PERTEMUAN II
Oleh :
I Putu Harry Suandana Putra, SH., MH.
Nidn : 0831128026
PRODI HUKUM
FAKULTAS SOCIAL BISNIS TEKNOLOGI HUMANIORA
UNIVERSITAS BALI INTERNATIONAL
2023
POKOK BAHASAN
1. Jaman VOC
2. Jaman Hindia Belanda
3. Jaman Pendudukan Jepang
4. Jaman Kemerdekaan Indonesia
5. Jaman Rancangan KUHP baru
1. ZAMAN VOC (VEREENIGDE OOSTINDISCHE
COMPAGNIE)
Pada masa ini selain hukum-hukum adat pidana yang berlaku bagi kaum pribumi di Indonesia,
penguasa VOC mulai memberlakukan plakat-plakat yang berisi hukum pidana. Tahun 1642, Joan
Maetsuycker mantan Hof van Justitie di Batavia yang mendapat tugas dari Gubernur Jenderal van
Diemen merampungkan suatu himpunan plakat-plakat yang dinamakan Statuten van Batavia, kemudian
pada tahun 1650 himpunan ini disahkan oleh Heeren Zeventien. Menurut Utrecht, hukum yang berlaku
di daerah yang dikuasai oleh VOC, ialah :
Statuta Betawi itu berlaku bagi daerah Betawi dan sekitarnya, Tetapi ini
merupakan teori saja karena pada prakteknya orang pribumi tetap tinduk
pada hukum adat. Di daerah lainnya pun tetap berlaku hukum adat pidana.
Campur tangan VOC hanya dalam masalah pidana yang berkaitan dengan
kepentingan dagangnya. Di daerah Cirebon berlaku Papakem Cirebon yang
mendapat pengaruh VOC.
Pada tahun1848 dibentuk lagi intermaire strafbepalingen, barulah pada
tahun 1866 muncul kodifikasi yang sistematis. Mulai tanggal 10 Februari
1866 berlakulah dua KUHP di Indonesia :
• Het Wetbook van Starftrecht voor Europeanen (Stbl. 1866 No. 55) yang
berlaku bagi golongan Eropa mulai 1 Januari 1867. Kemudian dengan
Ordonansi tanggal 6 Mei 1872 berlaku KUHP untuk golongan
Bumiputera dan Timur Asing.
• Het Wetbook van Starftrecht voor Inlands en daarmede gelijkgestelde
(Stbl. 1872 No. 85) mulai berlaku 1 Januari 1873.
2. ZAMAN HINDIA BELANDA
WvSI tetap berlaku pada zaman pendudukan Jepang, hal ini didasarkan pada undang-
undang (Osamu Serei) No. 1 Tahun 1942 yang mulai berlaku tanggal 7 Maret 1942
sebagai peraturan peralihan Jawa Madura. Jadi hanya pasal-pasal yang menyangkut
pemerintah Belanda, misalnya penyebutan Raja/Ratu yang tidak berlaku lagi.
Peraturan ini juga dikeluarkan di daerah selain Jawa dan Madura.
Dibanding dengan hukum pidana materiel, maka hukum acara pidana lebih banyak
berubah, karena terjadi unifikasi acara dan susunan pengadilan. Ini diatur dalam
Osamu Serei No.3 tahun 1942 tanggal 20 September 1942.
4. ZAMAN KEMERDEKAAN
Keadaan pada zaman pendudukan Jepang dipertahankan sesudah proklamasi kemedekaan. Pasal II
Aturan Peralihan UUD 1945 berlaku tanggal 18 Agustus 1945. Untuk memperkuat aturan peralihan
tersebut, maka Presiden mengeluarkan peraturan tanggal 10 Oktober 1945 yang dinamakan Peraturan
No.2. Barulah dengan UU no. 1 Tahun 1946 diadakan perubahan yang mendasar atas WvSI.
Ditentukan dalam UU No.1 Tahun 1946 tersebut bahwa hukum pidana yang berlaku mulai tahun 1946
ialah hukum pidana yang berlaku tanggal 8 Maret 1942 dengan pelbagai perubahan dan penambahan
yang disesuakan dengan keadaan Negara Republik Indonesia dengan nama Wetbook van Strafrecht
voor NederlandschIndie diubah menjadi Wetbook van Strafrecht yang dapat disebut Kitab Undang-
Undang Hukum Pidana (KUHP).
Tentulah harus diingat bahwa teks asli Wetbook van Strafrecht sampai kini masih dalam bahasa
Belanda , kecuali penambahan-penambhan kemudian sesudah tahun 1946 itu yang teksnya sudah tentu
dalam bahasa Indonesia. Jadi apa yang sering dipegang oleh pelaksana hukum adalah terjemahan
dalam bahasa Indonesia, yang corak ragamnya tergantung pada selera penerjemah.
Sebagai sejarah perlu diingat bahwa Belanda pada tahun 1945 sampai 1949 kembali ke Indonesia
menduduki beberapa wilayah. Untuk wilayah yang diduduki Belanda itu de facto tidak diberlakukan
UU no.1 tahun 1946, kecuali untuk wilayah Sumatera yang diduduki Belanda sesudah Agresi Militer 1,
ditetapkan bahwa peraturan lama masih tetap berlaku (Peraturan RI). Untuk daerah yang diduduki
Belanda tersebut diberlakukan Wetbook van Straftrecht voor Nederlandsch Indie yang diubah namanya
menjadi Wetbook van Strafrecht voor Indonesieberdasarkan ordonansi tanggal 21 September 1948 Stbl
1948 No.224 mulai berlaku tanggal 22 September 1948 dan semua kata Nederlandsch Indie di dalam
WvS diganti dengan Indonesie. Kalau pemerintah Republik Indonesia mengubah Wetbook vab
Strafrecht Maka Belanda juga melakukan perubahan-perubahan di dalam Wetbook van Strafrecht voor
Indonesie. Dengan adanya penambahan dan perubahan , maka jumlah pasal dalam WvSI berakhir
dengan pasal 570, sedangkan KUHP hanya 569. Dengan adanya du macam WvS yang berlaku di dua
wilayah yang berbeda ditambah perubahan dan penambahan yang berbeda pula menimbulkan
kerancuan dalam penerapannya. Terlebih dengan perubahan wilayah akibat Agresi Militer I, menambah
wilayah kedudukan Belanda, yang dengan perjanjian Renville 17 januari 1948 disebut daerah terra
Neerlandica.
Dengan Berlakunya UU No. 1 Tahun 1946 untuk seluruh Indonesia berdasarkan UU No. 73 Tahun
1958, maka hilanglah dualisme berlakunya dua macam hukum pidana di Indonesia.
5. JAMAN RANCANGAN KUHP BARU
Keinginan untuk mengadakan kodifikasi KUHP Nasional yang disusun oleh putera Indonesia sendiri yang
sumbernya digali dari bumi Indonesia dengan memperhatikan perkembnagan dunia modern di bidang hukum
pidana sudah lama dicetuskan. Usaha nyata menuju tercapainya keinginan tersebut antara lain dapat dikemukakan
usaha Basaruddin SH dan Iskandar Situmorang SH yang menyusun Rancangan Buku I KUHP Tahun 1971 dan
Buku II KUHP Tahun 1976. Kemudian sejak tahun 1979 telah dibentuk Tim Pengkajian Hukum Pidana, yang
diberikan tugas menyusun Rancangan KUHP baru oleh Pemerintah (Menteri Kehakiman dalam hal ini Badan
Pembinaan Hukum Nasional). Pada tahun ini disusunlah materi-materi yang diperlukan. Tahun 1980-1981 mulailah
disusun Rancangan Buku I yang antara lain juga memakai KUHP lamadan Rancangan Basaruddin dab rekan
sebagai bahan perbandingan. Tahun 1981-1982 konsep Rancangan Buku I telah diselesaikan dalam arti masih
kasar. Pada Tahun 1982 diadakanlah Lokakarya di BABINKUMNAS membahas rancangan tersebut. Sesudah itu,
terus-menerus tim berkumpul untuk memperhalus rumusan Rancangan Buku I tersebut dan menyususn Rancangan
Buku II sampai Tahun 1985, dan pada tahun ini juga diadakan Lokakarya di tempata yang sama guna membahas
Buku II.
Pada Tahun 1986 diadakan Lokakarya Khusus mengenai sanksi pidana di tempat yang sama. Dan terakhir
Lokakarya mengenai delik komputer dan delik terhadap penyelenggaraan peradilan. Perbedaan yang mencolok
antara Rancangan dan KUHP (lama) ialah rancangan hanya terdiri atas dua buku sedangkan KUHP (lama) yang
sama dengan WvS Belanda terdiri atas tiga buku. Dengan sendirinya perbedaan antara delik kejahatan dan delik
pelanggaran di dalam Rancangan telah ditiadakan.
LOCUS
DAN
TEMPUS
PENGERTIAN LOCUS DELICTI
Pengertian Locus Delicti Locus delicti adalah tempat terjadinya suatu tindak pidana atau lokasi tempat
terjadinya perkara.
Locus delicti penting diketahui untuk:
a) Menentukan apakah hukuman pidana Indonesia berlaku atau tidak terhadap suatu perbuatan yang
terjadi. Hal ini berhubungan dengan Pasal 2 hingga 8 Kitab UndangUndang Hukum Pidana.
b) Menentukan pengadilan mana yang berhak mengadili suatu perkara pidana. Dalam hal ini, kita
berbicara mengenai kompetensi relatif suatu pengadilan. berdasarkan ketentuan yang dimuat
dalam Pasal 84 ayat (2) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang
menyebutkan bahwa: “Pengadilan negeri yang di dalam daerah hukumnya terdakwa bertempat
tinggal, berdiam terakhir, di tempat ia diketemukan atau ditahan, hanya berwenang mengadili
perkara terdakwa tersebut, apabila tempat kediaman sebagian besar saksi yang dipanggil lebih
dekat pada tempat pengadilan negeri itu daripada tempat kedudukan pengadilan negeri yang di
dalam daerahnya tindak pidana itu dilakukan.”
Moeljatno menjelaskan bahwa para ahli dalam menentukan manakah yang menjaditempat
terjadinya pidana berbeda pendapat, sehingga menimbulkan dua aliran, yaitu: a) Aliran yang
menentukan di satu tempat, yakni tempat di mana terdakwa berbuat. b) Aliran yang
menentukan di beberapa tempat, yakni mungkin tempat kelakuan dan tempat 7 Berdasarkan
aliran yang pertama, terdapat dua teori, yakni teori tentang tempat di mana tindakan atau
kelakuan terjadi (leer der lichamelijk) dan teori instrumen (leer van instrument). Sedangkan
aliran kedua, dapat memilih menggunakan teori tentang tempat di mana tindakan atau
kelakuan terjadi atau menggunakan teori akibat.
TEORI AKIBAT
a. Teori perbuatan materiil (leer der lichamelijk) Menurut teori ini, arti locus delicti adalah
tempat di mana tindakan atau kelakuan terjadi.
b. Teori instrumen (leer van instrument) Locus delicti diartikan sebagai tempat suatu perkara
pidana yang ditentukan oleh alat yang digunakan dan dengan alat itu, perbuatan pidana
dapat diselesaikan. Teori ini merupakan perluasan dari teori perbuatan materiil.
c. Teori akibat Teori ini menyatakan bahwa locus delicti ada di tempat di mana akibat
perbuatan pidana tersebut terjadi. Aliran kedua ini boleh memiliki locus delicti antara
tempat di mana perbuatan dimulai dengan tindakan atau tempat di mana akibat perbuatan
pidana itu terjadi.