NARAPIDANA TERORISME
DI LEMBAGA PEMASYARAKATAN
Buku Pedoman Operasional
Pembinaan Keagamaan
Narapidana Terorisme
di Lembaga
Pemasyarakatan
Februari 2022
Ucapan Terima Kasih
Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk urusan Narkotika dan Obat-Obatan Terlarang dan
Tindak Pidana (UNODC) menyampaikan penghargaannya kepada seluruh pihak yang telah
berkontribusi dan terlibat dalam tahap persiapan, pelaksanaan, dan penyusunan pedoman
ini. Ucapan terima kasih kami haturkan kepada para pakar dan ahli, Bapak Munajat dan
Bapak Muhammad Nazil Iqdami, yang telah merancang penelitian dan pedoman ini
dibawah pengawasan Direktorat Jenderal Pemasyarakatan terutama Direktorat Pembinaan
Narapidana dan Latihan Kerja Produksi dan juga Kantor Program UNODC Indonesia.
Dukungan yang sangat besar juga telah diberikan oleh Direktorat Jenderal Pemasyarakatan
dan segenap jajarannya, yaitu Bapak Thurman S. M. Hutapea, BC.IP., SH., M.HUM.,
Ibu Herastini, BC.IP.SH, M.SI, Ibu Catur Budi Fatayatin, BC.IP., SH.,
Ibu Septy Juwita Agustin Br Tobing, S.I.P., M.A, Ibu Yulia Wahyuningsih, S.Pd., M.H.,
Bapak Sigit Budiyanto A.Md.I.P., S.H., M.Si., Bapak Dedy Eduar Eka Saputra A.Md.I.P., S.Sos., M.Si.
Pengantar.................................................................................................................................. 04
A. Latar Belakang.......................................................................................................... 04
B. Dasar Hukum............................................................................................................ 04
C. Istilah Penting........................................................................................................... 05
Program Pembinaan Keagamaan..................................................................................... 07
A. Pembina Keagamaan............................................................................................. 07
B. Pembinaan Keagamaan........................................................................................ 07
C. Pemahaman Dan Sikap Keagamaan Napiter................................................ 08
D. Kompleksitas Faktor Di Balik Aksi Terorisme................................................. 08
E. Klasifikasi Narapidana Terorisme....................................................................... 09
Tujuan Program Pembinaan Keagamaan Narapidana Terorisme......................... 10
Implementasi Program Pembinaan Keagamaan........................................................ 11
A. Perencanaan............................................................................................................. 11
B. Implementasi............................................................................................................ 11
C. Monitoring Dan Evaluasi...................................................................................... 12
Referensi.................................................................................................................................... 13
Lampiran................................................................................................................................... 14
Undang-undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan mengamanatkan tujuan Lembaga Pemasyarakatan.
Di antara tujuannya adalah menekankan pada pentingnya program pemasyarakatan yang efektif, langkah-langkah untuk
membina dan membantu narapidana, dan dukungan program rehabilitasi narapidana, termasuk untuk narapidana terorisme
(napiter) atau yang juga dikenal dengan sebutan violent extremist prisonerns (VEPs).
Dalam beberapa hal, pengelolaan lembaga pemasyarakatan khusus napiter menggunakan pendekatan yang sama
dengan pengelolaan lembaga pemasyarakatan untuk narapidana umum. Napiter, seperti tahanan lainnya, perlu dijaga
keamanannya, diberikan kebutuhan dasar seperti makanan dan pakaian, dijaga dengan kemanusiaan, dan diberi kesempatan
untuk memperbaiki dan merehabilitasi diri mereka sendiri.
Standar dan norma internasional menegaskan bahwa program rehabilitasi dan reintegrasi sosial untuk napiter adalah
salah satu tujuan utama dari proses peradilan pidana. Program rehabilitasi dan reintegrasi juga penting untuk mencegah
residivisme dan membantu menjamin keselamatan dan keamanan masyarakat. Dalam konteks ini, pembinaan keagamaan
di lembaga pemasyarakatan di Indonesia juga merupakan bagian dari intervensi rehabilitasi dan reintegrasi untuk napiter.
Program pembinaan keagamaan untuk napiter sangat penting karena agama sering digunakan sebagai alat oleh napiter
untuk membenarkan tindakan mereka. Pada saat yang sama, pembinaan keagamaan di lembaga pemasyarakatan belum
termanfaatkan secara optimal untuk mencapai tujuan rehabilitasi dan reintegrasi.
Buku pedoman operasional pembinaan keagamaan serta buku kurikulum dan materi program pembinaan
keagamaan (diterbitkan tersendiri) diharapkan dapat memberikan panduan yang terukur bagi para pembina keagamaan
dalam membimbing napiter sebagai bagian dari program deradikalisasi dan disengagement (pelepasan) berbasis lembaga
pemasyarakatan. Dalam buku pedoman ini, para pembina keagamaan adalah mereka yang direkrut secara internal oleh
Direktorat Jenderal Pemasyarakatan (Ditjenpas) dan mereka yang berasal dari luar Ditjenpas. Pembina keagamaan dari luar
Ditjenpas terdiri dari kalangan profesional dari Kementerian Agama, Majelis Ulama Indonesia (MUI), dan ormas Islam lainnya.
Lembaga-lembaga dan kalangan profesional lainnya yang bekerja sama dengan Ditjenpas harus memiliki komitmen yang
kuat dalam mencegah dan melawan ekstremisme berbasis kekerasan yang mengarah pada terorisme di Indonesia.
B. Dasar Hukum
2. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang
Penetapan UU No. 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme menjadi Undang-Undang;
3. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pembinaan dan Pembimbingan Warga Binaan
Pemasyarakatan;
4. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 57 Tahun 1999 tentang Kerja Sama Penyelenggaraan Pembinaan dan
Pembimbingan Warga Binaan Pemasyarakatan;
5. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor
32 Tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan;
6. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 99 Tahun 2012 tentang Perubahan kedua atas Peraturan Pemerintah
Nomor 32 Tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan;
7. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 77 Tahun 2019 tentang Pencegahan Tindak Pidana Terorisme dan
Pelindungan Terhadap Penyidik, Penuntut Umum, Hakim, dan Petugas Pemasyarakatan;
8. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2021 tentang Rencana Aksi Nasional Pencegahan dan
Penanggulangan Ekstremisme Berbasis Kekerasan yang Mengarah pada Terorisme Tahun 2020-2024;
10. Keputusan Menteri Kehakiman Republik Indonesia Nomor M.02-PK.04.10 Tahun 1990 Tentang Pola Pembinaan
Narapidana/Tahanan;
11. Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia RI Nomor M.HH-02.PK.01.0202 Tahun 2017 tentang Pedoman Kerja
Lembaga Pemasyarakatan Khusus bagi Narapidana Resiko Tinggi (High Risk) Kategori Teroris.
12. Keputusan Direktur Jenderal Pemasyarakatan Nomor PAS-58.OT.03.01 Tahun 2010 tentang Prosedur Tetap Perlakuan
Narapidana Resiko Tinggi;
13. Keputusan Direktur Jenderal Pemasyarakatan, Kementerian Hukum dan HAM Nomor PAS-172.PK.01.06.01 tahun 2015
tentang Standar Pembinaan Narapidana Teroris;
14. Keputusan Direktur Jenderal Pemasyarakatan, Kementerian Hukum Dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor:
Pas-10.Ot.02.02 Tahun 2021 tentang Sistem Penilaian Pembinaan Narapidana.
15. Surat Edaran Direktur Jenderal Pemasyarakatan No: PAS-81-PK.04.01.04 tahun 2013 tentang Penanganan Narapidana
Teroris di Lapas/Rutan.;
C. Istilah Penting
1. Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) adalah lembaga pemerintah Indonesia yang menyelenggarakan pembinaan dan
pembimbingan narapidana dan narapidana anak untuk pengembangan kebribadian dan karakter. Lapas merupakan unit
pelaksana teknis di bawah Direktorat Jenderal Pemasyarakatan, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik
Indonesia.1
2. Petugas Pemasyarakatan adalah pejabat fungsional penegak hukum yang melaksanakan tugas di bidang pembinaan,
pengamanan, dan pembimbingan warga binaan pemasyarakatan.2
3. Wali Pemasyarakatan (Walipas) adalah petugas lapas yang memberikan pendampingan secara profesional kepada
narapidana/klien lapas selama menjalani pembinaan di lapas.3
4. Wali Pemasyarakatan Napiter (Walipas Napiter) adalah petugas lapas yang memberikan pendampingan secara
profesional kepada narapidana teroris (napiter) selama masa pembinaan di lapas.4
5. Narapidana adalah terpidana yang menjalani pidana hilang kemerdekaan di Lapas dan telah memiliki nomor registrasi
narapidana.5
6. Narapidana Teroris (Napiter) adalah setiap orang yang memenuhi unsur-unsur tindak pidana sesuai dengan ketentuan
dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Terorisme.6
7. Violent Extremist Prisoner (VEP) atau Narapidana Ekstremis Berbasis Kekerasan adalah seorang narapidana
yang dihukum berdasarkan pelanggaran undang-undang terorisme. Lebih khusus lagi, VEP adalah seseorang yang
mempromosikan, mendukung, memfasilitasi atau melakukan tindakan kekerasan untuk mencapai tujuan ideologis,
agama, politik atau perubahan sosial. Dalam beberapa kasus, seorang VEP bisa jadi tidak ditahan di lapas karena
pelanggaran (atau dugaan pelanggaran) yang terkait dengan ekstremisme berbasis kekerasan tetapi tetap saja telah
dinilai sebagai VEP menurut definisi yang ditetapkan di atas.7
1 Keputusan Direktur Jenderal Pemasyarakatan, Kementerian Hukum dan HAM Nomor PAS-172.PK.01.06.01 tahun 2015 tentang Standar Pembinaan
Narapidana Teroris. Hal 3-5
2 Ibid.
3 Ibid.
4 Ibid.
5 Ibid.
6 Ibid.
7 United Nations Office on Drugs and Crime. (2016). Handbook on the Management of Violent Extremist Prisoners and the Prevention of Radicalisation to
Violence in Prisons. Page 143.
9. Terorisme adalah perbuatan yang menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan yang menimbulkan suasana teror
atau rasa takut secara meluas, yang dapat menimbulkan korban yang bersifat massal, dan/atau menimbulkan kerusakan
atau kehancuran terhadap objek vital yang strategis, lingkungan hidup, fasilitas publik, atau fasilitas internasional dengan
motif ideologi, politik, atau gangguan keamanan.9
10. Ekstremisme Berbasis Kekerasan yang Mengarah pada Terorisme adalah keyakinan dan/atau tindakan yang
menggunakan cara-cara kekerasan atau ancaman kekerasan ekstrem dengan tujuan mendukung atau melakukan aksi
terorisme.10
11. Pembinaan Keagamaan adalah usaha untuk memberikan pemahaman keagamaan yang moderat kepada napi teroris
sehingga mereka akan bisa menurunkan dan menghilangkan pemahaman radikalnya. Pembinaan ini mencakup
penyajian materi keagamaan dan argumen-argumen keagamaan yang sahih berbasiskan pada pemikiran moderat.11
12. Pembina Keagamaan Napiter adalah petugas lapas, akademisi, praktisi, tokoh agama, tokoh masyarakat, dan/atau
aparat penegak hukum lainnya yang ditunjuk oleh lapas dengan mempertimbangkan rekomendasi dari Badan Nasional
Penanggulangan Terorisme (selanjutnya BNPT), Detasemen Khusus 88 Antiteror Kepolisian Negara Republik Indonesia
(Densus 88 POLRI), dan/atau instansi terkait lainnya. Penunjukan ini harus mengikuti pedoman operasional yang
ditetapkan oleh Direktorat Jenderal Pemasyarakatan (DJP) tentang pelaksanaan program pembinaan keagamaan napiter
dan/atau narapidana lain yang terpapar paham radikalisme.
13. Disengagement adalah proses sosial dan psikologis di mana komitmen dan/atau keterlibatan seseorang dalam
ekstremisme berbasis kekerasan berkurang, dan mereka tidak lagi memiliki resiko untuk terlibat dalam aktivitas kekerasan.
Pelepasan diri dari menggunakan atau mendukung penggunaan kekerasan tidak selalu berarti perubahan komitmen
dalam diri seseorang terhadap pemikiran yang radikal dan ekstrem. Pelepasan diri lebih menekankan pada perubahan
perilaku (menolak penggunaan kekerasan) daripada perubahan keyakinan fundamentalisme.12
14. Deradikalisasi adalah suatu proses yang terencana, terpadu, sistematis, dan berkesinambungan yang dilaksanakan
untuk menghilangkan atau mengurangi dan membalikkan pemahaman radikal terorisme yang telah terjadi.13
Sejalan dengan definisi tersebut, deradikalisasi juga dikenal sebagai proses mengubah sistem kepercayaan, menolak
ideologi ekstremis, dan mengikuti nilai-nilai arus utama. Deradikalisasi mengacu pada penolakan sistem kognitif terhadap
nilai, sikap, dan pandangan tertentu—dengan kata lain, perubahan pikiran. Ini menyiratkan terjadinya pergeseran
kognitif, yaitu, pergeseran mendasar dalam pemahaman seseorang yang dihasilkan dari berbagai macam kegiatan yang
mendorong ditinggalkannya pikiran, keyakinan, serta kelompok radikalnya.14
Direktorat Jenderal Pemasyarakatan (Ditjenpas) melibatkan pembina keagamaan secara proporsional ke dalam
program deradikalisasi dan disengagement napiter karena pembina keagamaan dipandang dapat memainkan peran penting
dalam program-program tersebut. Dalam hal ekstremisme berbasis kekerasan, napiter yang menyebutkan doktrin-doktrin
agama sebagai pembenaran atas tindakan mereka cenderung memiliki pemahaman keagamaan yang dangkal dimana hal
tersebut menjadi sumber inspirasi mereka. Para pembina keagamaan yang kompeten perlu didorong untuk terlibat dalam
dialog secara intensif dengan napiter sehingga bisa timbul keraguan di hati napiter dan bahkan menyadarkan pandangan
mereka atas tindakan ekstremisme berbasis kekerasan.
Tidak semua pembina keagamaan berkompeten akan cocok untuk melakukan pembinaan yang bersifat
penyembuhan terapis. Misalnya, para pembina keagamaan yang berpengetahuan dan berpengalaman dalam memberikan
siraman kerohanian mungkin akan kesulitan dalam melakukan pembinaan napiter di lingkungan lapas. Hal ini dikarenakan
proses rehabilitasi napiter membutuhkan keterampilan dan bakat yang khusus. Oleh karena itu, pengujian kemauan dan
kemampuan pembina keagamaan untuk melakukan pembinaan bagi napiter harus menjadi hal yang utama dalam proses
parekrutan pembina keagamaan.
B. Pembinaan Keagamaan
Pembinaan keagamaan di lapas terbukti memberikan kontribusi nyata dalam proses rehabilitasi narapidana.
Namun, pembina keagamaan juga perlu berhati-hati dalam menyampaikan isi materi pembinaan.15 Laporan Khusus
mengenai Kebebasan Beragama atau Berkeyakinan menekankan bahwa bukan tugas pemerintah untuk menentukan “suara
Islam yang sebenarnya” atau agama atau kepercayaan lainnya. Hal tersebut dikarenakan agama atau kelompok kepercayaan
bukanlah entitas yang homogen, sehingga sangat penting untuk mengakui dan mempertimbangkan keragaman tersebut.
Sebaliknya, laporan tersebut menegaskan bahwa penganut agama sendiri lah yang harus bisa mendefinisikan materi agama
atau kepercayaannya tersebut. Selain itu, berdasarkan Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik pasal 18, ayat 3,
disebutkan pencegahan untuk penganut agama dan kepercayaan tertentu melanggar hak penganut agama dan kepercayaan
lainnya.16
Banyak napiter yang menggunakan keyakinan keagamaan mereka sebagai pembenaran atas aksi kekerasan mereka.
Pada kenyataannya, pengetahuan mereka tentang agama dan tafsir pemahamannya cenderung terbatas atau parsial.
Pengetahuan tersebut sering kali dibentuk oleh para teroris yang menafsirkan teks-teks keagamaan dengan tendensi pada
anjuran penggunaan cara-cara kekerasan. Dengan demikian, intervensi berbasis agama menjadi sangat dibutuhkan, karena
interpretasi tertentu dari ideologi agama, seperti disebutkan di atas, menjadi alat pembenaran atas aksi ekstremisme berbasis
kekerasan. Dengan kata lain, setiap perencanaan pembinaan keagamaan perlu mempertimbangkan bagaimana materi-
materi agama yang sering dijadikan dalil oleh pelaku ekstremisme berbasis kekerasan dapat dipatahkan dengan argumen-
argumen keagamaan yang ilmiah. Oleh karenanya, para pembina keagamaan harus sepenuhnya terintegrasi sebagai anggota
tim pembinaan napiter di lingkungan lapas, seperti wali pemasyarakatan (walipas) dan Densus 88.
Keefektifitasan pogram pembinaan keagamaan dalam proses deradikalisasi dan disengagement akan berbeda dari
satu napiter ke napiter yang lain. Oleh karena itu, tim pembinaan dari Lapas perlu memutuskan waktu yang paling tepat
untuk mempertemukan napiter dengan pembina keagamaan. Bagi sebagian napiter, waktu yang paling tepat adalah saat
pertama kali mereka ditempatkan ke dalam lapas ketika mereka masih menyesuaikan diri dengan kehidupan di lingkungan
lapas. Sebaliknya, bagi napiter yang lain, pemberian program pembinaan keagamaan pada saat sebelum mereka bebas dari
Lapas akan lebih bermanfaat guna memberikan mereka harapan menjalani kehidupan setelah mereka kembali ke rumah
masing-masing. Menentukan kapan sebaiknya program pembinaan keagamaan diberikan kepada napiter harus dilakukan
berdasarkan pertimbangan kasus per kasus.
15 Schaefer, L., Sams, T. , and Lux, J. (2016): “Saved, Salvaged, or Sunk: A Meta-Analysis of the Effects of Faith-Based Interventions on Inmate Adjustment”,
The Prison Journal, June 10, 2016; Johnson, B. (2004): “Religious Programs and Recidivism Among Former Inmates: A Long-Term Follow-Up Study”, Justice Quarterly
21, pp. 329-354; Johnson, B. Larson, D. and Pitts, T. (1997) “Religious Programming, Institutional Adjustment and Recidivism Among Former Inmates in Prison
Fellowship Programs,” Justice Quarterly 14, pp. 145-166
16 The Special Rapporteur on freedom of religion or belief in A/HRC/7/10/Add.3, para. 76.
Tidak semua napiter memiliki dasar pemahaman agama yang keras, radikal, dan ekstrim. Ada banyak jalan dan latar
belakang di mana orang terlibat dalam kasus terorisme. Namun, sebagian besar napiter bisa dikatakan tinggal di lingkungan
atau komunitas di mana pemahaman agama yang ekstrem dan penuh kekerasan digunakan sebagai kerangka berpikir di dalam
komunitas tersebut. Dari komunitas itulah napiter terpapar dengan narasi dan keyakinan keagamaan yang berbasis kekerasan
Secara singkat, pemahaman dan narasi yang dikembangkan oleh napiter di Indonesia, atau apa yang diyakini oleh
napiter seperti yang digambarkan pada Gambar 1, adalah bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dianggap sebagai
dar al harb (wilayah peperangan) karena konstitusi Indonesia tidak berdasarkan pada hukum Allah, Al-Qur’an dan Hadist,
tetapi berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang merupakan buatan
manusia. Oleh karena itu, napiter juga menyebut Indonesia sebagai ‘jahiliyah’ karena hukum didasarkan pada konstitusi buatan
manusia, mirip dengan periode pra-Islam, yang disebut ‘jahiliyyah’. Selanjutnya, pejabat pemerintah yang menjalankannya
disebut ‘thogut’ (orang yang mendurhakai Allah) dan ‘kafir’ (murtad, keluar dari Islam). Di sisi lain, orang yang mengakui
dan mematuhi hukum pemerintah Indonesia disebut ‘musyrik’, ‘munafiq’, ‘zalim’, ‘fasiq’ dan ‘kafir’, yang diperbolehkan untuk
diperangi, dibunuh dan diambil hartanya.
Pemahaman teologis semacam ini juga mendorong lahirnya ideologi dan gerakan politik yang ingin mendirikan
sebuah kekhilafahan (negara Islam). Kemudian, hal tersebut mendorong sikap dan perilaku eksklusif, intoleran, dan keras
dalam berpolitik di kehidupan sosial sehari-hari, seperti merampok bank, membunuh aparat keamanan, dan melakukan
bom bunuh diri. Selama di lapas, pemahaman ini tercermin dalam sikap tidak kooperatif, atau pura-pura kooperatif, terhadap
pejabat pemerintah, dan terutama petugas lapas dan pembina keagamaan. Misalnya, mereka memanipulasi sikap, seolah-
olah telah kembali atau mengakui ideologi negara dengan menandatangani ikrar setia kepada NKRI.
Sementara Pemerintah Indonesia menekankan bahwa terorisme tidak seharusnya dikaitkan dengan agama
tertentu, kasus terorisme di Indonesia seringkali identik dengan pemahaman agama Islam yang menyimpang. Dengan
demikian, terorisme seringkali dikaitkan dengan faktor agama, khususnya Islam. Hal ini diperkuat dengan fakta bahwa
teroris menunjukkan sub-budaya tertentu dari bentuk-bentuk ajaran agama Islam. Lebih jauh, teroris sering melegitimasi
tindakan politik dan kekerasan mereka dengan bahasa agama. Namun, beberapa penelitian menunjukkan bahwa ada banyak
keragaman dan kompleksitas faktor yang mendorong orang terlibat dalam aksi terorisme, seperti:
8. Insentif dan masalah ekonomi. Oleh karena itu, pembina keagamaan perlu melakukan pengecekan dan penilaian terhadap
latar belakang seseorang yang menjadi target binaan tersebut menjadi teroris, sebagai bahan pertimbangan dalam
memilih materi dan strategi dalam program pembinaan keagamaan.17
Ada beberapa klasifikasi napiter yang biasa digunakan di lapas. Klasifikasi ini dinilai berdasarkan tingkat risiko dan
kebutuhan. Bagi pembina keagamaan, yang bukan merupakan pegawai di lingkungan Ditjenpas, Densus 88 POLRI, atau BNPT,
klasifikasi napiter akan sangat membantu dalam mengidentifikasi latar belakang napiter dan menyiapkan materi pembinaan
dan strategi atau pendekatan yang sesuai dalam merehabilitasi napiter. Setidaknya ada dua klasifikasi napiter yang dikenal secara
umum di lingkungan kerja Ditjenpas, yaitu klasifikasi berdasarkan peran dan komitmen ideologi napiter, dan klasifikasi berdasarkan
prosedur pembinaan dan pengamanan di lapas, sebagaimana dijelaskan sebagai berikut:
b. Militan adalah eksekutor aksi terorisme. Kelompok ini telah dilatih dan dipersiapkan untuk melakukan misi bunuh diri, yang
disebut “pengantin”. Militan tidak lagi takut mati baik ketika mereka meledakkan bom, ditangkap, dieksekusi, atau dimasukkan
ke dalam penjara.
c. Pendukung/suporter adalah individu atau kelompok yang secara sukarela memberikan fasilitas pendukung kepada napiter,
seperti pelatihan, pendanaan, dan tempat persembunyian. Kelompok ini berbahaya karena menentukan berhasil tidaknya
aksi terorisme.
d. Simpatisan adalah individu atau kelompok yang meyakini dan mengusung ide-ide radikal yang berpotensi mendukung
terorisme tetapi tidak terlibat langsung dalam aksi terorisme. Ancaman dari kelompok ini lebih merupakan ancaman
tidak langsung, yaitu memberikan dukungan secara ideologis seperti pentingnya negara Islam, ‘khilafah’, dan ‘jihad’.
Mereka biasanya memfasilitasi penyebaran ide-ide radikalisme dan kekerasan dan seringkali berperilaku eksklusif.18
b. Napiter Kuning adalah mereka yang dianggap memiliki pemikiran radikal tingkat sedang dan belum menyatakan kesetiaan
kepada NKRI atau mereka yang dianggap memiliki pemikiran radikal tingkat sedang dan atau telah menyatakan kesetiaan
kepada NKRI, namun masih diragukan.
c. Napiter Hijau adalah mereka yang dianggap memiliki tingkat pemikiran radikal berbasis kekerasan yang rendah (atau
dianggap sudah tidak radikal) dan telah menyatakan kesetiaan kepada NKRI.
Klasifikasi ini bersifat terbuka dan bukan satu-satunya dasar untuk mengkategorisasikan napiter. Namun demikian, pembina
keagamaan dapat menggunakan klasifikasi ini sebagai titik awal untuk mempersiapkan strategi pembinaan keagamaan napiter.
Pada tahap selanjutnya, diharapkan para pembina keagamaan dapat memberikan masukan kepada Dijtenpas berkenaan dengan
klasifikasi napiter berdasarkan tingkat risiko dan kebutuhan program pembinaan keagamaan.
17 Adelaja, A. O., Labo, A., & Penar, E. 2018. Public Opinion on the Root Causes of Terrorism and Objectives of Terrorists: A Boko Haram Case Study.
Perspectives on Terrorism, 12(3), 35–49 http://www.jstor.org/stable/26453134, de la Corte, L. 2007. Explaining Terrorism: A Psychosocial Approach. Perspectives
on Terrorism, 1(2). http://www.jstor.org/stable/26298293, and Sastrawi, Hasibullah. 2018. Jangan Putus Asa, Ibroh dari Kehidupan Teroris dan Korbannya. Jakarta:
Aliansi Indonesia Damai (AIDA), 31-62.
18 Direktorat Jenderal Pemasyarakat. 2017. Buku Pedoman Rehabilitasi dan Reedukasi Narapidana Tindak Pidana Terorisme.
1. Diharapkan akan ada perubahan secara bertahap dalam sikap dan perilaku napiter. Dari segi pemahaman, napiter memiliki
cara pandangan yang moderat terhadap konsep jahiliyyah, syirik, dar al-harb, thoghut, khilafah, penghormatan terhadap
bendera Indonesia, jihad, syahid, dan konsep lain yang menjadi dasar mereka melakukan aksi terorisme. Dari segi sikap,
napiter secara sukarela dan dengan kesadaran penuh bersikap ramah dan terbuka kepada walipas, anggota Densus 88 POLRI,
pembina keagamaan, dan orang-orang di sekitarnya.
2. Pada akhirnya, napiter bersedia mengakui kesalahannya, kembali ke jalan yang benar, dan berjanji setia kepada Negara
Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) secara sukarela; dan bagi mereka yang telah berikrar setia kepada NKRI, program
pembinaan keagamaan dapat memperkuat pemahaman mereka tentang Islam yang moderat, damai, serta penuh kasih
sayang kepada seluruh semesta alam.
Hal-hal yang perlu dipersiapkan dan diperhatikan oleh pembina keagamaan sebelum melakukan pembinaan adalah
sebagai berikut:
1. Berdiskusi dengan walipas napiter (dan jika memungkinkan dengan anggota Densus 88 POLRI) yang membina napiter
tentang profil awal, karakter, dan klasifikasi mereka;19
2. Berdiskusi dengan petugas Pembimbing Kemasyarakatan (PK) dan/atau Balai Pemasyarakatan (Bapas) tentang penelitian
pemasyarakatan (Litmas) napiter, termasuk hasil penilaian risiko dan penilaian kebutuhan;
3. Menentukan materi kajian yang dianggap paling proporsional digunakan dalam membimbing napiter dengan merujuk
pada Struktur Kurikulum Pembinaan Keagamaan Napiter di Lapas, serta strategi penyampaiannya (misal: klasikal, diskusi
dan tanya jawab);
4. Menyiapkan buku bacaan (misal: Kitab Kuning) yang akan digunakan dalam sesi pembinaan keagamaan, atau (bila
memungkinkan) untuk diberikan kepada napiter;
5. Menyiapkan instrumen monitoring dan evaluasi pembinaan keagamaan seperti yang telah dicontohkan di dalam Struktur
Kurikulum Pembinaan Keagamaan Napiter di Lapas;
6. Berkonsultasi kembali dengan walipas napiter, BNPT, dan Densus 88 POLRI untuk membahas perencanaan cadangan,
terutama mengenai kebijakan dan regulasi di Lapas dan masalah keamanan.
B. Implementasi
Dalam pelaksanaan program pembinaan keagamaan, hal-hal yang perlu diperhatikan dan diantisipasi antara lain
sebagai berikut:
1. Membangun komunikasi dan kepercayaan. Pada awal pertemuan (misal: dalam lima pertemuan pertama), pembina
keagamaan perlu menghindari penggunaan istilah yang sensitif terhadap napiter (seperti: jihad, qital, kafir dan takfir,
khilafah, istisyhad) karena dapat menimbulkan kecurigaan dan dapat merusak tujuan untuk membangun hubungan
kepercayaan antara pembina keagamaan dan napiter. Disarankan agar pembina keagamaan memulai dengan percakapan
yang sederhana, santai, dan ramah di mana mereka dapat membicarakan apapun kecuali topik agama.
3. Memberikan pemahaman materi kajian bukanlah tujuan utama dari program pembinaan keagamaan. Inti dari
program pembinaan keagamaan adalah untuk mengedukasi kembali pemahaman keagamaan napiter secara baik
agar mereka mau mampu merubah pemikiran, sikap, dan perilaku mereka yang pro kekerasan dan terorisme. Misalnya,
pembelajaran Bahasa Arab hanyalah alat untuk menciptakan hubungan kepercayaan, khususnya hubungan patron-klien
yang harmonis antara pembina keagamaan dan napiter, dan penghormatan napiter terhadap pembina keagamaan sebagai
guru. Jika kondisi ini terpenuhi, indoktrinasi pemahaman agama yang moderat dan damai kepada napiter kemungkinan
akan berhasil dengan baik. Kemampuan napiter memahami Bahasa Arab merupakan bonus dari hasil pembinaan.
4. Melengkapi instrumen monitoring dan evaluasi dalam setiap sesi pertemuan. Monitoring dan evaluasi sangat
diperlukan, khususnya untuk memperkuat sinergi antar Lembaga. Pembina keagamaan sangat perlu untuk mendiskusikan
hasil monitoring dengan walipas napiter dan/atau Densus 88 POLRI, khususnya bila diperlukan intervensi untuk penguatan
program pembinaan keagamaan, misalnya, ketika napiter tidak antusias saat mengikuti sesi pembinaan dan sebagainya.
Selain empat pertimbangan ini, tabel di bawah ini berisi saran-saran yang perlu ‘dilakukan’ dan ‘jangan lakukan’ ketika
pembina keagamaan bertemu dengan napiter di lapas.
Hal-hal yang perlu diperhatikan setelah menyelesaikan sesi pembinaan keagamaan terhadap satu mata kajian adalah
sebagai berikut:
1. Memberikan evaluasi atau ujian dan nilai pada akhir pertemuan mata kajian guna menilai kemajuan napiter dalam
menyerap materi pembinaan;
de la Corte, L. (2007). Explaining Terrorism: A Psychosocial Approach. Perspectives on Terrorism, 1(2). http://www.jstor.org/
stable/26298293,
Direktorat Jenderal Pemasyarakatan. (2017). Buku Pedoman Rehabilitasi dan Reedukasi Narapidana Tindak Pidana Terorisme. Jakarta:
Direktorat Jenderal Pemasyarakatan, Kementerian Hukum dan HAM Republik Indonesia.
Johnson, B. (2004). Religious Programs and Recidivism Among Former Inmates: A Long-Term Follow-Up Study. Justice Quarterly 21,
pp. 329-354
Johnson, B. Larson, D. and Pitts, T. (1997). Religious Programming, Institutional Adjustment and Recidivism Among Former Inmates in
Prison Fellowship Programs. Justice Quarterly 14, pp. 145-166
Sastrawi, Hasibullah. (2018). Jangan Putus Asa, Ibroh dari Kehidupan Teroris dan Korbannya. Jakarta: Aliansi Indonesia Damai (AIDA),
31-62.
Schaefer, L., Sams, T., and Lux, J. (2016). Saved, Salvaged, or Sunk: A Meta-Analysis of the Effects of Faith-Based Interventions on Inmate
Adjustment, The Prison Journal, June 10, 2016
United Nations Office on Drugs and Crime. (2016). Handbook on the Management of Violent Extremist Prisoners and the Prevention
of Radicalisation to Violence in Prisons. United Nations: New York
1. Bagaimana informasi diri napiter? Informasi demografis umum: nama, umur, pendidikan, status, asal usul dan alamat.
2. Apa kasus yang menimpa napiter? Pertanyaan ini mencakup informasi: jenis kasus, tanggal putusan, lama pidana, tanggal
mulai di tahan, tanggal berakhir ditahan, remisi, apakah ini kasus pertama, dll.
3. Bagaimana karakter dan perilaku sehari-hari teroris ketika bersosialisasi dengan petugas atau napi lainnya? Apakah mereka
kooperatif dengan petugas, suka bersosialisasi (jika di lapan Medium), atau berbicara?
5. Hal-hal apa yang tidak disukai oleh napiter? Atau hal-hal apa yang harus dihindari oleh Pembina Keagamaan?
7. Bagaimna klasifikasi napiter berdasarkan penempatan di Lapas? Merah, Kuning, dan Hijau.
8. Jika napiter berstatus MERAH, apa yang menyebabkan ia tetap tidak mau berikrar kesetiaan pada NKRI dan mengakui
kesalahannya?
9. Jika ada, argumen keagamaan apa yang sering napiter MERAH sampaikan kepada walipas atau orang lain, sehingga ia
memilih untuk tidak berikrar pada NKRI?
10. Jika napiter berstatus KUNING, bagaimana ia mau berikrar kembali pada NKRI dan gejala apa yang membuat walipas ragu
akan ketulusan ikrar tersebut?
11. Jika napiter HIJAU, bagaimana ia mau berikrar kembali pada NKRI?
14. Apakah napiter pernah mengikuti pendidikan keagamaan di pesantren atau madrasah?
17. Selain hal-hal di atas, apa yang perlu Kami ketahui, dan tips apa yang perlu Kami lakukan agar pembinaan keagamaan dapat
berjalan secara efektif dan mencapai tujuan?
18. Apa yang masih Anda anggap misteri dari Napiter ini?
19. …………………..dst.
Catatan:
2. Catat dan diskusikan informasi yang Anda anggap penting namun tidak bisa dijawab oleh Walipas dan atau Densus 88. Agar
menjadi catatan dalam pendampingan/pembinaan selanjutnya.
3. Pembinaan keagamaan adalah bagian tak terpisahkan dari kerja menderadikalisasi Napiter yang dilakukan oleh Walipas,
Densus dan BNPT.