Anda di halaman 1dari 37

HUKUM PIDANA

PERTEMUAN II
Oleh :
I Putu Harry Suandana Putra, SH., MH.
Nidn : 0831128026
PRODI HUKUM
FAKULTAS SOCIAL BISNIS TEKNOLOGI HUMANIORA
UNIVERSITAS BALI INTERNATIONAL
2023
POKOK BAHASAN

1. Sejarah Hukum Pidana

2. Locus dan Tempus


SEJARAH KODIFIKASI
HUKUM PIDANA
INDONESIA

1. Jaman VOC
2. Jaman Hindia Belanda
3. Jaman Pendudukan Jepang
4. Jaman Kemerdekaan Indonesia
5. Jaman Rancangan KUHP baru
1. ZAMAN VOC (VEREENIGDE OOSTINDISCHE
COMPAGNIE)
Pada masa ini selain hukum-hukum adat pidana yang berlaku bagi kaum pribumi di Indonesia,
penguasa VOC mulai memberlakukan plakat-plakat yang berisi hukum pidana. Tahun 1642, Joan
Maetsuycker mantan Hof van Justitie di Batavia yang mendapat tugas dari Gubernur Jenderal van
Diemen merampungkan suatu himpunan plakat-plakat yang dinamakan Statuten van Batavia, kemudian
pada tahun 1650 himpunan ini disahkan oleh Heeren Zeventien. Menurut Utrecht, hukum yang berlaku
di daerah yang dikuasai oleh VOC, ialah :

• Hukum statuta yang termuat di dalam Statuten van Batavia


• Hukum Belanda Kuno
• Asas-asas Hukum Romawi
Hubungan hukum Belanda kuno ialah sebagai pelengkap jika statuta tidak
dapat menyelesaikan masalah, hukum Belanda kuno diaplikasikan.
Sedangkan hukum Romawi berlaku untuk mengatur kedudukan hukum
budak (Slaven Recht)

Statuta Betawi itu berlaku bagi daerah Betawi dan sekitarnya, Tetapi ini
merupakan teori saja karena pada prakteknya orang pribumi tetap tinduk
pada hukum adat. Di daerah lainnya pun tetap berlaku hukum adat pidana.
Campur tangan VOC hanya dalam masalah pidana yang berkaitan dengan
kepentingan dagangnya. Di daerah Cirebon berlaku Papakem Cirebon yang
mendapat pengaruh VOC.
Pada tahun1848 dibentuk lagi intermaire strafbepalingen, barulah pada
tahun 1866 muncul kodifikasi yang sistematis. Mulai tanggal 10 Februari
1866 berlakulah dua KUHP di Indonesia :

• Het Wetbook van Starftrecht voor Europeanen (Stbl. 1866 No. 55) yang
berlaku bagi golongan Eropa mulai 1 Januari 1867. Kemudian dengan
Ordonansi tanggal 6 Mei 1872 berlaku KUHP untuk golongan
Bumiputera dan Timur Asing.
• Het Wetbook van Starftrecht voor Inlands en daarmede gelijkgestelde
(Stbl. 1872 No. 85) mulai berlaku 1 Januari 1873.
2. ZAMAN HINDIA BELANDA

Berdasarkan sejaragh dari tahun 1811 sampai 1814 Indonesia pernah


dibawah kepemimpinan Inggris. Berdasarkan Konvensi London 13
Agustus 1814, maka bekas koloni Belanda dikembalikan kepada Belanda
lagi. Dengan Regerings Reglement 1815 dengan tambahan (Supletoire
Instructie 23 September 1815)maka hukum dasar colonial tercipta. Agar
tidak terjadi kesenjangan peraturan, maka dikeluarkan proklamasi 19
Agustus 1816 , Stbl.1816 No. 5 yang mengatakan bahwa untuk sementara
waktu semua peraturan bekas pemerintahan Inggris tetap dipertahankan.
Untuk orang pribumi hukum adat pidana masih diakui asalkan tidak
bertentangan dengan undang-undang dari pemerintah.
Kepada bangasa Indonesia ditetapkan pidana berupa kerja paksa di perkebunan
yang didasarkan pada Stbl. 1828 No. 16, mereka dibagi atas dua golongan, yaitu:

• Yang dipidana kerja rantai


• Yang dipidana kerja paksa
• Yang terdiri atas yang diberi upah dan yang tidak diberi upah[6]. Tetapi dalam
prakteknya pidana kerja paksa dikenakan dengan tiga cara:
• Kerja paksa dengan dirantai dan pembuangan
• Kerja paksa dengan dirantai tetapi tidak dibuang
• Kerja pakasa tanpa rantai tetapi dibuang
KUHP yang berlaku bagi golongan Eropa tersebut pada dasarnya adalah salinan Code Penal yang
berlaku di Negeri Belanda tetapi berbeda dari sumbernya tersebut, yang berlaku di Indonesia terdiri atas
2 buku, sedangkan Code Penal terdiri atas 4 buku. KUHP yang berlaku bagi golongan bumiputera juga
saduran dari KUHP yang berlaku bagi golongan Eropa, tetapi diberi sanksi yang lebih berat sampai
pada KUHP 1918 pun, pidananya lebih berat daripada KUHP Belanda 1886. Oleh karena itu perlu
ditinjau secara sekilas lintas perkembangan kodifikasi di Negeri Belanda.
Pertama kali ada kodifikasi di bidang hukum pidana terjadi sejak adanya Crimineel Wetbook voor het
koninglijk Holland 1809. Kitab undang-undang 1809 memuat ciri modern di dalamnya, menurut vos,
yakni:

• Pemberian kebebasan yang besar kepada hakim di dalam pemeberian pidana.


• Ketentuan-ketentuan khusus untuk penjahat remaja.
• Penghapuaan perampasan umum.
Akan tetapi kodifikasi ini berumur singkat karena masuknya Code Penal Perancis ke
Belandatahun 1811.Belanda terus berusaha untuk mengadakan perubahan juga usaha
untuk menciptakan KUHP nasional, tetapi tidak berhasil, kecuali perubahan
sebagian.Dengan KB tanggal 28 September 1870 duibentuklah panitia negara yang
menyelesaikan rancangan pada tahun 1875.Pada tahun 1879 Menteri Smidt mengirim
rancangan tersebut ke Tweede Kamer. Diperdebatkan dalam Staten Generaal dengan
Menteri Moddermanyang sebelumnya adalah anggota panitia negara. Pada tanggal 3
maret 1881 lahirlah KUHP Belanda yang baru dan berlaku mulai tanggal 1 september
1886. Setelah KUHP baru muncul, barulah KUHP Hindia Belanda, yaitu 1866 dan
1872 yang banyak persamaan dengan Code Penal Perancis diganti dan disesuaikan
dengan KUHP baru,
Berdasarkan asas konkordansi KUHP Belanda harus diberlakukan pula di
daerah jajahan seperti Hindia Belanda. Semula direncanakan tetap ada dua
KUHP, masing-masing untuk golongan Eropa dan Bumiputera. Setelah
selesai kedua rancangan tersebut Menteri jajahan Belanda Mr. Idenburg
berpendapat sebaiknya hanya ada satu KUHP di Hindia Belanda. Sesuai
usul Mr. Idenburg maka dibentuklah komisi yang menyelesaikan tugasnya
tahun 1913dengan KB tanggal 15 oktober 1915 dan diundangkan pada
September 1915nomor 732 lahirlah Wesboek van straftrecht voor
Nederlandsch Indie untuk seluruh golongan penduduk dan mulai berlaku
tanggal 1 Januari 1918. Peralihan dari masa dualisme, yaitu dua macam
WvKuntuk dua golongan penduduk menurut Jonkers lebih bersifat formil
daripada materiel.
3. ZAMAN PENDUDUKAN JEPANG

WvSI tetap berlaku pada zaman pendudukan Jepang, hal ini didasarkan pada undang-
undang (Osamu Serei) No. 1 Tahun 1942 yang mulai berlaku tanggal 7 Maret 1942
sebagai peraturan peralihan Jawa Madura. Jadi hanya pasal-pasal yang menyangkut
pemerintah Belanda, misalnya penyebutan Raja/Ratu yang tidak berlaku lagi.
Peraturan ini juga dikeluarkan di daerah selain Jawa dan Madura.

Dibanding dengan hukum pidana materiel, maka hukum acara pidana lebih banyak
berubah, karena terjadi unifikasi acara dan susunan pengadilan. Ini diatur dalam
Osamu Serei No.3 tahun 1942 tanggal 20 September 1942.
4. ZAMAN KEMERDEKAAN
Keadaan pada zaman pendudukan Jepang dipertahankan sesudah proklamasi kemedekaan. Pasal II
Aturan Peralihan UUD 1945 berlaku tanggal 18 Agustus 1945. Untuk memperkuat aturan peralihan
tersebut, maka Presiden mengeluarkan peraturan tanggal 10 Oktober 1945 yang dinamakan Peraturan
No.2. Barulah dengan UU no. 1 Tahun 1946 diadakan perubahan yang mendasar atas WvSI.
Ditentukan dalam UU No.1 Tahun 1946 tersebut bahwa hukum pidana yang berlaku mulai tahun 1946
ialah hukum pidana yang berlaku tanggal 8 Maret 1942 dengan pelbagai perubahan dan penambahan
yang disesuakan dengan keadaan Negara Republik Indonesia dengan nama Wetbook van Strafrecht
voor NederlandschIndie diubah menjadi Wetbook van Strafrecht yang dapat disebut Kitab Undang-
Undang Hukum Pidana (KUHP).

Tentulah harus diingat bahwa teks asli Wetbook van Strafrecht sampai kini masih dalam bahasa
Belanda , kecuali penambahan-penambhan kemudian sesudah tahun 1946 itu yang teksnya sudah tentu
dalam bahasa Indonesia. Jadi apa yang sering dipegang oleh pelaksana hukum adalah terjemahan
dalam bahasa Indonesia, yang corak ragamnya tergantung pada selera penerjemah.
Sebagai sejarah perlu diingat bahwa Belanda pada tahun 1945 sampai 1949 kembali ke Indonesia
menduduki beberapa wilayah. Untuk wilayah yang diduduki Belanda itu de facto tidak diberlakukan
UU no.1 tahun 1946, kecuali untuk wilayah Sumatera yang diduduki Belanda sesudah Agresi Militer 1,
ditetapkan bahwa peraturan lama masih tetap berlaku (Peraturan RI). Untuk daerah yang diduduki
Belanda tersebut diberlakukan Wetbook van Straftrecht voor Nederlandsch Indie yang diubah namanya
menjadi Wetbook van Strafrecht voor Indonesieberdasarkan ordonansi tanggal 21 September 1948 Stbl
1948 No.224 mulai berlaku tanggal 22 September 1948 dan semua kata Nederlandsch Indie di dalam
WvS diganti dengan Indonesie. Kalau pemerintah Republik Indonesia mengubah Wetbook vab
Strafrecht Maka Belanda juga melakukan perubahan-perubahan di dalam Wetbook van Strafrecht voor
Indonesie. Dengan adanya penambahan dan perubahan , maka jumlah pasal dalam WvSI berakhir
dengan pasal 570, sedangkan KUHP hanya 569. Dengan adanya du macam WvS yang berlaku di dua
wilayah yang berbeda ditambah perubahan dan penambahan yang berbeda pula menimbulkan
kerancuan dalam penerapannya. Terlebih dengan perubahan wilayah akibat Agresi Militer I, menambah
wilayah kedudukan Belanda, yang dengan perjanjian Renville 17 januari 1948 disebut daerah terra
Neerlandica.

Dengan Berlakunya UU No. 1 Tahun 1946 untuk seluruh Indonesia berdasarkan UU No. 73 Tahun
1958, maka hilanglah dualisme berlakunya dua macam hukum pidana di Indonesia.
5. JAMAN RANCANGAN KUHP BARU
Keinginan untuk mengadakan kodifikasi KUHP Nasional yang disusun oleh putera Indonesia sendiri yang
sumbernya digali dari bumi Indonesia dengan memperhatikan perkembnagan dunia modern di bidang hukum
pidana sudah lama dicetuskan. Usaha nyata menuju tercapainya keinginan tersebut antara lain dapat dikemukakan
usaha Basaruddin SH dan Iskandar Situmorang SH yang menyusun Rancangan Buku I KUHP Tahun 1971 dan
Buku II KUHP Tahun 1976. Kemudian sejak tahun 1979 telah dibentuk Tim Pengkajian Hukum Pidana, yang
diberikan tugas menyusun Rancangan KUHP baru oleh Pemerintah (Menteri Kehakiman dalam hal ini Badan
Pembinaan Hukum Nasional). Pada tahun ini disusunlah materi-materi yang diperlukan. Tahun 1980-1981 mulailah
disusun Rancangan Buku I yang antara lain juga memakai KUHP lamadan Rancangan Basaruddin dab rekan
sebagai bahan perbandingan. Tahun 1981-1982 konsep Rancangan Buku I telah diselesaikan dalam arti masih
kasar. Pada Tahun 1982 diadakanlah Lokakarya di BABINKUMNAS membahas rancangan tersebut. Sesudah itu,
terus-menerus tim berkumpul untuk memperhalus rumusan Rancangan Buku I tersebut dan menyususn Rancangan
Buku II sampai Tahun 1985, dan pada tahun ini juga diadakan Lokakarya di tempata yang sama guna membahas
Buku II.

Pada Tahun 1986 diadakan Lokakarya Khusus mengenai sanksi pidana di tempat yang sama. Dan terakhir
Lokakarya mengenai delik komputer dan delik terhadap penyelenggaraan peradilan. Perbedaan yang mencolok
antara Rancangan dan KUHP (lama) ialah rancangan hanya terdiri atas dua buku sedangkan KUHP (lama) yang
sama dengan WvS Belanda terdiri atas tiga buku. Dengan sendirinya perbedaan antara delik kejahatan dan delik
pelanggaran di dalam Rancangan telah ditiadakan.
LOCUS
DAN
TEMPUS
PENGERTIAN LOCUS DELICTI
Pengertian Locus Delicti Locus delicti adalah tempat terjadinya suatu tindak pidana atau lokasi tempat
terjadinya perkara.
Locus delicti penting diketahui untuk:
a) Menentukan apakah hukuman pidana Indonesia berlaku atau tidak terhadap suatu perbuatan yang
terjadi. Hal ini berhubungan dengan Pasal 2 hingga 8 Kitab UndangUndang Hukum Pidana.
b) Menentukan pengadilan mana yang berhak mengadili suatu perkara pidana. Dalam hal ini, kita
berbicara mengenai kompetensi relatif suatu pengadilan. berdasarkan ketentuan yang dimuat
dalam Pasal 84 ayat (2) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang
menyebutkan bahwa: “Pengadilan negeri yang di dalam daerah hukumnya terdakwa bertempat
tinggal, berdiam terakhir, di tempat ia diketemukan atau ditahan, hanya berwenang mengadili
perkara terdakwa tersebut, apabila tempat kediaman sebagian besar saksi yang dipanggil lebih
dekat pada tempat pengadilan negeri itu daripada tempat kedudukan pengadilan negeri yang di
dalam daerahnya tindak pidana itu dilakukan.”
Moeljatno menjelaskan bahwa para ahli dalam menentukan manakah yang menjaditempat
terjadinya pidana berbeda pendapat, sehingga menimbulkan dua aliran, yaitu: a) Aliran yang
menentukan di satu tempat, yakni tempat di mana terdakwa berbuat. b) Aliran yang
menentukan di beberapa tempat, yakni mungkin tempat kelakuan dan tempat 7 Berdasarkan
aliran yang pertama, terdapat dua teori, yakni teori tentang tempat di mana tindakan atau
kelakuan terjadi (leer der lichamelijk) dan teori instrumen (leer van instrument). Sedangkan
aliran kedua, dapat memilih menggunakan teori tentang tempat di mana tindakan atau
kelakuan terjadi atau menggunakan teori akibat.
TEORI AKIBAT
a. Teori perbuatan materiil (leer der lichamelijk) Menurut teori ini, arti locus delicti adalah
tempat di mana tindakan atau kelakuan terjadi.
b. Teori instrumen (leer van instrument) Locus delicti diartikan sebagai tempat suatu perkara
pidana yang ditentukan oleh alat yang digunakan dan dengan alat itu, perbuatan pidana
dapat diselesaikan. Teori ini merupakan perluasan dari teori perbuatan materiil.
c. Teori akibat Teori ini menyatakan bahwa locus delicti ada di tempat di mana akibat
perbuatan pidana tersebut terjadi. Aliran kedua ini boleh memiliki locus delicti antara
tempat di mana perbuatan dimulai dengan tindakan atau tempat di mana akibat perbuatan
pidana itu terjadi.

Dari berbagai teori di atas, Prof. Eddy berpendapat bahwa:


PENDAPAT PROFESSOR EDDY
a. Untuk delik-delik formil menggunakan teori perbuatan materiil karena lebih mudah
menentukan locus delictinya.
b. Untuk delik-delik yang dirumuskan secara materiil, teori yang dapat digunakan adalah
teori akibat.
c. Untuk kejahatan-kejahatan dengan modus operandi yang canggih dan meliputi lintas batas,
teori instrumenlah yang digunakan.
d. Untuk menghindari celah hukum, dapat menggunakan aliran kedua
AZAS LOCUS DELICTI
Mengenai ruang berlakunya peraturan-peraturan pidana menurut tempat, dapat disebutkan beberapa azas:
a) Asas teritorial Moeljanto memberikan pengertian mengenai azas teritorial dengan arti
perundangundangan hukum pidana berlaku bagi semua perbuatan pidana yang terjadi di dalam wilayah
negara, baik dilakukan oleh warga negaranya sendiri, maupun oleh orang asing. Kemudian Van Hamel
juga turut memberikan pendapatnya mengenai azas teritorial, yakni undang-undang hukum pidana suatu
negara menguasai semua perbuatan yang dilakukan dalam batas-batas negara, yang menurut sifatnya
tidak tergantung kewarganegaraan pelaku atau kepentingan hukum yang diserang. Dari uraian tersebut,
maka azas teritorial ini menitikberatkan pada terjadinya perbuatan di dalam wilayah negara. Siapa yang
melakukannya, baik org asing maupun warga negara, tidak menjadi persoalan. Azas teritorial ini terdapat
dalam Pasal 2 KUHP yang berbunyi: “Aturan pidana dalam undang-undang Indonesia berlaku bagi
setiap orang yang melakukan sesuatu tindak pidana di wilayah Indonesia”. Azas teritorial ini diperluas
dengan ketentuan yang tercantum dalam Pasal 3 KUHP yang menyatakan “peraturan pidana Indonesia
dapat diterapkan kepada setiap orang yang berada di luar negeri yang melakukan suatu tindak pidana
dalam perahu (vaartuig) Indonesia”
PENGECUALIAN
AZAS LOCUS DELICTI
1) Terhadap orang Pengecualian azas teritorial terhadap orang adalah kepala negara, duta besar, konsul, diplomat,
dan petugas lembaga internasional.
• Dasar pengecualian kepada kepala negara yakni berdasarkan azas par in non hebet imperium (kepala negara
tidak dapat dihukum dengan menggunakan hukum negara lain). Namun, pada perkembangannya, azas ini dikecualikan
dari kejahatan-kejahatan serius, seperti kejahatan perang, kejahatan terhadap kemanusiaan, dan genosida. Hal ini
tercantum dalam pasal 27 Statuta Roma, yang mengatur bahwa tidak mengenal relevansi jabatan resmi.
• Konvensi Wina 1961 mendasari adanya kekebalan kepada duta besar, konsul, dan diplomat. Kekebalan duta
besar didasarkan pada postulat legatus regis vice fungitur a quo destinatur, et honorandus est sicut ille 9 cujus vicem
gerit yang berarti bahwa duta besar harus dihormati karena ia mengisi posisi seang raja. Asas lain yang mendasari
kekebalan terhadap duta besar, konsul, dan diplomat yakni asas resiprokal atau prinsip timbal balik. Asas ini
memberikan pengertian bahwa jika suatu negara menginginkan perlakuan yang baik dari negara lain, negara yang
bersangkutan juga harus memberi perlakuan yang baik terhadap negara tersebut.
2) Terhadap tempat Pengecualian terhadap tempat dalam asas teritorial ini seprti wilayah kedutaan
besar di suatu negara, wilayah angkatan bersenjata suatu negara di negara lain dan kapal berbendera asing,
termasuk properti lainnya.
b. Azas personalitas (Azas nasional aktif)
Azas nasional aktif artinya peraturan hukum pidana Indonesia berlaku bagi setiap Warga Negara Indonesia yang
melakukan tindak pidana, baik di dalam negeri, maupun luar negeri.
c) Azas perlindungan (Azas nasional pasif)
Azas perlindungan memuat prinsip bahwa peraturan hukum pidana Indonesia berlaku terhadap tindak pidana yang
menyerang kepentingan hukum Indonesia, baik yang dilakukan oleh WNI atau bukan, yang dilakukan di luar
Indonesia. Kejahatankejahatan tersebut dapat dibagi dalam lima kategori:
• Kejahatan-kejahatan terhadap keamanan negara dan martabat presiden
• Kejahatan-kejahatan tentang materai atau merk yang dikeluarkan oleh Pemerintah Indonesia
• Pemalsuan surat-surat hutan dan sertifikat-sertifikat hutang atas beban Indonesia, daerah atau sebagian dari daerah;
talon-talon deviden atau surat bunga yang termasuk surat-surat itu, dan juga surat-surat yang dikeluarkan untuk
surat-surat itu; atau dengan sengaja mempergunakan surat palsu atau yang dipalsukan tersebut seolah-olah tulen dan
tidak dipalsukn.
• Kejahatahn jabatan yang tercantum dalam Titel XXVIII Buku ke II yang dilakukan oleh pegawai negeri Indonesia
di luar Indonesia.
• Kejahatan pelayaran yang tercantum dalam Titel XXIX buku ke-2 10
d) Azas Universal
Artinya adalah perundang-undangan hukum pidana suatu negara berlaku bagi semua orang yang melakukan
pelanggaran terhadap hukum pidana internasional.
EKSTRADISI
Remmelink mengartikan ekstradisi sebagai penyerahan seorang tersangka atau terdakwa atau terpidana oleh negara
tempat di mana orang tersebut berada kepada negara lain yang hendak mengadili orang yang diminta atau
melaksanakan putusan pengadilan negara dari negara yang diminta. Diterima atau ditolaknya suatu permintaan
ekstradisi, tidak terlepas dari prinsip-prinsip ekstradisi:
a) Asas perjanjian (pasal 2 ayat 1) Asas ini mengatur bahwa ekstradisi baru dapat dilaksanakan oleh Negara
Peminta dan Negara Peminta setelah terlebih dulu ada perjanjian internasional mengenai ekstradisi antara
keduanya.
b) Asas timbal balik (pasal 2 ayat 2) Asas ini mengatur bahwa jika belum ada perjanjian internasional mengenai
ekstradisi antara kedua Negara, maka ekstradisi tetap dapat dilaksanakan atas dasar hubungan baik dan demi
kepentingan negara.
c) Asas penyerahan pelaku kejahatan (pasal 3 ayat 1) Asas ini mengatur bahwa yang dapat diekstradisikan adalah
orang yang merupakan pelaku kejahatan dengan status sebagai tersangka atau terpidana.
d) Asas penyerahan pelaku pembantu kejahatan (pasal 3 ayat 2) Asas ini mengatur bahwa orang yang disangka
atau dipidana karena melakukan pembantuan, percobaan, dan permufakatan untuk melakukan kejahatan juga
dapat diekstradisi, sepanjang perbuatan tersebut merupakan kejahatan di Negara Peminta.
e). Asas persamaan kejahatan/kejahatan terdaftar (pasal 4 ayat 1) Asas ini mengatur bahwa ekstradisi
dapat dilakukan terhadap pelaku kejahatan yang tindakannya tersebut diatur dalam daftar kejahatan yang
dilampirkan dan merupakan bagian tak terpisahkan dari Undang-undang ini. Kejahatan-kejahatan
tersebut merupakan kejahatan biasa.
f). Asas kejahatan tidak terdaftar (pasal 4 ayat 2) Asas ini mengatur bahwa ekstradisi juga dapat
dilakukan terhadap kejahatankejahatan yang tidak termasuk dalam daftar lampiran Undang-undang ini,
namun kejahatan tersebut dinilai sebagai kejahatan oleh Negara yang diminta.
g). Asas tidak menyerahkan pelaku kejahatan politik (pasal 5 ayat 1), pelaku kejahatan militer (pasal 6),
pelaku kejahatan yang bertalian dengan agama22, keyakinan politik, kewarganegaraan, suku bangsa atau
golongan tertentu (pasal 14). Orangorang yang disangka atau dituduh melakukan kejahatan-kejahatan
seperti di atas tidak digolongkan sebagai penjahat karena perbuatan yang dilakukan bukan merupakan
tindak pidana biasa. Namun pasal 5 ayat (3) dan dan pasal 6 mengatur bahwa pelaku kejahatan politik
dan militer ini dapat dikestradisi jika telah diperjanjikan oleh kedua Negara sebelumnya;
h). Asas tidak menyerahkan warga Negara sendiri (pasal 7) Asas ini menyatakan bahwa jika negara
Peminta meminta ekstradisi terhadap warga Negara Indonesia, maka Indonesia tidak akan menyerahkan
warganya tersebut, kecuali jika pemerintah Indonesia merasa jika pelaku lebih baik diadili di Negara
peminta.
i). Asas teritorial (pasal 8) Asas ini mengatur bahwa Negara tempat terjadinya kejahatan (baik
sebagian atau seluruh kejahatan) berwenang penuh untuk mengadili pelaku, sesuai dengan asas
terpenting di dalam hukum pidana, yaitu Lex Locus Delicti (hukum yang berlaku adalah hukum
tempat kejahatan dilakukan), sehingga Indonesia dapat menolak permintaan ekstradisi tersebut.
j). Asas ne bis in idem (pasal 9, 10 dan 11) Asas ini mengatur bahwa Indonesia dapat menolak
mengekstradisi jika pelaku sedang dalam proses pengadilan untuk kejahatan yang sama (pasal
9), pelaku telah dijatuhi vonnis hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap untuk
kejahatan yang sama(pasal 10), atau pelaku telah selesai menjalani hukumannya untuk kasus
yang sama (pasal 11).
k). Asas kadaluarsa (pasal 12) Asas ini mengatur bahwa Indonesia dapat menolak permintaan
ekstradisi atas pelaku kejahatan jika menurut pemerintah Indonesia hak untuk menuntut dan
mengadili pelaku telah kedaluwarsa.
l). Asas tidak menyerahkan pelaku yang diancam pidana mati di Negara Peminta (pasal 13) Asas
ini mengatur bahwa jika kejahatan pelaku diancam hukman mati di Negara Peminta, sedangkan
di Indonesia kejahatan tersebut tidak dioancam pidana mati, maka ekstradisi akan ditolak,
kecuali Negara Peminta meyakinkan bahwa pelaku tidak akan diancam hukuman mati
m). Asas kejahatan lain (pasal 15) Asas ini mengatur bahwa permintaan ekstradisi akan ditolak
oleh pemerintah Indonesia jika ekstradisi dimintakan untuk penuntutan dan pemidanaan
kejahatan lain yang tidak tercantum dalam permintaan ekstradisi.
n). Asas tidak menyerahkan pelaku jika akan diserahkan kepada Negara ketiga (pasal 16) Asas
ini mengatur bahwa Indonesia akan menolak mengekstradisi seseorang yang tidak akan diadili
oleh Negara Peminta, melainkan akan diserahkan kepada Negara ketiga untuk kejahatan lain
yang dilakukan diluar permintaan ekstradisi.
o). Asas penundaan ekstradisi (pasal 17) Asas ini mengatur bahwa pelaksanaan ekstradisi akan
ditunda jika orang yang diminta untuk diekstradisi sedang menjalani hukuman untuk kejahatan
lain yang dilakukan di Indonesia
PENGERTIAN TEMPUS DELICTI
Tempus Delicti merupakan waktu terjadinya perbuatan delik atau tindak pidana. Tempus Delicti
penting untuk menentukan waktu atau kapan terjadinya suatu tindak pidana dan juga untuk
menentukan apakah suatu undang-undang pidana dapat diberlakukan untuk mengadili tindak
pidana yang terjadi tersebut. Suatu undangundang yang pemberlakuannya setelah terjadi suatu
delik atau tindak pidana tidak dapat digunakan sebagai dasar untuk memeriksa dan memutuskan
suatu tindak pidana.
Tujuan Diketahuinya Tempus Delicti adalah waktu terjadinya tindak pidana adapun tujuan
diketahuinya tempus delicti adalah sebagai berikut:
a) Untuk keperluan daluarsa dan hak penuntutan.
b) Untuk mengetahui apakah pada saat itu sudah berlaku hukum pidana atau belum (asas
legalitas).
c) Apakah si pelaku sudah mampu bertanggung jawab atau belum (pertanggungjawaban).
Teori untuk Menentukan Tempus Delicti Terdapat beberapa yang teori yang digunakan untuk
menentukan tempus suatu tindak pidana, yaitu terdapat 4 (empat) teori yakni sebagai berikut :
a) Teori Perbuatan Fisik Teori ini didasarkan pada perbuatan secara fisik. Itulah sebabnya
teori ini menegaskan bahwa waktu terjadinya tindak pidana yaitu saat delik (kejahatan)
atau perbuatan pidana itu dilakukan oleh tersangka.
b) Teori Bekerjanya Alat yang Digunakan Teori yang didasarkan kepada berfungsinya suatu
alat yang digunakan dalam perbuatan pidana. Teori ini menegaskan bahwa yang dianggap
sebagai waktu terjadinya tindak pidana adalah waktu dimana alat yang digunakan dalam
bentuk Tindakan pidana berekasi untuk melakukan pertanggungjawaban suatu pidana.
c) Teori Akibat Teori ini didasarkan kepada akibat dari suatu tindak pidana. Menurut teori ini
bahwa yang dianggap sebagai waktu terjadinya Tindakan Pidana adalah saat dimana
akibat dari tindak pidana tersebut timbul.
d) Teori Waktu yang Jamak Teori ini merupakan gabungan dari teori perbuatan fisik dan teori
akibat
Pentingnya Tempus Delicti Mezger berpendapat bahwa untuk tempus delicti ini tidak mungkin
diadakan jawaban yang sama buat semua keperluan. Haruslah dibedakan menurut maksud
daripada peraturan. Pentingnya Tempus Delicti, yakni :
a) Untuk keperluan kadaluwarsa dan hak penuntutan yang perlu waktu perbuatan seluruhnya
terjadi, jadi pada waktu sesudah terjadinya akibat.
b) Untuk keperluan apakah aturan-aturan hukum pidana berlaku atau tidak, dan untuk
penentuan apakah mampu bertanggung jawab atau tidak, atau ada tidaknya perbuatan
bersifat melawan hukum (karena ada atau tidaknya izin dari yang berwajib).
c) Menentukan usia pelaku (Pasal 74 KUHP) dan usia korban untuk delik Susila (Pasal 287
Ayat 2 dan Pasal 290).
d) Keadaan jiwa pelaku (Pasal 44 KUHP).
e) Sebagai syarat mutlak sahnya surat dakwaan.
Pasal-Pasal Yang Berhubungan Dengan Berlakunya Tempus Delicti Tempus Delicti adalah
penting berhubungan dengan :
a) Pasal 1 KUHP : Apakah perbuatan yang bersangkut-paut pada waktu itu sudah dilarang
dan diancam dengan pidana? Mengenai Asas Legalitas yang diatur dalam Kitab Undang-
Undang Hukum Pidana (KUHP) yang berbunyi: “Suatu Perbuatan tidak dapat dipidana,
kecuali berdasarkan kekuatan ketentuan perundangundangan pidana yang telah ada.”
Bahwa hanya perbuatan yang disebut dengan tegas oleh peraturan perundangan sebagai
kejahatan atau pelanggaran, dapat dikenai hukuman (pidana). Asas ini 15 memberikan
jaminan kepada orang untuk tidak diperlakukan sewenang-wenang oleh alat penegak
hukum.
b) Berhubungan dengan Pasal 1 ayat (2) yang berbunyi dalam Kitab Undang-undang Hukum
Pidana (KUHP) merumuskan : “Bilamana ada perubahan dalam perundang-undangan
sesudah perbuatan dilakukan, maka terhadap terdakwa diterapkan ketentuan yang paling
menguntungkannya.”
c) Pasal 44 KUHP : Apakah terdakwa ketika itu mampu bertanggung jawab?
d) Pasal 45 KUHP : Apakah terdakwa ketika melakukan perbuatan sudah berumur 16 tahun
atau belum. Jikalau usianya belum berumur 16 tahun, maka boleh memilih anatar ketiga
kemungkinan:
• Mengembalikan anak tersebut kepada orang tuanya tanpa diberi pidana apapun,
• Menyerahkan anak tersebut keapada pemerintah untuk dimasukkan rumah pendidikan,
• Menjatuhi pidana seperti orang dewasa. Maksimum daripada pidana-pidana pokok dikurangi
1/4.
e) Pasal 79 (verjaring atau kedaluarsa). Dihitung mulai hari setelah perbuatan pidana terjadi. f)
Pasal 57 HIR. Diketahuinya kelakuan perbuatan dalam keadaan tertangkap tangan (op
heterdaad).
Hal-hal Yang Menentukan Terjadinya Delik Tempus
Delicti Rumusan delik sendiri menunjukkan kapan delik itu dilakukan seperti pencurian pada
waktu malam di sebuah atau pekarangan tertutup yang ada rumahnya (Pasal 363 ayat (1) ke-3
KUHP). Jika dilakukan bukan pada waktu malam atau antara matahari terbenam dan matahari
terbit, makan akan menjadi pencurian biasa (Pasal 362 KUHP). Tentulah penuntut umum harus
membuktikan kapan waktu terjadinya delik dan harus dapat membuktikannya. Ada lima hal
waktu yang menentukan terjadinya delik, yaitu:
a) Menyangkut berlakunya hukum pidana (Pasal I ayat (1) KUHP)
b) Berlakunya peradilan anak, apakah anak itu sudah dewasa pada saat melakukan delik
c) Menyangkut ketentuan residive (apakah pengulangan delik atau gabungan concursus)
delik
d) Menyangkut lewat waktu (verjaring)
e) Rumusan delik sendiri menentukan (pencurian pada wakti malam dan seterusnya;
pencurian pada waktu banjir, gempa, dan seterusnya).
Waktu terjadinya perbuatan pidana atau tempus delicti memiliki 4 (empat) arti penting, yaitu:
a) Apakah pada saat perbuatan itu terjadi, perbuatan tersebut telah dikualifikasikan sebagai
perbuatan pidana? Hal ini berkaitan erat dengan asas legalitas sebagaimana yang sudah
dijelaskan dalam Bab II tentang asas legalitas dan perbuatan pidana.
b) Apakah pada saat melakukan perbuatan pidana, terdakwa mampu atau tidak mampu
bertanggung jawab? Hal ini berkaitan dengan kemampuan bertanggung jawab seperti
yang telah dibahas dalam Bab III mengenai pertanggungjawaban pidana.
c) Apakah pada saat terjadinya perbuatan pidana, terdakwa telah cukup umur. Hal ini pada
dasarnya juga berbicara perihal kemampuan bertanggung jawab.
d) Terkait kedaluwarsa atau verjaring. Pada dasaranya kedaluwarsa dihitung mulai hari
setelah perbuatan pidana terjadi, akan tetapi ada beberapa kejahatan yang perhitungan
kedaluwarsanya tidak demikian. Berapa lama kedaluwarsa penuntutan pidana, tidak
terlepas dari maksimum ancaman pidana terhadap perbuatan pidana tersebut.
Penentuan waktu tewujudnya delik formil, yaitu yang terwujud dengan melakukan perbuatan
yang dilarang tanpa hal-hal sebagai berikut :
a) Mengenai pemalsuan atau perusakan mata uang,tenggang waktu mulai berlaku pada hari
sesudah barang yang di palsu atau mata uang yang dirusak digunakan oleh si pembuat.
b) Mengenai kejahatan tersebut dalam pasal 328, 329, 330 dan 333, tenggang waktu dimulai
pada hari sesudah orang langsung terkena oleh kejahatan dibebaskan atau meninggal dunia
TUGAS MAHASISWA (SOAL
ESSAY)
1. Jelaskan pendapat saudara tentang posisi Hukum Pidana didalam sistem hukum di
Indonesia?
2. Apakah menurut saudara hukum pidana yang saat ini berlaku di Indonesia sudah sesuai
dan ideal apabila dikaitkan dengan tujuan hukum secara umum yaitu menjamin rasa
keadilan dan kepastian hukum di Indonesia?
3. Apakah hukum pidana di Indonesia sama dengan hukum pidana di Amerika Serikat?
Jelaskan pendapat saudara?
4. Apakah hukum pidana di Indonesia sama dengan hukum pidana di Belanda?
5. Apabila ada perkara pembunuhan yang terjadi diatas kapal cargo yang sedang berlayar di
laut Afrika, dan kapal cargo ini milik pengusaha Surabaya dan berbendera Indonesia.
Hukum pidana apa yang didakwakan kepada tersangka yang diduga melakukan tindak
pidana tersebut?

Anda mungkin juga menyukai