Anda di halaman 1dari 3

Rumusan Masalah beserta isinya

Bagaimana Prosedur Mendaftarkan Putusan Arbitrase di Pengadilan Negeri? Dan siapa yang
berhak mendaftarkan putusan arbitrase beserta syarat formilnya?

Prosedur Mendaftarkan Putusan Arbitrase di Pengadilan Negeri

Putusan arbitrase dilakukan secara sukarela. Namun jika tidak dilaksanakan, maka untuk melakukan
eksekusi dengan bantuan pengadilan, harus didaftarkan terlebih dahulu agar memiliki kekuatan
eksekutorial

Berdasarkan Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian
Sengketa (“UU Arbitrase”), suatu putusan arbitrase merupakan putusan yang bersifat final dan
mempunyai kekuatan hukum tetap dan mengikat para pihak (final and binding). Hal tersebut
menjadi salah satu karakteristik penyelesaian perkara melalui jalur arbitrase yang membedakannya
dengan penyelesaian melalui jalur litigasi pada umumnya.

Penyelesaian melalui jalur litigasi dapat memakan waktu yang relatif lebih lama, karena terdapat
upaya-upaya hukum yang dapat diambil oleh pihak yang kalah yang tidak sependapat dengan
putusan Majelis Hakim. Upaya hukum tersebut seperti banding ke Pengadilan Tinggi dan Kasasi serta
Peninjauan Kembali ke Mahkamah Agung.

Berbeda dengan putusan arbitrase, upaya hukum apapun tidak dimungkinkan karena sifat putusan
itu sendiri yang bersifat final dan langsung memiliki kekuatan hukum tetap sejak diputuskan oleh
arbiter atau majelis arbiter. Secara Prinsip, putusan tersebut dapat dilaksanakan secara sukarela.
Namun, apabila tidak dilaksanakan secara sukarela, maka dapat meminta bantuan pengadilan dalam
melaksanakan ekskusi. Hal ini mengingat, lembaga arbitrase hanyalah quasi pengadilan, sehingga
putusan arbitrase tidak memiliki kekuatan eksekutorial.

Namun terdapat ketentuan dalam UU Arbitrase yang mengharuskan suatu putusan arbitrase
tersebut diserahkan dan didaftarkan ke Panitera Pengadilan Negeri. Dalam Pasal 59 maupun bagian
penjelasan tidak dijelaskan pengadilan negeri mana yang berwenang untuk menerima pendaftaran
putusan arbitrase tersebut.

Namun jika merujuk kepada Pasal 1 butir 4 UU Arbitrase, putusan arbitrase tersebut didaftarkan ke
Panitera Pengadilan Negeri yang daerah hukumnya meliputi tempat tinggal termohon. Dalam hal ini
berarti pihak termohon dalam perkara arbitrase tersebut sebelumnya. Lain halnya terhadap suatu
putusan arbitrase internasional yang mana UU Arbitrase telah menentukan secara tegas terkait
masalah pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase internasional tersebut menjadi kewenangan
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.

Siapa yang berhak mendaftarkan putusan arbitrase?

Lalu muncul pertanyaan terkait pihak mana yang berwenang untuk mendaftarkan putusan arbitrase
tersebut? Apakah pihak Pemohon dalam perkara arbitrase atau pihak yang menang? Karena
mungkin saja pihak pemohon dalam perkara arbitrase tersebut merupakan pihak yang kalah atau
merupakan pihak yang tidak setuju dengan putusan majelis arbiter tersebut.

Jika hal tersebut terjadi maka terdapat kemungkinan bagi pemohon untuk tidak mendaftarkan
putusan arbitrase tersebut, karena dengan tidak didaftarkannya putusan tersebut maka putusan
arbitrase tersebut tidak dapat dieksekusi atau dilaksanakan.
Penyusun UU Arbitrase ini sepertinya telah mengakomodir kekhawatiran tersebut karena secara
jelas dan tegas dalam Pasal 59 disebutkan dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung
sejak tanggal putusan diucapkan, lembar asli atau salinan otentik putusan arbitrase diserahkan dan
didaftarkan oleh arbiter atau kuasanya kepada Panitera Pengadilan Negeri. Dengan demikian maka
pihak yang berwenang untuk melaporan dan mendaftarkan putusan arbitrase tersebut yaitu arbiter,
lembaga arbitrase atau kuasanya. Dalam hal arbitrase melalui BANI maka nantinya BANI-lah pihak
yang berkewajiban untuk mendaftarkan putusannya tersebut dalam kurun waktu paling lama 30 hari
sejak putusan dibacakan oleh Majelis Arbiter.

Bukti putusan tersebut didaftarkan oleh pihak yang berwenang dibuktikan dengan dilampirkannya
lembar asli surat pengangkatan sebagai arbiter atau salinan otentiknya bersamaan dengan putusan
arbitrase yang akan didaftarkan. Walaupun pendaftaran dilakukan oleh arbiter atau kuasanya namun
semua biaya yang menyangkut pendaftaran tersebut ditanggung oleh para pihak yang bersengketa.

Perhatikan syarat formil

Hal yang tidak diatur dalam UU Arbitrase dan menimbulkan pertanyaan yaitu mengenai teknis
pengajuan pendaftaran tersebut apakah permohonan diajukan secara tertulis atau lisan. Dengan
tidak adanya pengaturan untuk hal tersebut maka dapat diasumsikan perdaftaran dapat diajukan
secara tertulis ataupun lisan.

Panitera pengadilan yang menerima permohonan pendaftaran putusan arbitrase nantinya akan
memberikan catatan atau tandatangan pada bagian akhir atau pinggir putusan. Dengan telah
didaftarkannya putusan arbitrase, maka putusan tersebut bersifat autentik dan dapat dijalankan
sebagaimana putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap atau inkracht.

Pengaturan mengenai pendaftaran putusan arbitrase dalam kurun waktu 30 hari sebagaimana diatur
dalam Pasal 59 berlaku secara mutlak, karena dengan tidak dipenuhinya ketentuan tersebut
mengakibatkan putusan arbitrase tersebut tidak dapat dilaksanakan.

Bukti adanya catatan atau tandatangan pada bagian akhir atau pinggir putusan tersebut merupakan
bukti telah dilakukannya kewajiban untuk mendaftarkan dan putusan dapat dilaksanakan. Dengan
telah didaftarkannya putusan arbitrase tersebut maka pihak-pihak dalam perkara wajib untuk
melaksanakan putusan tersebut.

Dalam hal terdapat pihak-pihak yang tidak mau atau enggan untuk melaksanakan putusan arbitrase
tersebut secara sukarela, maka atas dasar permohonan eksekusi dari salah satu pihak Ketua
Pengadilan Negeri dapat memberikan perintah untuk melaksanakan putusan tersebut. Ketua
Pengadilan Negeri sebelum memberikan perintah pelaksanaan putusan akan memeriksa apakah
putusan tersebut telah memenuhi persyaratan formil suatu perkara diperiksa melalui arbitrase
sebagaimana diatur dalam Pasal 4 dan Pasal 5 UU Arbitrase serta tidak bertentangan dengan
kesusilaan dan ketertiban umum.

Persyaratan formil dimaksud yaitu sengketa yang terjadi dalam bidang perdagangan dan terdapat
kesepakatan antar para pihak untuk menyelesaikan segala permasalahan melalui jalur arbitrase.
Tindakan pihak Ketua Pengadilan yang hanya memeriksa dari segi formil dan tidak memeriksa alasan
serta pertimbangan hukum dalam putusan tersebut, menunjukkan sifat kemandirian lembaga
arbitrase yang tidak dapat dicampuri oleh lembaga peradilan lain. Hal ini merupakan perlindungan
dan jaminan yang diberikan oleh undang-undang agar putusan arbitrase tetap bersifat mandiri, final
dan mengikat.
https://bplawyers.co.id/2016/07/12/prosedur-mendaftarkan-putusan-arbitrase-di-pengadilan-
negeri/

Anda mungkin juga menyukai