan
baru tersebut. 
c. Adanya  kesediaan  pihak  yang  akan  diakui  secara  de  jure untuk
menghormati kaidah – hukum internasional.

2.5. Pengakuan Sebagai Pemberontak (insurgensi)


57

Dalam hukum internasional terdapat suatu asas yang telah diterima oleh
semua negara bahwa kejadian-kejadian dalam suatu negara adalah urusan intern
negara tersebut dan pihak-pihak asing tidak berhak turut campur. Tetapi adakalanya
suatu negara terjadi pemberontakan sehingga negara-negara lain tidak begitu saja
mengabaikan keadaan tersebut. Dan bisa saja negara lain dapat memberikan
perhatian dengan cara-cara tertentu.
Fenwick mendefenisikan pemberian pengakuan pemberontakan ini sebagai
pernyataan keyakinan bahwa kaum pemberontak janganlah diperlakukan sebagai
sebagai kaum pengacau, jika mereka tertangkap dan bahwa kaum pemberontak
berhak untuk menerima perbekalan dari negara-negara netral( Bachtiar
Hamzah:1997:30). Tapi kenyataan dalam prakteknya ternyata sangat sulit untuk
memberikan pengakuan terhadap pemberontakan yang terjadi di suatu negara.
Intinya pemberian pengakuan sebagai pemberontak menurut hukum internasional,
tidaklah berarti negara yang memberikan pengakuan itu berpihak kepada kaum
pemberontak.

2.6. Pengakuan Belligeren


Jika terjadi pemberontakan dalam suatu negara, semakin kuat kedudukanya
dan memiliki tujuan menumbangkan pemerintahan pusat maka jelas negara ketiga
dapat memberikan pengakuan Belligerensi (recognition belligerency,)yang sifatnya
lebih tegas dan lebih jelas dari pada hanya pengakuan sebagai pemberontak.Syarat-
syarat untuk dapat diakui sebagai kaum bellegerensi adalah: (Tasrif, 1990, p. 21)
a. kelompok tersebut telah menguasai beberapa wilayah dalam suatu
negara.
b. menjalankan pemerintahan yang teratur sebagai tandingan terhadap
pemerintahan yang berkuasa
c. mentaati hukum perang dan mampu serta bersedia melindungi warga
negara asing serta harta bendanya
2.7. Doktrin-Doktrin Pengakuan
Pertimbangan untuk memberikan pengakuan terhadap negara dan
pemerintahan baru dalam hukum internasional dapat didasarkan pada doktrin-
doktrin berikut:
58

1. Doktrin Tobar memuat bahwa untuk pemerintahan yang telah


menggulingkan pemerintah yang sah dengan cara-cara yang tidak
konstitusional atau cara-cara yang abnormal tidak akan diakui.
2. Doktrin Estrada menyatakan bahwa negara-negar harus terus
melanjutkan hubungan diplomatiknya dengan suatu negara, meskipun di
negara tersebut telah berlangsung perebutan kekuasaan.
3. Doktrin Stimson menyatakan bahwa Amerika Serikat tidak akan mengakui
setiap perolehan wilayah baru melalui cara-cara kekuasaan atau cara-
cara yang tidak sah atau secara melawan hukum (yang bertentangan
dengan Pakta Paris atau dikenal dengan nama kellog-Briand Pact for the
Renunciation of war)
Selain ketiga doktrin pengakuan di atas, terdapat pula doktrin dalam hukum
internasional yang menyatakan agar suatu negara tidak memberikan pengakuan
kepada suatu negara atau pemerintahan baru sebagai proses terhadap adanya
tindakan yang tidak sah menurut hukum internasional. (Adolf, 2002, p. 97)
2.8. Cara-Cara Pemberian Pengakuan
Cara-cara memberikan pengakuan pada dasarnya secara garis besar
pemberian pengakuan itu dibedakan dalam dua cara, yaitu:
1. Secara tegas (expressed recognition); dan
2. Secara diam-diam atau tersirat (implied recognition).
Pengakuan secara tegas maksudnya, pengakuan itu diberikan secara tegas
melalui suatu pernyataan resmi. Pernyataan ini dapat dilakukan melalui deklarasi
atau pernyataan umum yaitu dengan mengirimkan pernyataan pengakuan terhadap
negara baru atau terhadap pemerintahan baru. Atau, pernyataan itu dilakukan
dengan hanya mengirimkan nota diplomatik.
Pengakuan secara tegas dan nyata ini diberikan tidak lama setelah kelahiran
dari pihak yang diberikan pengakuan. Jadi, dari isi dan bunyi nota diplomatik resmi
tersebut secara tegas-tegas dan nyata-nyata dapat diketahui bahwa pengakuan
secara resmi telah diberikan oleh pihak yang mengirim nota tersebut.
Sedangkan pengakuan yang dikatakan secara diam-diam apabila tidak ada
pernyataan formal, namun dilakukan secara diam-diam melalui cara-cara tertentu
yaitu melalui sikap atau perbuatan. Yang menunjukan adanya niat serta keinginan
untuk memberikan pengakuan kepada negara atau pemerintahan baru. Pengakuan
secara diam-diam ini disebut juga dengani pengakuan  secara  tersimpul (implied
59

recognition). Beberapa tindakan atau peristiwa yang dapat dianggap sebagai


pemberian pengakuan secara diam-diam adalah :
a. Pembukaan hubungan diplomatik (dengan negara yang diakui secara
diam-diam itu);
b. Kunjungan resmi seorang kepala negara (ke negara yang diakui secara
diam-diam itu);
c. Pembuatan perjanjian yang bersifat politis (dengan negara yang diakui
secara diam-diam itu).
3. Rangkuman
Pembahasan mengenai lembaga pengakuan internasional ini semoga ada
manfaatnya, oleh karena tetap merupakan suatu masalah aktual yang menyangkut
berbagai bidang hubungan antar negara. Masyarakat internasional merupakan
masyarakat yang dinamis berubah dari waktu ke waktu ada negara yang dikuasai
negara lain dan ada pula negara baru yang lahir. Demikian pula pemerintah lama
terguling, pemerintah baru lahir. Lahirnya negara/ pemerintah tersebut ada yang
melalui cara-cara damai, ada pula yang melalui cara-cara kekerasan. Perubahan-
perubahan ini menyebabkan anggota masyarakat internasional lainnya dihadapkan
pada dua pilihan, yaitu mau menyetujui atau menolaknya.
Tanpa mendapatkan pengakuan ini negara tersebut akan mengalami
kesulitan dalam mengadakan hubungan dengan negara lainnya. Negara yang belum
mendapatkan pengakuan dapat memberi kesan dalam negara lain bahwa negara
tersebut tidak mampu menjalankan kewajiban-kewajiban internasional. Oppenheim
mengatakan bahwa pengakuan merupakan suatu pernyataan kemampuan suatu
negara baru. Nampaklah bahwa negara-negara dalam memberikan pengakuan ini
semata-mata hanya didasarkan pada alasan-alasan politis, bukan alasan hukum.
Dari praktek negara-negara tidak ada keseragaman dan tidak menunjukkan
adanya aturan-aturan hukum dalam masalah pengakuan ini. Namun dengan
diakuinya suatu negara/pemerintah baru, konsekuensi yang ditimbulkannya dapat
berupa konsekuensi politis tertentu dan konsekuensi yuridis antara negara yang
diakui dengan Negara yang mengakui.

4. Tugas
Terkait dengan pengakuan lalu jelaskanlah dalam bentuk tulisan macam-
macam bentuk pengakuan ke-dalam lembar kerja anda!
60

5. Evaluasi
1). Sebutkan teori-teori pengakuan terhadap negara baru dalam Hukum
Internasional!
2). Tuliskan akibat hukum tidak mendapat pengakuan sebagai negara baru dalam
Hukum Internasional!
3). Sebutkan teori-teori pengakuan terhadap pemerintahan baru dalam Hukum
Internasional!
4).Tuliskan akibat hukum tidak mendapat pengakuan sebagai pemerintahan baru
dalam Hukum Internasional!
5). Uraikan pengertian pengakuan Internasional secara hukum (de jure)!
6). Tuliskan perbedaan pengakuan de facto dan de jure dalam Hukum Internasional!
7). Jelaskan bagaimana pengakuan secara diam-diam (implied recognition) dalam
praktek hubungan internasional dimungkinkan menurut norma Hukum
Internasional!
8). Sebutkan kualifikasi negara yang akan diakui menurut Hukum Internasional!

I. KEGIATAN PEMBELAJARAN X-XI


KEDAULATAN TERITORIALl

1. Tujuan Materi Pembelajaran


Agar mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan kedaulatan
teritorial.

2. Materi Pembelajaran
2.1. Pengertian Kedaulatan Teritorial
Kedaulatan teritorial atau kedaulatan wilayah adalah kedaulatan yang dimiliki
Negara dalam melaksanakan yurisdiksi ekslusif di wilayahnya. Kedaulatan berarti
kekuasaan tertinggi dan bersifat monopoli atau summa potestas atau superme
Power yang hanya dimiliki Negara.
D.P O’Connell, berpendapat kedaulatan dan wilayah berkaitan erat karena
pelaksanaan kedaulatan didasarkan pada wilayah. S.T. Bernardez, berpendapat
61

wilayah adalah prasyarat fisik untuk adanya kedaulatan territorial. Arbiter Huber,
berpendapat bahwa keaulatan memiliki 2 ciri, yaitu :Kedaulatan merupakan
prasyarat hukum untuk adanya suatu Negara dan Kedaulatan menunjukkan Negara
tersebut merdeka dan merupakan fungsi Negara

2.2. Prinsip dan Cara Memperoleh Wilayah


           2.2.1. Prinsip Memperoleh Wilayah
Yaitu prinsip yang digunakan untuk menentukan suatu wilayah menjadi milik
suatu Negara, diantaranya :
(1) Prinsip Efektifitas
Menurut prinsip ini bahwa kepemilikan Negara atas suatu wilayah ditentukan
oleh berlakunya secara efektif peraturan hukum nasional di wilayah tersebut.
Disamping prinsip ini, Martin Dixon memperkenalkan prinsip lain yaitu :
a. Adanya control dari Negara terhadap suatu wilayah,
b.  Adanya pelaksanaan fungsi Negara di wilayah tersebut secara damai.
(2) Prinsip Uti Possidetis
Menurut prinsip ini, pada prinsipnya batas-batas wilayah Negara baru akan
mengikuti batas-batas wilayah dari Negara yang mendudukinya. Tujuan dari prinsip
ini adalah untuk mencegah  kemerdekaan dan stabilitas yang Negara baru yang
baru lahir menjadi terganggu atau terancam oleh adanya gugatan terhadap batas –
batas wilayahnya.
(3) Prinsip larangan Penggunaan Kekerasan
Prinsip ini melarang Negara memperoleh wilayah dengan menggunakan
kekuatan senjata.
(4) Prinsip Penyelesaian sengketa secara Damai
(5) Prinsip Penentuan Nasib Sendiri
Prinsip ini menegaskan harus dihormatinya kehendak rakyat di dalam
menentukan status kepemilikan wilayahya.

2.2.2 Cara-Cara Memperoleh Wilayah


Cara – cara memperoleh wilayah secara tradisional:
1.      Pendudukan
Yaitu pendudukan terhadap wilayah yang sebelumnya belum pernah
dimiliki oleh suatu negara ketika pendudukan terjadi.
2.      Penaklukan
62

Yaitu suatu cara pemilikan suatu wilayah berdasarkan kekerasan.


3.      Akresi atau gejala alam
Akresi atau pertambahan adalah cara memperoleh wilayah baru melalui
proses alam (geografis). Misal, pembentukan pulau di mulut sungai.
4.      Preskripsi.
Preskripsi adalah pemilikan suatu wilayah oleh Negara yang telah
didudukinya dalam jangka waktu lama dan dengan sepengetahuan dan
tanpa keberatan dari pemiliknya
5.      Cessi
Cessi adalah pengalihan wilayah secar damai dari suatu Negara ke
Negara lain. Cessi berlangsung dalam rangka suatu perjanjian seusai
perang.
6.      Plebisit ( pemilihan umum )
Plebisit adalah pengalihan suatu wilayah melalui pilihan penduduknya
setelah dilaksanakan pemilihan umum, referendum, atau cara-cara
plainnya yang dipilih oleh penduduk.
7.      Putusan pengadilan/arbitrase.

2.3. Kedaulatan Negara Atas Ruang Udara


            Dalil Hukum Romawi , “ Barang siapa memiliki sebidang tanah dengan
demikian juga memiliki segala sesuatu yang berada di atas permukaan tanah
tersebut sampai ke langit dan segala apa yang berada di dalam tanah”. Ini berarti
negara memiliki kedaulatan penuh atas ruang udara sampai kelangit. Dengan
perkataan wilayah ruang udara suatu negara menganut rezim tertutup. Setiap
pemanfaatan wilayah ruang udara suatu negara harus mendapat izin dari negara
pemiliknya yang sering dinamakan negara kolong.
Disebabkan wilayah ruang udara menganut rezim tertutup, sementara
aktifitas pemanfaatannya sangat besar dalam melakukan hubungan antara negara-
negara sehingga muncul suatu tuntutan agar dapat dipergunakan secara bebas.
Salah satu solusi bagi negara-negara dikenalah apa yang dinamakan Prinsip Lima
Kebebasan Udara yang berasal dari International Air Services Transit Agreement
yang berissikan sebagai berikut: :
1.      Terbang melintasi wilayah negara asing tanpa mendarat.
2.      Mendarat untuk tujuan komersial.
63

3.      Menurunkan penumpang di wilayah negara asing yang berasal dari


negara asal pesawat udara.
4.      Mengangkut penumpang pada lalu lintas negara asing yang bertujuan ke
negara asal pesawat udara.
5.      Mengangkut angkutan antara dua negara asing.

2.4. Ruang Angkasa


Tahun 1965  (the international geophysical year) para ilmuwan dan ahli
hukum mulai dihadapkan dengan masalah batasan ruang udara dan
memisahkannya dengan ruang angkasa. Maka, Majelis Umum PBB
mengembangkan bidang hukum angkasa ini dengan dibentuknya Komisi
Pemanfaatan Damai Rung Angkasa. Hasil pentingnya adalah dikeluarkannya
Resolusi No. 1962 ( XVIII ) tanggal 13 Desember 1963 yang diterima negara-negara.
Prinsip-Prinsip tersebut , yaitu :
1.      Eksplorasi dan pemanfaatan ruang angkasa untuk semua umat manusia
berdasarkan kesamaan.
2.      Benda-benda ruang angkasa tidak dapat dimiliki oleh suatu negara.
3.      Setiap kegiatan eksplorasi dan pemanfaatan ruang angkasa harus sesuai
dengan HI dan piagam PBB.
4.      Negara bertanggungjawab atas kegiatan ruang angkasa, baik negara
sponsor atau sebaliknya.
5.      Kewajiban negara untuk menolong dan menyelematkan astronot yang
berada dalam bahaya.

2.5. Kedaulatan Negara Atas Wilayah Laut


PBB mengadakan Konferensi Hukum Laut di Jenewa 1958. Diikuti 86 negara
menghasilkan 4 konvensi, 1 protocol fakultatif, serta 9 resolusi.
4 konvensi tersebut yaitu :
1.      Konvensi tentang Laut Teritorial dan Jalur Tambahan
2.      Konvensi tentang Laut Lepas
3.      Konvensi tentang Landas Kontinen
4.      Konvensi tentang Perikanan dan Perlindungan Sumber Kekayaan Hayati
Laut Lepas.
64

Rumusan kompromi yang ditawarkan konferensi waktu itu adalah 6 mil zona
perikanan. Dalam membahas kedaulatan negara atas wilayah laut ini akan
mencakup :
1.      Perairan Pedalaman
Perairan pedalaman adalah perairan yang berada pada sisi darat garis pangkal.
Di perairan pedalaman ini negara memiliki kedaulatan penuh atasnya.
2.      Laut Teritorial
Laut teritorial adalah laut yang terletak di luar sisi luar garis pangkal yang tidak
melebihi lebar 12 mil laut dari garis pangkal.
3.      Jalur Tambahan
Jalur tambahan adalah suatu zona tambahan dan berda di luar laut territorial
dimana suatu negara mempunyai kekuasaan terbatas untuk mencegah
pelanggaran terhadap peraturan bea cukai, fiscal, imigrasi dan kesehatan.
4.      Landas Kontinen
Landas kontinen meliputi dasar laut dan tanah dibawahnya dari daerah di bawah
permukaan laut yang terletak diluar laut teritorialnya sepanjang kelanjutan
alamiah wilayah daratannya hingga pinggiran luar tepi kontinen, atau hingga
jarak 200 mil laut dari garis pangkal darimana lebar laut tepi kontinen tidak
mencapai jarak tersebut.
5.      Zona Ekonomi Ekslusif ( ZEE )
ZEE adalah suatu zona selebar tidak lebih dari 200 mil dari garis pangkal.
Yurisdiksi yang dimiliki ZEE meliputi :
- Pembuatan dan pemakaian pulau buatan, instalasi dan bangunan.
- Riset ilmiah kelautan.
- Perlindungan dan pelestarian lingkungan laut.
6.      Laut Lepas
Pada dasarnya, laut lepas tiak berlaku kedaulatan, hak berdaulat, yurisdiksi
negara. Laut lepas merupakan ras communis, yaitu laut yang terbuka dan bebas
bagi semua negara.
Beberapa kebebasan tersebut, yakni :
- Berlayar
- Penerbangan
- Memasang kabel dan pipa bawah laut
- Membangun Pulau buatan dan instalasi lainnya
65

- Menangkap ikan
- Riset ilmiah kelautan.
7.      Kawasan
Kawasan adalah dasar laut dan dasar samudera serta tanah di bawahnya di luar
batas yurisdiksi nasional suatu negara. Di kawasan ini negara tidak mempunyai
kedaulatan atau hak berdaulat. Kawasan ini merupakan Warisan bersama umat
manusia.

2.6. Kedualatan Negara Atas Sungai


Kedaulatan negara mencakup darat, laut dan udara. Pengertian darat
mencakup sungai yang memotong darat  serta danau yang dikelilingi daratan. Yang
menjadi masalah berkaitan dengan kedaulatan negara atas sungai adalah hak
negara tepi sungai dan negara lain untuk berlayar di sepanjang sungai itu.
Ada tiga pendapat yang berkaitan dengan ini, yaitu :
1.      Kelompok pertama, berpendapat bahwa hak lintas tersebut terbatas pada
masa damai.
2.      Kelompok dua, berpendapat bahwa hanya negara – negara yang dilewati
sungai sajalah yang memiliki hak lintas.
3.      Kelompok tiga, berpendapat bahwa kebebasan lintas tersebut tidak
terbatas namun tunduk pada hak masing-masing negara untuk membuat
peraturan yang wajar dan perlu berkaitan dengan pemenfaatan sungai
perbatasannya.

2.7. Kedaulatan Negara Atas Daerah Perbatasan


            Perbatasan merupakan pemisah antara berlakunya kedaulatan negara
dengan kedaulatan negara lainnya. Masalah perbatasan ini tampak menonjol dan
sulit  karena beberapa negara daerah perbatasannya belum ditetapkan dengan jelas
berhubung jauhnya jarak batas dan pusat keramaian.

2.8. Antartica (Kutub Selatan)


Banyak negara yang berupaya mengklaim kedaulatannya atas wilayah ini.
Ada beberapa landasan teori atau pembenaran yang digunakan negara dalam
mengklaim wilayah yang luas dan tidak ada penduduk aslinya ini. Landasan
pembenar tersebut adalah :
1.      Pendudukan
66

2.      Teori Koninuitas
3.      Teori Kontiguitas
4.      Teori Sector
5.      Penemuan
6.      Berdasarkan hak – hak historis.
Menghadapi banyaknya klaim tersebut, atas inisiatif Amerika Serikat, negara-
negara berkepentingan dengan antartica mengadakan Perjanjian Antartica 1959.
Prinsip yang mendasari Perjanjian Antartica :
1.      Segala kegiatan yang dilakukan antartica hanya untuk maksu damai saja
( Pasal 1 ).
2.      Berlakunya kebebasan untuk melakukan penelitian dan kerjasama ilmiah
di antartica ( Pasal 2 ).
3.      Pemeliharaan lingkungan Antartica ( Pasal 9 )
Para pihak sepakat untuk  bekerjasama dan setuju untuk tidak menggunakan
antartica untuk maksud militer. Perjanjian tersebut melarang segala percobaan
peledakan bom nuklir dan pembuangan sampah radioaktif. Perjanjianpun tidak
mengakui klaim-klaim terhadap kedaulatan antartica.

3. Rangkuman
Kedaulatan merupakan kekuasaan tertinggi dari suatu negara, artinya diatas
kedaulatan itu tidak ada lagi kekuasaan yang lebih tinggi. Kedaulatan yang di miliki
suatu negara menunjukan bahwa suatu negara itu adalah merdeka atau tidak tunduk
pada kekuasaan negara lain.
Aspek kedaulatan meliputi:
1. Aspek internal, yaitu berupa kekuasaan tertinggi untuk mengatur segala
sesuatu yang ada atau yang terjadi di dalam batas-batas wilayahnya.
2. Aspek eksternal yaitu kekuasaan tertinggi untuk menggadakan hubungan
dengan anggota masyarakat internasional.
Kedaulatan teritorial juga berarti kedaulatan yang dimiliki oleh suatu negara
dalam melaksanakan jurisdiksi eksklusif di wilayahnya..Kedaulatan teritorial juga
berarti kedaulatan yang dimiliki oleh suatu negara dalam melaksanakan jurisdiksi
eksklusif di wilayahnya
J. G. Starke berpendapat, kedaulatan teritorial berarti bahwa di daerah
teritorial ini jurisdiksi dijalankan oleh negara itu atas orang-orang dan harta benda.
67

Pelaksanaan kedaulatan didasarkan pada wilayah. Dalam wilayah itulah negara


menjalankan kedaulatanya, sehingga sebuah negara tidak mungkin ada, tanpa
adanya wilayah, meskipun wilayah itu kecil saja. Wilayah suatu negara merupakan
objek hukum internasional, oleh karena itu hukum internasional mengakui
kedaulatan tiap-tiap negara.
Wilayah suatu negara adalah suatu ruang dimana orang yang menjadi
warganegara atau penduduk negara yang bersangkutan hidup serta menjalankan
segala aktivitasnya.

4. Tugas
Terkait dengan kedaulatan negara lalu jelaskanlah dalam bentuk tulisan ke-
dalam lembar kerja anda!

a. Aspek kedaulatan internal dan eksternal negara Indonesia

b. Kedaulatan negara atas perbatasan, sebutkan juga negara negara yang


berbatasan dengan Indonesia, pengawasan dan perlindungannya

c. Kedaulatan negara atas ZEE, jelaskan juga kerjasama Indonesia dengan


negara lain, maafaat dan kerugian,

d. Kedaulatan di laut lepas, buat contoh

5. Evaluasi
1) Sebutkan kualifikasi negara yang akan diakui menurut Hukum Internasional!
2) Dalam Hukum Internasional, suatu kedaulatan dapat dipandang dari
perspektif intern dan ekstern, jelaskan!
3) Suatu kedaulatan dapat dipandang dari perspektif intern dan ekstern,
jelaskan!

6. Kunci jawaban
1) Sebutkan kualifikasi negara yang akan diakui menurut Hukum Internasional!
Negara yang akan diakui dengan memenuhi kualifikasi menurut hukum
internasional, di antaranya, efektivitas, regularitas, dan eksklusivitas.
2) Dalam Hukum Internasional, suatu kedaulatan dapat dipandang dari
perspektif intern dan ekstern, jelaskan dari sisi intern!
Dari sisi intern, kedaulatan dipandang sebagai kekuasaan negara dari teritori
atau batas-batas wilayahnya, artinya kedaulatan pada posisi dalam dari suatu
negara.
68

3) Suatu kedaulatan dapat dipandang dari perspektif ekstern, jelaskan! Dari


perspektif ekstern, melihat atau memposisikan negara dalam relasinya dengan
negara-negara lain.

J. KEGIATAN PEMBELAJARAN XII:


JURISDIKSI NEGARA DALAM HUKUM INTERNASIONAL

1. Tujuan Materi Pembelajaran


Agar mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan Jurisdiksi Negara
Dalam Hukum Internasional:

2. Materi Pembelajaran

2.1. Pengertian Jurisdiksi Negara


Jurisdiksi adalah kekuasaan atau kompetensi (kewenangan) hukum negara
terhadap orang, badan dan peristiwa hukum. Jurisdiksi merupakan refleksi dari
prinsip dasar kedaulatan negara, kedaulatan negara tidak akan diakui apabila
negara tersebut tidak memiliki jurisdiksi, persamaan derajat negara dimana kedua
negara yang sama-sama merdeka dan berdaulat tidak bisa memiliki jurisdiksi
(wewenang) terhadap pihak lain (equal states don,t have jurisdiction over each
other), dan prinsip tidak turut campur negara terhadap urusan domestik negara lain.
Prinsip-prinsip tersebut tersirat dari prinsip hukum “par in parem non habet
imperium” (Adolf, 2002, p. 183)
Menurut Hans Kelsen, prinsip hukum “par in parem non habet imperium” ini
memiliki beberapa pengertian. Pertama, suatu negara tidak dapat melaksanakan
jurisdiksi melalui pengadilannya terhadap tindakan-tindakan negara lain, kecuali
negara tersebut menyetujuinya. Kedua, suatu pengadilan yang dibentuk
berdasarkan perjanjian internasional tidak dapat mengadili tindakan suatu negara
yang bukan merupakan anggota atau peserta dari perjanjian internasional tersebut.
Ketiga, pengadilan suatu negara tidak berhak mempersoalkan keabsahan tindakan
69

suatu negara lain yang dilaksanakan di dalam wilayah negaranya. (Adolf, 2002, p.
184)
Jadi jurisdiksi merupakan refleksi atau pencerminan dari prinsip dasar
kedaulatan negara, kesamaan derajat dan tidak campur tangan dalam urusan dalam
negeri masing-masing. Pelaksanaan jurisdiksi meskipun didasarkan atas banyak
faktor, misalnya kebangsaan, namun penegakannya banyak ditentukan pada faktor
wilayah. Oleh sebab itu penting suatu negara memiliki wilayah dengan batas-batas
yang jelas, sebagaimana pendapat Mochtar Kusumaatmdja: “perlunya di tentukan
batas-batas wilayah suatu negara ialah untuk mengetahui sampai sejauh mana
kekuasaan suatu negara itu, karena kekuasaan suatu negara itu terbatas pada
batas-batas wilayah negara yang memiliki kekuasaan itu, dan kekuasaan itu berakhir
dimana kekuasaan suatu negara lain dimulai” (Kusumaatmadja M. , Pengantar
Hukum Internasional, 1999, p. 14)
Jurisdiksi dapat dibedakan antara lain: (Bachtiar Hamzah; sulaiman Hamid,
1997, p. 75)
1. Jurisdiksi Perdata, yaitu kewenangan hukum pengadilan suatu negara
terhadap perkara-perkara yang menyangkut keperdataan, baik yang sifatnya
nasional, yaitu bila para pihak atau objek perkaranya melulu menyangkut
nasional; maupun yang bersifat internasional (perdata internasional) yaitu bila
para pihak atau objek perkaranya menyangkut unsur asing.
2. Jurisdiksi Pidana, yaitu kewenangan (hukum) pengadilan suatu negara
terhadap perkara-perkara yang menyangkut kepidanaan, baik yang
tersangkut di dalamnya unsur asing maupun nasional.
2.2. Hubungan antara Kedaulatan Negara dan jurisdiksi Negara
Yurisdiksi merupakan refleksi dari kedaulatan negara. Dari kedaulatan itu lah
diturunkan atau dilahir yurisdiksi negara. Dengan yurisdksi tersebut suatu negara
dapat mengatur secara lebih rinci dan jelas masalh-masalah yang dihadapinya,
sehingga aterwujud apa yang menjadi tujuan dari negara. Dengan demikian, dapat
disimpulkan bahwa hanya negara berdaulat yag dapat memiliki yurisdiksi menurut
hukum internasional. (Parthiana, 1990, p. 295)
2.3. Macam-Macam yurisdiksi Negara
Secara garis besar macam yurisdiksi negara dapat ditinjau berdasarkan pada
(Parthiana, 1990, pp. 298-328):
70

1. Berdasarkan hak, kekuasaan dan kewenangan untuk mengatur dapat


dibedakan antara:
a. Yurisdiksi legislative
b. Yurisdiksi eksekutif
c. Yurisdiksi judikatif
2. Berdasarkan hak, kekuasaan dan kewenangan atas obyek yang di atur
dapat dibedakan menjadi:
a. Yurisdiksi personal
b. Yurisdiksi kebendaan;
c. Yurisdiksi criminal
d. Yurisdiksi civil
e. Yurisdiksi eksklusif
3. Bedasarkan hak, kekuasaan dan kewenangan atas tempat atau terjadinya
objek yang di atur dapat dibedakan atas:
a. Yurisdiksi territorial
b. Yurisdiksi quasi territorial
c. Yurisdiksi ektra territorial
d. Yurisdiksi universal
e. Yurisdiksi ekslusif
2.4. Prinsip-Prinsip Jurisdiksi Negara
a. Prinsip Jurisdiksi Teritorial
Jurisdiksi teritorial adalah Jurisdiksi suatu negara untuk mengatur,
menerapkan dan memaksakan hukum nasionalnya terhadap segala sesuatu yang
ada atau terjadi di dalam batas-batas wilayahnya. Menurut prinsip jurisdiksi
teritorial, negara mempunyai jurisdiksi terhadap semua persoalan dan kejadian
di dalam wilayahnya. Prinsip ini adalah prinsip yang paling mapan dan penting
dalam hukum internasional. Menurut Hakim Lord Macmillan suatu negara
memiliki jurisdiksi terhadap semua orang, benda, perkara-perkara pidana atau
perdata dalam batas-batas wilayahnya sebagai pertanda bahwa negara tersebut
berdaulat.
Jurisdiksi teritorial juga ada pengecualiannya, yaitu berdasarkan kententuan-
ketentuan hukum Internasioanl, terdapat objek-objek tertentu yang berada atau
terjadi di dalam wilayah suatu negara tetapi tidak tunduk pada jurisdiksi teritorial
71

negara yang bersangkutan. Objek-objek yang dikecualikan dari jurisdiksi teritorial itu
adalah: (H.Bachtiar Hamzah: 1997: 82)
1. Kepala negara atau kepala pemerintahan dari negara asing, yang
sedang berada di suatu negara.
2. Staf diplomatik dan staf Konsuler dari negara asing yang di tempatkan
di suatu negara.
3. Angkatan bersenjata dari negara asing yang sedang menjalankan
tugas kenegaraan di suatu negara
4. Kepala dan staf dari lembaga-lembaga internasional yang bertugas
disuatu negara.
5. Gedung-gedung atau Kantor-kantor Perwakilan diplomatik negara
asing di suatu negara seperti misalnya, Kedutaan besar beserta
seluruh area yang di pergunakan bagi keperluan diplomatik tersebut.
6. Gedung-gedung atau Kantor-kantor pusat maupun Perwakilan dari
Lembaga-lembaga Internasional di suatu negara beserta arsip-
arsipnya.
7. Kapal-kapal dan Pesawat Udara publik milik negara asing yang sedang
berada di suatu negara.

b. Prinsip Yurisdiksi Personal


Menurut prinsip jurisdiksi personal (nasionalitas) bahwa Suatu negara dapat
mengadili warganegaranya karena kejahatan ang dilakukannya dimana pun juga.
Sebaliknya adalah kewajiban negara untuk memberkan perlindungan diplomatik
kepada warga negaranya di luar negeri. Ketentuan ini sudah diterima secara
universal.
Prinsip yurisdiksi personal dikenal ada 2 (dua) kategori, yaitu:
1) Prinsip yurisdiksi Personal Aktif
Menurut prinsip ini, suatu negara memiliki jurisdiksi terhadap warga negaranya
yang melakukan tindak pidana di luar negeri.
2) Prinsip yurisdiksi Personal Pasif.
Menurut prinsip ini, suatu negara memiliki jurisdiksi untuk mengadili orang
asing yang melakukan tindak pidana terhadap warga negaranya di luar negeri
Contoh: Pada UU Keamanan Diplomatik dan Anati Terorisme Saction 2333 (a)
yang menyatakan bahwa “Amerika Serikat memiliki jurisdiksi terhadap siapa pun
72

yang melakukan pembunuhan terhadap warga negaranya di luar negeri.” (Adolf,


2002, p. 212)

c. Prinsip Jurisdiksi Perlindungan


Berdasarkan prinsip jurisdiksi perlindungan bahwa suatu negara dapat
melaksanakan jurisdiksinya terhadap warga negara asing yang melakukan
kejahatan diluar negeri yang diduga dapat mengancam kepentngan keamanan,
integritas dan kemerdekaan negara. (Adolf, 2002, p. 213) Contoh seperti doktrin jalur
tambahan dalam hukum laut internasional bahwa “negara pantai menetapkan jalur
ini dengan tujuan untuk melindungi kepntingan negaranya terhadap pelanggaran
yang dilakukan oleh orang asing di luar wilayah kedaulatannya.” (Haris, 1998, p.
288)
d. Prinsip Juridiksi Universal
Prinsip ini memuat bahwa setiap negara mempunyai jurisdiksi terhadap tindak
kejahatan yang mengancam masyarakat internasional. Jurisdiksi ini lahir tanpa
melihat dimana kejahatan dilakukan atau warga negara yang melakukan kejahatan.
(Adolf, 2002, p. 216) Contoh seperti kejahatan yang berkaitan dengan kemanusian
yang dapat diadili menurut hukum internasional pada International Criminal Court
(ICC) berdasarkan Statuta Roma 1998.

3. Rangkuman
Jurisdiksi teritorial adalah Jurisdiksi suatu negara untuk mengatur,
menerapkan dan memaksakan hukum nasionalnya terhadap segala sesuatu yang
ada atau terjadi di dalam batas-batas wilayahnya. Menurut prinsip jurisdiksi
teritorial, negara mempunyai jurisdiksi terhadap semua persoalan dan kejadian
di dalam wilayahnya. Prinsip ini adalah prinsip yang paling mapan dan penting
dalam hukum internasional. Menurut Hakim Lord Macmillan suatu negara
memiliki jurisdiksi terhadap semua orang, benda, perkara-perkara pidana atau
perdata dalam batas-batas wilayahnya sebagai pertanda bahwa negara tersebut
berdaulat.
4. Tugas
Terkait dengan jurisdiksi teritorial lalu jelaskanlah jurisdiksi di laut, udara dan
darat dalam bentuk tulisan ke-dalam lembar kerja anda!

5. Evaluasi
1). Sebutkan objek-objek yang dikecualikan dari jurisdiksi teritorial
73

2). Jelaskan hubungan antara yurisdiksi negara dengan asas kedaulatan negara!
3) Dalam jurisdiksi internasional, dikenal prinsip persamaan antarnegara, yang
mana mengakibatkan negara-negara tersebut memiliki beberapa ketentuan
khusus,sebutkan!

K. KEGIATAN PEMBELAJARAN XIII


TANGGUNG JAWAB NEGARA DALAM HUKUM INTERNASIONAL

1. Tujuan Materi Pembelajaran


Agar mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan Tanggung Jawab
Negara Dalam Hukum Internasional.

2. Materi Pembelajaran

2.1. Pengertian dan Batasan Tanggungjawab Negara


Negara dalam menjalin hubungan dengan Negara lain tentu tidak luput dari
membuat kesalahan atau pelanggaran yang merugikan Negara lain. Suatu Negara
itu dikatakan sebagai subjek hukum internasional apabila ia telah
menjalankan/melaksanakan kedaulatanya. Setiap Negara memiliki batasan-batasan
wilayahnya sehingga dalam batas-batas itulah Negara menjalankan juridiksinya.
Dalam menjalankan kedaulatanya suatu Negara tidak dapat lepas dari pertanggung
jawaban. Artinya ada prinsip-prinsip yang mengatur di dalam kedaulatan agar tidak
menyalahgunakan kedaulatan tersebut. Oleh karena itu jika ada suatu negara
menyalahgunakan kedaulatanya maka dapat diminta pertanggung jawaban untuk
tindakannya.
Pada dasarnya yang menjadi latar belakang timbulnya tanggung jawab
negara dalam hukum internasional yaitu bahwa tidak ada satu negara pun yang
dapat menikmati hak-haknya tanpa menghormati hak-hak negara lain. Setiap
pelanggaran terhadap hak negara lain maka negara tersebut harus
mempertanggung jawabkannya. (Adolf, 2002, p. 255)
Rosalyn Higgins mengemukakan bahwa hukum tentang tanggung jawab
negara tiddak lain adalah hukum yang mengatur akuntabilitas terhadap suatu
pelanggaran hukum internasional. JIka suatu negara melanggar suatu kewajiban
74

internasional, negara tersebut bertanggung jawab untuk pelanggran yang


dilakukannya. (Higgins, 1994, p. 144) Ini berarti tanggung jawab negara dapat
diartikan sebagai segala sesuatu yang berkenaan dengan penentuan tentang atas
dasar apa dan pada situasi yang bagaimana suatu negara dapat dianggap telah
melakukan kesalahan atau tindakan yang salah secara internasional, dimana hal itu
menjadi sumber pertanggungjawaban negara, serta apa yang harus dilakukan oleh
negara itu, untuk memperbaiki kesalahannya atau memenuhi pertanggung
jawabannya. (Bachtiar Hamzah; sulaiman Hamid, 1997, p. 111)
Berdasarkan hukum internasional, suatu negara bertanggung jawab bilamana
suatu perbuatan atau kelalaian yang dapat dipertautkan kepadanya melahirkan
pelanggaran terhadap suatu kewajiban internasional, baik yang lahir dari suatu
perjanjian internasional maupun dari sumber hukum internasional lainnya. Jadi
pertanggung jawaban Negara lahir kerena adanya kerugian yang diderita.
Menurut Rebecca M.M Wallace bahwa Tanggung jawab Negara dalam
hukum internasional merujuk pada pertanggungjawaban yaitu satu Negara terhadap
Negara lain untuk ketidaktaatanya memenuhi kewajiban yang ditentukan oleh sistem
hukum internasional. Suatu Negara dapat meminta pertanggungjawaban bagi
kerugian kepada Negara tergugat itu sendiri.( Bhatiar Hamzah:1997 :111)
Menurut J.G.Starke bahwa Peraturan hukum internasional tentang tanggung
jawab Negara yang menyangkut keadaan sekitar dimana dan prinsip-prinsip dengan
mana Negara yang dirugikan itu menjadi berhak untuk mendapat ganti rugi atas
kerugian yang dideritanya. Tanggung jawab Negara telah dinyatakan secara
teoritatif untuk di batasi hanya pada tanggungjawab Negara untuk tindakan-tindakan
salah secara internasional.( J.G.Starke:1988 : 275)
Tanggung jawab Negara itu harus ditentukan oleh norma-norma internasional
dan tergantung pada hukum internasional mengenai apakah dan sejauh manakah
tindakan dan kelalaian suatu Negara dianggap sah atau melawan hukum. Artinya
bila setelah diukur dengan norma-norma tersebut ternyata tindakan itu dianggap
sah, maka tidak timbul tanggung jawab Negara.( J.G. Starke :1988 :275-276)
Oleh Oppenheim-Lauterpacht dinyatakan bahwa suatu Negara dapat saja
menghindar dari tanggung jawabnya atau tidak mempunyai pertanggungjawaban
hukum apapun terhadap tindakan-tindakannya kepada warga negaranya sendiri
dengan merubah hukum nasionalnya sendiri. Tetapi dalam hal pertanggung jawaban
keluar , suatu Negara tidak dapat begitu saja merubah hukum internasionalnya dan
75

melepaskan tanggung jawabnya sebagai anggota masyarakat internasional atau


pribadi internasional.(Bachtiar Hamzah: 1997:113) Dan setiap pengabaian terhadap
kewajiban hukum internasional merupakan pelanggaran internasional dan Negara
yang di rugikan, baik merupakan tindakan balasan atau perang sekalipun, dapat
memaksa Negara yang melanggar untuk memenuhi kewajiban internasionalnya.
Jadi jelasnya tanggung jawab Negara akan timbul manakala;
1. Adanya pelanggaran atas suatu kewajiban berdasarkan hukum internasional,
oleh suatu Negara
2. Pelanggaran mana menimbulkan kerugian atau kerusakan terhadap Negara
lain;dan
3. Adanya hubungan antara pelanggran dan kerugian itu yang menyebabkan
Negara yang melakukan pelanggaran harus mempertanggungjawabkanya.
Apa yang telah diuraikan di atas sesuai dengan pendapat Shaw bahwa fakor-
faktor penting untuk adanya tanggung jawab negara ialah sebagai berikut: (Shaw,
1986, p. 431)
1) Adanya suatu kewajiban hukum internasional yang berlaku antara dua
negara tertentu;
2) Adanya suatu perbuatan atau kelalaian yang melanggar kewajiban hukum
internasional tersebut yang melahirkan tanggung jawab negara, dan
3) Adanya kerusakan atau kerugian sebagai akibat adanay tindakan yang
melanggar hukum atau kelalaian.
Oppenheim-Lauterpaht, membedakan tanggung jawab Negara kedalam dua
jenis yaitu: (Bachtiar Hamzah:1997:116)
1. Original Responsibility, yaitu tanggung jawab yang timbul dari tindakan-
tindakan yang dilakukan oleh dan atas ijin dari pejabat pemerintahan Negara
tersebut. Artinya Negara bertanggung jawab karena kelalaiannya, Negara
dituntut untuk membayar kerugian atas tindakan yang merugikan yang
dilakukan oleh pejabatnya meskipun dilakukan di luar perintah resmi, asalkan
tugas itu merupakan tugas yang biasa dan rutin dilakukan olehnya.
2. Vicarious Responsibility, yaitu tanggung jawab yang timbul dari tindakan yang
dilakukan oleh pejabat Negara tanpa izin dari pemerintah Negara itu, atau
yang dilakukan oleh warganegaranya dan orang asing yang berkedudukan di
wilayah Negara tersebut. Pada vicarious responsibility, beban Negara hanya
terbatas pada memaksa pejabat atau warganegaranya yang melakukan
76

tindakan yang merugikan itu untuk memperbaiki keadaan itu semampunya


dan kalau perlu Negara dapat menghukum orang yang bersalah itu.
Pada Original Resposibility hal ini merupakan tanggung jawab negara karena
kelalaian negara itu atas kewajiban negara itu sendiri, sedangkan pada Vicarious
Resposibility tidak merupakan kelalaian negara, disini negara hanya terbatas pada
memaksa pejabat atau warga negaranya yang melakukan tindakan -tindakan yang
merugikan itu untuk memperbaiki keadaan atau bertanggung jawab.

2.2. Bentuk Bentuk Tanggungjawan Negara


Pertanggung jawab negara muncul biasanya diakibatkan oleh pelanggaran
atas hukum internasional. Suatu negara dikatakan bertanggung jawab dalam hal
negara tersebut jika melakukan pelanggaran atas perjanjian internasional,
melanggar kedaulatan wilayah, menyerang negara lain, mencederai perwakilan
diplomatik negara lain, dan memperlakukan negara asing seenaknya. Oleh karena
itu pertanggungjawaban negara berbeda-beda kadarnya tergantung pada kerugian
yang di timbulkan.
Terdapat beberapa bentuk pertanggungjawaban negara yang diakui dalam
hukum internasional yaitu, Reparation, semacam kompensasi dengan membayar
sejumlah uang, tetapi pada saat ini reparation sudah jarang di gunakan dan
kemudian Satisfacation, sebuah upaya yang dilakukan oleh sebuah negara untuk
mendapatkan sebuah putusan dari pengadilan yang mendukungnya.
Dibawah ini dapat dilihat beberapa bentuk pertanggungjawaban negara yaitu:
a. Pertanggungjawaban Atas Pelanggaran Perjanjian Internasional
Suatu negara dapat saja melanggaar suatu perjanjian yang telah dibuatnya
dengan negara lain, yang mengakibatkan kerugian terhadap lainnya.
Pelanggaran terhadap suatu perjanjian tentu melahirkan suatu kewajiban
untuk membayar ganti rugi (Sugeng Istanto:1998:79). Dan berapa besar ganti
rugi untuk pelanggaran suatu perjanjian internasional dapat ditentukan oleh
Mahkamah Internasional, pengadilan, peradilan arbitrase atau melalui
perundingan. Pelanggaran atas suatu perjanjian menurut hukum
internasional dianggap sebagai pelanggaran atau kelalaian yang cukup
serius, karena menyangkut kridibilitas negara di mata masyarakat
internasional.
b. Pertanggungjawaban Atas Pelanggaran Kewajiban Kontraktual.
77

Tanggung jawab ini terjadi jika suatu negara melanggara perjanjian atau
kontrak yang telah dibuatnya dengan negara lain dan pelanggaran itu
mengakibatkan kerugian terhadap negara lainnya.
c. Pertanggungjawaban Atas Hutang-Hutang Negara
Suatu negara tidak membayar hutang-hutang luar negeri berarti bahwa
negara tersebut tidak memenuhi kewajiban kontrak atau perjanjian hutang.
d. Pertanggungjawaban Atas Ekspropriasi
Yaitu pencabutan hak milik perorangan untuk kepentingan umum yang
disertai dengan pemberian ganti rugi
e. Pertanggungjawaban Atas Konsesi
Perjanjian konsesi antara negara dengan warga negara (korporasi asing)
dikenal dengan Clausula Alvo yang menetapkan bahwa penerima konsesi
melepaskan perlindungan pemerintahannya dalam sengketa yang timbul dari
perjanjian tersebut dan sengketa yang timbul itu harus di ajukan ke peradilan
nasional negara pemberi konsesi dan tunduk pada hukum nasional tersebut.
f. Pertanggungjawaban Atas Perbuatan Melawan Hukum (Delictual Liability)
Tanggung jawab perbuatan melawan hukum dapat lahir dari setiap kesalahan
atau kelalaian suatu negara terhadap orang asing di dalam wilayahnya atau
wilayah negara lain
2.3. Exhaustion of Local Remedies
Hukum kebiasaan internasional menetapkan bahwa sebelum diajukannya
suatu tuntutan ke pengadilan internasional, langkah-langkah penyelesaian sengketa
(local remedies rule) yang tersedia atau yang diberikan oleh negara tersebut harus
terlebih dahulu di tempuh (exhausted).
Diterapkannya local remedies ini dimaksudkan ialah: (Bachtiar Hamzah;
sulaiman Hamid, 1997, p. 178)
1) untuk memberikan keempatan kepada negara pelanggar kewajiban
internasional untuk memperbaiki pelanggaran sesuai dengan caranya
sendiri menurut hukum nasionalnya sebagaimaa terlihat dalam kasus the
Interhandel Case tahun 1959 dan The Ambatielos Arbitration tahun 1956
2) untuk mengurangi jumlah tuntutan internasional yang mungkin;
3) menghormati kedaulatan negera-negara lain.
Ketentuan local remedies tidak berlaku dalam hal-hal sebagai berikut: (Adolf,
2002, pp. 277-279)
78

1) suatu negara telah melakukan pelanggran langsung hukum internasional


yang menyebabkan kerugian terhadap negara lain;
2) Ketentuan local remedies dapat ditarik kembali berdasarkan suatu
perjanjian internasional;
3) Upaya penyelesaian setempat tidak perlu digunakan manakala hasil atau
putusan dari pengadilan setempat sudah dipastikan akan memberikan
putusan yang sama dengan putusan-putusan sebelumnya;
4) Upaya penyelesaian setempat tidak perlu dilakukan manakala upaya
tersebut memang tidak tersedia.
5) Apbila suatu pelanggaran dilakukan oleh pemerintah yang tidak tunduk
kepada yurisdiksi pengadilan setempat.
6) Negara-negara dapat menyampaikan untuk menanggalkan upaya
penyelesaian setempat (local remedies).
2.4. Doktrin Imputabilitas
Imputabilitas dalam tanggung jawab negara merupakan suatu doktrin yang
menyebutkan bahwa tindakan –tindakan dari pejabat atau perwakilannya yang sah,
seakan-akan tindakan itu adalah tindakan negara itu sendiri. Yang menjadi latar
belakang doktrin ini ialah bahwa negara sebagai suatu kesatuan hukum yang
abstrak tidak dapat melakukan tindakan-tindakan yang nyata. Negara baru dapat
melakukan suatu tindakan (hukum) yang nyata melalui pejabat-pejabat atau
perwakilan-perwakilan yang sah. (Adolf, 2002, pp. 279-278)
Menurut doktri Impubilitas bahwa negara dapat dimintakan
pertanggungjawaban atas tindakan-tindakan yang dilakukan oleh pejabat-pejabat
atau perwakilan-perwakilan yang sah. Negara tidak dapat mengelakkan diri dari
tanggung jawab dengan adanya alasan bahwa tindakan-tindakan yang salah dari
pejabat-pejabad dan perwakilan yang sah itu ada pengaturannya di dalam hukum
nasionalnya.
Dalam hukum internasional, negara bertanggung jawab atas tindakan-
tindakah:seperti: (M.M.Wallance, 1993, p. 186)
a) Pemerintah;
b) Setiap sub divisi politik dari negara;
c) Setiap lembaga, pejabat perwakilan resmi atau perwakilan lain
pemerintahannya atau setiap sub divisi yang bertindak dalam lingkup
pekerjaan mereka.
79

Sementara itu menurut hukum internasional, negara tidak dapat dimintai


pertanggung jawaban atas semua tindakan atau perbuatan yang dilakukan
warganegaranya.

3. Rangkuman
Berdasarkan hukum internasional, suatu negara bertanggung jawab bilamana
suatu perbuatan atau kelalaian yang dapat dipertautkan kepadanya melahirkan
pelanggaran terhadap suatu kewajiban internasional, baik yang lahir dari suatu
perjanjian internasional maupun dari sumber hukum internasional lainnya. Jadi
pertanggung jawaban Negara lahir kerena adanya kerugian yang diderita.
Pertanggung jawab negara muncul biasanya diakibatkan oleh pelanggaran
atas hukum internasional. Suatu negara dikatakan bertanggung jawab dalam hal
negara tersebut jika melakukan pelanggaran atas perjanjian internasional,
melanggar kedaulatan wilayah, menyerang negara lain, mencederai perwakilan
diplomatik negara lain, dan memperlakukan negara asing seenaknya

4. Tugas
Diskusikanlah dalam masing-masing kelompok belajar anda, terkait dengan
tanggungjawab negara lalu jelaskanlah dalam bentuk tulisan ke-dalam lembar kerja
kelompok anda!

5. Evaluasi
1. Tuliskan karakteristik timbulnya tanggung jawab negara dalam Hukum
Internasional!
2. Sebutkan macam-macam tanggung jawab negara dalam Hukum Internasional!

L. KEGIATAN PEMBELAJARAN XIV:


SUKSESI NEGARA

1. Tujuan Materi Pembelajaran


Agar mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan Suksesi Negara:

2. Materi Pembelajaran 13
2.1. Pengertian dan Batasan Suksesi
Secara harfiah, istilah Suksesi Negara (State Succession atau Succession of
State) berarti “penggantian atau pergantian negara”. Namun istilah penggantian
80

atau pergantian negara itu tidak mencerminkan keseluruhan maksud maupun


kompleksitas persoalan yang terkandung di dalam subjek bahasan state succession
itu. Memang sulit untuk membuat suatu definisi yang mampu menggambarkan
keseluruhan persoalan suksesi negara. Tetapi untuk memberikan
gambaransederhana, suksesi negara adalah suatu keadaan di mana terjadi
perubahan atau penggantian kedaulatan dalam suatu negara sehingga terjadi
semacam “pergantian negara” yang membawa akibat-akibat hukum yang sangat
kompleks. Negara yang lama atau negara yang “digantikan” disebut dengan istilah
Predecessor State, sedangkan negara yang “menggantikan” disebut Successor
State.
Menurut J.G.Starke, dalam hal istilah penggantian negara kurang tepat
karena istilah ini mengandaikan bahwa analogi hukum perdata, dimana pada
kematian atau kebangkrutan, dan sebagainya, hak-hak dan kewajiban berpindah
dari orang yang mati atau tidak mampu kepada orang lain dapat diterapkan pada
negara-negara (J.G.Starke: 1988 :4 )
Dalam Konvensi Wina 1978 (Vienna Convention on Succession of States in
Respect of Treaties) ditegaskan bahwa “ Succession of states mean the
replacement of the state by another in the resposibility for the international relations
of territory” ( Suksesi negara berarti pergantian dari suatu negara oleh negara
lainnya dalam hal pertanggungjawabannya terhadap hubungan internasional dari
suatu wilayah).
Selanjutnya menurut Lucius Calfish, suksesi negara dalam arti faktual (factual
state succession) terjadi apabila suatu negara memperoleh seluruh atau sebagian
wilayah yang sebelumnya dikuasai oleh negara lain; dan sebagai akibatnya, sesuai
dengan ketentuan hukum internasional, maka pengganti wilayah (territorial
succesor) tersebut berkewajiban menerima hak-hak dan kewajinan-kewajiban yang
paling sedikit identik secara material dengan hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang
sebelumnya dimiliki oleh penguasa wilayah yang digantikan (territorial predecessor)(
Budi Lazuardi: 1986:12).
Dalam pandangan para sarjana, kejadian-kejadian atau peristiwa-peristiwa
yang dipandang sebagai suksesi negara, yang bisa juga dikatakan sebagai bentuk-
bentuk suksesi negara adalah:
81

1. Penyerapan (absorption), yaitu suatu negara diserap oleh negara lain. Jadi
di sini terjadi penggabungan dua subjek hukum internasional. Contohnya,
penyerapan Kongo oleh Belgia tahun 1909.
2. Pemecahan (dismemberment), yaitu suatu negara terpecah-pecah menjadi
beberapa negara yang masing-masing berdiri sendiri. Dalam hal ini bisa
terjadi, negara yang lama lenyap sama sekali (contohnya, lenyapnya Uni
Soviet yang kini menjadi negara-negara yang masing-masing berdiri sendiri)
atau negara yang lama masih ada tetapi wilayahnya berubah karena
sebagian wilayahnya terpecah-pecah menjadi sejumlah negara yang berdiri
sendiri (contohnya, Yugoslavia).
3. Kombinasi dari pemecahan dan penyerapan, yaitu satu negara pecah
menjadi beberapa bagian dan kemudian bagian-bagian itu lalu diserap oleh
negara atau negara-negara lain. Contohnya, pecahnya Polandia tahun 1795
yang beberapa pecahannya masing-masing diserap oleh Rusia, Austria, dan
Prusia.
4. Negara merdeka baru (newly independent states). Maksudnya adalah
beberapa wilayah yang sebelumnya merupakan bagian dari wilayah negara
lain atau berada di bawah jajahan kemudian memerdekakan diri menjadi
negara-negara yang berdaulat. Sebagai contoh ialah lahirnya negara-negara
baru sesudah Perang Dunia II, seperti Indonesia.
5. Bentuk-bentuk lainnya yang pada dasarnya merupakan penggabungan dua
atau lebih subjek hukum internasional (dalam arti negara) atau pemecahan
satu subjek hukum internasional (dalam arti negara) menjadi beberapa
negara.
Dalam perkembangannya Konvensi Wina 1978 tentang Suksesi Negara
Dalam Hubungannya Dengan Perjanjian Internasional (Vienna Convention on
Succession of States in Respect of Treaties) menyebutkan 5 macam suksesi
negara, yaitu (H.Bachtiar Hamzah: 1997: 136
1. Apabila Suatu wilayah negara atau suatu wilayah yang dalam hubungan
internasional menjadi tanggung jawab negara itu kemudian berubah
menjadi bagian dari wilayah negara itu (Pasal 15).
2. Negara merdeka baru (newly independent state), yaitu bila negara
pengganti yang beberapa waktu sebelum terjadinya suksesi negara
merupakan wilayah yang tidak bebas yang dalam hubungan internasional
82

berada di bawah tanggung jawab negara negara yang digantikan (Pasal 2


Ayat 1f).
3. Suksesi negara yang terjadi sebagai akibat dari bergabungnya dua
wilayah atau lebih menjadi satu negara merdeka.
4. Suksesi negara yang terjadi sebagai akibat dari bergabungnya dua
wilayah atau lebih menjadi suatu negara serikat (Pasal 30 Ayat 1).
5. Suksesi negara yang terjadi sebagai akibat terpecah-pecahnya suatu
negara menjadi beberapa negara baru (Pasal 34 ayat 1).
1.2. Bentuk-Bentuk Suksesi Negara
Kepustakaan Hukum Internasional membagai suksesi negara atas 2 (dua)
kategori:
1. Universal Succesion (suksesi keseluruhan)
2. Partial Succesion (suksesi sebagain).

Pembedaan ini didasarkan pada bagian wilayah dari suatu negara yang
digantikan kedaulatannya. Universal Succesion terjadi apabila suatu negara secara
keseluruhan dicaplok oleh negara lain, baik karena ditaklukkan maupun karena
melebur diri ke dalam negara lain secara sukarela. Dapat juga terjadi suatu negara
pecah belah menjadi beberapa bagian yang masing-masing menjadi international
personality atau dicaplok semua oleh negara yang mengelilinginya.
Sedangkan Partial Succesion terjadi apabila sebagian dari pada wilayah
negara memisahkan diri dari kesatuan lewat revolusi dan menjdi international
personality sendiri sesudah mencapai kemerdekaannya. Cara lain terjadinya Partial
Succesion ialah terjadi kalau negara memperoleh sebagian dari wilayah negara lain
dengan cara sukarela dan dapat juga terjadi kalau negara yang berdaulat dan
merdeka penuh masuk ke dalam negara federal.

1.3. Cara Terjadinya Suksesi Negara


Kejadian-kejadian yang menimbulak suksesi negara antara lain:
1. Revolusi
2. Perang
3. Perubahan wilayah secara damai.
ad. 1. Revolusi
Revolusi adalah perombakan suatu tatanan yang sudah menetap, yang tidak
semata-mata mengganti penguasa yang satu dengan yang lain, tetapi mengganti
83

suatu sistem religious, politi, dengan sistem yang lain. Tujuan revolusi ialah untuk
merombak sacara radikal suatu susunan politik atau sosial di seluruh wilayah
negara,
ad.2. Perang
Perang dikaitkan dengan suksesi negara dimaksudkan untuk melihat
apabilla perang berakhir dengan kekalahan mutlak salah satu pihak bersengketa,
maka pihak yang menang perang menghadapi tiga pilihan, yakni: (Bachtiar Hamzah;
sulaiman Hamid, 1997, p. 144)
1) Menganeksasi wilayah negara yang dikalahkanya;
2) Pihak pemenang meninggalkan wilayah tersebut sebagai terranulius atau
wilayah yang tidak ada pemiliknya.
3) Pihak pemenang dapat menetapak suatu subjek internasional baru, baik
merdeka maupun tidak merdeka di atas wilayah tersebut.

ad. 3. Perubahan wilayah secara damai

Suksesi negara dapat terjadi tanpa melalui cara-cara kekerasan, yaitu cara-
cara damai. Cara-cara damai yang dimaksud disini ialah pergantan pemegang
kedaulatan atas wilayah baik eluru ataupun sebagian terjadi dengan kehendak dan
kesukarelaan negara yang digantikan kedaulatannya atas wilayah tersebut.
(Bachtiar Hamzah; sulaiman Hamid, 1997, pp. 144-145)

1.4. Akibat-Akibat Hukum Suksesi Negara


Ada beberapa pokok masalah yang timbul sebagai akibat hukum dari suksesi
negara antara lain mengenai: (H.Bachtiar Hamzah: 1997:145)
1. Suksesi negara dan harta kekayaan negara.
Dengan melihat praktik negara-negara yang ada, para ahli pada umumnya
sependapat bahwa, jika terjadi suksesi negara, kekayaan negara, yang meliputi
gedung-gedung dan tanah-tanah milik negara, dana-dana pemerintah yang
tersimpan di bank, alat-alat transportasi milik negara, pelabuhan-pelabuhan, dan
sejenisnya, beralih kepada negara pengganti (successor state).
2. Suksesi negara dan kontrak-kontrak konsesional.
Yang menjadi persoalan dalam hubungan ini adalah apakah negara
pengganti (successor state) mempunyai kewajiban untuk melanjutkan kontrak-
kontrak konsesional yang dibuat oleh negara yang digantikan (predecessor state)
ataukah kontrak-kontrak itu otomatis berakhir dengan terjadinya suksesi negara.
84

Studi terhadap sejumlah kasus yang berkaitan dengan persoalan ini menunjukkan
bahwa pada dasarnya negara pengganti (successor state) dianggap berkewajiban
untuk menghormati kontrak-kontrak semacam itu yang dibuat oleh negara yang
digantikan (predecessor state) dengan pihak pemegang konsesi (konsesionaris).
Artinya, kontrak-kontrak tersebut seharusnya dilanjutkan oleh negara pengganti
(successor state). Namun, bilamana demi kepentingan kesejahteraan negara
kontrak-kontrak tersebut dipandang perlu untuk diakhiri maka pemegang konsesi
harus diberikan hak untuk menuntut kompensasi atau ganti kerugian.
3. Suksesi negara dan hak-hak privat.
Mengenai hak-hak privat ini masalahnya adalah bagaimana akibat hukum dari
suksesi negara terhadap hak-hak privat yang diperoleh di bawah peraturan –
peraturan atau perundang-undangan nasional negara lama. Dalam hal ini, para
sarjana berpendapat bahwa hak-hak privat tersebut harus dihormati ataupun
dilindungi oleh negara pengganti. Kelanjutan dari hak-hak privat itu berlaku selama
perundang-undangan baru dari successor state tidak menyatakan lain (misalnya
mengubah atau menghapusnya). Pengubahan atau penghapusan terhadap hak-hak
privat yang diperoleh berdasarkan hukum predecessor state itu tidak boleh
bertentangan dengan atau melanggar kewajiban-kewajiban internasional dari
successor state, terutama mengenai perlindungan diplomatik. Berhubung hak-hak
privat itu jenisnya bermacam-macam, maka prinsip-prinsip dasar sebagaimana
disebutkan di atas perlu dirumuskan secara sendiri-sendiri. Dengan kata lain,
pemecahannya bersifat kasuistis.
4. Suksesi negara dan tuntutan-tuntutan terhadap perbuatan melawan
hukum.
Persoalan utama dalam hubungan ini adalah, apakah successor state wajib
menerima tanggung jawab yang timbul karena perbuatan melawan hukum yang
dilakukan oleh predecessor state? Dalam kaitan ini para sarjana sependapat bahwa
successor state tidak berkewajiban untuk menerima tanggung jawab yang timbul
akibat perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh predecessor state.
5. Suksesi negara dan pengakuan.
Dalam hubungannya dengan pengakuan, yang menjadi masalah adalah,
apakah dalam hal terjadi suksesi negara pengakuan yang pernah diberikan oleh
suatu negara kepada negara yang mengalami suksesi itu juga berakhir? Dalam hal
ini, yang menentukan adalah sifat atau jenis suksesi negara tersebut. Bilamana
85

suksesi negara itu bersifat universal, yang berarti hilangnya identitas internasional
dari negara yang bersangkutan, maka pengakuan itu otomatis gugur. Sedangkan
bila suksesi itu bersifat parsial, yang berarti negara yang lama (predecessor state)
tidak kehilangan identitas internasionalnya, maka dalam hal ini berlaku “asas
kontinyuitas negara” (continuity of state principle). Artinya, pengakuan yang pernah
diberikan itu tetap berlaku. Namun, bilamana negara yang memberikan pengakuan
tadi tidak lagi memandang negara yang pernah diberi pengakuan itu memenuhi
syarat negara menurut hukum internasional, maka pengakuan itu dapat ditarik
kembali. Pada umumnya, jika itu terjadi, penarikan kembali pengakuan itu tidak
dilakukan secara tegas.
6. Suksesi negara dan hutang-hutang negara.
Yang menjadi masalah dalam hubungan ini adalah apakah negara pengganti
(successor state) berkewajiban untuk menerima tanggung jawab atas hutang-hutang
negara yang ditinggalkan oleh negara yang digantikan (predecessor state). Dalam
hubungan ini tidak terdapat kesamaan pendapat di kalangan para sarjana maupun
praktik negara-negara dan sifatnya sangat kasuistis. Pedomannya adalah sebagai
berikut :
a. Jika hutang-hutang tersebut dipergunakan untuk kepentingan atau
kemanfaatan wilayah yang digantikannya, maka successor state
dipandang berkewajiban untuk menerima tanggung jawab atas hutang-
hutang tersebut. Sebaliknya, jika manfaat hutang-hutang tersebut
ternyata hanya dinikmati oleh golongan-golongan masyarakat tertentu
yang memegang kekuasaan pada saat itu maka successor state tidak
dianggap berkewajiban untuk menerima tanggung jawab atas hutang-
hutang tersebut.
b. Successor state juga dipandang tidak bertanggung jawab atas hutang-
hutang predecessor state yang digunakan untuk membiayai perang
melawan successor state atau maksud-maksud yang bermusuhan
dengan successor state sebelum terjadinya suksesi negara.
c. Dalam hal suksesi negara itu berupa terpecah-pecahnya satu negara
menjadi beberapa bagian yang kemudian bagian-bagian itu masing-
masing menjadi negara yang berdiri sendiri, successor states dipandang
berkewajiban untuk bertanggung jawab atas hutang-hutang itu secara
proporsional menurut suatu metode distribusi yang adil.
86

d. Dalam hal suksesi negara itu bersifat parsial, maka successor state yang
menggantikan wilayah yang terlepas itu dipandang berkewajiban untuk
menanggung hutang-hutang lokal atas wilayah yang bersangkutan.
7. Akibat Hukum Suksesi Negara Terhadap Keanggotaan Pada
OrganisasiInternasional
Terpecanya Uni soviet membentuk tiga negara Baltik, Georgia dan 11negara
lainnya. Yang mana 11 negara ini membentuk Perserikatan Negara-Negara
Merdeka pada 21 desember 1991. Sebelum terpecahnya Uni Soviet, Bylorusia dan
Ukraina telah membentuk federasi dengan Uni Soviet. Saat pembentukan PBB
dengan kepiawaian diplomasinya Uni Soviet berhasil mengajukan kedua negara itu
memperoleh kursi sebagai anggota PBB. Kedua “negara” ini mendapat hak dan
kedudukan yang sama dengan anggota PBB yang lain. Berbeda dengan negara
Republik Federal lainnya yang bukan anggota PBB. Setelah terjadi suksesi negara
di mana Uni Soviet sebagai predecessor sudah tidak ada lagi, Republik Rusia diakui
sebagai pewaris yang sah dari Uni Soviet. Akhirnya Rusia mewarisi kursi Uni Soviet
sebagai anggota tetap Dewan Keamanan PBB. Bylorusia dan Ukraina juga
tetap bisa melanjutkan keanggotaannya di PBB. Adapun 3 negara Baltik dan 9
negara lainnya harus mendaftar diri sebagai anggota PBB

3. Rangkuman
Suksesi negara (succession of states) mempunyai pengertian yang berbeda
dengan suksesi pemerintahan (governmental succession), baik pada fakta maupun
kenyataan ketika terjadi suksesi (factual succession) maupun pada akibat hukumnya
(legal succession). Pada hakekatnya masalah suksesi pemerintahan negara
(governmental succession) kurang mendapat perhatian dari para ahli hukum
internasional, karena dipandang kurang urgen bila dibandingkan dengan masalah
suksesi negara. Karena pada suksesi pemerintahan, unsur negaranya masih tetap
ada walaupun struktur dan organisasi dari pemerintahan negara tersebut telah
berubah dan juga negara itu masih tetap berlanjut, hak-hak dan kewajiban negara itu
masih terus berlanjut sesuai dengan prinsip kontiunitas negara. Misalnya suatu
negara berubah bentuk dari bentuk kerajaan menjadi republik atau sebaliknya, atau
kepala negara yang satu digantikan oleh kepala negara lainnya, perubahan
pemerintahan dimaksud tidak mempengaruhi kesinambungan atau identitas negara
87

yang dimaksud sebagi subjek hukum internasional (forma regimis nutata non
mutatar ipsa civitas).
Identitas internasional negara tersebutlah yang membedakan antara suksesi
negara dengan suksesi pemerintahan, yakni pada suksesi negara ( yang universal)
terjadi perubahan identitas internasional negara tersebut, sedangkan pada suksesi
pemerintahan tidak terjadi perubahan identitas internasional negara yang
bersangkutan.

4. Tugas
Diskusikanlah dalam masing-masing kelompok belajar anda, terkait dengan
suksesi lalu jelaskanlah dalam bentuk tulisan ke-dalam lembar kerja kelompok
anda!
5. Evaluasi
1). Dalam praktik hukum internasional, dikenal dua bentuk suksesi hegara,
tuliskan perbedaan keduannya.
2). Jelaskan suksesi dalam hukum internasional
3). Bagaimana pengaruh suksesi negara terhadap hutang-hutang negara?
4). Sebutkan pengertian suksesi menurut Konvensi Wina 1978.

IV

PENUTUP

Sajian materi dalam modul ini meliputi materi yang menjelaskan konsep dan
teori dasar hukum internasional secara umum, serta yang secara khusus berkaitan
dengan aspek-aspek negara dalam hukum internasional.
Materi ini diharapkan dapat menjadi rujukan dan acuan dalam proses
pemecahan berbagai masalah dalam hubungan–hubungan internasional yang
melibatkan subjek hukum internasional yaitu negara dengan negara, negara dengan
subjek hukum internasional bukan negara dan subjek hukum internasional yang
bukan negara satu denga yang lainnya.
Semoga materi ini bermanfaat untuk mendukung kelancaran proses
pembelajaran dalam mata kuliah Hukum Internasional pada Fakultas Hukum.
88

DAFTAR PUSTAKA

Bachtiar Hamzah & Sulaiman Hamid, 1997, Hukum Internasional II, USU Press,
Medan.
Boer Mauna, Hukum Internasional Pengertian, Peranan dan Fungsi dalam Era
Global, Alumni, Bandung, 2000.
GPH. Haryo Mataram, 1994, Sekelumit tentang Hukum Humaniter, Solo, UNS
Press.
Huala Adolf, 2002,Aspek-Aspek Negara Dalam Hukum Internasional, RajaGrafindo
Persada, Jakarta.
I Wayan Parthiana, 1990, Pengantar Hukum Internasional, Mandar Maju, Bandung.
Levina Yustitianingtyas, “Masyarakat dan Hukum Internasional (Tinjauan Yuridis
Terhadap Perubahan-Perubahan Sosial Dalam Masyarakat Sosial Dalam
Masyarakat Internasional”, Jurnal Prespektif, 2015.
Mochtar Kusumaatmadja, 1999, Pengantar hukum Internasional, Putra A Bardin.
Bandung.
Martin Dixon, 2000, Texbook on International Law, Blackstone Press Limited
Mochtar Kusumaatmadja, Pengantar hukum Internasional, Putra A Bardin. Bandung,
1999
Rosalyn Higgins, 1994, Problem and Proces: International Law and How We Use It,
Osford : Clarendon Press
Rebecca M.M Wallace, 1993, Hukum Internasional, diterjemahkan oleh Baambang
Arumanandi, IKIP Semarang Press, Semarang.
Sefriani, 2014, Hukum Internasional Suatu Pengantar, PT. RajaGrafindo Persada,
Jakarta.
Shaw, M.N., 1986, International Law, Butterworths, 2nd.ed
Tasrif, S, 1990, Hukum Internasional Tentang Pengakuan dalam Teori dan Praktik,
Jakarta, Abardin.

Anda mungkin juga menyukai