Anda di halaman 1dari 14

SOSEK: Jurnal Sosial dan Ekonomi Hukum Perjanjian di Indonesia Volume 2 Issue 3 Years 2022

(Taufik Hidyat Lubis)

Hukum Perjanjian di Indonesia


Taufik Hidayat Lubis
Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara
E-mail: taufikhidayat@umsu.ac.id

Abstract
Perjanjian merupakan suatu perbuatan hukum yang dilakukan oleh dua belah pihak atau lebih didasari atas
kehendak yang sama untuk saling mengikatkan diri. Perjanjian harus dilakukan dengan dasar adanya tindakan
yang saling timbal balik oleh para pihak yang membuatnya.. Dua belah pihak atau lebih menunjukkan
perjanjian dapat dilakukan bukan hanya dua pihak saja akan tetapi lebih dari dua pihak dapat yaitu tiga, empat
atau lebih. Intinya perjanjian itu dapat dilakukan lebih dari pada satu subjek hukum saja. Didasari atas
kehendak yang sama adalah untuk memberikan perlindungan atas kehendak para pihak yang membuat
perjanjian. Kehendak merupakan dasar dari seseorang mau atau tidak maunya untuk membuat perjanjian,
apabila seseorang sudah berkehendak maka akan direalisasikannya dalam bentuk kesepakatan

Kata Kunci:
Perjanjian, perbuatan hukum, saling mengikatkan diri

How to cite:
Lubis T.H., (2022), “Hukum Perjanjian di Indonesia ”.Jurnal Sosek Vol 2(3) 177-190

PENDAHULUAN
Membahas hukum perjanjian di Indonesia tidak lepas dari Nederlands Burgerlijk
Wetboek, bahkan Napoleonic Code atau Code Napoleon (yang lebih dikenal dengan istilah
the Code Civil des Francais atau Civil Code of the French yang ditetapkan sebagai undang-
undang pada tanggal 21 Maret 1804 di Perancis) pun memiliki pengaruh besar terhadap
KUHPerdata Indonesia. Bukan tanpa sebab, Perancis yang pernah menguasai Belanda pada
saat itu pernah menerapkan Code Napoleon (Wetboek Napoleon, ingerigt voor het Koningrijk
Holland) di wilayah Kerajaan Hollandia (Kingdom Holland).
Code Napoleon diperkenalkan di Kerajaan Hollandia ketika Louis Napoleon, adik dari
Napoleon Bonaparte, menjadi raja di Kerajaan Hollandia. Pada tahun 1806 Louis Napoleon
menunjuk sebuah komite untuk mengadopsi Code Napoleon untuk diterapkan di seluruh
wilayah Kerajaan Hollandia. Wetboek Napoleon tersebut resmi berlaku di tahun 1809
bersamaan dengan menetapkan beberapa keputusan raja yang pernah ada dalam sebuah
undang-undang. Hal ini mengakibatkan sedikit demi sedikit menghilangkan hukum-hukum
yang dipengaruhi Roman Law dan hukum-hukum lokal pada saat itu.
Pengadopsian Code Napoleon pada saat itu banyak mempengaruhi hukum Belanda ke
dalam tradisi Perancis yaitu dalam pemahaman ius commune karena ius commune merupakan
sumber utama dari Code Napoleon. Di tahun 1811 Code Napoleon sepenuhnya berlaku di
seluruh wilayah Belanda hingga tahun 1813. Sejak Perancis meninggalkan Belanda di tahun
1813, Code Napoleon masih tetap digunakan di seluruh wilayah Kerajaan Hollandia
bersamaan itu pula di tahun yang sama Kerajaan Belanda (The Kingdom of the Netherlands)
pun lahir. The Kingdom of the Netherlands memiliki konstitusinya untuk pertama kali di
tahun 1814, di saat itu Raja Willem I menginginkan keberadaan Code Napoleon diganti
dengan KUHPerdata Nasional Belanda (a national Dutch civil code). Nederlands Burgerlijk
177
SOSEK: Jurnal Sosial dan Ekonomi Hukum Perjanjian di Indonesia Volume 2 Issue 3 Years 2022
(Taufik Hidyat Lubis)

Wetboek yang lahir di tahun 1838 sebenarnya intisari dari the code of Nicolai
(KUHPerdata yang dibuat oleh seseorang berketurunan Belgia yang bernama Nicolai of
Liege, penginisiasi lahirnya Nederlands Burgerlijk Wetboek dengan banyak dipengaruhi oleh
Code Napoleon). Nicolai of Liege banyak mengadaptasi Code Napoleon ke dalam Nederlands
Burgerlijk Wetboek, alasan sangat sederhana mengapa Code Napoleon masih diinginkan di
Belanda. Karena pada saat itu karena masyarakat sudah terbiasa dengan hukum-hukum
Perancis sejak tahun 1804, itulah mengapa usaha Joan Melchior Kemper seorang Professor
hukum dari Universitas Leiden ditolak Parlemen Belanda ketika ingin mengajukan konsep
KUHPerdata miliknya. Joan Melchior Kemper ingin kembali ke tradisi hukum Belanda lama
yaitu ke paham Roman-Dutch Law dengan menghilangkan konsep ius commune yang dibawa
oleh Perancis. Karena itu sangat tepat apabila J. van Kan menjelaskan bahwa kodifikasi yang
dilakukan Belanda terkait dengan Nederlands Burgerlijk Wetboek merupakan saduran asli
dari Code Napoleon yang mana dengan kata lain KUHPerdata yang berlaku di Belanda sejak
tahun 1838 merupakan ciplakan dari Code Napoleon. Terkait dengan hukum perjanjian di
Indonesia, segala pengaturannya dimulai dari Burgerlijk Wetboek (BW) voor Nederlands-
Indisch yang kemudian hingga saat ini masih berlaku di Indonesia dengan merujuk Burgerlijk
Wetboek voor Nederlands-Indisch.

PEMBAHASAN
Sejarah Hukum Perjanjian di Indonesia
Pemberlakuan Burgerlijk Wetboek voor Nederlands-Indisch (Hindia-Belanda saat ini
Indonesia) dimulai pada tanggal 1 Mei 1848 berdasarkan Staatsblaad Nomor 23 tahun 1847,
menariknya penerapan Burgerlijk Wetboek voor Nederlands-Indisch ini menggunakan asas
konkordansi yaitu pemberlakukan Burgerlijk Wetboek yang ada di Belanda diberlakukan
juga di Indonesia. Penggunaan KUHPerdata di Indonesia hingga saat ini masih tetap
menggunakan isi dari Burgerlijk Wetboek voor Nederlands-Indisch walaupun beberapa pasal
sudah tidak berlaku lagi di antaranya:
a. Pasal-pasal tentang benda tidak bergerak yang melulu berhubungan dengan hak-hak
mengenai tanah
b. Pasal-pasal tentang tata cara memperoleh hak milik melulu mengenai tanah
c. Pasal-pasal tentang penyerahan benda-benda tidak bergerak, tidak pernah berlaku
d. Pasal-pasal tentang penyerahan benda-benda tidak bergarak tidak pernah berlaku
e. Pasal-pasal tentang kerja rodi, Pasal 673 KUHPerdata
f. Pasal-pasal tentang hak dan kewajiban pemilik pekarangan bertetangga, Pasal 625-672
KUHPerdata
g. Pasal-pasal tentang pengabdian perkarangan (erfdienstbaarheid), Pasal 674-710
KUHPerdata
h. Pasal-pasal tentang hak osptal, Pasal 711-719 KUHPerdata
i. Pasal-pasal tentang hak erfpacht, Pasal 720-736 KUHPerdata
j. Pasal-pasal tentang bunga tanah dan hasil sepersepuluh, Pasal 373-755 KUHPerdata
k. Pasal yang masih berlaku tetapi tidak penuh, dalam arti tidak berlaku lagi sepanjang
mengenai buni, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dan masih tetap
berlaku sepanjang mengenai benda-benda lain:
1) Pasal-pasal tentang benda pada umumnya
2) Pasal-pasal tentang cara membedakan bendam Pasal 503-505 KUHPerdata
3) Pasal-pasal tentang benda sepanjang tidak mengenai tanah, terletak di antara Pasal-pasal
529-568 KUHPerdata

178
SOSEK: Jurnal Sosial dan Ekonomi Hukum Perjanjian di Indonesia Volume 2 Issue 3 Years 2022
(Taufik Hidyat Lubis)

4) Pasal-pasal tentang hak milik sepanjang tidak mengenai tanah, terletak di antara Pasal-
pasal 570 KUHPerdata
5) Pasal-pasal tentang hak memungut hasil (uruchtgebruuk) sepanjang tidak mengenai
tanah, Pasal 756 KUHPerdata
6) Pasal-pasal tentang hak pakai sepanjang tidak mengenai tanah, Pasal 818 KUHPerdata
7) Pasal-pasal tentang mengenai hipotek sepanjang tidak mengenai tanah
Mahkamah Agung melalui Surat Edaran Nomor 3 Tahun 1963 perihal gagasan
menganggap Bugerlijk Wetboek tidak sebagai undang-undang dengan menyatakan beberapa
pasal yang ada di dalam BW tidak lagi berlaku di antaranya:
a. Pasal-pasal 108 dan 110 B. W. tentang wewenang seorang isteri untuk melakukan
perbuatan hukum dan untuk menghadap di muka pengadilan tanpa izin atau bantuan dari
suami
b. Pasal 128 ayat (3) B. W. mengenai pengakuan anak, yang lahir diluar perkawinan, oleh
seorang perempuan Indonesia asli. Dengan demikian, pengakuan anak tidak lagi berakibat
terputusnya perhubungan hukum antara ibu dan anak, sehingga juga tentang hal ini tidak
ada lagi perbedaan diantara semua warga negara Indonesia.
c. Pasal 1682 B. W. yang mengharuskan dilakukannya satu penghibahan dengan akta notaris.
d. Pasal 1579 B.W. yang menentukan, bahwa dalam hal sewa menyewa barang si pemilik
barang tidak dapat menghentikan persewaan dengan mengatakan, bahwa ia memakai
ssendiri barangnya, kecuali apabila pada waktu membentuk persetujuan sewa menyewa ini
dijanjikan diperbolehkan.
e. Pasal 1238 B. W. yang menyimpulkan bahwa pelaksanaan suatu perjanjian hanya dapat
diminta di muka Hakim, apabila gugatan ini didahului dengan suatu penagihan tertulis.
Sebenarnya tindakan Mahkamah Agung dengan mengeluarkan SEMA tersebut di atas
dianggap melampaui kewenangannya hingga membekukan ketentuan undang-undang.
Mahkamah Agung RI pernah menjelaskan isi dari SEMA tersebut bahwa itu ditujukan
sebagai upaya pembinaan kepada hakim-hakim bawahannya karena SEMA tersebut ditujukan
kepada para Ketua Pengadilan Negeri dan para Ketua Pengadilan Tinggi agar melayani
pemberian keadilan kepada warga negara Indonesia dengan tidak lagi merujuk atas ketentuan
pasal-pasal yang tidak diberlakukan lagi. Walaupun alasan Mahkamah Agung terkesan
konstruktif, namun masih ada juga pihak dari kalangan akademis keberatan akan alasan
tersebut kendatipun SEMA itu dimaksudkan untuk melakukan pembinaan terhadap hakim-
hakim bawahannya.
Walaupun banyak perdebatan mengenai kedudukan KUHPerdata peninggalan Belanda
yang hingga saat ini masih digunakan, namun yang pastinya KUHPerdata masih berlaku di
Indonesia selama belum dirumuskan undang-undang yang baru. Logika hukumnya adalah
didasari dari Undang-Undang Dasar 1945 tepatnya di aturan peralihan sebagai aturan yang
ada di Indonesia. Dengan demikian sangatlah relevan apabila perjanjian masih menggunakan
KUHPerdata sebagai salah satu rujukan aturan mengenai hukum perjanjian di Indonesia
selain dari aturan-aturan lainnya.
Keberadaan KUHPerdata Indonesia yang merupakan hasil konkordansi dari Nederlands
Burgerlijk Wetboek dan Nederlands Burgerlijk Wetboek yang merupakan kodifikasi dari
Code Napoleon adalah rangkaian peraturan dengan memiliki satu sumber induk hukum yang
sama yaitu Corpus I(J)uris Civilis, yang merupakan kumpulan aturan yang telah dikodifikasi
kemudian diterbitkan pada tahun 533-534 masehi oleh Kaisar Yustinianus (Justinian). Corpus
Iuris Civilis berisikan:
a. Institutes (pengantar prinsip-prinsip dasar)
b. Digest atau Pandects (ringkasan para ahli hukum orang-orang Romawi di masa lalu).
Kumpulan yang cukup banyak dan sistematis dari 39 penulis ahli hukum Romawi terutama
dari abad pertama hingga ketiga.
179
SOSEK: Jurnal Sosial dan Ekonomi Hukum Perjanjian di Indonesia Volume 2 Issue 3 Years 2022
(Taufik Hidyat Lubis)

c. Justinian Code (kompilasi perundang-undangan yang dibuat oleh orang-orang Romawi di


masa lalu, suntingan dan dari beberapa sumber hukum lainnya). Kumpulan konstitusi
kekaisaran yang disusun sistematis dari tahun 117-534 masehi.
d. Novellae (bagian perundang-undangan yang dibuat setelah Justinian Code dan Digest
selesai). Buku ke-4 ini terdiri dari aturan konstitusi yang dikeluarkan oleh Yustinius dan
penerusnya setelah tahun 534 masehi.
Sebagai catatan penting bahwa kehadiran Corpus Iuris Civilis ini memiliki pengaruh
yang besar terhadap perkembangan hukum perdata di beberapa negara Eropa termasuk
Indonesia yang secara tidak langsung juga memiliki paham atas Roman law. Oleh karena itu
tidak salah apabila pemahaman perjanjian yang ada di dalam Corpus Iuris Civilis ini
digunakan sebagai salah satu rujukan dalam pembahasan buku ini.
Bahwa dengan menggunakan pendekatan historis, penulis berupaya untuk
menterjemahkan arti dari perjanjian dalam KUHPerdata dan mengkaitkannya dengan apa
yang diatur dalam Corpus Iuris Civilis sebagai induk sumber hukum perdata bagi negara-
negara yang menganut sistem hukum Eropa Kotinental khususnya Indonesia. Lalu
dihubungkan juga dengan beberapa pengertian yang ada di dalam Code Napoleon dan
Nederlands Burgerlijk Wetboek. Sebagai bahan perbandingan Code Napoleon atau saat ini
lebih dikenal dengan Code Civil des Francais yang sudah direvisi pada tanggal 1 Oktober
2016 dengan KUHPerdata Indonesia khususnya mengenai perjanjian, dan juga Nieuw
Burgerlijk Wetboek.

Pengertian Perjanjian
Membahas pengertian perjanjian yang ada di Indonesia maka tidak lepas dari pengertian
perjanjian yang ada di Code Napoleon ataupun juga yang telah direvisi pada tanggal 1
Oktober 2016, Burgerlijk Wetboek Belanda lama dan Nieuw Burgerlijk Wetboek (NBW).
Bahkan kalau ditarik kembali pemabahasannya pun akan akan sampai ke Corpus Iuris Civilis
yang dibuat oleh Justinian I. walaupun ius commune merupakan gabungan dari pemahaman
Roman Law dan Church Canon Law, namun pengaruh Corpus Iuris Civilis lebih besar
dibandingkan dengan Church Canon Law atas isi Code Napoleon.
Persetujuan awalnya lebih dikenal di Indonesia, seiring waktu berjalan perubahan istilah
tersebut pun terjadi dan kata perjanjian menggantikan kata persetujuan. Ini terbukti terbitan
ke-25 daru buku milik dari R. Surbekti yang berjudul Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
yang kemudian menggantikan istilah persetujuan menjadi perjanjian. Istilah perjanjian
memang merujuk pada kata „overeenkomst‟, namun bagi R. Subekti dan R. Tjitrosudibio
menterjemahkan kata „overeenkomst‟ yang ada di dalam KUHPerdata menjadi kata
„persetujuan‟, ini dapat dibaca pada Pasal 1233 KUHPerdata mengenai lahirnya perikatan
karena disebabkan persetujuan dan undang-undang. Pengertian yang dibuat oleh R. Subekti
dan R. Tjitrosudibio tersebut ada di dalam sebuah buku yang hingga saat ini masih digunakan
oleh seluruh civitas akademik dan praktisi di Indonesia yang berjudul Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata. Kata „overeenkomst‟ awalnya diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia
menjadi kata „perjanjian‟ akan tetapi entah mengapa di edisi ke-25 dalam Buku Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata karya R. Subekti dan R. Tjitrosudibio tersebut mengubah
kata persetujuan tadi menjadi kata perjanjian. Kata „persetujuan‟ memang tidak banyak
mendapat penolakan bahkan beberapa ahli menyatakan kata persetujuan adalah kata yang
sama pula dengan kata „perjanjian‟.
Di buku yang lain R. Subekti mendefinisikan persetujuan sama artinya dengan
perjanjian, “dapat dikatakan bahwa dua perkataan (perjanjian dan persetujuan) itu adalah
sama artinya”. Sukarmi di dalam bukunya yang berjudul Cyber Law: Kontrak Elektronik
dalam Bayang-Bayang Pelaku Usaha meletakkan perjanjian sama dengan persetujuan,

180
SOSEK: Jurnal Sosial dan Ekonomi Hukum Perjanjian di Indonesia Volume 2 Issue 3 Years 2022
(Taufik Hidyat Lubis)

“…dalam Buku III KUHPerdata diatur juga mengenai hubungan hukum yang sama sekali
tidak bersumber pada suatu persetujuan atau perjanjian…”. Wirjono Prodjodikoro
menterjemahkan kata „overeenkomst‟ sebagai dari kata „persetujuan‟. Di dalam buku yang
berjudul Kompilasi Hukum Perikatan karya Taryana Soenandar, et. Al sama sekali tidak
mempermasalahkan isi Pasal 1313 KUHPerdata yang menggunakan kata „persetujuan‟
bahkan Taryana Soenandar, et. al berpendapat kata persetujuan tersebut sama dengan kata
perjanjian “Para sarjana Hukum Perdata pada umumnya berpendapat bahwa definisi
perjanjian yang terdapat di dalam ketentuan di atas (Pasal 1313 KUHPerdata…”.
Penterjemahan kata „overeenkmonst‟ dari sebuah buku yang berjudul Pengantar Studi Hukum
Perdata II karya H. F. A Vollmar adalah dengan kata „perjanjian‟ atau „persetujuan‟. Djaja S.
Meliala menterjemahkan kata „overeenkomst‟ dengan dua makna yaitu perjanjian atau
persetujuan.
S. Wajowasito dalam bukunya yang berjudul Kamus Umum Belanda-Indonesia
menterjemahkan kata „overeenkomst‟ menjadi „persamaan‟, „persetujuan‟, „percocokan‟,
„perjanjian‟. Kata „overeenkmost‟ di dalam Kamus Hukum: Bahasa Belanda, Indonesia
Inggris diterjemahkan dengan kata „persetujuan‟, „permufakatan‟. Di dalam English-Ducth
and English-Dutch Dictionary in the New Spelling, kata „overeenkomst‟ diartikan dengan kata
agreement, conformity, congruity. Di dalam Bahasa Indonesia, kata perjanjian maupun
persetujuan memiliki kesamaan. Perjanjian adalah persetujuan (tertulis atau dengan lisan)
yang dibuat oleh dua pihak atau lebih, masing-masing bersepakat akan menaati apa yang
tersebut dalam persetujuan itu. Sedangkan persetujuan adalah sebagai pernyataan setuju (atau
pernyataan menyetujui); pembenaran (pengesahan, perkenan, dan sebagainya).
Kata „overeenkomst‟ memang dapat diartikan ke Bahasa Indonesia menjadi kata
„perjanjian‟ maupun „persetujuan‟ namun kata „overeenkomst‟ tidak sama dengan kata
„verbintenis‟ apabila dikaitkan dengan Pasal 1233 KUHPerdata yang mengandung arti
perjanjian dan undang-undang adalah bagian dari perikatan. Walaupun kata „verbintenis‟
dapat juga diartikan sebagai kata „perjanjian‟ namun karena konteksnya Hukum Perikatan
yang diatur dalam Buku ke-3 KUHPerdata maka makna dari kata „verbintenis‟ bukanlah
perjanjian akan tetapi menurut beberapa ahli mendalilkannya sebagai kata „perikatan‟.
Berdasarkan penjelasan di atas dapat dipahami bahwa kata „overeenkmost‟ bermakna
perjanjian. Makna dari overeenkomst sama sekali tidak dapat diartikan sama dengan
verbintenis karena dalam ruang lingkup Hukum Perikatan di Buku-3 KUHPerdata keduanya
berbeda, walaupun memiliki perbedaan yang cukup signifikan namun kedua-duanya saling
berkaitan. Selanjutnya apa sebenarnya yang dimaksud dengan perjanjian? Apabila merujuk
pengertian kata „Perjanjian‟ ke dalam Bahasa Inggris yaitu „agreement‟ maka berdasarkan
Black‟s Law Dictionary kata „agreement‟ bermakna “a mutual understanding between two or
more persons about their relative rights and duties regarding past or future performances; a
manifestation of mutual assent by two or more persons (cases: contracts).” Frasa „mutual
understanding‟ bermakna adanya kesepahaman yang saling timbal-balik, perjanjian itu
adalah kesepahaman yang saling bertimbal-balik antara dua orang atau lebih mengenai hak
dan kewajibannya baik atas masa lalu maupun di masa datang. Makna timbal-balik diartikan
masing-masing pihak (bukan salah satu pihak saja) saling meletakkan kesepahamannya atas
perjanjian yang dibuat. Di dalam Oxford Advanced Learners‟s Dictionary of Current English
perjanjian adalah “(1) An arrangement, a promise or a contract made with somebody, (2) the
state of sharing the same opinion or feeling, (3) the fact of somebody approving of something
and allowing it to happen”.
Pasal 1313 KUHPerdata disebutkan perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana
satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih. Sedangkan
menurut beberapa ahli, definisi perjanjian adalah sebagai berikut:

181
SOSEK: Jurnal Sosial dan Ekonomi Hukum Perjanjian di Indonesia Volume 2 Issue 3 Years 2022
(Taufik Hidyat Lubis)

a. Menurut Subekti perjanjian adalah suatu peristiwa di mana seorang berjanji pada seorang
lain atau di mana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal.
b. Menurut KRTM Tirtodiningrat perjanjian adalah suatu perbuatan hukum berdasarkan kata
sepakat di antara dua orang atau lebih untuk menimbulkan akibat-akibat hukum yang dapat
dipaksanakan oleh undang-undang
c. Menurut R. Setiawan pengertian perjanjian yang ada di Pasal 1313 KUHPerdata tidak
lengkap dan sangat luas, oleh karena itu perlu dilakukan perbaikan definisi tersebut:
1) Perbuatan harus diartikan sebagai perbuatan hukum yaitu perbuatan yang bertujuan
untuk menimbulkan akibat-akibat hukum
2) Menambahkan perkataan “atau saling mengikatkan dirinya” dalam Pasal 1313
KUHPerdata
3) Sehingga perumusannya menjadi, “Perjanjian adalah perbuatan hukum di mana satu
orang atau lebih mengikatkan dirinya atau saling mengikatkan dirinya terhadap satu
orang atau lebih”.
d. Menurut Djumadi, “Perjanjian adalah suatu peristiwa di mana seseorang berjanji kepada
orang lain atau di mana dua orang atau lebih saling berjanji untuk melaksanakan suatu
hal”
e. Menurut Gunawa Widjaja menjelaskan bahwa perjanjian adalah salah satu sumber
perikatan artinya perjanjian melahirkan perikatan yang menciptakan kewajiban pada salah
satu atau lebih pihak dalam perjanjian
f. Menurut Polak, “Perjanjian adalah suatu persetujuan tidak lain suatu perjanjian
(afspraak) yang mengakibatkan hak dan kewajiban”.
Pengertian perjanjian yang ada di dalam Pasal 1313 KUHPerdata ternyata menimbulkan
reaksi dari beberapa ahli yang secara terang-terangan tidak sepaham dengan pengertian
perjanjian sesuai yang diatur di dalam Pasal 1313 KUHPerdata, hal ini dikarenakan adanya
kejanggalan dalam pemberian arti dari perjanjian:
a. Suryodiningrat memberikan argumentasi bahwa:
1) Hukum tidak ada sangkut pautnya dengan setiap perikatan dan demikian pula tidak ada
sangkut pautnya dengan setiap sumber perikatan, sebab apabila penafsiran dilakukan
secara luas, setiap janji adalah persetujuan
2) Perkataan perbuatan apabila ditafsirkan secara luas, dapat menimbulkan akibat hukum
tanpa dimaksudkan (misalnya: perbuatan yang menimbulkan kerugian sebagai akibat
adanya perbuatan melawan hukum)
3) Definisi Pasal 1313 KUHPerdata hanya mengenai persetujuan sepihak (unilateral), satu
pihak sajalah yang berprestasi sedangkan pihak lainnya tidak berprestasi (misal:
schenking atau hibah). Seharusnya persetujuan itu berdimensi dua pihak di mana para
pihak saling berprestasi
4) Pasal 1313 KUHPerdata hanya mengenai persetujuan obligatoir (melahirkan hak dan
kewajiban bagi para pihak), dan tidak berlaku bagi persetujuan lainnya (misalnya:
perjanjian liberatoir/membebaskan; perjanjian di lapangan hukum keluarga; perjanjian
kebendaan; perjanjian pembuktian)
b. Purwahid Patrik menyatakan beberapa kelemahan dari definisi Pasal 1313 KUHPerdata,
yaitu:
1) Definisi tersebut hanya menyangkut perjanjian sepihak saja. Hal ini dapat disimak dari
rumusan “satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih
lainnya”. Kata „mengikatkan‟ merupakan kata kerja yang sifatnya hanya datang dari
satu pihak saja, tidak dari kedua pihak. Sedang maksud perjanjian itu para pihak saling
mengikatkan diri sehingga tampak kekurangannya yang seharusnya ditambah dengan
rumusan “saling mengikatkan diri”

182
SOSEK: Jurnal Sosial dan Ekonomi Hukum Perjanjian di Indonesia Volume 2 Issue 3 Years 2022
(Taufik Hidyat Lubis)

2) Kata perbuatan mencakup juga tanpa consensus/kesepakatan termasuk perbuatan


mengurus kepentingan orang lain (zaakwaarneming) dan perbuatan melanggar hukum
(onrechtmatige daad). Hal ini menunjukkan makna „perbuatan‟ itu luas dan
menimbulkan akibat hukum
3) Perlu ditekankan bahwa rumusan Pasal 1313 KUHPerdata mempunyai ruang lingkup di
dalam hukum harta kekayaan (vermogensrecht).
c. Ahmadi Miru dan Sakka Pati menerangkan bahwa pengertian yang dibuat dalam Pasal
1313 KUHPerdata tidak lengkap, karena hanya satu pihak saja yang mengikatkan diri
kepada pihak lain. Pengertian yang ada di dalam Pasal 1313 KUHPerdata seharusnya juga
menerangkan tentang adanya dua pihak yang saling mengikatkan diri tentang suatu hal.
Artinya kalau hanya disebutkan bahwa satu pihak yang mengikatkan diri kepada pihak lain
maka tampak seolah-olah yang dimaksud hanyalah perjanjian sepihak. Tetapi kalau
disebutkan juga tentang adanya dua pihak yang saling mengikatkan diri, maka
pengertiannya menjadi berbeda yaitu perjanjian itu memang meliputi baik perjanjian
sepihak maupun perjanjian dua pihak.
Di Belanda sendiri definisi perjanjian sudah mengalami perubahan, sesuai dengan
perubahan KUHPerdata Belanda yang baru disebut dengan Nieuw Burgerlijk Wtboek (NBW)
sebagaimana diatur dalam Buku 6 Bab 5 Pasal 6:213, “Een overeenkomst in de zin van deze
titel is een meerzijdige rechtshandeling, waarbij een of meer partijen jegens een of meer
andere een verbintenis aangaan” yang terjemahan dalam Bahasa Inggrisnya “A contract in
the sense of this title is multilateral juridical act whereby one or more parties assume an
obligation towards one or more other parties”.
Terjemahan kata „overeenkomst‟ yang dibuat oleh P.P.C Haanapel et.al di atas adalah
„contract‟ bukan „agreement‟ sehingga apabila diterjemahkan kontrak adalah perbuatan
hukum yang dilakukan satu orang atau lebih untuk saling (timbal-balik) mengikatkan diri
terhadap satu orang atau lebih lainnya. Pengertian kontrak (terjemahan penterjemah) dalam
NBW di atas sedikit berbeda dengan pengertian perjanjian sebelumnya yang diatur dalam
Pasal 1233 Burgerlijk Wetboek, “Eene overeenkomst is eene handeling waarbij een of meer
personen zich jegens een of meer andere verbinden”. Terjemahan dalam Bahasa Indonesia-
nya yang apabila disesuaikan dalam KUHPerdata Indonesia khususnya di Pasal 1313 adalah
“Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan di mana satu orang atau lebih mengikatkan diri
terhadap satu orang lain atau lebih”, terjemahan dalam Bahasa Inggris-nya, “An agreement is
an act pursuant to which one more individuals bind themselves to one or several others”.
Mindy Chen-Wishart, et.al menterjemahkan kata „overeenkomst‟ dengan kata
„Perjanjian‟ (agreement) bukan kontrak, Perbedaan pengertian perjanjian yang ada di dalam
BW lama dengan NBW (yang baru) salah satunya adalah penggunaan kata „handeling‟ (di
BW lama) sedangkan di NBW menggunakan kata „rechtshandeling‟. Kata „handeling‟
diartikan sebagai kata „Perbuatan‟ saja sedangkan „rechtshandeling‟ diartikan sebagai frasa
„Perbuatan hukum‟ atau juridical act. Di dalam BW lama dengan NBW masih tetap
menggunakan kata mengikatkan diri yang mana dalam Bahasa Belanda-nya adalah
„verbintenis‟ (di NBW) dan „verbiden‟ (di BW lama). Mengenai makna dari „verbintenis‟,
Penter Haanappel, et.al menterjemahkan „verbintenis‟ menjadi kata „obligation‟ (kewajiban).
Kata „verbintenis‟ adalah bentuk kata benda yang bermakna “the state of being, eg in
marriage, friendship”. Sebenarnya makna antara „state of being‟ dengan „obligation‟ tidaklah
sama karena state of being bermakna suatu pernyataan untuk menyamakan atau menyatukan
keinginan sedangkan obligation adalah kewajiban. Mindy Chen-Wishart, et.al sendiri
mengartikan verbinden yang merupakan kata kerja dari kata „verbintenis‟ dengan kata „bind‟
yang berarti mengikatkan diri „to tie up‟. Secara makna memang terjemahan Mindy Chen-
Wishart, et.al lebih tepat apabila dibandingkan dengan terjemahan yang dibuat oleh P.P.C

183
SOSEK: Jurnal Sosial dan Ekonomi Hukum Perjanjian di Indonesia Volume 2 Issue 3 Years 2022
(Taufik Hidyat Lubis)

Haanapel et.al, karena makna dari sebuah perjanjian atau kontrak itu adalah untuk
„mengikatkan‟.
Namun apakah terjemahan kata „verbintenis‟ menjadi „obligation‟ merupakan suatu
kesalahan yang dibuat oleh P.P.C Haanapel et.al? Belum tentu karena dalam proses
penterjemahan P.P.C Haanapel et.al harus menyesuaikan makna bahasa sumbernya (Belanda)
„verbintenis‟ ketika diterjemahkan ke bahasa target (Inggris) „Obligation‟, dan hasil
terjemahannya (ke Bahasa target) tidak boleh menghilangkan makna dari bahasa sumbernya.
Dan menurut P.P.C Haanapel et.al makna verbintenis adalah kewajiban (obligation). Dengan
demikian arti dari kontrak yang ada di dalam Buku 6 Bab 5 Pasal 6:213 adalah “perbuatan
hukum timbal balik (multilateral) yang dilakukan satu orang atau lebih yang menerbitkan
kewajiban terhadap satu orang atau lebih lainnya”.
Frasa “…multilateral juridical act...” (meerzijdige rechtshandeling) menunjukkan arti
perbuatan hukum yang saling timbal balik. Kontrak memang sudah seharusnya dilakukan
karena adanya keinginan dua belah pihak, bukan salah satu pihak. Penegasan makna saling
timbal balik (multilateral) ini dibuat memang digunakan untuk mencegah adanya paham
seolah-olah perjanjian hanya diinginkan atau dilakukan oleh sepihak saja. Oleh karenanya
penggunaan teks saling timbal balik sudah tepat digunakan untuk menunjukkan perjanjian
itu muncul karena adanya kehendak oleh kedua belah pihak untuk saling mengikatkan diri
yang di dalamnya ada akibat hukum. Oleh karena itu penggunaan kata recthshandeli dalam
definisi overeenkomst di NBW sangat relevan dengan kedudukan overeenkomst sebagai genus
dari perbuatan hukum (juridical act(s)). Hal ini seperti yang dijelaskan oleh Arthur S.
Hartkamp juga, “A contract is a species of the genus „juridical act‟. Juridical act may
described as an act by which juridical effects are produced, due to the expressed intention of
one or more acting persons. Most multilateral juridical acts are contracts”.
Berdasarkan penjelasan di atas timbul pertanyaan, apakah perjanjian juga merupakan
genus dari perbuatan hukum, seperti kontrak yang merupakan genus dari perbuatan hukum?
Bahkan dengan jelas Arthur S. Hartkamp menyebutkan istilah kontrak merupakan genus dari
perbuatan hukum bukan perjanjian. Bahkan di beberapa literatur yang ada istilah kontrak
lebih mendominasi dari pada istilah perjanjian. Padahal apabila dilihat dari sejarahnya,
Belanda yang melakukan kodifikasi Burgerlijk Wetboek atas Code Napoleon di tahun 1838
silam sama sekali tidak menggunakan istilah „kontrak‟ seperti yang ada di dalam Pasal 1101
Code Napoleon, contrat. Padahal bisa saja pada saat kodifikasi Burgerlijk Wetboek
berlangsung istilah overeenkomst tidak digunakan akan tetapi menggunakan istilah contract
dalam Bahasa Belanda-nya untuk menyesuaikan istilah contrat yang ada di Pasal 1101 Code
Napoleon. Atau memang di sekitar tahun 1800-an istilah contract belum ada di Bahasa
Belanda? Apabila memang benar, bisa saja istilah contrat dalam Bahasa Perancis diserap dan
digunakan dalam Burgerlijk Wetboek di masa itu. Tapi yang pasti Belanda saat itu
menggunakan istilahnya sendiri yaitu overeenkomst untuk menunjukkan suatu hubungan
hukum yang dikarenakan adanya perjanjian. Namun mengapa seperti Arthur S. Hartkamp
menggunakan istilah kontrak dan mengapa pula P.P.C Haanapel et.al menterjemahkan
overeenkomst menjadi istilah contract bukan agreement?
Penggunaan frasa „perbuatan hukum‟ memang sangat berpengaruh kepada makna dari
perjanjian bahkan di Belanda sendiri kata „handeling‟ atau perbuatan sudah digantikan dengan
kata „rechsthandeling‟. Apakah pergantian itu memang untuk menyesuaikan perjanjian adalah
sebagai genus dari perbuatan hukum atau untuk menghindarkan multitafsir atas makna dari
kata perbuatan? Memang tidak bisa dipastikan jawabannya namun yang terjadi di Indonesia
sendiri penggunaan kata „perbuatan‟ menjadi salah satu permasalahan karena Purwahid Patrik
menganggap kata perbuatan mencakup juga tanpa consensus/kesepakatan termasuk perbuatan
mengurus kepentingan orang lain (zaakwaarneming) dan perbuatan melanggar hukum
(onrechtmatige daad). Hal ini menunjukkan makna „perbuatan‟ itu luas dan menimbulkan
184
SOSEK: Jurnal Sosial dan Ekonomi Hukum Perjanjian di Indonesia Volume 2 Issue 3 Years 2022
(Taufik Hidyat Lubis)

akibat hukum. J. Satrio juga menganggap kata „perbuatan‟ yang digunakan dalam Pasal 1313
KUHPerdata lebih tepat jika digantikan frasa „perbuatan/tindakan hukum‟, karena istilah
„tindakan hukum‟ tidak hanya menunjukkan bahwa akibat hukumnya dikehendaki atau
dianggap dikehendaki tetapi di dalamnya juga sudah tersimpul adanya „sepakat‟ yang
merupakan ciri dari perjanjian yang tidak mungkin pada onrechtmatige daad dan
zaakwaarneming.
Mayoritas para ahli yang mendefinisikan perjanjian memang menghindari kata
„perbuatan‟ kecuali KRTM Tirtodiningrat dan R. Setiawan. Namun penulis menganggap
bukanlah suatu kesalahan apabila KRTM Tirtodiningrat dan R. Setiawan masih tetap
menggunakan kata „perbuatan‟ tersebut. Karena kata „perbuatan‟ dimaksudkan untuk
menjelaskan adanya peristiwa atau tindakan yang dilakukan seseorang kepada orang lainnya.
Hal ini sama juga dengan penggunaan kata „peristiwa‟ yang dibuat oleh R. Subekti dan
Djumadi atas pengertian perjanjian.
Perjanjian pada dasarnya adalah suatu tindakan, perbuatan atau peristiwa untuk
mengikatkan diri kepada orang lain sehingga terbentuknya suatu hubungan hukum. Sehingga
dapat dimaknai pengertian perjanjian dalam Pasal 1313 KUHPerdata adalah sebagai bentuk
perbuatan yang menimbulkan efek hukum, namun hanya saja di tidak ditegaskan sebagai
bentuk perbuatan hukum. Ada atau tidaknya kata „hukum‟ setelah kata „perbuatan‟
sebenarnya tidak menghilangkan makna perjanjian itu sebagai bentuk perbuatan hukum
karena seperti yang dijelaskan di atas bahwa sesuai dengan doktrin yang ada, frasa „perbuatan
hukum‟ hanya dikenal oleh negara-negara yang menganut sistem hukum civil law, seperti
Indonesia, dan atas pemahaman itu pula perjanjian atau kontrak merupakan genus dari
perbuatan hukum. Sehingga apabila suatu definisi perjanjian masih menggunakan kata
„perbuatan‟ saja maka tidak berarti perjanjian yang dimaksud bukanlah suatu perbuatan
hukum yang tidak memiliki akibat hukum, karena makna perjanjian sudah mengandung
perbuatan hukum yang direalisasikan dalam suatu bentuk perbuatan nyata.
Apabila dibandingkan dengan pengertian perjanjian yang diatur dalam Code Napoleon
yang menggunakan istilah „contrat‟ (Bahasa Perancis) atau „contract‟ (Bahasa Inggris), maka
Pasal 1101 Code Napoleon disebutkan “Le contra test une convenction par laquelle une ou
plusiurs personnes s‟obligent, envers une ou plusieurs autres, a donner, a faire ou a ne pas
faire quelque chose” yang dalam terjemahan ke Bahasa Inggris adalah “a contract is an
agreement which binds one or more persons, towards another or several others to give, to do,
or not to do something”, terjemahannya adalah kontrak merupakan suatu perjanjian yang
mengikat satu pihak atau lebih kepada satu pihak atau lebih lainnya dalam rangka untuk
memberikan sesuatu, melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu. Pengertian kontrak
yang diatur dalam Pasal 1101 Code Napoleon tersebut tak ubahnya dengan yang ada di dalam
Pasal 1313 KUHPerdata Indonesia yang meletakkan perjanjian hanya unilateral saja,
“Perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya
terhadap satu orang lain atau lebih” hal ini dapat dilihat dari terjemahan “binds one or more
persons, towards another or several others” yang jelas sama dengan Pasal 1313 KUHPerdata
“…satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih”.
Kemudian di dalam Pasal 1101 Code Napoleon tersebut juga mencantumkan frasa “to give, to
do, or not to do something” yang frasa tersebut juga ada di Pasal 1234 KUHPerdata Indonesia
“…untuk memberikan sesuatu, berbuat sesuatu dan tidak berbuat sesuatu” dan Pasal 1314
ayat kedua KUHPerdata “…memberikan sesuatu, berbuat sesuatu atau tidak berbuat
sesuatu”.
Walaupun di dalam Pasal 1101 Code Napoleon tidak menjelaskan perjanjian yang
saling timbal balik (mutual), namun di Pasal 1102 dan 1103 dijelaskan suatu perjanjian yang
bersifat synallagmitacal dan unilateral:

185
SOSEK: Jurnal Sosial dan Ekonomi Hukum Perjanjian di Indonesia Volume 2 Issue 3 Years 2022
(Taufik Hidyat Lubis)

a. Pasal 1102 “Le contrat est synallagmatique ou bilatéral lorsque les con- tractans
s'obligent réciproquement les uns envers les autres” diterjemahkan dalam Bahasa Inggris
“a contract is synallagmitcal or bilateral when the contractors bind themselves nutually
some of them towards the remainder”.
b. Pasal 1103: “Il est unilatéral lorsqu'une ou plusieurs personnes sont obligées envers une
ou plusieurs autres, sans que de la part de ces dernières il y ait d'engagement”
diterjemahkan dalam Bahasa Inggris “It is unilateral when it binds one person or several
towards one other or several others, without any engagement being made on the part of
such latter”.
Sama halnya dalam KUHPerdata khususnya di Pasal 1314 juga menjelaskan bagaimana
perjanjian dapat dilakukan secara bilateral maupun unilateral namun posisisnya terbalik,
unilateral terlebih dahulu lalu bilateral. Pasal 1314 KUHPerdata di ayat pertama disebutkan
“suatu perjanjian dengan cuma-cuma adalah suatu perjanjian dengan mana pihak yang satu
memberikan suatu keuntungan kepada pihak yang lain, tanpa menerima suatu manfaat bagi
dirinya” (perjanjian unilateral) dan di ayat kedua “suatu perjanjian atas beban adalah suatu
perjanjian yang mewajibkan masing-masing pihak memberikan sesuatu, berbuat sesuatu atau
tidak berbuat sesuatu”.
Namun saat ini pengertian kontrak dalam KUHPerdata Perancis telah diubah dengan
pengertian yang baru. Perubahan tersebut karena adanya revisi yang kemudian berdasarkan
ordonanasi pada tanggal 1 Oktoer 2016 mengubah beberapa pasal yang ada di dalam
KUHPerdata Perancis khususnya di Pasal 1101-12311-7 yang mana di dalam perubahan
pasal-pasal tersebut merupakan pasal tentang kontrak atau perjanjian. Perubahan tentang
kontrak atau perjanjian tersebut membawa perubahan yang cukup signifkan dalam maknanya
apabila dibandingkan dengan makna sebelumnya.

Sebelum 1 Oktober 2016 Sesudah 1 Oktober 2016

Article 1101: Article 1101:


Le contrat est une convention par Le contrat est un accord de volontés
laquelle une ou plusieurs personnes entre deux ou plusieurs personnes
s‟obligent, envers une ou plusieurs destiné à créer, modifier, transmettre
autres, à donner, à faire ou à ne pas ou éteindre des obligations.
faire quelque chose
Terjemahannya:
Terjemahannya:

Article 1101: Article 1101:


A contract is an agreement which A contract is a concordance of wills of
binds one or more persons, towards two or more persons intended to
another or several others to give, to create, modify, transfer or extinguish
do, or not to do something obligations

Bukannya kontrak dimaknai adanya perjanjian yang dibuat oleh para pihak secara timbal
balik, akan tetapi kontrak lebih dimaknai perjanjian atas adanya kehendak dua orang atau
lebih untuk menciptakan, memodifikasi atau mentransfer kewajiban. Penggunaan kata
kehendak atau keinginan „wills‟ dalam arti atas kontrak apabila dibandingkan dengan arti
perjanjian yang ada di dalam NBW sangatlah jauh berbeda untuk menunjukkan adanya
keterikatan seseorang kepada orang lain yang didasarkan dengan adanya kontrak atau
perjanjian. Kata „agreement‟ lalu diubah dengan „concordance‟ lalu dihubungkan dengan kata
186
SOSEK: Jurnal Sosial dan Ekonomi Hukum Perjanjian di Indonesia Volume 2 Issue 3 Years 2022
(Taufik Hidyat Lubis)

„wills‟ menujukkan bahwa kontrak itu merupakan bagian dari kehendak para pihak yang
membuat perjanjian. Kata „bind‟ yang awalnya digunakan kemudian dihilangkan
menunjukkan bahwa kontrak memang ditujukan untuk mengikatkan para pihak yang
membuat perjanjian, oleh karenanya tidak perlu lagi ditegaskan bahwasannya kontrak adalah
untuk mengikat.
Perjanjian sebenarnya bukanlah hanya sekedar dari hubungan hukum yang dilakukan
oleh kedua belah pihak secara timbal balik (bilateral) atau tidak (unilateral) akan tetapi
perjanjian juga seharusnya mengedepankan bagaimana perjanjian atau kontrak dibentuk
berdasarkan dari adanya kehendak atau keinginan para pihak yang membuat perjanjian untuk
saling mengikatkan diri. Tujuan dari tulisan ini adalah bagaimana kedudukan kehendak atau
keinginan dari sebuah perjanjian yang harus dilindungi dan menjadi bagian yang harus ada
tanpa ada pengecualian sehingga kehendak atau keinginan para pihak yang membuat
perjanjian bukan hanya sekedar dari formalitas yang selalu dianggap ada ketika para pihak
yang membuat perjanjian telah sepakat.
Bahwa dapat dikatakan definisi kontrak dalam Pasal 1101 KUHPerdata Perancis sejak 1
Oktober 2016 tersebut jauh lebih baik dari pada definisi sebelumnya, dan menurut penulis
sendiri definisi ini pun lebih baik dari pada definisi yang dibuat dalam NWB sendiri.
Kedudukan kehendak atau keinginan dua orang atau lebih yang ada di dalam Pasal 1101
tersebut sudah mewakili dari adanya tindakan atau perbuatan para pihak yang membuat
perjanjian secara timbal balik, karena pada dasarnya kehendak atau keinginan dalam
perjanjian adalah sebagai bentuk perbuatan yang didasari dari adanya kesadaran kedua belah
pihak (para pihak dalam perjanjian) untuk melaksanakan perjanjian. Berbeda dengan
perjanjian yang dilakukan oleh kedua belah pihak atau lebih secara timbal balik, belum tentu
perjanjian tersebut terbentuk atau mengikat karena adanya kehendak atau keinginan para
pihak yang membuat perjanjian. Bisa saja perjanjian tersebut dilakukan karena adanya
kekhilafan, paksaan, penipuan dan atau penyalahgunaan keadaan. Perbandingan yang
dilakukan penulis bukan dimaksudkan untuk mencari kesalahan atau kekurangan hukum
perjanjian di salah satu negara akan tetapi perbandingan dilakukan untuk mencari definisi
terbaik agar pengertian dari perjanjian di Indonesia jauh lebih baik dari pada sebelumnya.
Bagi penulis sendiri, pengertian perjanjian tidak hanya dimaknai dari apa yang
dimaksud dengan perjanjian saja akan tetapi perjanjian juga harus dimaknai adanya suatu
peristiwa hukum sebagai akibat dari adanya hubungan kausa dari para pihak yang telah
membuat perjanjian. Perjanjian tidak dapat diartikan hanya sebagai kata yang tanpa
menunjukkan suatu keadaan atau peristiwa tertentu karena perjanjian adalah suatu keadaan di
mana telah terjadinya tindakan sebab akibat yang dilakukan satu orang atau lebih kepada satu
orang atau lebih lainnya. Dengan kata lain kata „perjanjian‟ tidak akan lagi menimbulkan
suatu pertanyaan apakah perjanjian itu mengikat atau tidak, karena memang pada prinsipnya
perjanjian itu mengikat bagi para pihak yang membuatnya.
Bahwa dasar dari pertanyaan di atas sangatlah logis karena implikasi dari perjanjian itu
adalah menciptakan hubungan hukum di antara beberapa pihak dan ketika perjanjian itu
dilakukan, apakah perjanjian itu memang sudah dianggap menjadi perjanjian yang memiliki
konsekuensi hukum atau tidak sehingga para pihak yang mengikatkan diri harus melakukan
hak dan kewajibannya sesuai dengan yang diperjanjikan? Sebenarnya sangatlah sederhana
menjawab pertanyaan itu karena yang dinamakan perjanjian adalah apabila perjanjian itu
telah sesuai dengan syarat sahnya perjanjian sesuai yang ada di dalam Pasal 1320
KUHPerdata dan kapan perjanjian itu lahir adalah ketika perjanjian itu sudah sesuai dengan
syarat sahnya perjanjian yang diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata dan kapan perjanjian itu
mengikat adalah ketika perjanjian itu sesuai dengan syarat sahnya perjanjian sesuai yang
diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata. Walaupun sebenarnya tidak mutlak apabila perjanjian
itu dikatakan mengikat harus didasari dengan sahnya perjanjian karena terdapat pula suatu
187
SOSEK: Jurnal Sosial dan Ekonomi Hukum Perjanjian di Indonesia Volume 2 Issue 3 Years 2022
(Taufik Hidyat Lubis)

perjanjian yang melanggar syarat sah perjanjian namun perjanjian itu tetap mengikat, sebagai
contoh suatu perjanjian yang melanggar syarat subjektif perjanjian. Perjanjian yang
melanggar syarat sah subjektif mengakibatkan perjanjian tetap mengikat selama tidak
dibatalkan.
Bahwa kedudukan Pasal 1313 KUHPerdata tidak dapat dipisahkan dengan Pasal 1320
KUHPerdata, karena makna dari perjanjian yang diatur dalam Pasal 1313 KUHPerdata adalah
karena adanya kesesuaian dengan Pasal 1320 KUHPerdata. Makna dari „mengikatkan diri‟
yang ada di dalam Pasal 1313 KUHPerdata memang dianggap rancu karena hanya satu pihak
saja yang mengikatkan diri akan tetapi di luar dari kerancunya tersebut, perjanjian merupakan
perbuatan untuk mengikatkan yang berarti terbentuknya suatu hubungan hukum yang
menghasilkan hak dan kewajiban atau kewajiban saja. Terbentuknya hubungan hukum yang
menghasilkan hak dan kewajiban atau kewajiban saja itu hanya bisa terjadi karena telah
berkesesuaian dengan Pasal 1320 KUHPerdata. Sehingga dapat dikatakan eksitensi dari Pasal
1313 KUHPerdata merupakan eksistensi yang sama pula atas Pasal 1320 KUHPerdata kecuali
untuk ayat 1 dan 2 Pasal 1320 KUHPerdata karena syarat sah cakap dan kesepakatan adalah
syarat yang kondisional di mana perjanjian tetap memiliki hubungan hukum walaupun syarat
cakap dan kesepakatan itu dilanggar dan tidak dibatalkan.
Berdasarkan penjelasan di atas penulis menyimpulkan bahwasannya perjanjian
merupakan suatu perbuatan hukum yang dilakukan oleh dua belah pihak atau lebih didasari
atas kehendak yang sama untuk saling mengikatkan diri. Salah satu poin utama dari
pengertian itu adalah saling mengikatkan diri. Perjanjian harus dilakukan dengan dengan
dasar adanya tindakan yang saling timbal balik oleh para pihak yang membuatnya.
Kekurangan Pasal 1313 KUHPerdata seperti yang telah dijelaskan sebelumnya adalah
kehilangan makna dari mutual understanding yaitu tidak adanya hubungan timbal balik bagi
para pihak yang membuat perjanjian jadi seolah-olah perjanjian itu hanya dilakukan oleh
salah satu pihak saja sedangkan pihak lain tidak mau membuat perjanjian. Oleh karena itu
dengan menggunakan frasa saling mengikatkan diri menunjukkan para pihak yang membuat
perjanjian memang saling berhubungan yang tujuannya memang untuk mengikatkan diri
sehingga terbentuklah hubungan hukum yang menghasilkan hak dan kewajiban atau
kewajiban saja.
Kata „hukum‟ setelah kata „perbuatan‟ untuk menunjukkan perjanjian itu merupakan
perbuatan hukum, namun penggunanaan kata „hukum‟ tersebut bagi penulis adalah untuk
menegaskan apabila perjanjian itu merupakan perbuatan hukum, sehingga bagi orang awam
yang tidak paham dengan doktrin perbuatan hukum akan segera mengetahui apabila
perjanjian itu adalah perbuatan hukum.
Dua belah pihak atau lebih menunjukkan perjanjian dapat dilakukan bukan hanya dua
pihak saja akan tetapi lebih dari dua pihak dapat yaitu tiga, empat atau lebih. Intinya
perjanjian itu dapat dilakukan lebih dari pada satu subjek hukum saja. Didasari atas kehendak
yang sama adalah untuk memberikan perlindungan atas kehendak „will‟ para pihak yang
membuat perjanjian. Kehendak merupakan dasar dari seseorang mau atau tidak maunya untuk
membuat perjanjian, apabila seseorang sudah berkehendak maka akan direalisasikannya
dalam bentuk kesepakatan.

KESIMPULAN
Pemberlakuan Burgerlijk Wetboek voor Nederlands-Indisch (Hindia-Belanda saat ini
Indonesia) dimulai pada tanggal 1 Mei 1848 berdasarkan Staatsblaad Nomor 23 tahun 1847,
menariknya penerapan Burgerlijk Wetboek voor Nederlands-Indisch ini menggunakan asas
konkordansi yaitu pemberlakukan Burgerlijk Wetboek yang ada di Belanda diberlakukan
juga di Indonesia. Penggunaan KUHPerdata di Indonesia hingga saat ini masih tetap

188
SOSEK: Jurnal Sosial dan Ekonomi Hukum Perjanjian di Indonesia Volume 2 Issue 3 Years 2022
(Taufik Hidyat Lubis)

menggunakan isi dari Burgerlijk Wetboek voor Nederlands-Indisch. Perjanjian merupakan


suatu perbuatan hukum yang dilakukan oleh dua belah pihak atau lebih didasari atas kehendak
yang sama untuk saling mengikatkan diri. Salah satu poin utama dari pengertian itu adalah
saling mengikatkan diri. Perjanjian harus dilakukan dengan dengan dasar adanya tindakan
yang saling timbal balik oleh para pihak yang membuatnya. Kata „hukum‟ setelah kata
„perbuatan‟ untuk menunjukkan perjanjian itu merupakan perbuatan hukum, namun
penggunanaan kata „hukum‟ tersebut bagi penulis adalah untuk menegaskan apabila
perjanjian itu merupakan perbuatan hukum, sehingga bagi orang awam yang tidak paham
dengan doktrin perbuatan hukum akan segera mengetahui apabila perjanjian itu adalah
perbuatan hukum. Dua belah pihak atau lebih menunjukkan perjanjian dapat dilakukan bukan
hanya dua pihak saja akan tetapi lebih dari dua pihak dapat yaitu tiga, empat atau lebih.
Intinya perjanjian itu dapat dilakukan lebih dari pada satu subjek hukum saja. Didasari atas
kehendak yang sama adalah untuk memberikan perlindungan atas kehendak „will‟ para pihak
yang membuat perjanjian. Kehendak merupakan dasar dari seseorang mau atau tidak maunya
untuk membuat perjanjian, apabila seseorang sudah berkehendak maka akan direalisasikannya
dalam bentuk kesepakatan

DAFTAR PUSTAKA
Barrister of The Inner Temple. Code Napoleon or The French Civil Code. London: William
Benning. 1827.
Chen-Wishart, Mindy. Dkk, eds. Studies in the Contract Laws of Asia II. Oxford: Oxford
University Press. 2018
Djumadi. Hukum Perburuhan Perjanjian Kerja. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. 2004
Garner, Bryan A.. Black‟s Law Dictionary. Edisi ke-enam Eagen: West. 2009
Haanappel, Penter. dkk. (Pent). The Civil Code of The Netherlands Antilles and Aruba.
Netherlands: Kluwer Law International. 2002
Hage, Jaap dan Bram Akkermas. eds.. Introduction to Law. Berlin: Springer. 2014
Hartkamp, Arthur S. Contract Law in the Netherlands. Edisi ke-dua. Alphen aan den Rijn:
Wolters Kluwer. 2015.
Hernoko, Agus Yudha. Hukum Perjanjian Asas Proporsionalitas dalam Kontrak Komersial.
cetakan ke-4. Jakarta: Prenadamedia Group. 2014
Hornby, A. S.. Oxford Advanced Learner‟s Dictionary of Current English. Edisi ke-enam.
Oxford:
Oxford University Press. 2000
Kassoti, Eva. The Juridical Nature of Unilateral Acts of States in International Law. Leiden:
Martinus Nijhof. 2015
Marilang. Hukum Perikatan: Perikatan yang Lahir dari Perjanjian. Makassar: Indonesia
Prime. 2017
Meliala, Djaja S. Perkembangan Hukum Perdata Tentang Benda dan Hukum Perikatan.
cetakan II. Bandung: CV. Nuansa Aulia. 2008
Miru, Ahmadi dan Sakka Pati. Hukum Perikatan: Penjelasan Makna Pasal 1233 sampai Pasal
1456 BW. cetakan ke-7. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persadan. 2016
Muhammad Sadi Is. Pengantar Ilmu Hukum. cetakan ke-2. Jakarta: Kencana. 2017
Puspa, Yan Pramadya. Kamus Hukum: Bahasa Belanda. Indonesia Inggris. Semarang: CV.
Aneka Ilmu. 1977.
Rijn, C. J. van. Dutch-English and English Dictionary in The New Spelling. Gouda: G.B. van
Goor sons. 1920
Soenandar, Taryana. dkk. Kompilasi Hukum Perikatan. Banding: PT. Citra Aditya Bakti.
2016
189
SOSEK: Jurnal Sosial dan Ekonomi Hukum Perjanjian di Indonesia Volume 2 Issue 3 Years 2022
(Taufik Hidyat Lubis)

Subekti. Hukum Perjanjian. Bogor: PT. Intermasa. 2005


Tanpa nama, arti “arti kata perjanjian”, diakses melalui https://kbbi.web.id/perjanjian pada
tanggal 13 Desember 2019.
Tanpa nama”, verbintenis meaning” diakses melalui
https://dictionary.cambridge.org/dictionary/dutch-english/verbintenis, pada tanggal 13
Desember 2019.
Vollmar, H. F. A. Pengantar Studi Hukum Perdata II, diterjemahkan oleh I. S. Adiwimarta.
Jakarta: CV. Rajawali. 1984
Wajowasito, S. Kamus Umum Belanda-Indonesia. Jakarta: PT. IchtiarBaru Van Hoeve. 2001
Widjaja, Gunawan. Perikatan yang Lahir dari Perjanjian. Cetakan ke-6. Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada. 2014
Wouters, Michaela. The Voice of The Law in Transition Jurists and Their Languages. Leiden:
KITLV Press. 2008.

190

Anda mungkin juga menyukai