Anda di halaman 1dari 18

PERBANDINGAN

PELAKSANAAN
PIDANA PENJARA DI
INDONESIA DAN
NORWEGIA Dosen pengajar :

Dr. Hj. Rd. Dewi Asri Yustia S.H., M.H.


Tia Ludiana, S.H., M.H.

Disusun oleh:
Asep Iryana 181000246
Rahajeng Oktovione P.B. 181000237
Taufiq Muhamad 181000223
Khaerulnisa 181000234
Ulul Azmi 181000236
Yulista Sari Achdar 181000355
Uraian Singkat KUHP Belanda, Indonesia Dan Norwegia

KUHP Norwegia

KUHP Norwegia tahun 1902 yang mulai berlaku pada tahun 1905 dan telah mengalami beberapa perubahan sampai tahun 1961, menurut Johannes
Andenaes merupakan KUHP paling modern di Eropa pada saat diundangkannya. Ia merupakan hasil pertama ide-ide pembaharuan yang
dikemukakan oleh Internationale Kriminalistische Vereinigung (IKV) atau International Association for Criminology, karena rancangan KUHP ini
berasal dari suatu panitia yang diketahui oleh Prof. Bernhard Getz yang merupakan anggota aktif dari IKV. Menurut Marc Ancel, KUHP Norwegia
ini merupakan hasil pengaruh dari gerakan social defence yang merupakan perkembangan lebih lanjut dari aliran modern.

Namun bagaimanapun juga, KUHP Norwegia tidak menunjukkan sebagai program pembaharuan radikal. Hal ini tidak seperti RUU KUHP Italia
1921 atau RUU KUHP Swedia 1957 yang mengesampingkan RUU-RUU hukuman tradisional, kesalahan dan pertanggungjawaban pidana. Salah
satu ciri khas istimewa dari KUHP Norwegia ini adalah dikombinasikannya ide-ide baru dengan RUU-RUU tradisional. Selain itu juga didasarkan
pada hasil perbandingan hukum pidana.

Sistematika KUHP Norwegia terdiri dari tiga bagian. Bagian pertama merupakan Bagian Umum yang berisi ruang lingkup berlakunya KUHP
Norwegia, pidana dan tindakan koreksi (penal and correctional measures), pertahanan diri serta mempertahankan orang lain dan harta benda, mens
rea dan pertanggungjawaban pidana. Sedangkan bagian kedua memuat kejahatan (felonies) dan bagian ketiga memuat pelanggaran (misdemeanors).

Jenis pidana dan tindakan dalam KUHP Norwegia diatur dalam satu bab yaitu Bagian I Bab II dengan judul Penal and Correctional Measures
(Pidana dan Tindakan Koreksi) Pasal 15 sampai dengan Pasal 39. Hal demikian mirip dengan RUU KUHP yang mengatur pidana dan tindakan
dalam satu bab namun dalam bagian yang terpisah.
KUHP Indonesia
KUHP atau Kitab Undang-undang Hukum Pidana adalah peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai perbuatan
pidana secara materiil di Indonesia. KUHP yang sekarang diberlakukan adalah KUHP yang bersumber dari hukum kolonial
Belanda, yakni Wetboek van Strafrecht voor Nederlands-Indië. Pengesahannya dilakukan melalui Staatsblad Tahun 1915 nomor
732 dan mulai berlaku sejak tanggal 1 Januari 1918. Setelah kemerdekaan, KUHP tetap diberlakukan disertai penyelarasan kondisi
berupa pencabutan pasal-pasal yang tidak lagi relevan. Hal ini berdasarkan pada Ketentuan Peralihan Pasal II UUD 1945 yang
menyatakan bahwa: "Segala badan negara dan peraturan yang masih ada langsung diberlakukan selama belum diadakan yang baru
menurut Undang-Undang Dasar ini." Ketentuan tersebutlah yang kemudian menjadi dasar hukum pemberlakuan semua peraturan
perundang-undangan pada masa kolonial pada masa kemerdekaan.

Untuk menegaskan kembali pemberlakuan hukum pidana pada masa kolonial tersebut, pada tanggal 26 Februari 1946, pemerintah
kemudian mengeluarkan Undang-Undang Nomor 1 tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana. Undang-undang inilah yang
kemudian dijadikan dasar hukum perubahan Wetboek van Strafrecht voor Netherlands Indie menjadi Wetboek van
Strafrecht (WvS), yang kemudian dikenal dengan nama Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Meskipun demikian, dalam Pasal
XVII UU Nomor 1 Tahun 1946 juga terdapat ketentuan yang menyatakan bahwa: “Undang-undang ini mulai berlaku buat pulau
Jawa dan Madura pada hari diumumkannya dan buat daerah lain pada hari yang akan ditetapkan oleh Presiden.” Dengan
demikian, pemberlakuan Wetboek van Strafrecht voor Netherlands Indie menjadi Wetboek van Strafrecht hanya terbatas pada
wilayah jawa dan Madura. Pemberlakuan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana di seluruh wilayah Republik Indonesia baru
dilakukan pada tanggal 20 September 1958, dengan diundangkannya UU No. 73 Tahun 1958 tentang Menyatakan Berlakunya
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 Republik Indonesia tentang Peraturan Hukum Pidana Untuk Seluruh Wilayah Republik
Indonesia dan Mengubah Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Sebagaimana yang dinyatakan dalam Pasal 1 UU No. 7 Tahun
1958 yang berbunyi: “Undang-Undang No. 1 tahun 1946 Republik Indonesia tentang Peraturan Hukum Pidana dinyatakan berlaku
untuk seluruh wilayah Republik Indonesia.” Jadi, per tanggal 1 Januari 2013, KUHP tersebut sudah berlaku selama 95 (sembilan
puluh lima) tahun.
KUHP Belanda
KUHP Belanda 1886 sebagai induk dan sumber utama dari KUHP Indonesia saat ini merupakan kodifikasi hukum pidana yang
mengalami beberapa kali perubahan. Sejarah kodifikasi ini dimulai pada saat Napoleon Bonaparte dari Perancis menjajah wilayah
Netherland tahun 1795-1813. Pada tanggal 1 Februari 1808 diberlakukan sebuah kitab hukum pidana di negara Belanda dengan
nama Crimineel Wetboek voor het Koningrijk Holland (Penal Code for the Kingdom of Holland). KUHP ini tidak berlaku lama
karena tiga tahun kemudian, pada tanggal 1 Maret 1811, Kerajaan Belanda menggabungkan diri dengan Kekaisaran Perancis.
Mulai saat itu, KUHP Perancis 1810 diberlakukan juga di negara Belanda. Namun setelah Belanda memproklamirkan
kemerdekaannya dari koloni Perancis tahun 1813, dimulailah babak baru kodifikasi hukum pidana Belanda yang mandiri
walaupun masih berkiblat pada KUHP Perancis. Beberapa revisi dilakukan terhadap KUHP ini sampai tahun 1870.

Tahun 1827 RUU KUHP Belanda disusun dan didiskusikan di Parlemen. Namun RUU ini gagal disetujui karena kemiripannya
dengan KUHP Perancis dan KUHP Belanda 1809.

RUU KUHP Belanda kedua diajukan pada tahun 1839 di mana peran akademisi universitas di Belanda semakin besar, terutama
setelah A. E. J. Modderman yang pada tahun 1863 menyusun disertasinya dengan judul De Hervorming van onze Straftwetgeving
(The Reform of Our Criminal Legislation). Ide-idenya kemudian dituangkan ke dalam RUU KUHP Belanda saat dia memimpin
panitia pembentukan hukum pidana Belanda tahun 1870 sebagai cikal bakal KUHP Belanda 1886.

KUHP Belanda yang berlaku sekarang, mulai diberlakukan pada bulan September 1886 dan sempat mengalami beberapa
perubahan secara tambal sulam sampai tahun 1994. KUHP Belanda 1886 inilah yang dengan asas konkordansi diberlakukan di
Indonesia pada waktu Indonesia menjadi jajahan Belanda. Oleh karena itu tidak asing lagi banyak kemiripan antara KUHP
Belanda dan KUHP Indonesia jika keduanya dibandingkan.
Jenis Pidana Di Belanda, Indonesia Dan Norwegia

Menurut KUHP Norwegia jenis pidana dan ketentuan-ketentuannya diatur dalam Pasal 15-38. Pidana pokok (ordinary punishments) terdiri dari:
• pidana penjara (imprisonment)
• pidana jailing
• pidana denda (fine)

Dalam keadaan tertentu, hak-hak seseorang dapat dihapuskan. Hak-hak yang dihapuskan ini disebutkan dalam Pasal 29, yaitu:
• Hak untuk menduduki jabatan publik yang mana karena perbuatannya menyebabkan tidak mendapatkan keuntungan atau tidak bernilai (loss of
public office for which the convict, because of the offence, has proved himself unfit or unworthy).
• Hak untuk memegang jabatan atau ikut dalam pekerjaan tertentu yang karena perbuatannya mengakibatkan tidak mendapatkan keuntungan atau dia
mungkin akan menyalahgunakannya yang memerlukan kepercayaan publik tingkat tinggi selama lebih dari lima tahun atau selamanya (loss for a
definite period of up to five years, or forever, of the right to hold office or to pursue a certain occupation for the convict, because of his offense, has
proved to be unfit, or which he might misuse, or for which a high degree of public confidence is required).
Menurut KUHP Belanda, pidana diatur dalam Bab II Buku I Pasal 9-36. Pasal 9 menyebutkan bahwa sanksi
pidana terdiri atas pidana pokok (Pasal 9:1a) dan pidana tambahan (Pasal 9:1b). Pidana pokok (principal penalties)
terdiri dari:
• pidana penjara (imprisonment)
• pidana kurungan (detention)
• Pidana kerja sosial (community service)
• pidana denda (fine)
Adapun pidana tambahan (additional penalties) terdiri dari:
• pencabutan hak-hak tertentu (deprivation of specific rights)
• penempatan pada lembaga pendidikan negara (committal to a State workhouse)
• perampasan barang (forfeiture)

Pengumuman putusan hakim (publication of the judgement)


Dalam KUHP Norwegia yang terjemahan ke dalam bahasa Inggris oleh Harald Schjoldager, pidana pokok
perampasan kemerdekaan dibedakan menjadi imprisonment dan jailing. Imprisonment dipandang sebagai jenis
pidana yang lebih berat daripada jailing, namun kedua diancamkan terhadap tindak pidana kejahatan (felony) dan
pelanggaran (misdemeanor). Perbedaannya terletak pada jumlah lamanya pidana. Untuk kejahatan dapat dipidana
dengan imprisonment lebih dari tiga bulan atau jailing yang lebih dari enam bulan kecuali ditentukan lain.
Sedangkan untuk pelanggaran tidak demikian. Di samping itu, terdapat perbedaan dalam pelaksanannya. Untuk
kejahatan yang dijatuhi imprisonment dapat dikenakan “tutupan tersendiri” (solitary confinement), sedangkan
untuk jailing tidak dapat diterapkan. Pasal 22 KUHP Norwegia juga menetapkan bahwa two days of jailing
correspond to one day of imprisonment.
KUHP Belanda dan Indonesia hanya mengenal pidana penjara (imprisonment) dan tidak dikenal jailing, tetapi
keduanya mengenal kurungan (detention). Namun RUU KUHP Indonesia tidak lagi mengenal pidana kurungan.
Pidana pokok menurut RUU KUHP Indonesia dalam Pasal 65 terdiri dari:
• pidana penjara
• pidana tutupan
• pidana pengawasan
• pidana denda
• pidana kerja sosial
Pidana penjara (imprisonment) menurut Pasal 17 KUHP Norwegia dapat ditetapkan untuk jangka waktu 21 hari
sampai 15 tahun dan untuk kasus tertentu (Pasal 62) dijatuhkan sampai 20 tahun. Ini berarti minimum umum pidana
penjara menurut KUHP Norwegia adalah 21 hari dan maksimum umumnya 15 tahun, kecuali kasus tertentu yang
mencapai 20 tahun (maksimum khusus 20 tahun).
Pidana penjara dalam KUHP Belanda diatur dalam Pasal 10 seumur hidup atau penjara selama waktu tertentu.
Minimum umum pidana penjara adalah satu hari dan maksimum umumnya 15 tahun kecuali ditentukan lain yang
mencapai 20 tahun (maksimum khusus 20 tahun).
Hal ini sama dengan RUU KUHP Indonesia yang menetapkan minimum umum pidana penjara 1 hari. Sedangkan
maksimum umum dan maksimum khususnya sama, yaitu 15 tahun dan 20 tahun.
Pidana mati dan pidana penjara seumur hidup tidak dikenal lagi dalam KUHP Norwegia. Pidana mati terakhir di
Norwegia adalah pada tahun 1876 saat adanya kasus pengkhianatan terhadap negara. Namun demikian KUHP Militer
Norwegia tetap mempertahankan pidana mati bagi perbuatan-perbuatan pengkhianatan yang dilakukan selama perang
atau negara dalam keadaaan bahaya. Ini dapat juga diterapkan pada masyarakat sipil. Adapun pidana penjara seumur
hidup (life imprisonment) dihapus dari KUHP Norwegia pada bulan Juni 1981.
Pengaturan Pelaksanaan Pidana Penjara Di Indonesia

Pengaturan Pidana Penjara dalam KUHP Pasal 10 KUHP menetapkan jenis pidana yang diberlakukan di Indonesia terdiri atas:
1) Pidana pokok
• Pidana mati
• Pidana penjara
• Kurungan
• Denda
• Pidana tutupan
2) Pidana tambahan
• Pencabutan hak-hak tertentu
• Perampasan barang-barang tertentu
• Pengumuman putusan hakim

Pasal 10 KUHP mengurut jenis pidana yang diancamkan kepada pelaku delik diurut dari yang terberat sampai teringan. Perbedaan pidana pokok dan pidana
tambahan juga nampak jelas, bahwa: (1) pidana tambahan dapat ditambahkan pada pidana pokok dengan pengecualian perampasan barang-barang tertentu
diserahkan kepada negara; (2) pidana tambahan bersifat fakultatif, artinya apabila hakim yakin mengenai tindak pidana dan kesalahan terdakwa, maka
hakim tidak harus menjatuhkan pidana tambahan, kecuali untuk Pasal 250 bis dan Pasal 275 KUHP yang bersifat imperatif, yakni hakim harus menjatuhkan
pidana pokok bila tindak pidana kesalahan terdakwa terbukti. Akan tetapi dalam penerapannya, hakim boleh memilih salah satu dari pidana pokok dan
pidana tambahan.
Pengaturan Pidana Penjara dalam RKUHP
Tujuan pidana menurut RKUHP mengalami perubahan sebagaimana dicantumkan dalam Pasal 54 ayat (1) bahwa pemidanaan bertujuan untuk:
• Mencegah dilakukannya tindak pidana dengan mengegakkan norma hukum demi pengayoman masyarakat;
• Memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan sehingga menjadiorangyangbaikdanberguna;
• Menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana, memulihkan keseimbangan, dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat; dan
• Membebaskan rasa bersalah pada terpidana.

Pasal 54 ayat (2) menyebutkan bahwa pemidanaan tidak dimaksudkan untuk menderitakan dan merendahkan martabat manusia. Sejalan dengan Pasal 54
yang sangat memperhatikan hak-hak terpidana, pada pedoman pemidanaan pun disebutkan bahwa pemidanaan sebagaimana tercantum dalam rumusan
Pasal 55 ayat (1) wajib mempertimbangkan:
• Kesalahan pembuat tindak pidana;
• Motif dan tujuan melakukan tindak pidana;
• Sikap batin pembuat tindak pidana;
• Tindak pidana yang dilakukan apakah direncanakan atau tidak direncanakan;
• cara melakukan tindak pidana;
• Sikap dan tindakan pembuat sesuadah melakukan tindak pidana;
• Riwayat hidup, keadaan sosial, dan keadaan ekonomi pembuat tindak pidana;
• Pengaruh pidana terhadap masa depan pembuat tindak pidana;
• Pengaruh tindak pidana terhadap korban atau keluarga korban;
• Pemafaan dari korban dan/atau keluarganya; dan/atau
• Pandangan masyarakat terhadap tindak pidana yang dilakukan.
Kemudian dijelaskan pada Pasal 55 ayat (2) bahwa: Ringannya perbuatan, keadaan pribadi pembuat, atau keadaan pada waktu dilakukan
perbuatan atau yang terjadi kemudian, dapat dijadikan dasar pertimbangan untuk tidak menjatuhkan pidana atau mengenakan tindakan
dengan mempertimbangkan segi keadilan dan kemanusiaan. Konsep RKUHP masih menjadikan pidana penjara sebagai salah satu pidana
pokok yang diancamkan kepada pelaku kejahatan. Sebagaimana diatur dalam Pasal 65 sebagai berikut.

(1) Pidana Pokok terdiri atas:


• Pidana penjara;
• Pidana tutupan;
• Pidana pengawasan;
• Pidana denda; dan
• Pidana

(2) Urutan pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menentukan berat ringannya pidana Penjelasan pelaksanaan pidana penjara
tercantum pada Pasal 69-75. Pada Pasal 69 dijelaskan bahwa :
(1) Pidana penjara dijatuhkan untuk seumur hidup atau untuk waktu tertentu.
(2) Pidana penjara untuk waktu tertentu dijatuhkan paling lama 15 (lima belas) tahun berturut-turut atau paling singkat 1 (satu) hari,
kecuali ditentukan minimum khusus.
(3) Jika dapat dipilih antara pidana mati dan pidana penjara seumur hidup atau jika ada pemberatan pidana atas tindak pidana yang
dijatuhi pidana penjara 15 (lima belas) tahun maka pidana penjara untuk waktu tertentu dapat dijatuhkan untuk waktu 20 (dua puluh)
tahun berturut-turut.
(4) Dalam hal bagaimanapun pidana penjara untuk waktu tertentu tidak boleh dijatuhkan lenih dari 20 (dua puluh) tahun.

Dalam pokok Rancangan KUHP tidak lagi mengenal pidana kurungan, yang menurut pola KUHP biasanya diancamkan untuk tindak
pidana “Pelanggaran”. Jenis pidana tambahan dan tindakan di dalam konsep RKUHP mengalami perluasan, diantaranya adalah
dirumuskan secara eksplisit jenis pidana tambahan berupa “pemenuhan kewajiban adat”. Dirumuskannya jenis pidana adat, dimaksudkan
untuk menampung jenis sanksi adat atau sanksi menurut hukum tidak tertulis.
Pengaturan Pelaksanaan Pidana Penjara Di Norwegia
Hukuman Dan Tindakan pencegahan

Hukuman biasa adalah:


• penjara,
• penahanan,
• layanan masyarakat, dan
• denda.
Dalam kasus-kasus khusus, hilangnya hak-hak sipil sebagaimana ditentukan dalam bagian 29 dapat dikenakan.
Kehilangan hak sipil dapat dikenakan sebagai tambahan atau sebagai pengganti hukuman lain. Namun, hukuman tersebut tidak dapat diganti dengan
hukuman lain ketika hukuman kustodian minimal satu tahun ditentukan oleh undang-undang untuk tindakan tersebut.
Hukuman tambahan berikut dapat digabungkan dengan hukuman yang disebutkan di bagian 15:
Hilangnya hak sipil sebagaimana ditentukan dalam pasal 30 dan 31.
Larangan hadir di area tertentu (bagian 33).
Penjara dapat dijatuhkan:
untuk jangka waktu dari 14 hari sampai 15 tahun, atau dalam kasus yang ditangani dalam bagian 62 untuk jangka waktu tidak melebihi
20 tahun;
dalam hal ini disediakan secara khusus, untuk jangka waktu tidak lebih dari 21 tahun.
Ketentuan penjara apa pun dalam kode ini berarti penjara untuk jangka waktu terbatas kecuali dinyatakan lain secara tegas.
Seseorang yang dijatuhi hukuman penjara dapat dibebaskan dalam masa percobaan sesuai dengan ketentuan Undang-undang khusus (pasal 26).
Sanksi Hukuman Di Norwegia

Penjara tanpa syarat


Hukuman penjara tanpa syarat berarti hukuman tersebut harus dijalani di penjara. Siapa pun yang melanggar hukum yang berusia di bawah 18 tahun pada
saat melakukan pelanggaran hanya dapat dijatuhi hukuman penjara jika diperlukan.
Layanan Pemasyarakatan dapat membebaskan pelanggar dengan pembebasan bersyarat ketika dua pertiga dari hukuman (minimal 60 hari) telah
dijalani. Pembebasan bersyarat hanya diberikan jika layanan yakin bahwa pelaku tidak akan melakukan pelanggaran baru selama masa pembebasan
bersyarat.
Seberapa cepat hukuman harus dijalani bergantung pada daftar tunggu. Hukuman harus diberikan sedekat mungkin dengan rumah narapidana.

Hukuman yang ditangguhkan


Hukuman yang ditangguhkan berarti terdakwa menghindari penjara selama persyaratan tertentu terpenuhi. Bagian 35-37 dari KUHP memberikan perincian
tentang kondisi apa yang dapat ditetapkan oleh pengadilan untuk penangguhan hukuman, dan pada akhirnya hukuman itu akan berakhir sepenuhnya.

Kalimat akan berakhir jika persyaratan terpenuhi. Persyaratan bahwa terdakwa tidak boleh melakukan tindak pidana baru selama pembebasan bersyarat
selalu menjadi syarat. Pembebasan bersyarat biasanya dua tahun.
Kondisi lain bisa termasuk:
• konfrontasi korban dan memenuhi setiap pertemuan mediasi yang disepakati dengan korban
• tetap di tempat tertentu
• mengambil pendidikan
• menahan diri dari minum alkohol
Hukuman remaja
Remaja di bawah usia 18 tahun yang melakukan kejahatan baru dan berat harus menjalani proses 'penyembuhan' di
pengadilan. Prosesnya melibatkan keluarga dan teman-teman mereka sendiri, korban dan aparat pendukung dan hasilnya adalah sanksi
pidana khusus kasus.

Pengabdian masyarakat
Pengabdian masyarakat merupakan alternatif dari hukuman penjara. Terdakwa dihukum untuk melakukan pelayanan manfaat kepada
masyarakat, kegiatan atau program selama beberapa jam dalam jangka waktu tertentu. Layanan Pemasyarakatan memutuskan kapan
dan bagaimana hukuman akan dijatuhkan.
Layanan masyarakat digunakan khususnya untuk pelaku atau pelanggar muda dalam rehabilitasi narkoba / alkohol.
Jika pelaku melakukan tindak pidana baru atau gagal menyelesaikan pelayanan masyarakatnya, pengadilan dapat memutuskan bahwa
seluruh atau sebagian dari hukuman harus dijalani di penjara.

Denda
Denda dapat digunakan sebagai satu-satunya sanksi atau digabungkan dengan hukuman penjara. Jika pelaku hanya dihukum penjara,
keputusan tidak akan langsung berlaku. Oleh karena itu, denda hanya digunakan sesekali dan sehubungan dengan hukuman percobaan
untuk memberikan dampak yang lebih besar pada hukuman.
Besarnya denda harus diatur proporsional dengan tindak pidana yang dilakukan. Pertimbangan juga harus diberikan pada keadaan
keuangan pelaku. Pedoman pemberian denda tercantum dalam bagian 27 KUHP.
Denda dalam kasus mengemudi dalam keadaan mabuk pada prinsipnya selalu digunakan yang setara dengan 1½ kali gaji kotor bulanan
pelaku.

Penahanan preventif
Hukuman penahanan preventif diberikan jika hukuman penjara biasa tidak dianggap cukup untuk melindungi masyarakat dari pelaku.
Larangan penahanan preventif pada prinsipnya dapat berarti bahwa pelaku berisiko dipenjara selama sisa hidup mereka, karena
hukuman dapat diperpanjang selama lima tahun sekaligus. Pengadilan harus menetapkan jangka waktu dengan jangka waktu minimal
maksimal 21 tahun. Hukuman tersebut selanjutnya dapat diperpanjang melampaui batas maksimum resmi.
Kehilangan hak
Kehilangan hak berarti bahwa pelaku dilarang memegang kantor, menjalankan bisnis atau melakukan kegiatan di masa depan.
Kehilangan hak digunakan ketika pengadilan memutuskan bahwa tindak pidana menunjukkan bahwa pelanggar tidak layak untuk memegang atau dapat
menyalahgunakan kantor, bisnis atau aktivitas. Menjaga kepentingan publik juga harus diperlukan untuk menjustifikasi penggunaannya.

Sanksi pidana khusus


Pelanggar yang dianggap tidak bertanggung jawab atas tindakan mereka pada saat pelanggaran tidak dapat diberikan hukuman normal.
Menjadi 'tidak bertanggung jawab atas tindakan mereka' didefinisikan oleh bagian 20 dari KUHP (lovdata.no) sebagai berada dalam keadaan psikotik, tidak
sadar atau tidak seimbang secara mental saat melakukan tindak pidana.
Saat memutuskan apakah seseorang dapat dimintai pertanggungjawaban atas tindakannya, pengadilan menggunakan psikolog atau psikiater. Ini disebut
sebagai saksi ahli.

Perawatan kejiwaan wajib


Hukuman untuk dipindahkan ke perawatan psikiatri wajib berarti bahwa pelanggar dipindahkan ke layanan kesehatan spesialis. Dalam praktiknya, ini
berarti komitmen ke rumah sakit jiwa untuk pemeriksaan dan pengobatan gangguan jiwa. Tindakan ini digunakan jika terdakwa tidak bertanggung jawab
pada saat melakukan pelanggaran. Mungkin juga perlu melindungi masyarakat dari kejahatan baru yang serius.
Hukuman perawatan psikiatri wajib harus ditinjau oleh pengadilan setiap tiga tahun dan dapat berlangsung seumur hidup. Jika pelakunya setiap saat
dinyatakan sehat, dia bisa dibebaskan. Pelaku juga bisa dijatuhi hukuman untuk menjalani sisa hukumannya di penjara. Ini mensyaratkan bahwa salah satu
kondisi untuk risiko pelanggaran ulang terpenuhi.

Perawatan wajib
Seorang pelaku yang tidak dapat dihukum karena dia sangat tidak seimbang secara mental pada saat melakukan pelanggaran (tidak dapat
dipertanggungjawabkan) dapat melakukan perawatan wajib sebagai gantinya. Persyaratan dasar untuk pengobatan wajib adalah bahwa hal itu dianggap
perlu untuk melindungi masyarakat. Kondisi lainnya adalah adanya risiko langsung pelaku melakukan tindak pidana baru yang serius atau dapat
membahayakan nyawa, kesehatan atau kebebasan orang lain. Perawatan wajib harus diberikan di unit khusus di dalam layanan kesehatan khusus. Pelaku
dapat ditahan bertentangan dengan keinginan mereka dan dapat dipanggil kembali jika mereka gagal untuk mematuhi perintah, jika perlu dengan
paksa. Perawatan wajib hanya dapat dipertahankan selama ketentuan hukum tentang risiko pelanggaran ulang terpenuhi.
Perbandingan Penerapan Pidana Minimal Dalam KUHP Norwegia Dan Indonesia

Aturan Penerapan Pidana Minimal dalam KUHP Norwegia

Aturan penerapan pidana minimal dalam KUHP Norwegia terdapat di dalam aturan umum dan aturan khusus. Aturan penerapan dalam
KUHP Norwegia dapat dijumpai dalam Pasal 51, Pasal 55, Pasal 56, Pasal 57, Pasal 58, Pasal 59.

pidana minimal khusus dapat dikurangi atau dikenakan jenis pidana yang lebih ringan, apabila:
• Ada percobaan;
• Dilakukan oleh anak (di bawah 18 tahun);
• Untuk menyelamatkan seseorang atau harta seseorang;
• Karena kemarahan yang dapat dibenarkan (justifiable anger);
• Ada di bawah paksaan (compulsion);
• Ada dalam bahaya mendadak/segera (imminent danger);
• Kekurangsadaran yang sangat dan temporer yang tidak disebabkan karena mabuk yang dibuatnya sendiri;
• Keadaan tidak sadar akibat mabuk yang dibuatnya sendiri, kecuali ia sengaja memabukkan diri dengan maksud untuk melakukan
perbuatan itu;
• Ada kesesatan terhadap fakta;
• Keterlibatannya dalam penyertaan sangat kecil atau sangat bergantung pada orang lain (tidak bebas);
• Telah mencegah akibat yang timbul, telah memperbaiki kerugian, telah melaporkan diri, atau telah membuat pengakuan penuh.
Aturan Penerapan Pidana Minimum Khusus di dalam RUU KUHP Indonesia tahun 2015

Penentuan jumlah atau lamanya ancaman pidana tetap menganut sistem maksimum atau sistem indefinite sentence. Dengan demikian di samping adanya
minimum umum akan tetap dipertahankan adanya maksimum khusus untuk tiap tindak pidana. Namun ada perbedaan dari sistem yang selama ini
digunakan, yaitu dianutnya ancaman pidana minimum khusus yang selama ini tidak dikenal di dalam KUHP. Bertolak dari hasil Lokakarya bulan Februari
1986 yang dapat digunakan sebagai suatu prinsip bahwa hanya delik-delik yang dipandang sangat merugikan atau membahayakan masyarakat dan delik-
delik yang dikualifikasi atau diperberat oleh akibatnya (erfolgequalifiziierte delikte) yang sepatutnya diberi ancaman minimum. Sebagai ukuran kuantitatif
dapat digunakan patokan, bahwa delik-delik yang diancam dengan pidana penjara di atas 7 tahun sajalah yang dapat diberi ancaman minimum khusus.
Karena delik-delik itulah yang digolongkan “sangat serius”, dalam hal tertentu dapat diturunkan pada delik-delik yang tergolong “berat” (penjara 4 sampai
7 tahun).
Mengenai pedoman pemidanaan diatur di dalam Pasal 56 RUU KUHP Tahun 2015, yaitu :

Pasal 56
Dalam pemidanaan wajib dipertimbangkan:
• Kesalahan pembuat tindak pidana;
• Motif dan tujuan melakukan tindak pidana;
• Sikap batin pembuat tindak pidana;
• Tindak pidana yang dilakukan apakah direncanakan atau tidak direncanakan;
• Cara melakukan tindak pidana;
• Sikap dan tindakan pembuat sesudah melakukan tindak pidana;
• Riwayat hidup, keadaan sosial, dan keadaan ekonomi pembuat tindak pidana;
• Pengaruh pidana terhadap masa depan pembuat tindak pidana;
• Pengaruh tindak pidana terhadap korban atau keluarga korban;
• Pemaafan dari korban dan/atau keluarganya; dan/atau
• Pandangan masyarakat terhadap tindak pidana yang dilakukan
Ringannya perbuatan, keadaan pribadi pembuat, atau keadaan pada waktu dilakukan perbuatan atau yang terjadi kemudian, dapat dijadikan
dasar pertimbangan untuk tidak mejatuhkan pidana atau mengenakan tindakan dengan pertimbangan segi keadilan dan kemanusiaan.

Mengenai peringanan pidana, diatur di dalam Pasal 139 RUU KUHP Tahun 2015, yaitu: Pasal 139 Faktor yang memperingan pidana
meliputi:
• Percobaan melakukan tindak pidana;
• Pembantuan terjadinya tindak pidana;
• Penyerahan diri secara sukarela kepada yang berwajib setelah melakukan tindak pidana;
• Tindak pidana yang dilakukan oleh wanita hamil;
• Pemberian ganti kerugian yang layak atau perbaikan kerusakan secara sukarela sebagai akibat tindak pidana yang dilakukan;
• Tindak pidana yang dilakukan karena kegoncangan jiwa yang sangat hebat;
• Tindak pidana yang dilakukan oleh pembuat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40; atau
• Faktor lain yang bersumber dari hukum yang hidup dalam masyarakat.
SEKIAN,
TERIMA KASIH 

Anda mungkin juga menyukai