Peneladanan Makna Rastra Sewakottama Dalam Kegiatan Penegakan
Hukum Satresnarkoba Polresta Sidoarjo
Lambang Kepolisian Negara Republik Indonesia bernama Rastra Sewakottama
yang berarti Polri adalah abdi utama rakyat. Sebutan itu adalah Brata pertama dari Tri Brata yang diikrarkan sebagaipedoman hidup Polri sejak 1 Juli 1954. Polri yang tumbuh dan berkembang dari rakyat, untuk rakyat, memang harus berinisiatif dan bertindak sebagai abdi sekaligus pelindung dan pengayom rakyat. Sebagai pelindung serta pengayom rakyat atau masyarakat, memberikan arti bahwa kedudukan rakyat atau masyarakat dalam negara hukum (rechstaat) adalah sederajat di mata hukum (equality), penghargaan terhadap hak individu (HAM), tidak direndahkan, tidak diposisikan salah sampai pengadilan yang memutuskan. Negara memberikan perlindungan kepada warga negara, rechstaat menolak repressive of apparatus state bahkan melindungi dari ancaman alat negara yakni berupa kesewenangan. Hal ini karena kehadiran negara adalah menjamin kemerdekaan dan kesederajatan individu manusia. Akan tetapi kekerasan terhadap warga negara, upaya paksa terhadap warga negara dapat dilakukan dan direstui oleh negara demi spirit hukum, proses penegakkan hukum guna mencapai keadilan. Muara penegakkan hukum adalah tercapainya keadilan. Keadilan dalam rechstaat (negara hukum) menjadi landasan berpikir, argument epistemologis untuk menghadirkan teks-teks hukum (substantif) yang menjelma sebagai undang-undang atau aturan tertulis lainnya. Teks hukum tidak dapat beroperasi tanpa pelibatan peran negara. Melalui alat-alat negara, hadir aparatur penegak hukum sebagai instrumen negara hukum untuk menjamin pelaksanaan hukum. Penegak hukum memberikan dimensi kepastian hukum. Dengan demikian, secara ontologis, penegak hukum bukanlah hukum tetapi instrument yang memberikan kepastian hukum. Sebagai instrumen hukum, penegak hukum diberi batasan kewenangan, tertib langkah (acara) dalam mengawal suatu permohonan keadilan dari warga kepada negara. Secara tidak langsung warga negara yang melaporkan/mengadukan/ menginformasikan suatu peristiwa kepada aparat penegak hukum, berarti sedang mengharapkan negara hadir terkait informasi/laporan/ aduan tersebut. Kehadiran aparat penegak hukum sebagai abdi negara sekaligus bertindak mewakili negara, merupakan mandat yang diberikan melalui undang-undang (di Indonesia menggunakan UU No. 2/2002 Tentang Kepolisian Republik Indonesia). Tanpa UU ini, Polri tidak memiliki kewenangan hadir sebagai aparat penegak hukum mewakili negara, ataupun mewakili dirinya sendiri ataupun menjadi abdi negara yang bertugas melindungi dan mengayomi masyarakat. Oleh karena itu, kewenangan yang diberikan kepada Polri berada dalam aturan-aturan yang pasti, terukur, serta tunduk pada azas-azas hukum dimana rechstaat itu berdiri. Aspek ontologis penegak hukum adalah kepanjangtanganan negara untuk memberi keadilan dan kepastian hukum menurut azas-azas hukum demi mengukuhkan perlindungan dan pengayoman masyarakat. Eksistensi Polri adalah adalah untuk menghadirkan kepastian hukum, dan tindakan-tindakannya adalah melayani sebagai abdi warga negara guna memperoleh kepastian, tegakknya hukum, dan member perlindungan dari kejahatan lain. Secara normatif, eksistensi Polri sebagai abdi masyarakat dalam memberikan perlindungan dan pengayoman, dinarasikan ke dalam salah satu pasal UU Kepolisian yakni Pasal 13, UU No. 2 tahun 2002 yang mana Kepolisian memiliki tugas pokok yang meliputi antara lain : Memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat; Menegakan hukum,dan memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat. Lebih khusus terkait bagaimana fungsi Satuan reserse Narkotika, Psikotropika dan Obat Berbahaya yang selanjutnya disingkat Satresnarkoba sebagai abdi utama rakyat yang dalam tataran praktis sebagai pelindung dan pengayom rakyat atau masyarakat, maka dapat diketahui bahwa tugas Satresnarkoba adalah melaksanakan pembinaan fungsi penyelidikan, penyidikan, pengawasan penyidikan tindak pidana penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkoba berikut prekursornya, serta pembinaan dan penyuluhan dalam rangka pencegahan dan rehabilitasi korban penyalahgunaan Narkoba. Dari sini ditarik suatu makna bahwa penegakan hukum yang dilakukan oleh Satresnarkoba menggunakan pendekatan represif dan preventif. Tidak dipungkiri bahwa pendekatan represif merupakan salah satu cara paling efektif guna melakukan efek penjeraan bagi para pelaku tindak pidana narkoba serta bagi masyarakat yang akan coba coba melanggar hukum dengan menyalahgunakan narkoba. Salah satu tindakan represif yang dilakukan oleh Satresnarkoba Polresta Sidoarjo adalah dengan diamankannya 76 tersangka penyalahgunaan narkoba yang yang mana telah disita empat jenis narkotika dengan berat yang beragam. Penangkapan ini dilakukan dalam kurun waktu bulan Februari sampai Maret 2020 (kurun 1 bulan). Tangkapan tersangka bulan tersebut naik sekitar 90 persen dari bulan sebelumnya. Sedangkan dilakukannya pendekatan preventif adalah untuk maksud sebagai fungsi pengayoman masyarakat agar masyarakat bisa berkomunikasi efektif serta dari Satresnarkoba sendiri bisa menyampaikan berbagai program pembinaan dan penyuluhan terkait bahaya narkoba. Penyuluhan tersebut dilakukan ke sekolah-sekolah dan menggandeng berbagai instansi maupun elemen masyarakat. Sosialisasi penanggulangan narkoba tidak hanya dilakukan di Sekolah umum, tetapi dilakukan pula pada sekolah dengan siswa berkebutuhan khusus misalnya di SLB Negeri Gedangan. Jadi disini tidak ada pembedaan perlakuan pada lapisan masyarakat. Hal inilah yang diharapkan Satresnarkoba Polresta Sidoarjo guna menerapkan secara praktis apa yang terkandung dalam makna simbol Rastra Sewakottama.