Perkembangan Hukum Pidana dan Sumber Hukum Tidak Tertulis (Hukum Adat)
Dosen Pengajar:
Daddy Fahmanadie,S.H.,LL.M.
Disusun oleh:
NIM : 2010211220037
Kelas :C
TAHUN 2020
A.Perkembangan Hukum Pidana Di Indonesia
1. Zaman VOC
Tahun 1642, Joan Maetsuycker mantan Hof van Justitie di Batavia yang mendapat tugas dari Gubernur
Jenderal van Diemen merampungkan suatu himpunan plakat-plakat yang dinamakan Statuten van
Batavia, kemudian pada tahun 1650 himpunan ini disahkan oleh Heeren Zeventien. Menurut Utrecht,
hukum yang berlaku di daerah yang dikuasai oleh VOC, ialah :
1.hukum statue yang termuat di dalam Statuten Van Batavia
2.Hukum Belanda Kuno
3.Asas-Asas Hukum Romawi
Tetapi statue ini hanya teori saja karena pada peangplikasiannya para pribumi menggunakan hukum adat.
sejarah dari tahun 1811 sampai 1814 Indonesia pernah dibawah kepemimpinan Inggris. Berdasarkan
Konvensi London 13 Agustus 1814, maka bekas koloni Belanda dikembalikan kepada Belanda lagi. Dengan
Regerings Reglement 1815 dengan tambahan (Supletoire Instructie 23 September 1815)maka hukum dasar
colonial tercipta. Agar tidak terjadi kesenjangan peraturan, maka dikeluarkan proklamasi 19 Agustus 1816 ,
Stbl.1816 No. 5 yang mengatakan bahwa untuk sementara waktu semua peraturan bekas pemerintahan
Inggris tetap dipertahankan. Untuk orang pribumi hukum adat pidana masih diakui asalkan tidak
bertentangan dengan undang-undang dari pemerintah.
Kepada bangasa Indonesia ditetapkan pidana berupa kerja paksa di perkebunan yang didasarkan pada Stbl.
1828 No. 16, mereka dibagi atas dua golongan, yaitu:
Yang terdiri atas yang diberi upah dan yang tidak diberi upah[6]. Tetapi dalam prakteknya pidana kerja
paksa dikenakan dengan tiga cara:
KUHP yang berlaku bagi golongan Eropa tersebut pada dasarnya adalah salinan Code Penal yang berlaku di
Negeri Belanda tetapi berbeda dari sumbernya tersebut, yang berlaku di Indonesia terdiri atas 2 buku,
sedangkan Code Penal terdiri atas 4 buku. KUHP yang berlaku bagi golongan bumiputera juga saduran dari
KUHP yang berlaku bagi golongan Eropa, tetapi diberi sanksi yang lebih berat sampai pada KUHP 1918
pun, pidananya lebih berat daripada KUHP Belanda 1886. Oleh karena itu perlu ditinjau secara sekilas lintas
perkembangan kodifikasi di Negeri Belanda.
Pertama kali ada kodifikasi di bidang hukum pidana terjadi sejak adanya Crimineel Wetbook voor het
koninglijk Holland 1809. Kitab undang-undang 1809 memuat ciri modern di dalamnya, menurut vos, yakni:
Akan tetapi kodifikasi ini berumur singkat karena masuknya Code Penal Perancis ke Belandatahun
1811.Belanda terus berusaha untuk mengadakan perubahan juga usaha untuk menciptakan KUHP nasional,
tetapi tidak berhasil, kecuali perubahan sebagian.
Dengan KB tanggal 28 September 1870 duibentuklah panitia negara yang menyelesaikan rancangan pada
tahun 1875.Pada tahun 1879 Menteri Smidt mengirim rancangan tersebut ke Tweede Kamer. Diperdebatkan
dalam Staten Generaal dengan Menteri Moddermanyang sebelumnya adalah anggota panitia negara. Pada
tanggal 3 maret 1881 lahirlah KUHP Belanda yang baru dan berlaku mulai tanggal 1 september 1886.
Setelah KUHP baru muncul, barulah KUHP Hindia Belanda, yaitu 1866 dan 1872 yang banyak persamaan
dengan Code Penal Perancis diganti dan disesuaikan dengan KUHP baru,
Berdasarkan asas konkordansi KUHP Belanda harus diberlakukan pula di daerah jajahan seperti Hindia
Belanda. Semula direncanakan tetap ada dua KUHP, masing-masing untuk golongan Eropa dan Bumiputera.
Setelah selesai kedua rancangan tersebut Menteri jajahan Belanda Mr. Idenburg berpendapat sebaiknya
hanya ada satu KUHP di Hindia Belanda. Sesuai usul Mr. Idenburg maka dibentuklah komisi yang
menyelesaikan tugasnya tahun 1913dengan KB tanggal 15 oktober 1915 dan diundangkan pada September
1915nomor 732 lahirlah Wesboek van straftrecht voor Nederlandsch Indie untuk seluruh golongan penduduk
dan mulai berlaku tanggal 1 Januari 1918. Peralihan dari masa dualisme, yaitu dua macam WvKuntuk dua
golongan penduduk menurut Jonkers lebih bersifat formil daripada materiel.
WvSI tetap berlaku pada zaman pendudukan Jepang, hal ini didasarkan pada undang-undang (Osamu Serei)
No. 1 Tahun 1942 yang mulai berlaku tanggal 7 Maret 1942 sebagai peraturan peralihan Jawa Madura. Jadi
hanya pasal-pasal yang menyangkut pemerintah Belanda, misalnya penyebutan Raja/Ratu yang tidak berlaku
lagi. Peraturan ini juga dikeluarkan di daerah selain Jawa dan Madura.
Dibanding dengan hukum pidana materiel, maka hukum acara pidana lebih banyak berubah, karena terjadi
unifikasi acara dan susunan pengadilan. Ini diatur dalam Osamu Serei No.3 tahun 1942 tanggal 20
September 1942.
Zaman Kemerdekaan
Keadaan pada zaman pendudukan Jepang dipertahankan sesudah proklamasi kemedekaan. Pasal II Aturan
Peralihan UUD 1945 berlaku tanggal 18 Agustus 1945. Untuk memperkuat aturan peralihan tersebut, maka
Presiden mengeluarkan peraturan tanggal 10 Oktober 1945 yang dinamakan Peraturan No.2. Barulah dengan
UU no. 1 Tahun 1946 diadakan perubahan yang mendasar atas WvSI. Ditentukan dalam UU No.1 Tahun
1946 tersebut bahwa hukum pidana yang berlaku mulai tahun 1946 ialah hukum pidana yang berlaku tanggal
8 Maret 1942 dengan perubahan dan penambahan yang disesuakan dengan keadaan Negara Republik
Indonesia dengan nama Wetbook van Strafrecht voor NederlandschIndie diubah menjadi Wetbook van
Strafrecht yang dapat disebut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
Keinginan untuk mengadakan kodifikasi KUHP Nasional yang disusun oleh putera Indonesia sendiri yang
sumbernya digali dari bumi Indonesia dengan memperhatikan perkembnagan dunia modern di bidang hukum
pidana sudah lama dicetuskan.
Usaha nyata menuju tercapainya keinginan tersebut antara lain dapat dikemukakan usaha Basaruddin SH dan
Iskandar Situmorang SH yang menyusun Rancangan Buku I KUHP Tahun 1971 dan Buku II KUHP Tahun
1976. Kemudian sejak tahun 1979 telah dibentuk Tim Pengkajian Hukum Pidana, yang diberikan tugas
menyusun Rancangan KUHP baru oleh Pemerintah (Menteri Kehakiman dalam hal ini Badan Pembinaan
Hukum Nasional). Pada tahun ini disusunlah materi-materi yang diperlukan.
Tahun 1980-1981 mulailah disusun Rancangan Buku I yang antara lain juga memakai KUHP lamadan
Rancangan Basaruddin dab rekan sebagai bahan perbandingan. Tahun 1981-1982 konsep Rancangan Buku I
telah diselesaikan dalam arti masih kasar.
Pada Tahun 1982 diadakanlah Lokakarya di BABINKUMNAS membahas rancangan tersebut. Sesudah itu,
terus-menerus tim berkumpul untuk memperhalus rumusan Rancangan Buku I tersebut dan menyususn
Rancangan Buku II sampai Tahun 1985, dan pada tahun ini juga diadakan Lokakarya di tempata yang sama
guna membahas Buku II.
Pada Tahun 1986 diadakan Lokakarya Khusus mengenai sanksi pidana di tempat yang sama. Dan terakhir
Lokakarya mengenai delik komputer dan delik terhadap penyelenggaraan peradilan. Perbedaan yang
mencolok antara Rancangan dan KUHP (lama) ialah rancangan hanya terdiri atas dua buku sedangkan
KUHP (lama) yang sama dengan WvS Belanda terdiri atas tiga buku. Dengan sendirinya perbedaan antara
delik kejahatan dan delik pelanggaran di dalam Rancangan telah ditiadakan.
Diatas merupakan resume-an sekaligus sejarahnya setelah ini saya akan menampilkan perkembangan
hukum pidana menggunakan tabel dengan timeline.
TAHUN PENGGUNAAN
Dari sini kita bisa melihat sekaligus menelaah bahwa perkembangan hukum pidana di indonesia sudah
mengalami perubahan hingga ratusan tahun dulu meskipun KUHP yang sekarang kita pakai merupakan
‘warisan belanda’ saya rasa selagi masih berhubungan dan masih bisa di impelementasikan di hukum
indonesia sekarang kenapa tidak? Dari pada berfokus mengganti KUHP mengapa tidak berfokus
memperbaiki karakter orangnya yang sedikit-sedikit diringankan masa tahanannya.
Hukum Adat merupakan terjemahan dari istilah bahasa asing/Belanda yaitu Adat Recht yang
diketemukan oleh Snouck Horgronje dan kemudian dipopulerkan oleh C. Van Vollenhoven. Ternyata
istilah Hukum Adat yang merupakan terjemahan dari Adat Recht itu tidak dikenal dalam masyarakat,
dan masyarakat hanya mengenal atau memakai dan memahami pengertian adat dan hukum secara
terpisah sendiri. Kemudian adat apabila diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia berarti kebiasaan,
jadi secara sederhana istilah Adat Recht dapat diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dan
seyogyanya atau seharusnya menjadi hukum kebiasaan.
Van Dijk tidak sependapat untuk menggunakan istilah hukum kebiasaan sebagaimana terjemahan
dari Adat Recht untuk menggantikan Hukum Adat. Alasan dari Van Dijk dikemukakan sebagai
berikut : “ Tidaklah tepat menterjemahkan Adat Recht menjadi hukum kebiasaan untuk
menggantikan Hukum Adat, karena yang dimaksud dengan hukum kebiasaan adalah kompleks
peraturan-peraturan hukum yang tumbuh karena kebiasaan. Artinya karena telah demikian lamanya
orang tidak bisa bertingkah laku menurut suatu cara tertentu sehingga timbulah suatu peraturan
kelakuan yang diterima dan juga diinginkan oleh masyarakat, sedang apabila orang mencari sumber
yang nyata dari mana peraturan itu berasal maka hampir semestinya akan diketemukan oleh suatu alat
perlengkapan masyarakat tertentu dalam lingkungan besar atau kecil sebagai pangkalnya.” (Van
Dijk : 1960,5)
ADAT KEBIASAAN
Sampai saat ini masih banyak daerah-daerah dinindonesia menggunakan hukum adat karena bersifat
sakral dan menghargai leluhur. hukum adat dalam penerapannya dalam hukum nasional di Indonesia
sangat diperlukan terutama bagi hakim yang ketika memeriksa suatu perkara tidak menemukan
pengaturannya dalam hukum tertulis maka Hakim wajib menggali nilai-nilai yang hidup dan
berkembang di masyarakat guna memutus perkara. Selain itu nilai-nilai serta azas-azas yang
terkandung dalam hukum adat turut dijadikan sumber dalam pembuatan peraturan perundang-
undangan, mengingat hukum positif suatu negara harus menjiwai nilai-nilai bangsa itu sendiri
sehingga menurut penulis hukum adat memiliki peranan yang sangat penting dalam pembangunan
hukum nasional.
Daftar Pustaka