Anda di halaman 1dari 34

MAKALAH

FORENSIK REMAJA
Dosen Pengampu : Muthia Maharani., M.Psi., Psikolog

KELOMPOK 2:

Rumaisha Ghina Salsabila (12308193111)


Muh. Aziz Nur Eka Prasana (126308211050)
Riris Wahyuni (126308212149)
Dinar Nur Hijja Rahmita (126308213214)
Muhammad Samsul Arifin (126308213235)

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI ISLAM


FAKULTAS USHULUDDIN ADAB DAN DAKWAH
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SAYYID ALI RAHMATULLAH
TULUNGAGUNG
2023
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih Lagi Maha Penyayang, kita
panjatkan puja dan puji syukur kehadiran-Nya, yang telah melimpahkan rahmat, hidyah,dan
inayah-Nya. Sholawat serta salam semoga tetap terlimpahkan kepada junjungan kita Nabi
Muhammad SAW, sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah dalam rangka menambah
pengetahuan bagi penulis dan pembaca serta memenuhi tugas mata kuliah Psikologi Forensik.
Ucapan terima kasih kami sampaikan kepada:
1. Bapak Prof. Dr. Maftukhin, M.Ag selaku rektor UIN Sayyid Ali Rahmatullah
Tulungagung yang telah memberikan kesempatan kepada kami menuntut ilmu di
Universitas ini.
2. Ibu Muthia Maharani., M.Psi., Psikolog. Selaku dosen pengampu dalam mata kuliah
Psikologi Forensik yang telah mengajar dan memberikan pengarahan kepada kami.
3. Teman-teman PI 5H yang senantiasa memberikan dukungan kepada penulis untuk
menyelesaikan makalah ini.
Dalam makalah ini, penulis menyadari bahwa adanya keterbatasan pengetahuan,
rujukan, serta sumber bacaan dalam membuat makalah ini sehingga jauh dari kesempurnaan.
Oleh karena itu, kritik dan saran dari pembaca sangat diperlukan untuk membangun makalah
ini dan menutupi kekurangannya. Semoga makalah ini dapat membantu proses pembelajaran
khususnya dalam mata kuliah Psikologi Forensik serta dapat memberikan manfaat terhadap
pembaca.

Tulungagung, 14 September 2023

Penulis

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.................................................................................................................ii

DAFTAR ISI.............................................................................................................................iii

BAB I.........................................................................................................................................4

A. Latar Belakang................................................................................................................4

B. Rumusan Masalah...........................................................................................................4

C. Tujuan Masalah...............................................................................................................4

BAB II........................................................................................................................................5

A. Menghadapi Remaja Yang Bermasalah...........................................................................5

B. Pengawasan Geng Remaja..............................................................................................5

C. Sikap Remaja Terhadap Polisi.........................................................................................5

D. Prostitusi Wanita Remaja: Penjahat Atau Korban?.........................................................6

E. Menentukan Usia Tanggung Jawab Pidana.....................................................................8

F. Anak-Anak/Remaja Dan Keandalan Mereka Dalam Kesaksian Di Pengadilan...........10

G. Kepentingan Terbaik Dari Doktrin Anak......................................................................13

H. Hukuman: Psikologi Rehabilitasi Remaja....................................................................15

I. Remaja Di Penjara Dewasa...........................................................................................16

J. Remaja Di Hukuman Mati............................................................................................18

K. Camp Pelatihan Remaja................................................................................................19

L. Bunuh Diri Di Kalangan Remaja Yang Dipenjara........................................................21

M. Penahanan Pelanggaran Status..................................................................................22

BAB III.....................................................................................................................................24

A. Kesimpulan...................................................................................................................24

B. Saran..............................................................................................................................24

REVIEW JURNAL..................................................................................................................25

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Psikologi forensik adalah cabang ilmu psikologi yang mempelajari subjek dari segi
kognitif, afektif, dan perilaku dalam kaitannya dengan proses hukum. Psikologi forensik
dapat membantu dalam proses peradilan pidana di pengadilan, baik sebagai saksi ahli bagi
korban maupun pelaku. Remaja merupakan salah satu kelompok yang sering terlibat dalam
kasus kriminal, termasuk pembunuhan, pelecehan, narkoba, minum-minuman keras, dll.
Psikologi forensik remaja merupakan bidang ilmu psikologi yang berfokus pada
penerapan metode dan konsep psikologis dalam sistem hukum untuk remaja yang berhadapan
dengan hukum (ABH). Psikolog forensik remaja dapat bekerja dalam berbagai bidang,
termasuk peradilan pidana remaja, lembaga pemasyarakatan remaja, dan lembaga pendidikan
khusus remaja.
Psikologi forensik remaja dapat membantu aparat penegak hukum dalam
memecahkan kasus kejahatan yang melibatkan remaja, misalnya dengan melakukan autopsi
psikologi terhadap korban atau pelaku remaja, melakukan wawancara investigasi terhadap
saksi remaja, dan melakukan criminal profiling remaja. Psikolog forensik remaja juga dapat
membantu pengadilan dalam membuat keputusan yang adil, misalnya dengan memberikan
pendapat ahli tentang kompetensi mental terdakwa remaja, risiko residivisme remaja, dan hak
asuh anak remaja.
Di Indonesia, psikologi forensik remaja masih merupakan bidang yang relatif baru.
Namun, seiring dengan meningkatnya kesadaran masyarakat akan pentingnya psikologi
dalam sistem peradilan pidana remaja, permintaan terhadap jasa psikolog forensik remaja pun
semakin meningkat.
Makalah ini akan menjelaskan peran penting polisi dalam penegakan hukum di
forensik remaja, termasuk prosedur penyelidikan, tantangan yang dihadapi, dan praktik
terbaik dalam mendukung remaja yang terlibat dalam tindak kriminal. Selanjutnya, akan
mendiskusikan peran pengadilan dalam sistem hukum remaja, mencakup proses peradilan
khusus, tujuan rehabilitasi, dan pendekatan yang digunakan. Dan yang terakhir, akan
membahas sistem pemasyarakatan untuk remaja yang terlibat dalam tindak kriminal,
termasuk tantangan dalam mengelola remaja yang berada dalam tahanan.

4
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimanakah peran polisi dalam penegakan hukum di forensik remaja
2. Apa saja peran pengadilan dan sistem hukum di forensik remaja
3. Bagaimanakah sistem pemasyarakatan dan praktik penjara di forensik remaja

C. Tujuan Masalah
1. Mengetahui peran polisi dalam penegakan hukum di forensik remaja
2. Mengetahui peran pengadilan dan sistem hukum di forensik remaja
3. Mengetahui sistem pemasyarakatan dan praktik penjara di forensik remaja

5
BAB II
PEMBAHASAN

A. Menghadapi Remaja Yang Bermasalah


Generasi muda menghadapi banyak masalah berisiko seperti mengemudi di bawah
umur, penyalahgunaan narkoba, kehamilan remaja, bunuh diri, membolos, aktivitas geng, dan
prostitusi. Tradisi historis menempatkan tanggung jawab utama polisi pada pemberantasan
kejahatan dan rehabilitasi remaja. Perspektif mengenai rehabilitasi versus pembalasan bagi
para pelanggar ini terkadang ditentang oleh mereka yang merasa bahwa sistem peradilan
pidana perlu menghukum pelaku atas kejahatan mereka. (intinya ada kontroversi dimana
pelaku kejahatan perlu dihukum). Jadi kepolisian mencari cara yang efektif untuk mengatasi
masalah dalam menangani remaja yang bermasalah, baik melalui tindakan retributif maupun
rehabilitatif. Fokus pada pembahasan ini adalah tentang remaja yang membolos dan
kenakalan remaja
Sejak abad ke-18 pembaharu sosial mengakui bahwa pembolosan berkorelasi dengan
kejahatan seperti perampokan, vandalisme, pencurian kendaraan bermotor, dan pertarungan
antar geng. Sehingga berbagai pihak seperti aparat penegak hukum, lembaga masyarakat, dan
administrator sekolah telah mengembangkan berbagai program untuk mengatasi perilaku
membolos dan juga tindakan serta tindakan kenakalan yang diakibatkannya. Sebagian besar
program ini berusaha untuk menjaga anak-anak muda tetap berada di sekolah dan
mengendalikan kejahatan di siang hari.
Dengan fokus rehabilitasi, remaja yang membolos akan dikembalikan ke sekolah,
dibawa pulang, atau dibawa ke kantor polisi setempat dan orang tua atau wali mereka akan
dihubungi. (tanggung jawab semua pihak yang berkaitan (orang tua, lembaga pendidikan,
penegak hukum) sehingga menjadi masalah dari berbagai sisi, jadi diperlukan kerjasama dan
dukungan dari berbagai pihak untuk mangatasi masalah ini). Adapun program rehabilitasi
diantaranya: program Petugas Sumber Daya Sekolah (SRO), program pencegahan
pembolosan dan program HOPE (Helping Other Persue Education)
Pada tahun 1983, Departemen Kepolisian Phoenix Arizona menciptakan program
Petugas Sumber Daya Sekolah (SRO) dalam upaya untuk mengurangi jumlah anak yang
membolos dan kenakalan remaja. hal ini menurunkan tinggkat pembolosan hingga 73% dan
kejahatan yang dilakukan di kampus dan di lingkungan sekitar menurun secara signifikan.
Para petugas SRO sebelum berpartisipasi dalam program ini harus menyelesaikan
serangkaian proses seleksi dan peninjauan yang ketat. mereka juga menjalani pelatihan yang

6
intensif tentang masalah remaja. Petugas SRO menangani masalah baik di dalam maupun di
luar lingkungan sekolah, termasuk mengedukasi staf pengajar dan siswa mengenai strategi
keamanan untuk mengurangi kejahatan dan mengenali tanda-tanda pelecehan dan
penelantaran anak. Para petugas juga membangun hubungan kerja dengan para orang tua
dengan mengedukasi mereka dalam mengawasi kebiasaan sekolah anak dan mendorong anak
mereka untuk tetap bersekolah.
Selain itu petugas SRO bertanggung jawab untuk mendeteksi, melaporkan, dan
menyelidiki kasus-kasus yang dicurigai sebagai pelecehan dan penelantaran anak. Jadi dapat
disimpulkan bahwa tujuan dari program SRO ini adalah untuk menegakkan hukum
pembolosan mendidik petugas sekolah, dan membangun hubungan saling percaya dengan
orang tua dan anak-anak. Tujuan-tujuan ini merupakan strategi pencegahan kejahatan yang
efektif, yang bertujuan untuk memerangi aktivitas kriminal sebelum dimulai.
Departemen Kepolisian St. Petersburg di Florida menerapkan program pencegahan
pembolosan untuk meminimalkan hubungan antara pembolosan dan kenakalan. Tujuan utama
dari program ini adalah untuk mengurangi kesempatan bagi remaja untuk terlibat dalam
masalah dengan menginformasikan kepada orang tua untuk mendorong anak-anak mereka
agar tetap bersekolah.
Program ini bekerja dengan cara menjemput para remaja yang membolos dan
mengembalikan mereka ke sekolah dengan melibatkan orang tua atau wali mereka.
Departemen Kepolisian Sankt Peterburg mendirikan pusat pembolosan terpusat di mana para
remaja yang membolos menunggu orang tua mereka menjemput mereka. Ketika orang tua
tiba di pusat rehabilitasi untuk menjemput anak mereka, detektif anak memberikan catatan
akurat tentang kehadiran anak mereka untuk menekankan keseriusan perilaku membolos.
Sebelum anak dapat diterima kembali di sekolah, orang tua atau wali harus membawa surat
rujukan ke sekolah.
Elemen penting lainnya dari program pencegahan pembolosan berfokus pada
konseling remaja yang membolos. Detektif remaja melakukan wawancara dengan anak-anak
untuk memahami perilaku membolos mereka, kehidupan di rumah, dan faktor apa pun yang
memengaruhi perilaku mereka. Mereka menekankan pentingnya untuk tetap bersekolah dan
mendapatkan pendidikan yang baik.
Kota Inglewood memprakarsai program "HOPE" (Helping Others Pursue Education)
untuk mencegah dan mengurangi hubungan antara kenakalan remaja dan pembolosan. Polisi,
dibantu oleh petugas keamanan sekolah, bertanggung jawab untuk menjemput dan
mengangkut siswa yang membolos ke pusat HOPE. Pusat ini memiliki staf yang berdedikasi.

7
Suasana pusat ini menyerupai suasana akademis, dengan aturan dan disiplin yang ketat untuk
ketidakpatuhan. Setibanya di sana, anggota staf mewawancarai dan menasihati para remaja,
dan mereka mengikuti jadwal akademik yang ketat untuk membantu mereka mengejar
ketertinggalan dari rekan-rekan mereka. HOPE juga menekan keterlibatan dengan orang tua.
Tujuan utama dari program HOPE adalah untuk merehabilitasi remaja dan memahami
faktor-faktor yang mendasari pembolosan. Jika upaya ini gagal, petugas masa percobaan
mengarahkan remaja tersebut untuk mengikuti sidang di pengadilan anak. Hasil dari program
HOPE sangat signifikan dan efektif. Untuk mengatasi masalah pembolosan dan kenakalan
secara efektif, program pencegahan pembolosan harus mendapat dukungan dari orang tua,
masyarakat, sekolah, dan polisi. Intinya program pencegahan pembolosan memiliki tujuan
jangka pendek dan jangka panjang dengan menjaga anak-anak tetap bersekolah dan
mencegah aktivitas kriminal di masa depan.
Polisi memiliki peran untuk mengarahkan para remaja menjauh dari kehidupan yang
penuh dengan kejahatan dan mencegah kejahatan serta menjaga ketertiban. Dari perspektif
psikologis (intervensi praperadilan) berusaha untuk mengidentifikasi dan menangani anak
muda yang cenderung terlibat dengan hukum. kejahatan remaja adalah masalah individu yang
membutuhkan solusi yang disesuaikan secara individual. Perspektif ini berkonsentrasi pada
masalah kepribadian yang mungkin dimiliki oleh para remaja. Berbagai faktor biologis,
psikologis, dan sosial dapat berinteraksi untuk mempengaruhi pola pikir dan perilaku
individu.
Upaya pencegahan harus berfokus pada lingkungan anak dan hubungan mereka
dengan orang tua sebab kehidupan rumah anak secara signifikan berdampak pada perilaku
nakal. Tanpa disiplin yang tepat dan lingkungan yang mengayomi dan terstruktur,
kesempatan anak untuk tumbuh kembang yang sehat akan terhambat, sehingga mereka
cenderung terlibat dalam kegiatan kenakalan.
B. Pengawasan Geng Remaja
Ketika geng remaja tumbuh besar dan semakin kejam, tekanan dari masyarakat dan
media terhadap polisi untuk menekan aktivitas geng semakin meningkat. Ancaman geng tidak
lagi terbatas pada kota-kota besar, bahkan mencapai daerah pedesaan (Owens & Wells, 1993).
Masyarakat menuntut tindakan dari polisi, yang akhirnya mengambil sikap yang lebih agresif
dalam menghadapi masalah ini. Namun, strategi penegakan hukum saja tidak cukup untuk
mengatasi akar penyebab dari epidemi geng remaja. Menurut Brantley dan DiRosa (1994),
memahami faktor-faktor yang mendorong anak muda bergabung dengan geng adalah langkah

8
pertama dalam menghadapi menghadapi masalah tersebut. Untuk mengatasi geng, polisi
menggunakan taktik pemolisian anti geng. Dua taktik yang umum adalah database pelacakan
geng dan perintah pengadilan geng. Database ini digunakan untuk mengumpulkan informasi
intelijen mengenai geng, seperti simbol dan pakaian khusus. Namun, basis data ini bisa
menimbulkan kontroversi karena dikhawatirkan akan mendiskriminasi kelompok minoritas.
Namun, strategi penegakan hukum sendiri tidak mengatasi akar masalah geng remaja.
Menurut Brantley dan DiRosa (1994), langkah pertama adalah memahami mengapa anak
muda bergabung dengan geng.
Ada pendapat berbeda tentang efektivitas strategi ini. Pendukungnya menganggapnya
sebagai kontrol geng yang efektif, sementara penentangnya berpendapat bahwa taktik ini bisa
melanggar kebebasan sipil pemuda, terutama mereka dari etnis minoritas (Siegal, 1997).
Taktik agresif yang diterapkan secara luas dianggap bisa memperburuk hubungan antara
polisi dan masyarakat di tempat-tempat di mana hubungan tersebut sudah kurang baik.
Tantangan bagi polisi adalah menerapkan strategi ini tanpa menargetkan remaja yang tidak
terlibat dalam geng.
Taktik kepolisian semakin agresif dalam intervensi terhadap anggota geng, bahkan
mengkriminalisasi aktivitas yang biasanya sah. Namun, banyak yang menganggap bahwa
taktik semacam itu seringkali menyasar pemuda taat hukum dan dapat merusak hubungan
masyarakat dengan polisi (Hoffman & Silverstein, 1995).
Terkait dengan perintah pengadilan sipil, mereka digunakan untuk mencegah
kejahatan geng dengan melarang anggota tertentu terlibat dalam kegiatan kriminal. Meskipun
dianggap efektif oleh beberapa pihak, ini juga menimbulkan pertanyaan tentang pelanggaran
hak-hak konstitusional, seperti hak untuk berkumpul secara bebas. Sayangnya, strategi
penegakan hukum ini cenderung mengabaikan penyebab utama partisipasi pemuda dalam
geng remaja.
Kebijakan saat ini terfokus pada penindasan dan pencegahan geng remaja, namun
kurang memperhatikan upaya rehabilitasi. Taktik seperti perintah pengadilan geng sipil dan
database pelacakan geng mencerminkan fokus ini, tetapi banyak yang mempertanyakan
efektivitasnya dan potensi pelanggaran hak sipil anggota geng.
Strategi penegakan hukum yang agresif mungkin sementara dapat mengurangi
aktivitas geng di suatu wilayah, tetapi faktor-faktor yang mendorong remaja untuk bergabung
dengan geng bersumber dari aspek psikologis dan sosiologis yang kompleks. Remaja yang
tertarik pada geng sering kali memiliki kebutuhan yang tidak terpenuhi, seperti pengakuan,

9
harga diri, cinta, dan keamanan. Mereka hidup dalam subkultur di mana keterikatan dengan
keluarga dan aktivitas prososial minim.
Untuk mengatasi masalah geng remaja secara lebih efektif, diperlukan pendekatan
yang lebih komprehensif. Psikolog forensik dapat berperan dengan mengidentifikasi dan
membantu remaja yang berisiko atau aktif terlibat dalam geng. Resolusi konflik dan mediasi
konflik adalah strategi yang digunakan untuk mengajarkan pemuda keterampilan mengelola
konflik secara damai.
Selain itu, program pendidikan, resolusi konflik, dan layanan psikologis profesional
dapat membantu anggota geng remaja dan mereka yang berisiko bergabung dengan geng.
Selama proses ini, penting untuk memahami bahwa geng memenuhi kebutuhan penting bagi
banyak remaja yang merasa terpinggirkan dan tidak memiliki akses ke sumber daya dan
kekuasaan.
Geng remaja adalah masalah yang kompleks dan membutuhkan solusi yang kompleks
pula. Menurut Brantley dan DiRosa (1994). untuk mengatasi masalah remaja yang bergabung
dengan geng, diperlukan respon yang terkoordinasi dari berbagai pihak, seperti pemerintah,
masyarakat, dan keluarga. Hal ini dikarenakan ada banyak faktor yang mendorong remaja
untuk bergabung dengan geng, sehingga perlu dilakukan upaya yang komprehensif untuk
mengatasi masalah tersebut. Respon yang terkoordinasi ini harus dimulai dengan pemahaman
yang mendalam tentang alasan yang mendorong remaja untuk bergabung dengan geng.
Setelah alasan tersebut dipahami, barulah dapat dilakukan upaya-upaya untuk mengatasi
masalah tersebut.
C. Sikap Remaja Terhadap Polisi
Sikap generasi muda terhadap polisi terbentuk akibat berbagai pengaruh dalam
kehidupannya. Meskipun polisi sering kali merupakan kontak utama remaja dengan sistem
peradilan, pengalaman-pengalaman ini hanyalah sebagian kecil dari persepsi mereka terhadap
polisi. Mereka belajar tentang penegakan hukum dari orang tua, teman sebaya, masyarakat,
sistem pendidikan, media, dan kontak pribadi dengan polisi. Sikap-sikap ini kemungkinan
besar akan berdampak signifikan terhadap pilihan-pilihan yang mereka buat sepanjang hidup,
terutama jika menyangkut generasi muda.
Leiber dkk. (1998) menemukan bahwa sikap remaja terhadap polisi bukan merupakan
akibat langsung dari kontak polisi dan remaja. Faktanya, banyak faktor sosial budaya yang
berhubungan langsung dengan persepsi generasi muda terhadap polisi. Komitmen terhadap
pelanggaran norma terbukti menjadi faktor signifikan terhadap sikap negatif terhadap polisi.

10
Ras dan etnis merupakan prediktor terkuat terhadap persepsi remaja terhadap diskriminasi
polisi dan kejujuran polisi, dan remaja minoritas memiliki sikap yang lebih negatif terhadap
polisi dibandingkan ras Kaukasia. Hasil-hasil ini menunjukkan bahwa persepsi generasi muda
terhadap polisi merupakan akibat langsung dari pola asuh sosiokultural mereka, dan di
banyak komunitas, pandangan negatif terhadap penegakan hukum telah menjadi gaya hidup
di mana generasi muda dapat mengembangkan resistensi terhadap polisi tanpa pernah
berinteraksi dengan polisi.
Dalam studi tahun 1993 tentang sikap anak-anak sekolah Aborigin Australia terhadap
otoritas institusional, peneliti Ken Rigby dan Dasia Black berupaya mengeksplorasi gagasan
yang sebelumnya ditemukan di kalangan anak-anak non-Aborigin tentang sikap mereka
terhadap otoritas. Penelitian-penelitian ini lebih lanjut menunjukkan bahwa remaja pada
umumnya mempunyai sikap positif terhadap otoritas institusional, meskipun penelitian-
penelitian ini tidak melibatkan remaja Aborigin. Faktanya, sikap pemuda Aborigin terhadap
polisi kurang positif. Hasil ini serupa dengan temuan Waddington dan Braddock (1991), yang
menemukan bahwa remaja laki-laki di Inggris memandang polisi sebagai polisi yang tertib
atau mengganggu, dan sikap mereka berbeda ketika dikategorikan ke dalam kelompok ras
Asia, kulit hitam, atau kulit putih. Kelompok kulit putih dan Asia memandang polisi dari
kedua sisi, sementara sebagian besar kelompok kulit hitam memandang polisi sebagai
pengganggu.
Demikian pula, literatur menunjukkan bahwa laki-laki menilai polisi lebih negatif
dibandingkan perempuan dalam berbagai cara, dan hal ini berlaku baik bagi orang dewasa
maupun remaja (dikutip dalam Danno, 1994; dikutip dalam Hurst, Frank, & Browning, 2000;
dikutip dalam Miller. & Davis, 2008). Hal tersebut juga didukung oleh fakta bahwa laki-laki
pada umumnya lebih banyak terlibat dalam kejahatan dibandingkan perempuan pada segala
usia. Karena laki-laki lebih banyak melakukan kejahatan dibandingkan perempuan, mereka
cenderung memiliki konflik perasaan yang berujung pada ketidakpercayaan terhadap polisi
(Citation Brown dan Benedict, 2005; dikutip dalam Kanazawa dan Still, 2000). Bahkan di
kalangan laki-laki yang taat hukum, terdapat kecenderungan untuk tidak mempercayai polisi,
terutama karena sebagian besar polisi yang melaporkan kasus penggunaan kekuatan
berlebihan ditujukan terhadap tersangka laki-laki (CitationCrawford dan Burns, 2008).
Untuk mengubah persepsi negatif terhadap polisi di kalangan remaja, perlu adanya
upaya untuk menjangkau remaja yang tidak menyukai hukum. Karena pandangan seperti itu
biasanya merupakan hasil dari pengaruh komunitas mereka, maka upaya untuk masuk ke
lingkungan sekitar kemungkinan besar tidak akan memberikan dampak positif pada generasi

11
muda. Sebaliknya, intervensi di tingkat sekolah akan memungkinkan polisi memberikan
dampak positif terhadap kehidupan anak-anak, yang mungkin melakukan hal tersebut.
Misalnya, upaya perpolisian masyarakat melibatkan upaya membuat sistem penegakan
hukum terlihat melalui kegiatan sekolah, anti-alkohol, dan acara olahraga. Dengan
mendorong orang tua untuk mendukung upaya positif ini, anak-anak diajarkan peran positif
polisi. Penting agar generasi muda tidak hanya mengenal petugas polisi tertentu, seperti
penghubung sekolah, namun mereka juga mengenal petugas polisi lainnya dan
mengembangkan pandangan positif terhadap polisi secara umum.
D. Prostitusi Wanita Remaja: Penjahat Atau Korban?
Flowers (1995) mendefinisikan prostitusi remaja sebagai “penggunaan atau partisipasi
orang-orang di bawah usia 18 tahun dalam tindakan seksual dengan orang dewasa atau anak
di bawah umur lainnya tanpa paksaan, termasuk hubungan seks, seks oral, seks anal, dan
aktivitas sadomasokis. Berbagai divisi remaja biasanya bekerja sama dengan lembaga
perlindungan anak dan menangani kasus-kasus pelecehan hingga kasus penelantaran anak
atau kekerasan dalam rumah tangga (Weisberg, 1985). Meskipun divisi remaja pada
umumnya menganut model rehabilitatif, memandang para pelacur ini sebagai korban, petugas
polisi wakil divisi cenderung memilih pendekatan hukuman, karena menganggap remaja ini
sebagai penjahat.
Prostitusi perempuan remaja merupakan fenomena yang sangat berbeda dengan
prostitusi perempuan dewasa jika dilihat dari berbagai sudut pandang. Misalnya prostitusi
dewasa. Teori feminis mengkaji isu-isu seperti hubungan kekuasaan antara laki-laki dan
perempuan dan kurangnya peluang perempuan di pasar tenaga kerja (Jesson, 1993). Sereny
(1984) menjelaskan bahwa prostitusi remaja mengatasi perbedaan kekuasaan antara orang
dewasa dan anak-anak yang belum memasuki dunia kerja. Meskipun literatur yang tersedia
mengenai pengelolaan prostitusi remaja di Amerika Serikat masih sedikit, jelas bahwa
perilaku remaja ini tidak dapat dipertimbangkan dengan tepat jika menggunakan teori
prostitusi perempuan.
Penelitian menunjukkan berbagai faktor dan motivasi yang menyebabkan terjadinya
prostitusi remaja, antara lain :
1. Widom dan Kuhns (1996) menemukan bahwa pengabaian pada masa kanak-kanak atau
kurangnya dukungan keluarga juga merupakan faktor risiko masuknya prostitusi remaja.
2. Faktor ekonomi, karena adanya tekanan ekonomi menyebabkan mereka terpaksa menjual
diri untuk memenuhi kebutuhan hidup.

12
3. Banyak literatur yang menyatakan bahwa sebelum memasuki dunia prostitusi, sebagian
besar gadis-gadis ini mengalami pelecehan fisik, emosional, atau, yang paling sering,
pelecehan seksual (Flowers, 1998; Jesson, 1993; Schaffer & DeBlassie. 1984: Weisberg,
1985; Widom & Kuhns , 1996). Hal tersebut mungkin membuat mereka frustasi sehingga
dengan kondisi tersebut dapat memicu mereka jatuh ke prostitusi.
4. Beberapa orang terpikat oleh germo atau mucikari yang suka berbicara manis dan
menawarkan kasih sayang, perlindungan. dan persahabatan. Benson dan Matthews (1995)
menyatakan bahwa mayoritas perempuan melakukan prostitusi ketika mereka “rentan
dan mudah terpengaruh”. Misalnya pada anak-anak jalanan, mereka lebih rentan terhadap
iming-iming yang ditawarkan oleh mucikari atau remaja lainnya. “Pelecehan dan
penelantaran pada anak usia dini nampaknya menempatkan anak-anak pada peningkatan
risiko menjadi pelacur, yang memperkuat pentingnya melihat prostitusi dalam konteks
viktimisasi
5. Faktor kebodohan sosial, karena tidak memiliki pendidikan dan intelegensi yang
memadai sehingga dapat diasumsikan bahwa tingkat intelektualitas pun akan rendah,
dengan demikian akan menimbulkan ketidakmampuan diri dalam mengikuti arus
perkembangan sosial di segala bidang.
E. Menentukan Usia Tanggung Jawab Pidana
Pada pergantian abad, pelaku kejahatan di bawah umur dipisahkan dari pelaku
kejahatan dewasa karena mereka dianggap dapat diobati. Namun saat ini, ada kecenderungan
umum di masyarakat untuk meminta pertanggungjawaban pelaku remaja. Pada tahun 1980-
an, banyak badan legislatif negara bagian mengeluarkan undang-undang yang
memberlakukan keringanan hukuman yang mengalihkan anak-anak yang melakukan tindak
pidana kejahatan. Keringanan ini menurunkan usia tanggung jawab pidana dan penahanan
anak di bawah umur yang bertanggung jawab seperti orang dewasa atas kejahatan mereka.
Mahkamah Agung menyatakan bahwa dengan diturunkannya usia tanggung jawab, proses
hukum harus hadir dalam sistem peradilan anak (Fritsch & Henimnens, 1995).
Menurut Fritsch dan Heinniens (1995), common law Inggris menyatakan bahwa anak-
anak di bawah usia 7 tahun tidak mampu memikul tanggung jawab pidana. Anak-anak yang
berusia antara 7 dan 14 tahun masih belum mampu kecuali jika dapat dipastikan bahwa
mereka mampu memahami konsekuensi dari tindakan mereka. Remaja yang berusia di atas
14 tahun dianggap bertanggung jawab penuh atas tindakannya dan akan menerima hukuman
seperti pelanggar dewasa. Doktrin yang berasal dari common law Inggris ini

13
memperbolehkan negara untuk melakukan intervensi dan bertindak demi “kepentingan
terbaik bagi anak” kapan pun dianggap perlu (Reppucci & Crosby, 1993).
Ada kecenderungan umum di masyarakat untuk menurunkan usia tanggung jawab
pidana dan memberikan hukuman dibandingkan merehabilitasi pelanggar. Legislasi
menanggapi keinginan masyarakat untuk "bersikap keras" terhadap kejahatan dengan
mengeluarkan undang-undang yang memperketat sistem peradilan pidana orang dewasa.
Undang-undang ini termasuk memperpanjang masa hukuman penjara, menghilangkan istilah
“good time” yang digunakan untuk pembebasan bersyarat sebelumnya, dan mengganti
hukuman yang tidak dapat ditentukan dengan hukuman yang ditentukan. Hakim
menggunakan keringanan hukuman untuk menempatkan remaja ke dalam sistem peradilan
orang dewasa sehingga pelaku remaja dapat menerima hukuman yang lebih berat. Prosedur
atau pengabaian ini juga disebut sebagai “sertifikasi” “transfer” “referensi” “penahanan” atau
“penolakan” (Kinder, Veneziano, Fichte, & Azuma, 1995).
Pada tahun 19805, banyak badan legislatif negara bagian mengesahkan undang-
undang yang memberlakukan keringanan. Sertifikasi ini mengalihkan pelaku kejahatan serius
dan kekerasan di bawah umur dari sistem peradilan anak ke dalam sistem peradilan pidana.
Badan legislatif percaya bahwa remaja akan menerima hukuman yang lebih berat atas
pelanggaran mereka. Pada kenyataannya, kasus remaja yang dilimpahkan ke pengadilan
orang dewasa kemungkinan besar masih tertunda atau belum terselesaikan. Pengabaian
biasanya diberikan pada kejahatan yang lebih serius dan penuh kekerasan seperti
pembunuhan, pemerkosaan, dan penyerangan berat karena pelanggaran ini memerlukan
sanksi yang lebih berat daripada yang dapat dijatuhkan oleh sistem peradilan anak (Fritsch &
Heim unens, 1995).
Ada beberapa jenis pengabaian, namun dua yang paling umum adalah pengabaian
yudisial dan pengabaian legislatif (Fritsch & Heinmens, 1995). Pengabaian yudisial sangat
populer karena memungkinkan hakim pengadilan remaja menggunakan kekuasaan diskresi
mereka untuk mengesampingkan yurisdiksi dan mengirim kasusnya ke pengadilan dewasa.
Pengadilan anak dapat memutuskan sendiri apakah akan menggunakan pengabaian atau
mendasarkan keputusannya. Pengabaian legislatif terkadang disebut dengan pengabaian
otomatis karena pengabaian ini dapat menyebabkan beberapa pelaku remaja untuk
sepenuhnya melewati sistem peradilan anak dan langsung menuju ke sistem peradilan pidana
dewasa pada saat penangkapan.
Remaja pelanggar yang hadir di hadapan hakim di pengadilan anak tidak lagi
dipandang atau diperlakukan sebagai anak-anak yang belum dewasa yang berhak

14
mendapatkan perlindungan dari sistem peradilan anak, Sebaliknya anak-anak yang dituduh
melakukan kejahatan berat harus bertanggung jawab dan dihukum (Fritsch & Hemmens,
1995). Hal ini menyebabkan penanganan terhadap pelaku remaja tersebut sama seperti
pelanggar dewasa, terutama mereka yang dituduh melakukan kejahatan kekerasan. Alasan
utama mengapa pengadilan memberikan lebih banyak hak kepada remaja adalah keyakinan
bahwa karena usia dan kurangnya pengalaman, mereka tidak memiliki kemampuan dan
kapasitas untuk melindungi kepentingan pribadi mereka (Reppucci & Crosby, 1993).
Ketika menentukan usia psikologis tanggung jawab, seseorang tidak dapat
mendasarkan jawabannya pada keputusan dari pengadilan, seperti usia tanggung jawab yang
sah. Usia tanggung jawab berbeda dari satu negara bagian ke negara bagian lain, tetapi
undang-undang federal mengatur anak di bawah umur sebagai dewasa pada usia 16 tahun.
Mahkamah Agung memutuskan bahwa Amandemen Kedelapan Konstitusi AS melarang
eksekusi seseorang yang berusia di bawah 16 tahun pada saat melakukan pelanggaran.
Sekarang 16 adalah usia konstitusional. Menurut Mahkamah Agung, apapun lingkungan
tempat seorang remaja berasal, usia sah untuk memikul tanggung jawab tetaplah 16 tahun.
Undang-undang telah lama mengakui bahwa anak-anak kurang dewasa dan kurang
mampu dibandingkan dengan orang dewasa di banyak bidang hukum. Namun undang-
undang tersebut tidak menjelaskan dengan jelas sejauh mana kapasitas tanggung jawab
tertentu bervariasi menurut usia kronologis. Misalnya, seiring bertambahnya usia, apakah kita
semakin bertanggung jawab atas tindakan kita? Undang-undang tersebut juga tidak jelas
mengenai bagaimana tingkat perkembangan kognitif dan sosio-emosional mempengaruhi
tingkat tidak bertanggung jawab (Woolard, Reppucci, & Redding, 1996). Ketika hakim
pengadilan remaja mengirimkan seorang remaja ke pengadilan pidana, remaja kemudian
diharapkan memenuhi standar tanggung jawab orang dewasa. Standar tanggung jawab orang
dewasa mencakup kemampuan untuk membuat keputusan yang tepat. Hal ini memerlukan
“kompetensi”. Woolard dan rekan-rekannya (1996) menunjukkan bahwa kompetensi
umumnya mengacu pada pengetahuan dan kemampuan seseorang untuk mengekspresikan
dirinya dalam keadaan ideal. Namun undang-undang tersebut hanya memperhatikan kapasitas
remaja dalam konteks perbuatan hukum tertentu yang dituduhkan dilakukan oleh remaja
tersebut. Dengan demikian, hukum lebih mementingkan perbuatan individu dibandingkan
kompetensinya

15
F. Anak-Anak/Remaja Dan Keandalan Mereka Dalam Kesaksian Di Pengadilan
Diperkirakan lebih dari 200.000 anak per tahun terlibat dalam cara sonik sistem
hukum (Ceci & Bruck, 1995). Seringkali, anak-anak memberikan kesaksian penting karena
perkataan mereka adalah satu-satunya bukti yang tersedia dalam banyak kasus pelecehan.
Pengadilan harus menentukan apakah anak tersebut merupakan saksi yang dapat dipercaya
(J.E.B. Myers, 1993). Pengadilan harus memeriksa berbagai faktor, seperti usia anak, apakah
anak dapat membedakan antara kebenaran dan kebohongan, dan apakah anak tersebut
memahami konsekuensi dari kesaksian tersebut. Meminta seorang anak memberikan
kesaksian di pengadilan bukanlah perkara yang sederhana dan lugas. Ada banyak faktor yang
perlu dipertimbangkan. Karena jaksa sangat bergantung pada kesaksian anak-anak, terutama
dalam kasus-kasus kekerasan, maka penting untuk menentukan apakah anak-anak kompeten
untuk memberikan kesaksian (Saywitz, 1995). Dulu, kesaksian anak di bawah usia tertentu
merupakan hal yang otomatis dianggap tidak kompeten. Namun, kasus tahun 1770 Case, Rex
v, dan Brasier, berpendapat bahwa tidak boleh ada sesuatu yang otomatis dalam menentukan
kompetensi, tidak peduli seberapa muda anak tersebut (JEB Myers, 1993b).
Apapun pendekatan yang dilakukan oleh negara, hakim pada akhirnya bertanggung
jawab untuk menentukan kompetensi anak, dan mereka mempunyai kewenangan yang luas
untuk menentukan pilihan. Berdasarkan J.E.B. Myers (1993), ada tiga syarat utama yang
digunakan hakim dalam menentukan kompetensi, yaitu:
1. Yang pertama adalah apakah anak mempunyai kemampuan tertentu. Misalnya, mereka
harus bisa mengamati apa yang terjadi di ruang sidang, belum tentu bisa memahami
sepenuhnya apa yang terjadi. Mereka harus punya daya ingat yang memadai. kemampuan
lebih lanjut yang harus dimiliki anak-anak agar dianggap kompeten untuk memberikan
kesaksian adalah anak-anak harus mampu berkomunikasi. Mereka juga harus mampu
membedakan kebenaran dari kebohongan dan memahami pentingnya mengatakan
kebenaran. Dengan kata lain, mereka harus memahami akibat dari berbohong. K. Bussey,
Lee, dan Grimbeck (1993) menunjukkan bahwa bahkan anak usia 4 tahun pun memiliki
kemampuan untuk membedakan kebohongan dan kebohongan.
2. Persyaratan kedua yang dijelaskan oleh J.E.B Myers (1993) adalah apakah anak
mempunyai pengetahuan pribadi tentang fakta yang berkaitan dengan kasus tersebut. Hal
ini sesuai dengan Peraturan 602 Peraturan Pembuktian Federa.
3. Syarat terakhir adalah pengambilan sumpah. A.G. Walker (1993) berpendapat bahwa
anak dapat dianggap tidak kompeten jika mereka tidak memahami arti kata-kata sumpah.

16
Namun, keadaan sonik memungkinkan anak-anak untuk melepaskan elemen ini dan tetap
bersaksi
Terdapat penelitian yang dilakukan terhadap saksi/korban pelecehan seksual di bawah
umur, dengan mayoritas berusia antara 11 dan 15 tahun. Mereka menemukan bahwa pada
separuh dari mereka yang diperiksa, terjadi perubahan kesaksian. Namun, mereka
menemukan bahwa alasan paling umum untuk perubahan ini adalah rendahnya tingkat
intelektual remaja. Mereka menyimpulkan bahwa untuk menerima kesaksian seorang anak
sebagai sesuatu yang dapat diandalkan, faktor psikologis yang mencakup kemampuan
intelektual, ketakutan yang signifikan terhadap evaluasi sosial, dan peningkatan kritik diri
harus dipertimbangkan.
Bottoms (1993) melaporkan bahwa anak-anak yang lebih muda cenderung dipandang
lebih dapat diandalkan dibandingkan anak-anak yang lebih tua atau remaja dalam bersaksi
tentang pelecehan seksual. Masyarakat percaya bahwa anak-anak tidak efisien secara kognitif
dan oleh karena itu tidak mungkin mengarang cerita seperti itu, sedangkan remaja diyakini
bersalah dalam pelecehan seksual atau mengarang cerita mereka. Faktor lain yang
mempengaruhi keandalan kesaksian anak adalah tekanan dari keseluruhan situasi. Anak-anak
harus menghadapi lingkungan pengadilan yang mengintimidasi dan mendiskusikan kejadian-
kejadian pribadi yang traumatis ketika berhadapan dengan orang yang diduga pelaku
kekerasan (Batterinan-Faunce & Goodman, 1993). Kehadiran orang yang ditakuti ini di ruang
sidang dapat mengurangi kemungkinan anak mengungkapkan keseluruhan deskripsi
kejadiannya. Oleh karena itu, mengizinkan anak untuk memberikan kesaksian tanpa
kehadiran terdakwa dapat memberikan kesaksian yang lebih dapat diandalkan (Pipe &
Goodman, 1991). Tobey. Goodman, Batterman-Faunce, Oreutt, dan Sachsenmaier (1995)
mengemukakan bahwa jika seorang anak memberikan kesaksian di depan terdakwa, maka ia
mungkin mengalami trauma psikologis karena menghadapi tersangka pelaku kekerasan.
Mereka menyoroti bahwa trauma ini dapat berdampak negatif terhadap keandalan dan
ketelitian kesaksian. Terdapat pendapat yang menyatakan bahwa penggunaan CCTV dapat
membantu kebutuhan anak-anak untuk bersaksi dalam situasi yang traumatis. Mereka bisa
memberikan kesaksiannya dari luar ruang sidang melalui monitor CCTV. Penolakan
terhadap prosedur ini adalah bahwa prosedur ini melanggar hak atas proses hukum yang
ditetapkan dalam Amandemen Keempat Belas defendan karena mengganggu kemampuan
pencarian fakta dalam menentukan kredibilitas saksi dan melanggar hak terdakwa dalam
Amandemen Keenam untuk menghadapi saksi secara langsung (Goodman dkk., 2012)

17
Mahkamah Agung sampai batas tertentu menyetujui penolakan ini. di dalam Coy v.
Iowa (1988), Pengadilan memutuskan bahwa munculnya metode kesaksian melalui CCTV
memang melanggar hak Amandemen Keenam dan Keempat Belas terdakwa. Namun, 2 tahun
kemudian Maryland Craig (1990), Pengadilan memutuskan mendukung diperbolehkannya
metode kesaksian melalui CCTV dalam kasus pelecehan seksual terhadap anak di mana anak
tersebut akan sangat trauma tidak dapat berkomunikasi secara wajar. Mahkamah Agung
memang setuju bahwa teknologi tersebut merupakan pelanggaran hak namun karena dampak
psikologis yang terkait dengan kesaksian seorang anak lebih besar daripada hak-hak tersebut.
Mereka berpendapat bahwa metode kesaksian melalui CCTV dapat mengurangi sugestibilitas
bagi anak-anak yang lebih kecil dan bahwa anak-anak ini membuat lebih sedikit kesalahan
terkait dengan pertanyaan-pertanyaan yang menyesatkan jika dibandingkan dengan mereka
yang memberikan kesaksian di ruang sidang. Televisi sirkuit tertutup (CCTV) secara
keseluruhan mendorong kesaksian yang lebih dapat diandalkan pada anak-anak. Dalam
metode kesaksian melalui CCTV, terdakwa tidak memiliki peluang lebih besar untuk
dihukum, dan persidangan tersebut dianggap tidak adil bagi terdakwa. Namun, juri dalam
penelitian tersebut melaporkan bahwa anak-anak yang memberikan kesaksian melalui CCTV
dianggap kurang dapat dipercaya, meskipun sebenarnya lebih akurat, dibandingkan anak-
anak yang memberikan kesaksian di ruang sidang. Ada banyak permasalahan yang dapat
mempengaruhi keandalan kesaksian anak. Tampaknya stres dan trauma saat memberikan
kesaksian dapat mengurangi keandalan.
G. Kepentingan Terbaik Dari Doktrin Anak
Doktrin Kepentingan Terbaik Anak didirikan dalam sistem hukum untuk menentukan
komponen hak asuh anak yang akan memberikan lingkungan terbaik bagi penyesuaian dan
perkembangan anak (Kelley, 1997). Menurut Mason (seperti dikutip di dalam Skolnick,
1998), sekitar 50% anak yang lahir pada tahun 1990 akan terlibat dalam kasus hak asuh anak.
Doktrin Kepentingan Terbaik bagi Anak biasanya digunakan ketika terjadi perceraian, yang
merupakan alasan sebagian besar sengketa hak asuh (Kelley, 1997; Skolnick, 1998).
Perceraian dapat menimbulkan konsekuensi yang signifikan bagi anak, dan tujuan di balik
doktrin kepentingan terbaik adalah untuk mempertimbangkan orang dewasa mana yang dapat
memberikan hubungan paling positif dan lingkungan terbaik bagi anak (G. Miller, 1993).
Sebelum pertengahan abad ke-19, anak-anak dianggap sebagai properti, dan oleh
karena itu ayah berhak atas properti tersebut. Pengadilan kemudian beralih pada gagasan
bahwa anak-anak yang masih kecil harus diizinkan untuk tinggal bersama ibunya sampai

18
mereka disapih. Pada tahun 1925 standar Kepentingan Terbaik untuk Anak pertama kali
diusulkan. Hal ini terjadi pada kasus Finlay v. Finlay (1925). Seorang ayah menggugat hak
asuh atas anaknya, dan pengadilan memutuskan bahwa yang menjadi perhatiannya adalah
kesejahteraan anak tersebut, bukan perselisihan antara orang tua. Namun, anggapan Tahun
Tender terus berlaku hingga tahun 1970, ketika secara resmi digantikan oleh Kepentingan
Terbaik Anak.
Keluhan utama yang diajukan terhadap standar yang relatif baru ini adalah bahwa
standar “kepentingan terbaik anak” tersebut sangat tidak jelas, sehingga memungkinkan
terjadinya bias hukum yang dapat mengakibatkan hasil yang berbeda dalam kasus serupa
(Skolnick, 1998). Dolgin (1996), misalnya, melaporkan bahwa banyak yang mengkritik
standar tersebut karena standar tersebut tidak memberikan panduan substansial yang cukup
bagi pengadilan untuk di tindak lanjuti terkait dengan keputusan hak asuh anak. Penggunaan
standar Kepentingan Terbaik dapat menyebabkan keputusan yang berlawanan di dalam kasus
hak asuh anak, tergantung pada hakim ketua. Salah satu masalahnya adalah tampaknya tidak
ada definisi operasional yang diakui secara luas untuk standar Bariach, 199h).
Kritik terhadap ketidakjelasan tidak hanya mencakup masalah bias hukum.
Tampaknya juga terdapat kurangnya kesepakatan di antara profesional kesehatan mental dan
hukum mengenai persyaratan yang diperlukan untuk kepentingan terbaik anak, yang
menyebabkan para profesional sampai pada keputusan yang bertentangan dalam kasus-kasus
tertentu (Kelley, 1997). Bahkan pada tingkat yang lebih luas, standar ini telah dikritik karena
tidak ada kesepakatan masyarakat mengenai apa yang terbaik bagi anak-anak (Goldstein,
Solnit, Goldstein. & Freud, 1996; Skolnick, 1998).
Dolgin (1996) mengemukakan bahwa kurangnya bimbingan dapat menyebabkan
hakim berfokus pada kepentingan orang tua dibandingkan kepentingan anak. G. Miller
(1993) menyatakan bahwa pengadilan sering kali memeriksa faktor-faktor lain selain
kepentingan terbaik bagi anak, Faktor-faktor tersebut mencakup hak konstitusional pihak-
pihak yang terlibat, Miller menyatakan bahwa keputusan Mahkamah Agung mencerminkan
gagasan bahwa hak konstitusional mendahului standar Kepentingan Terbaik. Hal ini
menyebabkan pengadilan lain memeriksa kepentingan orang dewasa dibandingkan anak-
anak. Kandel (1994) menyatakan bahwa standar kepentingan terbaik "tidak mencapai dimensi
konstitusional; hal ini tidak berimplikasi pada hak proses hukum yang substantif maupun
prosedural. Lebih lanjut, hal ini merupakan kejahatan yang tidak akan pernah dilakukannya.
dibatasi demi kepentingan negara, kepentingan orang tua, dan kepentingan anak itu sendiri”.

19
G. Miller (1993) menunjukkan bahwa standar Kepentingan Terbaik didefinisikan
secara berbeda baik secara hukum maupun psikologis, sehingga menyebabkan komplikasi
lebih lanjut. Bagi petugas kesehatan mental, kepentingan terbaik bagi anak merupakan faktor
penentu dalam merekomendasikan penempatan yang tepat, sedangkan bagi pengadilan,
kepentingan terbaik bagi anak merupakan faktor yang lebih tinggi daripada standar
Kepentingan Terbaik. Menurut Kandel (1994), ketika pengadilan meminta bantuan
psikologis, hal tersebut dilakukan untuk membenarkan keputusannya. Tampaknya
menciptakan "validitas ilmiah" ini adalah pilihan terbaik; namun, seringkali pengadilan
menanyakan pertanyaan yang salah kepada profesional kesehatan mental.
Faktor lain yang tampaknya membiaskan keputusan hakim adalah bahwa sejak awal
abad ke-20 para ibu diberikan prioritas dalam hal hak asuh atas anak-anak mereka, meskipun
hal ini tidak pernah diakui secara hukum (Kandel, 1994). Skolnick (1998) menyatakan bahwa
meskipun standar Kepentingan Terbaik berlaku, sebagian besar keputusan hak asuh tetap
dibuat demi kepentingan ibu. Ada empat penjelasan yang diberikan oleh Warshak (1996)
mengenai fenomena ini, diantaranya:
1. perempuan pada dasarnya adalah orang tua yang lebih baik dan lebih penting bagi anak-
anaknya,
2. Sebagian besar ibu adalah orang tua yang lebih baik, bukan karena mereka memiliki
superioritas bawaan, namun karena mereka memiliki lebih banyak pengalaman
dibandingkan ayah dalam membesarkan anak,
3. Hak asuh seharusnya merupakan imbalan atas jenis kontribusi yang diberikan seorang ibu
kepada anak-anaknya, dan
4. Ibu lebih menderita secara emosional dibandingkan ayah karena kehilangan hak asuh.
Warshak juga mengindikasikan bahwa hanya 1 dari 10 anak yang tinggal bersama
ayah mereka, dan angka ini merupakan proporsi yang stabil selama beberapa dekade.
Meskipun bukti yang menunjukkan bahwa ayah yang bercerai dapat memberikan pengasuhan
bagi anak-anak mereka dan dapat menangani tanggung jawab membesarkan anak, mereka
yang menginginkan hak asuh "masih harus membuktikan bahwa ibu mereka sangat lalai atau
kasar" Jika seorang hakim yakin bahwa ibu adalah pengasuh yang lebih baik bagi anak-
anaknya, maka cukup mudah untuk memihak salah satu orang tua dengan menyoroti perilaku
negatif orang tua lainnya

20
H. Hukuman: Psikologi Rehabilitasi Remaja
Kontroversi cara yang paling tepat untuk menangangi pelanggar remaja tetap tidak
berkurang hingga saat ini. Ada dua sudut pandang yang berlawanan yang meliputi hukuman
pelanggar muda. Ada orang yang menganjurkan model rehabilitatif ketika menangani
kejahatan remaja dan mereka menganjurkan model retributif. Model rehabilitatif didasarkan
pada premis bahwa pelanggar muda dapat menerima perawatan dan, jika diperlakukan
dengan benar, akan menua dari perilaku kriminal. Mereka yang mempromosikan model
retributif percaya bahwa remaja yang melakukan kejahatan diperlakukan terlalu lunak oleh
sistem dan harus menerima hukuman yang lebih ketat untuk kejahatan mereka. Sementara
rehabilitasi dulunya adalah tujuan utama dari sistem peradilan remaja, selama decade terakhir
telah ada pergeseran untuk memastikan retribusi (et al., 1997).
Seperti yang diilustrasikan dalam kasus Kinkel, remaja melakukan kejahatan sama
kejinya dengan orang dewasa. Namun, menentukan apa yang merupakan hukuman yang
paling tepat untuk pelanggar remaja sangat kontroversial. Ekskusi orang tua seseorang
ditambah dengan pembunuhan massal yang diduga dilakukan Kinkel akan membuat orang
dewasa manapun memenuhi syarat untuk hukuman mati. Namun, menjatuhkan hukuman
untuk umur 15 tahun seringkali membutuhkan lebih banyak pertimbangan daripada
menjatuhkan hukuman untuk orang dewasa. Kasus Kinkel menyoroti banyak masalah yang
terjadi dalam sistem peradilan remaja. Masalah menyeluruh adalah pelanggar remaja harus
diperlakukan berbeda dari pelanggar dewasa.
Ketika pengadilan remaja awalnya didirikan, salah satu figur yang menonjol dari
sistem ini adalah fokusnya pada rehabilitasi. Inheren dalam model rehabilitatif adalah
gagasan bahwa disposisi akan dibuat berdasarkan kesesuainnya untuk pelaku, bukan
pelanggaran (Melton et al., 1997). Oleh karena itu, ketika sistem peradilan remaja didirikan
sebagai entitas yang terpisah dari sistem dewasa, dianggap bahwa pelaku remaja memang
berbeda dari pelaku dewasa. Namun, perbedaan yang diakui antara pelanggar dewasa dan
remaja memiliki dampak positif dan negatif pada sistem peradilan remaja dan mengarah pada
serangkaian tindakan reformasi.
Di beberapa negara bagian menyadari bahwa program berbasis komunitas untuk anak
remaja lebih efektif daripada fasilitas dan institusi yang dirancang untuk memenjarakan
mereka (Melton er al., 1997). Ini mungkin disebabkan oleh fakta bahwa fasilitas penahanan
remaja sering tidak menawarkan layanan yang ditujukan untuk merehabilitasi pelaku. Selain
itu, dari perspektif fiscal, program berbasis komunitas jauh lebih hemat biaya untuk
pelanggar remaja (Weaver, 1992).

21
Ada banyak komunitas yang saat ini ada yang dirancang untuk menyediakan alternatif
bagi pelanggar remaja untuk penahanan di Lembaga remaja. Program-program ini sering
disusun untuk mengatasi masalah dalam keluarga pelanggar remaja serta masalah psikologis
yang mempengaruhi kaum muda. Straus mengakui bahwa ada berbagai program yang
tersedia untuk memenuhi berbagai kebutuhan remaja. Beberapa dari program ini termasuk
yang berikut: kelompok dukungan sebaya, program pelatihan kerja, program berbasis gereja,
pusat perawatan drop-in, tempat penampungan remaja, dan fasilitas perawatan rawat inap.
Daftar ini menyoroti berbagai peluang untuk layanan rehalitatif yang tersedia untuk
pelanggar muda. Dengan demikian delima mengenai hukuman yang paling tepat untuk
dikenakan pada remaja tertentu tetap menjadi kebijaksanaan hakim pengadilan. Sangat
mungkin bahwa rehabilitasi versus retribusi pelanggar muda akan terus memicu perdebatan
diantara legislatif, media, dan individu di bidang kesehatan mental dan peradilan pidana.
I. Remaja Di Penjara Dewasa
Ribuan anak-anak ditempatkan di penjara dewasa setiap tahunnya. Kondisi di mana
anak-anak ini ditahan, dan keadaan yang mereka hadapi, menimbulkan ancaman yang serius
terhadap kesejahteraan fisik dan mental mereka. Para pembela anak telah lama menyadari
bahaya yang dihadapi anak-anak di lingkungan ini, dan kekhawatiran mereka telah
mendorong litigasi untuk mengakhiri penahanan remaja di penjara orang dewasa. Meskipun
proses litigasi telah dilakukan selama bertahun-tahun untuk menghapuskan penahanan anak-
anak di fasilitas orang dewasa, sekitar 41 negara terus melakukan hal tersebut, menempatkan
ribuan anak dalam situasi berbahaya setiap tahunnya. Seringkali, ketika remaja dipenjarakan
bersama orang dewasa dalam upaya untuk memperbaiki perilaku mereka, mereka
meninggalkan penjara bahkan dalam keadaan kurang siap menghadapi dunia luar
dibandingkan sebelum penahanan (Toniasevski, 1986).
Setiap tahun ada kasus anak laki-laki yang melakukan bunuh diri saat berada di
penjara dewasa. Seringkali bagi anak laki-laki, bunuh diri terjadi setelah mereka menjadi
korban pemerkosaan yang dilakukan oleh narapidana dewasa. Jika anak laki-laki menjadi
sasaran pemerkosaan yang dilakukan oleh narapidana dewasa, maka anak perempuan
seringkali menjadi korban pemerkosaan yang dilakukan oleh petugas penjara. Kekerasan di
lembaga pemasyarakatan adalah kejadian biasa. Ketika anak-anak bercampur dengan orang
dewasa, mereka menjadi sasaran utama serangan karena kerentanan mereka.
Menurut Survei Penjara Tahunan tahun 1989, terdapat sekitar 53.994 remaja yang
ditahan di penjara dewasa. Yang menjadi perhatian khusus adalah kenyataan bahwa banyak

22
dari mereka adalah pelanggar status (kabur, membolos, dan anak-anak di luar kendali orang
tua). Hanya sebagian kecil dari anak-anak yang ditahan di penjara yang dituduh melakukan
kejahatan kekerasan (Soler, 1988). Murray (1983) melaporkan bahwa itu hampir setengah
juta anak-anak berada di penjara orang dewasa, hanya 14% dari mereka yang didakwa
melakukan pelanggaran serius seperti pembunuhan, pemerkosaan, atau perampokan.
Lingkungan penjara orang dewasa tidak kondusif bagi penahanan remaja. Ibmasevski
(1986) menyajikan hasil studi komprehensif yang dilakukan oleh Defense for Children
International pada tahun 1983, dalam upaya untuk menciptakan kesadaran tentang masalah
penahanan anak di fasilitas orang dewasa. Anak-anak yang ditahan di fasilitas orang dewasa
dihadapkan pada keadaan yang merupakan ancaman langsung terhadap kesehatan emosional
dan fisik mereka. Untuk “melindungi” anak-anak dalam lingkungan seperti itu, mereka
seringkali dipisahkan dari populasi narapidana dewasa. Akibat dari tindakan ini adalah
isolasi, seringkali menyerupai kurungan tersendiri.
Penahanan anak-anak di penjara orang dewasa merupakan masalah sosial, politik, dan
hak asasi manusia. Meskipun terdapat upaya litigasi untuk mengakhiri penahanan anak-anak
bersama orang dewasa, perkiraan yang berkisar antara 27.000 hingga 500.000 menunjukkan
bahwa anak-anak masih ditahan di fasilitas orang dewasa setiap tahunnya (S.Wrightsman,
1991). Seiring dengan meningkatnya upaya untuk mengekang laju kejahatan remaja,
kebutuhan dan hak khusus anak tidak boleh diabaikan. Fasilitas penahanan remaja dilengkapi
secara khusus untuk memenuhi kebutuhan khusus para pelaku kejahatan remaja serta
program pengobatan khusus dirancang untuk menawarkan kesempatan rehabilitasi kepada
remaja.
J. Remaja Di Hukuman Mati
Hukuman mati masih menjadi kontroversi selama beberapa dekade. Konstitusionalitas
hukuman mati, biaya perkara besar dan eksekusi, serta dampak hukuman mati terhadap
pencegahan kejahatan di masyarakat kita telah berulang kali dipertanyakan. Kontroversi ini
semakin diperumit dengan isu hukuman mati terhadap remaja. Saat ini ada tiga negara yang
memperbolehkan eksekusi pelaku remaja. Amerika Serikat bukan hanya salah satu dari tiga
negara yang memperbolehkan hukuman mati bagi remaja, namun Amerika Serikat juga
merupakan negara terdepan dalam hal ini. Lima puluh delapan remaja di Amerika Serikat
menjalani hukuman mati pada bulan Maret. 1997 (Jalan, 1998). Selain itu, remaja yang
dijatuhi hukuman mati biasanya menunjukkan kerusakan saraf, psikosis, dan menderita
pelecehan fisik dan seksual yang parah ketika masih anak-anak (Lewisdkk.,1.988).

23
Dari sudut pandang kriminologis, hukuman atas kejahatan mempunyai salah satu dari
tiga hal utama tujuan; (1.) pencegahan, (2) retribusi, atau (3) rehabilitasi. Karena alasan yang
jelas, hukuman mati tidak dapat menjalankan fungsi rehabilitatif. Namun, rehabilitasi adalah
dasar dari sistem peradilan anak di Amerika. Oleh karena itu, pernyataan mendasar dari
sistem peradilan anak (yaitu, rehabilitasi pelaku kejahatan anak) pada hakikatnyatidak sesuai
dengan hukuman mati.
Hukuman mati telah diteliti lebih lanjut dalam kaitannya dengan pencegahan kegiatan
kriminal, perbandingan antara negara bagian yang menerapkan hukuman mati dan negara
bagian yang tidak menerapkan hukuman mati menunjukkan bahwa mayoritas negara bagian
yang menerapkan hukuman mati memiliki tingkat pembunuhan yang lebih tinggi. Temuan ini
mendukung mereka yang menentang hukuman mati karena hal ini menunjukkan bagaimana
hukuman mati gagal mencegah kejahatan (FBI, 1997).
Dari sudut pandang psikologis, penting untuk menilai persepsi dan sikap remaja
terhadap hukuman mati dan hukuman mati. Streib (1987) melaporkan bahwa remaja yang
lebih muda yang dijatuhi hukuman mati mengalami ketakutan yang lebih besar serta perasaan
ditinggalkan yang kuat. Streib menggambarkan remaja seperti itu menunjukkan tangisan
yang tak terkendali, depresi berat, dan "permohonan penyelamatan seperti anak kecil kepada
orang tua atau orang dewasa yang berwibawa" (hal. 158). Kesesuaian penerapan hukuman
mati terhadap remaja ditelaah dari sudut pandang kriminologis, sosiologis, dan psikologis.
Saat menggabungkan tampilan dari para ahli yang mewakili American Society of
Criminology, Academy of Criminal Justice Sciences, dan Law and Society Association,
hukuman mati belum terbukti dapat memberikan efek jera terhadap kejahatan (Radelet &
Akers. 1995).
Hukuman mati belum menjalankan fungsi utamanya di masyarakat. Oleh karena itu,
para analis kebijakan harus mempertanyakan mengapa anak-anak dieksekusi, meskipun
penelitian menunjukkan bahwa dampak hukuman mati yang diharapkan telah gagal. Terlebih
lagi, jika sistem peradilan anak terus mempertahankan bahwa rehabilitasi adalah tujuan yang
paling tepat bagi pelaku kejahatan di bawah umur, maka hukuman mati jelas tidak sejalan
dengan tujuan tersebut. Pada kasus seperti Terry Roach menggambarkan perlunya
pertimbangan khusus dalam menjatuhkan hukuman terhadap anak di bawah umur, khususnya
ketika melibatkan hukuman mati.
Dengan membunuh anak-anak seperti itu, masyarakat melepaskan tanggung jawabnya
untuk mengajarkan cara-cara yang tepat untuk mengendalikan perilaku serta keterampilan
yang diperlukan untuk berpikir dan memahami konsekuensi atas perilaku seseorang.

24
Khususnya pada sistem peradilan anak: bangga akan rehabilitasi, sistem ini perlu
mempertimbangkan dan menjelaskan kepada masyarakat, mengapa membunuh anak menjadi
solusi yang tepat ketika rehabilitasi belum pernah dilakukan.
K. Camp Pelatihan Remaja
Fasilitas camp pelatihan remaja telah menjadi respons yang semakin populer terhadap
kejahatan remaja khususnya di Amerika Serikat. Kamp pelatihan sering disebut sebagai
penahanan kejut (shock incarceration), kamp pelatihan didasarkan pada sebuah anggapan
bahwa menanamkan aturan dan disiplin pada pelaku kejahatan muda akan mengurangi
perilaku kriminal di kemudian hari. Beberapa ahli berargumentasi bahwa penerapan program
boot-catmp tidak mengubah lingkungan tempat remaja tersebut berada, dan oleh karena itu,
setelah program berakhir, kembalinya remaja ke lingkungan tersebut akan melanggengkan
keterlibatan mereka dalam perilaku kriminal. Oleh karena itu, terdapat argumen bahwa
fasilitas kamp pelatihan tidak dapat mengekang tingkat residivis jangka panjang di kalangan
remaja yang melakukan kejahatan.
Pertumbuhan pesat kamp pelatihan bagi pelaku kejahatan dewasa terjadi di Amerika
Serikat pada kisar tahun 1980an. Kantor Keadilan dan Pencegahan Kenakalan Remaja
(OJJDP) berupaya untuk mengeksplorasi apakah kamp pelatihan orang dewasa sebenarnya
dapat disesuaikan dengan kebutuhan remaja. Fasilitas kamp pelatihan menyediakan sistem
militeristik dengan kondisi fisik yang berat dan disiplin yang ketat. Secara khusus, kamp
pelatihan dimaksudkan untuk menyediakan sarana yang hemat biaya dalam menangani
remaja nakal, menanamkan moralitas dan etika, memperkuat prestasi akademis, dan membuat
remaja bertanggung jawab atas tindakan mereka sambil memberikan mereka alat yang
diperlukan untuk mencegah pelanggaran kembali. Beberapa penjelasan telah dikemukakan
untuk menjelaskan mengapa boot camp tidak mempunyai pengaruh umum terhadap
residivisme. Dari sudut pandang krinnologis, boot camp secara teoritis didasarkan pada teori
pencegahan. Sebagaimana dicatat oleh Reid-MacNevin (1997), penelitian pemasyarakatan
telah berkali-kali menunjukkan bahwa pidana berbasis pencegahan Intervensi keadilan tidak
berhasi.Filosofi pencegahan ini telah berulang kali diuji dalam sistem peradilan pidana
melalui program-program seperti Scared Straight. Program-program ini menjamin bahwa
anak-anak nakal dapat ditakuti dan diintimidasi untuk terlibat dalam perilaku prososial dan
menghormati otoritas (Welch, 1997).Sayangnya, program-program seperti itu secara
konsisten melaporkan ketidak berhasilan

25
Dari sudut pandang psikologis, penelitian telah mengkaji gambaran Inasculinity yang
digambarkan dalam program boot-camp. Morash dan Rucker (199()) mengemukakan bahwa
sifat konfrontasi dan tuntutan dalam kamp pelatihan menggambarkan agresi dan dengan
demikian menghasilkan perilaku agresif di antara peserta. Hal ini dapat dijelaskan melalui
teori pembelajaran sosial yang menyatakan bahwa perilaku diperoleh melalui pemodelan
perilaku orang lain. Pembelajaran seperti ini khususnya ditemukan di kalangan remaja. Oleh
karena itu, menurut Morash dan Rucker, tujuan pengajaran perilaku prososial pada remaja
tidak tercapai di kamp pelatihan pemasyarakatan. Sebagaimana dicatat oleh Correia (1997),
kamp pelatihan dilaksanakan di lingkungan buatan dan, oleh karena itu, setiap perubahan
perilaku yang dilakukan oleh pelaku kemungkinan besar tidak akan diperkuat ketika remaja
tersebut kembali ke lingkungan alaminya. Teori belajar nyal menyatakan bahwa suatu
perilaku harus dilakukan dalam lingkungan alami seseorang agar perilaku perubahan
permanen dapat terjadi. Furthennore, Correia (1997) menjelaskan bahwa perilaku kriminal
sangat dipengaruhi oleh faktor lingkungan. Oleh karena itu, jika perubahan tidak dilakukan
pada lingkungan alami individu, kemajuan apa pun yang dicapai saat berada di kamp
pelatihan tidak mungkin dilanjutkan setelah pelepasliaran. Teori perkembangan
menunjukkan kepada kita bahwa anak-anak tidak beradaptasi dengan baik terhadap
perubahan drastis di lingkungannya.
L. Bunuh Diri Di Kalangan Remaja Yang Dipenjara
Bunuh diri merenggut nyawa ribuan remaja setiap tahunnya. Saat ini, bunuh diri
merupakan penyebab kematian nomor tiga di kalangan remaja. Di antara remaja yang
berisiko tinggi melakukan bunuh diri adalah mereka yang dipenjara. Keterasingan,
keputusasaan, rasa bersalah, dan keputusasaan yang dirasakan oleh banyak remaja yang
dipenjara digambarkan secara menyeluruh sebagai ide bunuh diri, perilaku melukai diri
sendiri yang tidak berakibat fatal, dan, pada akhirnya, tindakan putus asa yang di akhiri
dengan bunuh diri. Bunuh diri remaja secara umum telah menjadi fokus penelitian selama 2
dekade terakhir. Sebagai hasil dari pengawasan ketat tersebut, bidang kesehatan saat ini jauh
lebih siap untuk menilai, mengobati, dan mencegah perilaku bunuh diri dibandingkan
sebelumnya. Namun, tampaknya hal itu merupakan tindakan bunuh diri perilaku yang terjadi
di kalangan remaja yang dipenjara merupakan kekhawatiran khusus yang belum mendapat
banyak perhatian penelitian. Remaja yang dipenjara memiliki faktor lingkungan, sosial, dan
interpersonal unik yang membuat mereka rentan terhadap ide dan perilaku bunuh diri.

26
Menurut Pusat Statistik Kesehatan Nasional (1997), bunuh diri remaja meningkat
lebih dari tiga kali lipat dalam 3 dekade terakhir. Beberapa penelitian memasukkan individu
berusia 15-24 tahun dalam investigasi bunuh diri remaja. Padgitt (1997) menyatakan bahwa
dalam kelompok usia ini, terdapat sekitar laporan kasus bunuh diri remaja dalam setahun dan
memperkirakan bahwa terdapat upaya bunuh diri remaja antara dan setiap tahunnya. Lebih
lanjut, peneliti lain mencatat bahwa setiap 78 detik seorang remaja mencoba bunuh diri dan
setiap 90 detik ada remaja yang berhasil (Pusat Statistik Kesehatan Nasional, 1996).
Penelitian telah berulang kali menunjukkan bahwa anak laki-laki jauh lebih mungkin
melakukan bunuh diri dibandingkan anak perempuan.
Perlu dibedakan antara bunuh diri kornpleted dan parasuicide. Bunuh diri total
mengacu pada tindakan bunuh diri yang mengakibatkan kematian seseorang, sedangkan
parasuicide mengacu pada tindakan menyakiti diri sendiri yang tidak disengaja dan tidak
fatal. Penelitian telah menunjukkan bahwa narapidana yang lebih muda di Inore rentan
terhadap parasuicide (Ivanoff, Jang, & Snyth, 1996). Otllers berpendapat bahwa peningkatan
kejadian parasuicide pada anak-anak yang lebih muda mungkin disebabkan oleh sifat
impulsif. , penelitian telah melaporkan bahwa remaja yang dipenjara mempunyai risiko lebih
tinggi untuk melakukan bunuh diri karena tingginya insiden penyalahgunaan zat serta
kekerasan fisik dan seksual (Battle, Battle, & Tolley, 1993).
Flaherty menemukan bahwa 17 dari 21 kasus bunuh diri dilakukan oleh remaja yang
ditahan di penjara dewasa dalam isolasi penuh. Hal ini jelas terlihat dalam ilustrasi kasus
Kathy Robbins. Seperti yang ditunjukkan oleh contoh kasus di bagian ini, cara paling umum
untuk melakukan bunuh diri pada remaja yang dipenjara adalah dengan cara digantung. Ada
beberapa karakteristik yang membedakan pelaku bunuh diri di usia muda dengan populasi
umum pelaku bunuh diri. Sebuah studi yang dilakukan oleh Liebling (1993) mengungkapkan
bahwa narapidana berusia muda lebih cenderung melakukan bunuh diri setelah hukuman
mereka dijatuhkan, namun pada populasi umum hal ini terjadi sebelum hukuman dijatuhkan.
Sebagian besar kasus bunuh diri di kalangan anak-anak muda terjadi pada bulan pertama
penahanan. Selain itu, Liebling menyimpulkan bahwa narapidana muda yang melakukan
bunuh diri cenderung tidak pernah menerima perawatan psikiatris.
Berdasarkan hasil studi empiris, kami menemukan bahwa remaja tertentu dapat
diidentifikasi sebagai kelompok yang paling rentan. Kita juga mengetahui bahwa remaja
yang melakukan bunuh diri ketika berada di dalam penjara sering kali melakukannya pada
bulan pertama dalam tahanan. Oleh karena itu, untuk memberikan tindakan pencegahan yang
diperlukan, individu-individu ini perlu diidentifikasi dan diberikan konseling dan intervensi

27
krisis segera setelah mereka tiba di tahanan. Ketika berhadapan dengan kehidupan manusia
dan, khususnya, kehidupan kaum muda yang rentan, fokusnya hanya pada mengatasi
masalah bunuh diri sebelum hal itu terjadi. Masyarakat sangat menekankan penelitian dan
intervensi terhadap individu yang ingin bunuh diri, namun mengabaikan isu bunuh diri yang
terjadi di kalangan remaja yang dipenjara. Hal ini menunjukkan bahwa sebagian orang
percaya bahwa nyawa yang hilang dari remaja yang dipenjara tidak sama dengan nyawa
remaja yang tidak dipenjara. Selama bias ini masih ada, maka masalah bunuh diri di
kalangan remaja yang dipenjara juga akan meningkat.
M. Penahanan Pelanggaran Status
Menurut Laporan Kejahatan Seragam Biro Investigasi Federal tahun 1994, sekitar
237,()()() remaja di bawah usia 18 tahun ditangkap karena pelanggaran status. Pelanggaran
status adalah setiap pelanggaran yang dilakukan oleh seorang remaja yang bukan merupakan
pelanggaran jika dilakukan oleh orang dewasa. Contoh dari oti tenses seperti melarikan diri
dari rumah, pelanggaran jam malam, membolos dari sekolah, dan di luar kendali orang tua.
Banyak orang dalam profesi kesehatan mental percaya bahwa metode yang lebih
tepat dalam menangani pelanggar status adalah dengan memberikan layanan psikologis
kepada remaja tersebut dan keluarganya dibandingkan dengan penahanan. pelanggar status
(Zatz, 1982). Pada saat itu waktu diakui bahwa pelanggar status lebih membutuhkan
program berbasis komunitas yang dirancang untuk mengatasi masalah psikologis; namun,
program semacam itu tidak dilakukan. Linney (1982) meneliti alternatif selain penahanan
yang ditawarkan bagi pelanggar status. Dalam hal layanan konseling yang diberikan kepada
para pelaku kejahatan ini, Linney menemukan bahwa semua program melaporkan bahwa
konseling tersedia bagi para remaja. Namun, setelah diteliti lebih dekat, definisi dan
frekuensi konseling bervariasi antar program. Misalnya, dalam program tertentu, setiap kali
seorang pekerja sosial berbicara dengan remaja, terjadilah “konseling”. Selain itu, ketika
konseling individu diberikan, Linney memutuskan bahwa hal itu berpusat pada membantu
remaja menyesuaikan diri dengan penempatan tempat tinggal, dan setelah hal ini tercapai,
konseling dihentikan. Linney (1982) melaporkan bahwa keluarga remaja merupakan faktor
penyebab utama terjadinya pelanggaran status, Demikian pula, sebagaimana dicatat oleh
Meltondkk. (1997),perilaku pelanggar status sering kali disebabkan oleh disfungsi psikologis
dalam keluarga. Oleh karena itu, kita perlu memperlakukan remaja sebagai remaja
bermasalah yang membutuhkan-layanan psikologis.

28
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

Forensik Remaja merupakan sub bagian didalam kajian ilmu forensik yang
berhubungan dengan dampak dari faktor afektif, kognitif, dan perilaku pada individu dengan
proses hukum atau tindak pidana yang terjadi pada anak-anak atau remaja.
Generasi muda menghadapi banyak masalah berisiko seperti mengemudi di bawah
umur, penyalahgunaan narkoba, kehamilan remaja, bunuh diri, membolos, aktivitas geng, dan
prostitusi. hal ni mendorong berbagai lembaga seperti polisi, sekolah, dan masyarakat untuk
membantu mengurangi berbagai macam bentuk masalah yang dihadapi oleh remaja
dilingkungan tempat tinggalnya.
Tindakan yang diberikan pada para remaja dibuat sevariatif mungkin untuk
menyesuaikan dengan bentuk pelanggaran atau masalah yang sedang dihadapi oleh para
remaja, dengan harapan para remaja yang memiliki kaitan dengan masalah tidak bertambah
parah dan dapat mengurangi bentuk pelanggaran yang ada, hal tersebut tertuang dalam
pembentukan program-program diantaranya: SRO, HOPE (Helping Others Pursue
Education),Camp pelatihan remaja, Psikologi Rehabilitasi Remaja

B. Saran

Demikianlah pembahasan makalah yang dapat kami sampaikan, besar harapan kami makalah
ini dapat membawa manfaat untuk berbagai kalangan terkhusus dalam bidang psikologi
klinis. penulis menyadari bahwa makalah ini jauh dari kata sempurna karena kurang dan
terbatasnya referensi serta pengetahuan penulis yang masih menjadi pemula dalam penulisan
makalah ini, oleh karena itu saran dan kritik yang dapat membangun makalah ini menuju
kearah yang lebih baik akan selalu dengan senang hati penulis terima dan harapkan bagi para
pembaca makalah.

29
REVIEW JURNAL
1. Jurnal 1
Judul Jurnal : HEALTH LAW: Juvenile Forensic Psychiatric Evaluations
Volume : 15, Nomor 10: 860-865
Tahun : 2013
Penulis : Susan Buratto, MD, dan Stephen H. Dinwiddie, MD
Nama Jurnal : Virtual Mentor
Masalah hukum yang biasanya ditangani di pengadilan remaja dan keluarga
mencakup kenakalan, pelecehan anak, dan hak asuh. Karena pengadilan anak sejak awal
berdirinya menekankan pada pengobatan dan rehabilitasi daripada hukuman, profesional
kesehatan mental telah memainkan peran yang sangat penting dalam pengadilan anak . Law
mendefinisikan psikiatri forensik sebagai subspesialisasi psikiatri di mana keahlian ilmiah
dan klinis diterapkan dalam konteks hukum yang melibatkan masalah perdata,
pemasyarakatan, peraturan, atau legislatif dan dalam konsultasi klinis khusus di bidang-
bidang seperti penilaian risiko atau pekerjaan. Beberapa pertimbangan pentig dalam praktik
forensik anak dan remaja:

A. Memperjelas Peran Psikiater Forensik


Penting untuk membedakan antara psikiater yang merawat pasien di lingkungan
pemasyarakatan dan psikiater yang berfungsi sebagai evaluator forensik. Yang pertama
memiliki hubungan terapeutik dan kewajiban terhadap pasien. Oleh karena itu, pada
pertemuan awal dengan anak di bawah umur, orang tua, atau keduanya, evaluator harus
menilai pemahaman mereka tentang evaluasi forensik, siapa yang memintanya, dan mengapa,
akan ditetapkan setelah evaluasi dan melakukan segala upaya untuk memastikan mereka
memahami perbedaan ini. Psikiater anak dan remaja sering kali berinteraksi dengan anak di
bawah umur dengan cara yang berbeda dibandingkan dengan orang dewasa lainnya—
menggunakan nada bicara yang lebih santai atau ramah, menggunakan bahasa sehari-hari,
dan memanggil anak di bawah umur dengan nama depannya—terutama ketika anak di bawah
umur sedang dievaluasi di fasilitas penahanan. Nada percakapan yang santai dan sikap ramah
ini meningkatkan kemungkinan bahwa anak di bawah umur akan menganggap bahwa
hubungan yang sedang berlangsung sedang dikembangkan dengan penilai. Singkatnya,
meskipun evaluator forensik mempunyai tugas unik untuk bertindak sebagai ahli yang

30
obyektif di pengadilan, keadaan khusus dalam evaluasi forensik remaja dapat menimbulkan
kebingungan antara peran evaluator forensik dan psikiater yang menangani.

B. Tanggung Jawab Hukum dan Etis Evaluator


Di sekolah kedokteran dan pelatihan residensi, dokter baru didorong untuk menerima
gejala seperti yang dilaporkan oleh pasiennya, namun, dalam sistem peradilan, pihak yang
dievaluasi mungkin memiliki motivasi yang kuat untuk menyesatkan ahli tersebut. Karena
psikiater forensik mempunyai tugas utama menjadi reporter yang obyektif dibandingkan
menjadi advokat, investigasi, Pendekatan komprehensif digunakan untuk menggambarkan
secara menyeluruh dan membuktikan gejala-gejala yang dilaporkan dan untuk menafsirkan
dan menilai perilaku anak di bawah umur selama wawancara.
Meskipun psikiater forensik mempunyai tugas utama sebagai ahli yang obyektif,
praktisi forensik tetap harus “terikat oleh prinsip-prinsip etika yang mendasari penghormatan
terhadap orang, kejujuran, keadilan dan tanggung jawab sosial”.
C. Kerahasiaan
Dengan anak di bawah umur dan orang tua. Dalam rangkaian pengobatan, dokter
mempunyai kewajiban etis dan hukum untuk menjaga kerahasiaan pasien dan melindungi hak
pasien untuk merahasiakan informasi. Karena praktik psikiatri forensik menghadirkan
hambatan yang signifikan terhadap pemeliharaan kerahasiaan, evaluator forensik harus
memberi tahu anak di bawah umur dan orang tua tentang batas kerahasiaan pada awal setiap
wawancara, dengan mengkomunikasikan hal-hal berikut dengan jelas:
1. Sifat dan tujuan evaluasi forensik
2. Tidak adanya kerahasiaan
3. Kewajiban penilai sebagai pelapor wajib
4. Hak anak di bawah umur untuk menolak berpartisipasi dalam evaluasi secara keseluruhan
atau tidak menjawab pertanyaan spesifik
5. Jika anak di bawah umur atau orang tuanya menolak untuk mengizinkan pemberian
informasi, evaluator harus mempertimbangkan apakah akan memberi tahu anak di bawah
umur atau orang tua tersebut atau tidak bahwa informasi tersebut akan diminta tanpa
persetujuannya
Setelah batas kerahasiaan ditinjau dalam evaluasi psikiatri forensik awal, untuk
memastikan bahwa anak di bawah umur telah memahami situasinya secara memadai, Anak di
bawah umur harus diingatkan tentang batasan-batasan ini pada awal setiap wawancara

31
forensik berikutnya, dan pemahaman mereka mengenai pertimbangan-pertimbangan ini harus
dinilai.

2. Jurnal 2
Judul Jurnal : Juvenile delinquency within the forensic context
Tahun : 2019
Penulis : Cristian Delcea, Andrea Muller-Fabian, Carmen-Corina Radu, Dan
Perju-Dumbrava
Nama Jurnal : Romanian Journal of Legal Medicine

Kenakalan remaja dalam konteks forensik


Peneliti kenakalan remaja telah mencoba untuk menentukan faktor-faktor yang
menyebabkan terjadinya kenakalan remaja, dengan mencari berbagai penyebab timbulnya
kenakalan remaja. Beberapa menekankan determinisme biologis, yang lain menekankan
kekhususan psikologis dengan kurangnya komunikasi, dikombinasikan dengan
penyalahgunaan zat atau obat-obatan, sementara penelitian menyebutkan masalah sosial
dengan atau tanpa implikasi forensik. Agar kegiatan prevent berhasil faktor kriminalitas harus
dipelajari secara detail. Hasil hasil penelitian tersebut, sebagai faktor pembuktian, akan
menjadi pendukung penting dalam memicu kegiatan preventif.
Dari total 211 ahli forensik dalam kasus tindak pidana yang dilakukan oleh anak di
bawah umur, mayoritas yang dinilai adalah anak laki-laki, sebanyak 194 orang. Hasil dari
penelitian ini serupa dengan yang ditemukan di literatur, membenarkan bahwa kejahatan
favorit anak nakal adalah pencurian (86,1% dari total populasi yang disurvei, masing- masing
21 kasus dari 30 orang yang diwawancarai). Hal ini diikuti dengan mengemudi tanpa SIM
(2,6% dari total populasi yang disurvei, masing-masing 4 dari 30 kasus) - meskipun anak-
anak di bawah umur ini tidak memiliki usia legal untuk memiliki dokumen tersebut; cedera
tubuh yang serius (3,1% dari total populasi yang disurvei, masing-masing 2 dari 30 kasus);
perampokan (2,6% dari total populasi yang disurvei, masing-masing 2 dari 30 kasus) dan
penyembunyian (0,5% dari total populasi yang disurvei, masing- masing 1 dari 30 kasus).
kasus pemerkosaan, perusakan dan identitas palsu, kejahatan-kejahatan ini terjadi pada
populasi penelitian dengan persentase masing- masing 0,5%.
Hasil dari penelitian ini menekankan peran utama keluarga sebagai yang utama dalam
lingkungan sosialisasi yang memerangi sampel kejahatan; peran utama keluarga adalah
mendidik dan melatih generasi muda agar dapat mengintegrasikan mereka ke dalam
kehidupan sosial. Orang tua merupakan model sosial yang mempunyai pengaruh terhadap

32
pembentukan konsepsi kehidupannya, bagaimana berperilakunya, dan bagaimana
hubungannya dengan nilai-nilai dan norma-norma sosial. Iklim keluarga sangat penting
dalam perkembangan kepribadian anak, sehingga anak memerlukan kerangka umum di
rumah agar merasa aman. Orang tuanya harus tenang, pengertian, penuh kasih sayang dan
fleksibel. Pada saat yang sama, mereka harus menaruh perhatian pada masalah yang dihadapi
anak, menunjukkan empati yang nyata.
Faktor penting lainnya dalam terjadinya kejahatan remaja adalah tingkat pendidikan
anak di bawah umur. Berdasarkan hasil penelitian ini, semakin dini seorang anak
meninggalkan sekolah, semakin besar pula potensinya menjadi anak nakal. Meskipun faktor
sosial dan psikologis telah terbukti berperan penting dalam terjadinya kenakalan remaja,
namun faktor sosial jauh lebih tinggi. Oleh karena itu, jika anak mendapat sosialisasi yang
memadai baik dalam keluarga maupun lingkungan pendidikan, memiliki kemampuan materi
yang memadai, tinggal di lingkungan yang baik dan mendorong, jika ia tidak mempunyai
pengaruh buruk di sekitarnya, kecil kemungkinannya ia akan melakukan kejahatan.

3. Jurnal 3
Judul Jurnal : Forensic assesment of juvenile delinquents: prevalence of
psychopathology and decision-making at court in the Netherlands
Tahun : 2000
Penulis : Theo A.H Doreleijers, Francoise Moser, Petra Thijs, Herman Van
Engelans and Frank H.L Beyaert.
Nama Jurnal : Journal of Adolescence

Hukuman pidana remaja yang berada di Belanda menyangkut anak di bawah umur
yang berusia antara 12 tahun dan 18 tahun. Anak-anak di bawah usia 12 tahun yang
melakukan tindakan pidana tidak dapat dituntut, dalam hal ini Dewan Perlindungan Anak
meminta pengadilan anak untuk mengambil tindakan perdata. Berdasarkan undang-undang
baru pada tahun 1995, menyatakan bahwasannya hukuman penjara untuk anak berusia 12
sampai 15 tahun telah dimaksimalkan dari 6 bulan menjadi 12 bulan dan 24 bulan untuk anak
berusia 16 sampai 17 tahun. Hukum pidana remaja menganggap bahwa seseorang tidak dapat
di hukum apabila orang tersebut tidak bertanggungjawab atas tindakan pidana tersebut.
Seseorang juga tidak akan bertanggungjawab jika orang tersebut menderita gangguan
kejiwaan atau kekurangan perkembangan pikiran pada saat melakukan pelanggaran.
Pengadilan akan meminta nasihat mengenai bagaimana cara menyikapinya agar dapat
memberikan keadilan terdahap hukum pidana anak. Dalam hal ini, pengadilan dapat

33
mendapatkan bantuan dari psikolog, psikiater, atau pekerja sosial yang bekerja di pusat
penahanan pra-sidang.
Dalam jurnal ini mengatakan bahwasannya terdapat banyak psikopatologi yang terjadi
pada orang tua dari anak di bawah umur yang nakal, dan hal ini menunjukkan adanya
hubungan antara kekerasan dan gejala neuropsikiatri. Penulis melakukan penelitian kepada
anak berusia 12 dan 18 tahun yang dibawa ke pengadilan anak. Hal ini menunjukkan hasil
bahwa remaja yang dibawa ke pengadilan di curigai melakukan satu atau lebih pelanggaran
berat, dan hampir seluruh pelakunya adalah laki-laki. Sebagian besar pelaku tersebut berusia
15 sampai 17 tahun. Dari banyaknya kasus kenakalan remaja, terdapat latar belakang yang
berbeda-beda. Ada remaja yang tinggal bersama orang tuanya, ada yang tinggal bersama
salah satu orang tuanya (ayah/ibu), dan ada pula yang tinggal bersama teman, keluarha
terdekat, atau tinggal di panti asuhan.
Tidak ada perbedaan yang signifikan antara remaja yang di perintahkan untuk
pemeriksaan diagnostik dan yang tidak. Kecuali pada kasus anak remaja yang dipaksakan
menerima pendidikan khusus di masalalu yang di curigai melakukan pelanggaran yang lebih
serius seperti penyerangan seksual. Pemeriksaan diagnostik lebih sering dilakukan pada
remaja dengan gangguan serius. Hasil dari wawancara dan kuisioner yang dilakukan penulis
menunjukkan hasil bahwa terdapat masalah antisosial yang dialami remaja di sekolah dan
terdapat masalah hubungan dengan kedua orang tua. Ada juga remaja yang mengaku pernah
mengalami pelecahan, dan penggunaan narkoba atau alkohol dalam tingkat sedang atau berat.
Walaupun penggunaan narkoba tingkat sedang atau berat yang terjerat kasus hukum pidana
sangat rendah persentasenya, tetapi tidak dapat dipungkiri bahwa hal ini juga dapat memicu
terjadinya masalah-masalah kenalakan remaja lain yang lebih berat (tindakan pidana).

34

Anda mungkin juga menyukai