Anda di halaman 1dari 19

Aspek Hukum Lembaga Keuangan dan 

Pembiayaan
Diposkan pada 1 Oktober 2019

1. Pengertian

Ada 2 (dua) istilah yang digunakan, yaitu Lembaga Keuangan dan Lembaga Pembiayaan.
Istilah Lembaga Keuangan (Financial Institution) adalah badan usaha yang mempunyai
kekayaan dalam bentuk aset keuangan (financial assets). Kekayaan berupa aset keuangan ini
digunakan untuk menjalankan usaha di bidang jasa keuangan, baik penyediaan dana untuk
membiayai usaha produktif dan kebutuhan konsumtif, maupun jasa keuangan bukan
pembiayaan. Jadi, dalam kegiatan usahanya Lembaga Keuangan lebih menekankan pada
fungsi keuangan, yaitu jasa keuangan pembiayaan dan jasa keuangan bukan pembiayaan.

Istilah Lembaga Pembiayaan (Financing Institution) adalah badan usaha yang melakukan
kegiatan pembiayaan dalam bentuk penyediaan dana atau barang modal dengan tidak menarik
dana secara langsung dari masyarakat. Dalam kegiatan usahanya, Lembaga Pembiayaan lebih
menekankan pada fungsi pembiayaan. Dengan demikian, istilah Lembaga Pembiayaan lebih
sempit pengertiannya dibandingkan dengan istilah Lembaga Keuangan. Lembaga Pembiayaan
adalah bagian dari Lembaga Keuangan.

Istilah Lembaga keuangan lebih luas lingkupnya jika dibandingkan dengan istilah Lembaga
Pembiayaan. Istilah Lembaga Keuangan meliputi :

1. Badan usaha yang mempunyai kekayaan dalam bentuk aset keuangan yang
disediakan untuk menjalankan usaha di bidang jasa keuangan termasuk juga
pembiayaan.
2. Badan usaha yang hanya menjalankan usaha di bidang jasa pembiayaan,
menyediakan dana atau barang modal tanpa menarik dana secara langsung dari
masyarakat.

Objek kajian mengenai Lembaga Keuangan meliputi 2 (dua) hal tersebut, baik jenis bentuk
hukumnya maupun jenis kegiatan usahannya. Jika menyebut Lembaga Keuangan, pasti yang
dimaksud adalah badan usaha yang mempunyai aset dalam bentuk keuangan, dengan asetnya
itu badan tersebut berfungsi menjalankan usaha di bidang jasa keuangan termasuk juga
pembiayaan.

2. Klasifikasi Lembaga Keuangan

Secara garis besar, Lembaga Keuangan dapat diklasifikasikan menjadi 3 (tiga) kelompok besar,
yaitu Lembaga Keuangan Bank, Lembaga Keuangan Bukan Bank, dan Lembaga Pembiayaan.

1. Lembaga Keuangan Bank

Lembaga Keuangan Bank (Bank Financial Institution) adalah badan usaha yang melakukan
kegiatan di bidang keuangan dengan menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk
simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk pinjaman. Lembaga
Keuangan Bank diatur dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992  juncto Undang-Undang
Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang
Bank Indonesia. Lembaga Keuangan Bank diklasifikasikan lagi menjadi :

1. Bank Indonesia
2. Bank Umum
3. Bank Perkreditan Rakyat (BPR)
4. Lembaga Keuangan Bukan Bank

Lembaga Keuangan Bukan Bank (Nonbank Financial Institution) adalah badan usaha yang
melakukan kegiatan di bidang keuangan yang secara langsung atau tidak langsung
menghimpun dana dengan jalan mengeluarkan surat berharga dan menyalurkannya  ke dalam
masyarakat guna membiayai investasi perusahaan. Lembaga Keuangan Bukan Bank diatur
dengan masing-masing bidang usaha jasa keuangan bukan Bank. Lembaga Keuangan Bukan
Bank diklasifikasikan lagi menjadi :

1. Asuransi (Insurance)
2. Pengadaian (Pawnshop)
3. Dana Pensiun (Pension Fund)
4. Reksa Dana (Investment Fund)
5. Bursa Efek (Stock Exchange)
6. Lembaga Pembiayaan

Lembaga Pembiayaan (Financing Institution) adalah badan usaha yang melakukan kegiatan
pembiayaan dalam bentuk penyediaan dana atau barang modal dengan tidak menarik dana
secara langsung dari masyarakat. Kegiatan Lembaga Pembiayaan dapat dilakukan oleh
perusahaan pembiayaan. Perusahaan pembiayaan adalah badan usaha di luar Bank dan di luar
Lembaga Keuangan Bukan Bank yang khusus didirikan untuk melakukan kegiatan yang
termasuk dalam bidang usaha Lembaga Pembiayaan.

Lembaga Pembiayaan meliputi bidang usaha yang dijalankan oleh perusahaan pembiayaan
berikut ini :

1. Sewa Guna Usaha (Leasing)


2. Modal Ventura (Ventura Capital)
3. Perdagangan Surat Berharga (Securitas Trade)
4. Anjak Piutang (Factoring)
5. Usaha Kartu Kredit (Credit Card)
6. Pembiayaan Konsumen (Consumers Finance)

Klasifikasi ini penting untuk mengkaji Lembaga Keuangan dari segi hukum. Kajian dari segi
hukum dimulai dari kegiatan identifikasi dan inventarisasi peraturan perundang-undangan yang
mengatur setiap usaha yang termasuk dalam lingkup Lembaga Keuangan Bank dan Lembaga
Keuangan Bukan Bank. Sehingga dapat diketahui apakah setiap usaha bidang jasa keuangan
yang termasuk dalam lingkup klasifikasi tersebut sudah diatur dengan peraturan perundang-
undangan atau belum ?. Di samping itu, akan diketahui juga struktur peraturan perundang-
undangan yang mengaturnya dari tingkat undang-undang sampai tingkat Keputusan Menteri.

3. Bentuk Hukum Lembaga Keuangan


Dalam Pasal 21 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992  juncto Pasal 21 ayat (1) Undang-
Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan ditentukan bahwa bentuk hukum Lembaga
Keuangan Bank dapat berupa Perseroan Terbatas, Koperasi, atau Perusahaan Daerah.

Sedangkan dalam Pasal 3 ayat (2) Keputusan Presiden Nomor 61 Tahun 1988 tentang
Lembaga Pembiayaan ditentukan , Perusahaan Pembiayaan harus berbentuk Perseroan
Terbatas atau Koperasi.

Berarti semua Perusahaan Pembiayaan harus badan hukum, terutama yang berbentuk
Perseroan Terbatas. Perusahaan pembiayaan yang dimaksud adalah Perusahaan Sewa Guna
Usaha, Modal Ventura, Perdagangan Surat Berharga, Anjak Piutang, Usaha Kartu Kredit, dan
Pembiayaan Konsumen.

Dalam Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian
ditentukan, usaha perasuransian hanya dapat dilakukan oleh badan hukum berbentuk
Perusahaan Perseroan (Persero), Perseroan Terbatas, atau Koperasi. Perusahaan Pengadaian
adalah badan usaha milik negara yang dibentuk dengan peraturan pemerintah. Setiap Badan
Usaha Milik Negara adalah badan hukum, yang ditetapkan dalam peraturan pemerintah yang
membentuknya. Perusahaan Pengadaian berbentuk Perusahaan Umum (Perum). Undang-
Undang Nomor 11 Tahun 1992 tentang Dana Pensiun menentukan, Dana Pensiun adalah
hukum yang mengelola dan menjalankan program yang menjanjikan manfaat pensiun.

Dalam Pasal 6 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal ditentukan,
yang dapat menyelenggarakan kegiatan usaha sebagai Bursa Efek adalah Perseroan yang
telah memperoleh izin usaha dari Badan Pengawas Pasar Modal (Bapepam). Berarti bahwa
setiap Bursa Efek harus badan hukum yang berbentuk Perseroan Terbatas. Demikian juga
dengan Reksa Dana, dalam Pasal 18 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 ditentukan, Reksa
Dana dapat berbentuk Perseroan atau Kontrak Investasi Kolektif. Artinya yang dapat
menjalankan Reksa Dana Perseroan yang telah memperoleh izin usaha dari Bapepam.

 Lembaga Keuangan Bank

1. Bank Indonesia

Status Bank Indonesia (BI) diatur dalam Pasal 4 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999,
bahwa BI mempunyai 3 (tiga) macam status, yaitu sebagai Bank Sentral, lembaga negara
independen, dan badan hukum publik.

Modal BI diatur dalam Pasal 6 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999, bahwa modal BI
ditetapkan berjumlah sekurang-kurangnya Rp. 2.000.000.000.000,- (dua triliun rupiah). Modal
tersebut berasal dari kekayaan negara yang terpisahkan, yang merupakan penjumlahan dari
modal, cadangan umum, cadangan tujuan, dan bagian dari laba yang belum dibagi menurut
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Sentral.

Tujuan dan tugas BI diatur dalam Pasal 7, 8, 9 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999. Tujuan
BI adalah mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah terhadap barang dan jasa serta
terhadap mata uang asing. Tugas BI adalah menetapkan dan melaksanakan moneter,
mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran, mengatur dan mengawasi Bank.
Dalam melaksanakan tugasnya, BI dipimpim oleh Dewan Gubernur yang terdiri dari : seorang
Gubernur, seorang Deputi Gubernur Senior dan sekurang-kurangnya 4 (empat) orang atau
sebanyak-banyaknya 7 (tujuh) orang Deputi Gubernur.

2. Bank Umum

Menurut ketentuan Pasal 1 angka (3) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998, Bank Umum
adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional dan atau Prinsip Syariah
yang kegiatannya memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran.

Dalam Pasal 21 ayat (1) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998, bentuk hukum suatu Bank
Umum dapat berupa Perseroan Terbatas, Koperasi, atau Perusahaan Daerah.

Berdasarkan Pasal 2 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1998, dikatakan bahwa
untuk mendirikan Bank Umum dan juga Bank Campuran, modal disetor sekurang-kurangnya
Rp. 3.000.000.000.000,- (tiga triliun rupiah).

Izin usaha Bank Umum diatur dalam Pasal 16 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998, yang
menentukan bahwa setiap pihak yang melakukan kegiatan menghimpun dana dari masyarakat
dalam bentuk simpanan wajib terlebih dahulu memperoleh izin usaha sebagai Bank Umum atau
Bank Perkreditan Rakyat dari Pimpinan Bank Indonesia, kecuali apabila kegiatan menghimpun
dana dari masyarakat dimaksud diatur dengan undang-undang tersendiri.

3. Bank Perkreditan Rakyat

Dalam Pasal 1 angka (4) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 ditentukan, Bank Perkreditan
Rakyat adalah Bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional atau
berdasarkan Prinsip Syariah yang kegiatannya tidak memberikan jasa dalam lalu lintas
pembayaran.

Bentuk hukum suatu Bank Perkreditan Rakyat diatur dalam Pasal 21 ayat (2) Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1992, dapat berupa salah satu dari Perusahaan Daerah, Koperasi, Perseroan
Terbatas, atau bentuk lain yang ditetapkan dengan peraturan pemerintah.

Bentuk-bentuk lain tersebut adalah bentuk yang bukan badan hukum, sebagaimana dalam
Pasal 58 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992, antara lain Bank Desa, Bank Pasar, Bank
Kredit Desa, Bank Karya Produksi Desa, Lumbung Desa.

Untuk mendirikan Bank Perkreditan Rakyat diatur dalam Pasal 3 Peraturan Pemerintah Nomor
71 Tahun 1992 tentang Bank Perkreditan Rakyat, ditetapkan modal setor sekurang-kurangnya
Rp. 50.000.000,- (lima puluh juta).

Pengaturan izin usaha Bank Perkreditan Rakyat sama dengan pengaturan izin usaha Bank
Umum. Hal ini diatur dalam Pasal 16 ayat (1) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998,
menentukan bahwa setiap pihak yang melakukan kegiatan menghimpun dana dari masyarakat
dalam bentuk simpanan wajib terlebih dahulu memperoleh izin usaha sebagai Bank Umum atau
Bank Perkreditan Rakyat dari Pimpinan Bank Indonesia, kecuali apabila kegiatan menghimpun
dana dari masyarakat dimaksud diatur dengan undang-undang tersendiri.

Prinsip Syariah diatur dalam Pasal 1 angka (13) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998,
menentukan bahwa Prinsip Syariah adalah aturan perjanjian berdasarkan hukum Islam antara
Bank dan pihak lain untuk penyimpanan dana dan atau pembiayaan kegiatan usaha, atau
kegiatan lainnya yang dinyatakan sesuai dengan Syariah, antara lain :

 Pembiayaan berdasarkan prinsip bagi hasil (mudharabah);


 Pembiayaan berdasarkan prinsip penyertaan modal (musharakah);
 Prinsip jual beli barang dengan memperoleh keuntungan (murabahah);
 Pembiayaan barang modal berdasarkan prinsip sewa murni tanpa pilihan
(ijarah);
 Atau dengan adanya pilihan pemindahan kepemilikan atas barang yang disewa
dari pihak Bank oleh pihak lain (ijarah wa iqtina)

 Lembaga keuangan Bukan Bank


 Asuransi (Insurance)

Asuransi berasal dari istilah assurantie atau verzekering (Belanda) dan assurance (Inggris). Di


kalangan perguruan tinggi hukum, istilah-istilah itu dikenal dengan “pertanggungan” (Hukum
Pertanggungan / Asuransi). Oleh kalangan dunia usaha digunakan istilah “asuransi”.

Asuransi atau pertanggungan, menurut ketentuan Pasal 246 KUHD dinyatakan, Pertanggungan
adalah perjanjian dengan mana Penanggung mengikatkan diri kepada Tertanggung dengan
menerima Premi, untuk memberikan penggantian kepadanya karena kerugian, kerusakan, atau
kehilangan keuntungan yang diharapkan yang mungkin dideritanya akibat suatu peristiwa yang
tidak pasti (evenemen).

Rumusan pasal KUHD ini lebih menekankan pada asuransi kerugian, tidak termasuk asuransi
jiwa dan asuransi sosial.

Dalam Pasal 1 angka (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian,
asuransi didefinisikan sebagai berikut :

“Asuransi atau pertanggungan adalah perjanjian antara 2 (dua) pihak atau lebih dengan mana
Penanggung mengikatkan diri kepada Tertanggung dengan menerima premi asuransi, untuk
memberikan penggantian kepada Tertanggung karena kerugian, kerusakan, atau kehilangan
keuntungan yang diharapkan, atau tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga yang mungkin
akan diderita Tertanggung yang timbul dari suatu peristiwa yang tidak pasti, atau untuk
memberikan suatu pembayaran yang didasarkan atas meninggal atau hidupnya seseorang
yang dipertanggungkan”.

Rumusan Pasal 1 angka (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 ternyata ditemukan definisi
asuransi yang lebih luas ruang lingkupnya, yaitu meliputi :
1. Asuransi Kerugian (Loss Insurance), yaitu perlindungan terhadap harta kekayaan
seseorang atau badan hukum, yang meliputi benda asuransi, risiko yang
ditanggung, premi asuransi, ganti kerugian.
2. Asuransi Jiwa (Life Insurance), yaitu perlindungan terhadap keselamatan
seseorang, yang meliputi jiwa seseorang, risiko yang ditanggung, premi
asuransi, dan santunan sejumlah uang dalam hal terjadi evenemen, atau
pengembalian (refund) bila asuransi jiwa berakhir tanpa terjadi evenemen.
3. Asuransi Sosial (Soscial Security Insurance), yaitu perlindungan terhadap
keselamatan seseorang, yang meliputi jiwa dan raga seseorang yang
ditanggung, iuran asuransi, dan santunan sejumlah uang dalam hal
terjadi evenemen.

Berdasarkan ketentuan undang-undang yang mengaturnya dan praktek usaha asuransi yang
berkembang, jenis asuransi dapat diklasifikasikan menurut berbagai kriteria :

1. Sifat Perikatannya :
2. Asuransi Sukarela (voluntary), yaitu asuransi yang diadakan antara Tertanggung
dan Penanggung berdasarkan perjanjian yang diadakan secara sukarela.
Misalnya, Asuransi Kerugian (Asuransi Kebakaran, Kendaraan Bermotor,
Pengangkutan Barang) dan Asuransi Jiwa (Asuransi Kecelakaan Diri, Jiwa
Berjangka, Jiwa Seumur Hidup).
3. Asuransi Wajib (compulsary), yaitu asuransi yang diadakan berdasarkan
ketentuan undang-undang yang wajib dilaksanakan oleh Tertanggung dan
Penanggung. Misal, Asuransi Sosial (Astek, Askes, Askep, Askel, dan Taspen)
4. Jenis Risikonya :
5. Asuransi Risiko Perserorangan (personal lines), yaitu asuransi yang bergerak di
bidang perlindungan terhadap milik individu, risiko pribadi dari ancaman bahaya
atau peristiwa tidak pasti, misalnya rumah pribadi.
6. Asuransi Risiko Usaha (commercial lines), yaitu asuransi yang bergerak di
bidang perlindungan terhadap usaha dari ancaman bahaya atau peristiwa tidak
pasti yang berkaitan dengan risiko usaha yang mungkin dihadapi, misalnya
armada angkutan, gedung pertokoan, pabrik.

Dalam praktik perasuransian, kedua jenis asuransi tersebut sering disebut personal auto,
commercial auto, commercial property.

 Jenis Usahanya :
 Asuransi Kerugian (Loss Insurance), yaitu asuransi yang khusus bergerak di
bidang jasa perlindungan terhadap harta kekayaan dari ancaman bahaya atau
peristiwa tidak pasti. Misalnya, asuransi kebakaran, tanggung gugat,
pengangkutan barang, kendaraan bermotor, kredit.
 Asuransi Jiwa (Life Insurance), yaitu asuransi yang khusus bergerak di bidang
jasa perlindungan terhadap keselamatan jiwa seseorang dari ancaman bahaya
kematian. Misalnya, asuransi kecelakaan diri, jiwa berjangka, jiwa seumur hidup
(whole life insurance).
 Reansuransi (Reinsurance), yaitu asuransi ulang terhadap risiko yang dihadapi
oleh Perusahaan Asuransi Kerugian atau Perusahaan Asuransi Jiwa. Pada
reasuransi, Penanggung mengasuransikan ulang risiko kepada Penanggung
lain, dengan prinsip spreading of risk principle : sebagian risiko yang ditutupi itu
akan ditanggung sendiri dan sebagian lainnya dibebankan pada Perusahaan
Asuransi lain yang ikut menanggung.
 Asuransi Sosial (Soscial Security Insurance), yaitu asuransi yang bergerak di
bidang  jasa perlindungan terhadap kesalamatan jiwa dan raga masyarakat
umum dari ancaman bahaya kecelakaan lalu lintas, kecelakaan kerja, penyakit,
berkurangnya pendapatan karena pensiun, berkurangnya kemampuan kerja
karena usia lanjut. Misalnya, Astek, Askes, Askep, Askel, dan Taspen

Asuransi merupakan bentuk kegiatan ekonomi di bidang usaha perlindungan harta kekayaan
atau jiwa dan/atau raga dari ancaman bahaya atau peristiwa tidak pasti, yang bersumber dari
ketentuan hukum, baik perjanjian maupun perundang-undangan. Perjanjian adalah sumber
utama asuransi dari segi Hukum Perdata, sedangkan perundang-undangan adalah sumber
utama asuransi dari segi hukum publik.

Segi Hukum Asuransi tersebut dapat dijabarkan sebagai berikut :

1. Segi Hukum Perdata


2. Asas Kebebasan Berkontrak

Hubungan hukum asuransi selalu dibuat tertulis dalam bentuk akta yang disebut “polis”. Polis
tersebut dibuat berdasarkan asas kebebasan berkontrak.

 Perjanjian asuransi adalah perjanjian bilateral antara pihak Tertanggung dan pihak
Penanggung. Sebelum terjadi persetujuan/kesepakatan, calon Tertanggung mempelajari labih
dahulu syarat-syarat yang berlaku pada asuransi. Kemudian disusul dengan negosiasi antara
calon Tertanggung dan Penanggung.

Apabila syarat-syarat asuransi disetujui, maka pihak Penanggung membuatkan nota penutupan
asuransi (covernote) yang ditanda-tangani oleh kedua pihak, sebagai bukti telah terjadi
kesepakatan mengenai syarat-syarat asuransi.

Atas dasar nota penutupan tersebut, dibuatlah perjanjian dalam bentuk akta yang disebut polis
yang ditada-tangani oleh Penanggung dan Tertanggung (Pasal 255 KUHD), dan polis harus
diserahkan kepada Tertanggung dalam waktu 24 (dua puluh empat) jam setelah terjadi
kesepakatan (Pasal 259 KUHD)

Polis asuransi merupakan dokumen hukum utama (main legal document) yang dibuat secara
sah memenuhi syarat-syarat yang ditetapkan Pasal 1320 KUH Perdata dan Pasal 251 KUHD.
Akibat hukum asuransi yang dibuat yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang
bagi Tertanggung dan Penanggung (Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata). Polis asuransi
berfungsi sebagai dokumen bukti yang sah, melengkapi dan memperkaya hukum perdata
tertulis.

 Undang-Undang Bidang Hukum Perdata

Perjanjian asuransi sebagai salah satu bentuk perjanjian khusus yang diatur dalam KUHD dan
juga tunduk pada ketentuan Buku III KUH Perdata. Agar perjanjian asuransi sah menurut
undang-undang, maka disamping harus memenuhi syarat-syarat Pasal 1320 KUH Perdata, juga
harus memenuhi syarat pemberitahuan Pasal 251 KUHD. Apabila syarat Pasal 251 KUHD tidak
dipenuhi, asuransi batal (void).

Berdasarkan ketentuan Pasal 1320 KUH Perdata dan Pasal 251 KUHD, maka perjanjian
asuransi sah menurut undang-undang apabila memenuhi adanya syarat-syarat berikut :

 Persetujuan Tertanggung dan Penanggung


 Kewenangan Melakukan Perbuatan Hukum
 Objek Tertentu Asuransi
 Kausa yang Halal
 Pemberitahuan (Notification)
 Pembuktian Terjadi Persetujuan

Untuk membuktikan bahwa telah terjadi persetujuan/kesepakatan antara Tertanggung dan


Penanggung, KUHD mengharuskan pembuktian dengan alat bukti tertulis berupa “akta / polis
asuransi” (Pasal 258 ayat (1) KUHD).

 Segi Perdata di Luar KUHD

Selain dari ketentuan asuransi dalam KUHD, ada juga ketentuan-ketentuan dalam berbagai
undang-undang yang mengatur segi perdata perjanjian asuransi, antara lain :

1. Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1969 tentang Badan Usaha Milik Negara dan
peraturan pelaksanaannya. Berlakunya undang-undang ini apabila Perusahaan
Asuransi adalah Perusahaan Perseroan (Persero).
2. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas dan
peraturan pelaksanaannya. Berlakunya undang-undang ini apabila Perusahaan
Asuransi adalah Perseroan Terbatas (PT).
3. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok
Agraria dan peraturan pelaksanaannya. Berlakunya undang-undang ini apabila
Perusahaan Asuransi berurusan dengan hak-hak atas tanah.
4. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
Berlakunya undang-undang ini apabila Perusahaan Asuransi melanggar
kewajiban dan larangan yang secara perdata merugikan Tertanggung
(konsumen).
5. Segi Hukum Publik
6. Perundang-undangan Asuransi
7. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1999 juncto Peraturan Pemerintah Nomor 73
Tahun 1993 tentang Penyelenggaraan Usaha Perasuransian.
8. Undang-Undang Nomor 33 Tahun 1964 juncto Peraturan Pemerintah Nomor 17
Tahun 1965 tentang Dana Pertangungan Wajib Kecelakaan Penumpang.
9. Undang-Undang Nomor 34 Tahun 1964 juncto Peraturan Pemerintah Nomor 18
Tahun 1965 tentang Dana Kecelakaan Lalu Lintas Jalan.
10. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1992 juncto Peraturan Pemerintah Nomor 18
Tahun 1990 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja.
11. Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 1991 tentang Pemeliharaan Kesehatan
PNS, Penerima Pensiun, Veteran, Perintis Kemerdekaan, beserta Keluarganya
(Asuransi Sosial Pemeliharaan Kesehatan).
12. Perundang-undangan Administrasi Negara

Sebagai usaha yang bergerak di bidang jasa perlindungan, asuransi juga banyak menyangkut
kepentingan publik terutama yang bersifat administratif. Adapun peraturan perundangan
tersebut, antara lain yakni :

 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1982 tentang Wajib Daftar Perusahaan dan


peraturan pelaksanaannya. Berlakunya undang-undang ini apabila Perusahaan
Asuransi melakukan pendaftaran, pendaftaran ulang, dan daftar likuidasi
perusahaan.
 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1991,
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1991 dan peraturan pelaksanaannya,
semuanya tentang perpajakan.   Berlakunya undang-undang ini karena
Perusahaan Asuransi wajib membayar pajak bumi bangunan, penghasilan,
pertambahan nilai, dan jenis pajak lainnya.
 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 juncto Undang-Undang Nomor 10 Tahun
1998 tentang Perbankan dan peraturan pelaksanaannya. Berlakunya undang-
undang ini apabila Perusahaan Asuransi berhubungan dengan Bank.
 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1997 tentang Dokumen Perusahaan dan
peraturan pelaksanaannya. Berlakunya undang-undang ini karena Perusahaan
Asuransi wajib melaksanakan pembukuan dan pemeliharaan dokumen
perusahaan.

3. Pengadaian (Pawnshop)

Pengadaian merupakan lembaga perkreditan dengan sistem gadai. Sebagai lembaga


perkreditan, Pengadaian menyalurkan dana pinjaman kepada masyarakat yang membutuhkan,
dengan bunga relatif rendah dan pelayanan relatif cepat. Agar penyaluran dana pinjaman
terjamin aman, maka diberlakukan sistem gadai, yaitu penyerahan barang bergerak sebagai
jaminan kepada Pengadaian, yang senilai dengan atau lebih tinggi dari jumlah pinjaman.
Apabila pada waktu yang telah ditetapkan (jatuh tempo) pinjaman tidak dikembalikan, maka
barang jaminan dapat dijual lelang guna menutup pengembalian pinjaman, dan jika masih ada
nilai sisanya akan dikembalikan kepada Peminjaman.

Menurut ketentuan Pasal 1150 KUH Perdata, “Gadai adalah hak yang diperoleh seorang
kreditur atas suatu barang bergerak yang diserahkan kepadanya oleh seorang debitur atau
orang lain atas namanya, yang memberikan kekuasaan kepada kreditur untuk mengambil
pelunasan dari barang tersebut didahulukan dari kreditur-kreditur lainnya, dengan pengecualian
biaya lelang barang tersebut dan biaya pemeliharaan setelah barang itu digadaikan, harus
dilunasi lebih dahulu”. 

Berdasarkan ketentuan tersebut dapat disimpulkan bahwa konsep Pengadaian memiliki unsur-
unsur utama :

1. Lembaga Pembiayaan,
2. Sistem gadai,
3. Cara pengembalian pinjaman, dan
4. Pelunasan biaya-biaya.
Pengadaian merupakan salah satu bentuk kegiatan ekonomi di bidang usaha pembiayaan yang
bersumber dari berbagai ketentuan hukum, baik perjanjian maupun peraturan perundangan.
Perjanjian adalah sumber hukum utama Hukum Pengadaian dari segi Perdata, sedang
peraturan perundangan adalah sumber utama Hukum Pengadaian dari segi Publik.

Pranata Hukum Pengadaian di Indonesia dimulai sejak diundangkannya Staatsblad Nomor 131


Tahun 1901 juncto Staatsblad Nomor 266 Tahun 1930 tentang Rumah Gadai Pemerintah
Hindia Belanda.

Segi Hukum Pengadaian tersebut dapat dijabarkan sebagai berikut :

 Segi Hukum Perdata


 Asas Kebebasan Berkontrak

Dalam hubungan Hukum Pengadaian, perjanjian selalu diadakan secara lisan yang didukung
oleh dokumen hukum yang menjadi dasar kepastian hukum pengadaian (Pawnshop legal
certainty). Perjanjian pengadaian adalah perjanjian pinjam uang dengan sistem gadai dibuat
berdasarkan asas kebebasan berkontrak, memuat rumusan kehendakberupa kewajiban dan
hak pihak Pengadaian sebagai Pemberi pinjaman uang (kreditur) dan Peminjam sebagai
Pemberi Gadai (Debitur).

Perjanjian Pengadaian (Pawnshop Agreement) yang didukung oleh dokumen hukum utama
(main legal document) dibuat secara sah memenuhi syarat-syarat yang ditetapkan dalam Pasal
1320 KUH Perdata. Akibat hukum Perjanjian Pengadaian yang dibuat secara sah berlaku
sebagai undang-undang bagi Pengadaian dan Peminjam (Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata).

 Undang-Undang Bidang Hukum Perdata

Perjanjian Pengadaian sebagai salah satu bentuk perjanjian khusus yang tunduk pada
ketentuan Buku III KUH Perdata. Sumber hukum utama Pengadaian adalah perjanjian pinjam
pakai habis yang diatur dalam KUH Perdata.

 Perjanjian Pinjam Pakai Habis

Perjanjian Pengadaian yang terjadi antara Pengadaian dan Peminjam digolongkan ke dalam
“perjanjian pinjam pakai habis” yang diatur dalam Pasal 1754 – 1773 KUH Perdata.

Menurut ketentuan Pasal 1754 KUH Perdata, Pinjam Pakai Habis adalah perjanjian dengan
mana Pemberi Pinjaman menyerahkan sejumlah barang pakai habis kepada Peminjam dengan
syarat bahwa Peminjam akan mengembalikan barang tersebut kepada Pemberi Pinjaman
dalam jumlah dan keadaan yang sama.

Menurut ketentuan Pasal 1765 KUH Perdata, Pengadaian dan Peminjam boleh memperjanjikan
pengembalian uang pokok ditambah sewa modal (bunga).

 Segi Perdata di Luar KUH Perdata


 Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1969 tentang Bentuk-Bentuk Usaha
Negara juncto Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1990 tentang Pengalihan
Bentuk Perjan Pengadaian menjadi Perum Pengadaian.
 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
Berlakunya undang-undang ini sejauh Pengadaian melakukan pelanggaran
kewajiban dan larangan yang secara perdata merugikan Peminjam sebagai
konsumen.
 Segi Hukum Publik

Sebagai usaha yang bergerak di bidang jasa pembiayaan, Pengadaian banyak menyangkut
kepentingan publik (negara/pemerintah) terutama yang bersifat administratif. Kepentingan
publik banyak diatur dalam berbagai peraturan perundangan administrasi negara, antara lain :

 Undang-Undang Bidang Hukum Publik


 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan,
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1991 tentang Pajak Penghasilan, Undang-
Undang Nomor 8 Tahun 1991 tentang Pajak Pendapatan, beserta peraturan
pelaksanaannya. Berlakunya undang-undang ini berkaitan dengan kewajiban
Pengadaian membayar pajak bagi negara.
 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1997 tentang Dokumen Perusahaan dan
peraturan pelaksanaannya. Berlakunya undang-undang ini berkaitan dengan
kewajiban Pengadaian melaksanakan pembukuan perusahaan dan memelihara
dokumen perusahaan.
 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dan
peraturan pelaksanaannya. Berlakunya undang-undang ini apabila Pengadaian
melakukan pelanggaran kewajiban dan larangan undang-undang yang
merugikan Peminjam sebagai konsumen dan merugikan negara.
 Peraturan Tentang Lembaga Pembiayaan
 Keputusan Presiden Nomor 61 Tahun 1961 tentang Lembaga Pembiayaan.
Pengadaian termasuk badan usaha yang melakukan kegiatan pembiayaan
dalam bentuk penyediaan dana. Dengan demikian, Pengadaian adalah
Perusahaan Pembiayaan.
 Keputusan Menteri Keuangan Nomor 1251 Tahun 1988 juncto Keputusan
Menteri Keuangan Nomor 468 Tahun 1995 tentang Ketentuan dan Tata Cara
Pelaksanaan Lembaga Pembiayaan.

1. Dana Pensiun (Pension Fund)

Pasal 1 angka (1) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1992 tentang Dana Pensiun (UUDP),
memberikan batasan pengertian bahwa Dana Pensiun adalah badan hukum yang mengelola
dan menjalankan program yang menjanjikan manfaat pensiun. Jelas bahwa dana pensiun
berstatus sebagai badan hukum yang dikelola oleh Pengurusnya dan memiliki kekayaan yang
terpisah dari kekayaan Pengurusnya. Kekayaan Dana Pensiun tersebut digunakan untuk satu
tujuan, yaitu memberikan Manfaat Pensiun kepada Peserta apabila mereka telah mencapai usia
pensiun. Penggunaan Dana Pensiun untuk hal-hal diluar tujuan tersebut adalah dilarang.

Tujuan penyelenggaraan Program Dana Pensiun dapat dilihat dari segi ekonomi dan sosial.
Segi ekonomi, Program Dana Pensiun merupakan upaya Pemberi Kerja (perusahaan) untuk
menarik atau mempertahankan karyawan perusahaan yang memiliki potensi, cerdas, terampil
dan produktif yang dapat diharapkan untuk meningkatkan atau mengembangkan perusahaan.
Segi Sosial, Program Pensiun merupakan wujud tanggung jawab sosial Pemberi Kerja
(perusahaan) kepada karyawan pada saat tidak lagi mampu bekerja dan juga kepada keluarga
pada saat karyawan meningggal dunia.

Undang-Undang Dana Pensiun membedakan jenis badan penyelenggara Dana Pensiun


menjadi 2 (dua) yaitu :

1. Dana Pensiun Pemberi Kerja (DPPK), yaitu Dana Pensiun yang dibentuk oleh
orang atau badan yang mempekerjakan karyawan selaku pendiri, untuk
menyelenggarakan Program Pensiun Manfaat Pasti (Defined Contribution
Benefit Plan) atau Program Pensiun Iuran Pasti (Defined Contribution Plan), bagi
kepentingan sebagian atau seluruh karyawannya sebagai Peserta dan yang
menimbulkan kewajiban terhadap Pemberi Kerja.
2. Dana Pensiun Lembaga Keuangan (DPLK), yaitu Dana Pensiun yang dibentuk
oleh Bank atau Perusahaan Asuransi Jiwa untuk menyelenggarakan Program
Pensiun Iuran Pasti bagi perseorangan, baik karyawan meupun pekerja mandiri,
yang terpisah dari Dana Pensiun Pemberi Kerja bagi karyawan, baik Bank atau
Perusahaan Asuransi Jiwa yang bersangkutan.

Aspek Hukum Dana Pensiun dapat dilihat dari Hukum Publik dan Hukum Perdata. Aspek
Hukum Publik dari Dana Pensiun, menurut ketentuan Pasal 3 UUDP, Dana Pensiun memiliki
status sebagai badan hukum dengan syarat dan tata cara yang ditetapkan dalam Pasal 6
UUDP, yaitu Pendiri mengajukan permohonan pengesahan Dana Pensiun kepada Menteri
Keuangan untuk memperoleh status badan hukum dengan melampirkan :

1. Anggaran Dasar Dana Pensiun.


2. Pernyataan tertulis Pendiri dan mitra pendiri bila ada.
3. Keputusan Pendiri tentang penunjukan Pengurus, Dewan Pengawas, dan
Penerima Titipan.
4. Arahan Investasi.
5. Laporan aktuaris, apabila Dana Pensiun menyelenggarakan Program Pensiun
Manfaat Pasti.
6. Surat Perjanjian antara Pengurus dengan Penerima Titipan.

Setelah memperoleh Keputusan Pengesahan Menteri Keuangan maka Dana Pensiun memiliki
status sebagai badan hukum, dan dilakukan pengumuman dalam Berita Negara Republik
Indonesia (Pasal 7 UUDP) guna memenuhi syarat publisitas.

Aspek Hukum Perdata, Dana Pensiun menjalankan program yang menjanjikan Manfaat
Pensiun. Manfaat Pensiun merupakan suatu janji pembayaran suatu jumlah uang yang
dibayarkan kepada Peserta Program Dana Pensiun, yang pembayarannya dikaitkan dengan
pencapaian usia tertentu. Perjanjian pembayaran Manfaat sifatnya accessoir karena terkait
dengan Perjanjian Pokok (perjanjian ketenagakerjaan antara karyawan dan Pemberi Kerja).
Akibat hukumnya, apabila perjanjian pokok berakhir karena usia, maka perjanjian pembayaran
Manfaat Pensiun berlaku (harus dipenuhi).

Dari segi hukum, Dana Pensiun sudah diatur dengan seperangkat peraturan perundangan yang
cukup memadai, terdiri dari Undang-Undang sebagai peraturan pokok, Peraturan Pemerintah
sebagai peraturan pelaksana, dan Keputusan Menteri Keuangan sebagai peraturan pelaksana
operasional, serta Peraturan Dana Pensiun sebagai Anggaran Dasar Badan Hukum :

1. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1992 tentang Dana Pensiun.


2. Peraturan Pemerintah Nomor 76 Tahun 1992 tentang Dana Pensiun Pemberi
Kerja.
3. Peraturan Pemerintah Nomor 76 Tahun 1992 tentang Dana Pensiun Lembaga
Keuangan.
4. Keputusan Menteri Keuangan Nomor 227 Tahun 1993 tentang Tata Cara
Permohonan Pengesahan Pembentukan Dana Pensiun Pemberi Kerja.
5. Keputusan Menteri Keuangan Nomor 228 Tahun 1993 tentang Tata Cara
Permohonan Pengesahan Pembentukan Dana Pensiun Lembaga Keuangan.
6. Keputusan Menteri Keuangan Nomor 229 Tahun 1993 tentang Persyaratan
Pengurus dan Dewan Pengawas Dana Pensiun Pemberi Kerja.
7. Keputusan Menteri Keuangan Nomor 230 Tahun 1993 tentang Maksimum Iuran
dan Manfaat Pensiun.
8. Keputusan Menteri Keuangan Nomor 231 Tahun 1993 tentang Investasi Dana
Pensiun.
9. Naskah Peraturan Dana Pensiun (Anggaran Dasar Dana Pensiun).

 Lembaga Pembiayaan

1. Sewa Guna Usaha (Leasing)

Sewa Guna Usaha sebagai istilah yang dipakai dalam peraturan tentang Lembaga Pembiayaan
berasal dari istilah “leasing” (Inggris) dari kata dasar “lease”, artinya sewa menyewa. Kemudian
dalam dunia bisnis berkembang Leasing sebagai bentuk khusus sewa menyewa, yaitu dalam
bentuk pembiayaan perusahaan berupa penyediaan barang modal yang digunakan untuk
menjalankan usahanya dengan membayar sewa selama jangka waktu tertentu.

Untuk mengetahui konsep leasing sebagai Sewa Guna Usaha, yaitu bentuk sewa menyewa,
perlu ditelaah ketentuan yang terdapat dalam Peraturan Perizinan Usaha Leasing, yakni Surat
Keputusan Bersama Menteri Keuangan dan Menteri Perindustrian dan Perdagangan tanggal 7
Januari 1974 tentang Perizinan Usaha Leasing :

“Leasing adalah setiap kegiatan pembiayaan perusahaan dalam bentuk penyediaan barang
modal untuk digunakan oleh suatu perusahaan untuk suatu jangka waktu tertentu, berdasarkan
pembayaran secara berkala disertai dengan hak pilih (opsi) bagi perusahaan tersebut untuk
membeli barang modal yang bersangkutan, atau memperpanjang jangka waktu leasing
berdasarkan nilai sisa yang telah disepakati bersama.”

Berdasarkan konsep Leasing tersebut sebagai bentuk khusus sewa menyewa (Sewa Guna


Usaha), dengan demikian untuk dapat disebut sebagai leasing harus memiliki unsur-unsur
berikut :

1. Pembiayaan perusahaan.
2. Penyediaan barang modal.
3. Digunakan oleh suatu perusahaan.
4. Pembayaran sewa secara berkala.
5. Jangka waktu tertentu.
6. Hak opsi untuk membeli barang.

Konsep leasing diatas dipertegas lagi dengan ketentuan Pasal 1 huruf (a) Keputusan Menteri
Keuangan Nomor 1169 Tahun 1991 tentang Kegiatan Sewa Guna Usaha (leasing) adalah
kegiatan pembiayaan dalam bentuk penyediaan barang modal baik secara Sewa Guna Usaha
dengan hak opsi (finance lease) untuk digunakan oleh Lessee selama jangka waktu tertentu
berdasarkan pembayaran secara berkala.

Kemudian dalam ketentuan Pasal 9 Keputusan Menteri Keuangan Nomor 1169 Tahun
1991menegaskan bahwa setiap transaksi Sewa Guna Usaha wajib diikat dalam suatu
perjanjian Sewa Guna Usaha (Lease Agreement). Perjanjian Sewa Guna Usaha wajib dibuat
dalam bahasa Indonesia dan apabila dipandang perlu dapat diterjemahkan ke dalam bahasa
asing.

Dalam setiap transaksi Sewa Guna Usaha selalu melibatkan 3 (tiga) pihak utama yakni :

1. Lessor adalah Perusahaan Sewa Guna Usaha (leasing company) yang memiliki


hak kepemilikan atas barang modal dan menyediakan pembiayaan dengan cara
Sewa Guna Usaha kepada pihak yang membutuhkan.
2. Lessee adalah perusahaan atau pengguna barang modal yang dapat memiliki
hak opsi pada akhir kontrak Sewa Guna Usaha.
3. Supplier adalah penjual barang modal yang menjadi objek Sewa Guna Usaha.
Harga barang modal tersebut dibayar tunai oleh Lessor kepada Supplier untuk
kepentingan Lessee.

Dilihat dari segi transaksi yang terjadi antara Lessor danLessee, maka Sewa Guna Usaha
dibedakan menjadi 2 (dua) jenis, yaitu :

1. Sewa Guna Usaha dengan hak opsi (finance lease).

Ciri utama Sewa Guna Usaha dengan hak opsi adalah pada akhir kontrak, Lessee mempunyai
hak pilih untuk membeli barang modal sesuai dengan nilai sisa (residual value) yang disepakati,
atau mengembalikannya kepada Lessor, atau memperpanjang masa kontrak sesuai dengan
syarat-syarat yang telah disetujui bersama.

 Sewa Guna Usaha tanpa hak opsi (operating lease)

Ciri utama Sewa Guna Usaha tanpa hak opsi adalah Lessee hanya berhak menggunakan
barang selama jangka waktu kontrak tanpa hak opsi setelah masa kontrak berakhir.

Aspek Hukum Sewa Guna Usaha dapat dilihat dari Hukum Perdata dan Hukum Publik, yang
dapat dijabarkan berikut ini :

1. Aspek Hukum Perdata


2. Asas Kebebasan Berkontrak
Perjanjian Sewa Guna Usaha dibuat berdasarkan atas kebebasan berkontrak, memuat
rumusan kehendak berupa kewajiban dan hak Lessor sebagai Perusahaan Pembiayaan
(Finance Company) dan Lessee sebagai perusahaan yang dibiayai. Perjanjian Sewa Guna
Usaha dibuat tertulis sebagai dokumen hukum yang menjadi dasar kepastian hukum (legal
certainty).

Perjanjian Sewa Guna Usaha (leasing agreement) merupakan dokumen hukum utama (main
legal document) dibuat secara sah memenuhi syarat-syarat yang ditetapkan dalam Pasal 1320
KUH Perdata. Akibat hukum perjanjian yang dibuat sah berlaku sebagai undang-undang
bagi Lessor dan Lessee (Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata).

 Undang-Undang Bidang Hukum Perdata

Perjanjian Sewa Guna Usaha sebagai salah satu bentuk perjanjian khusus yang tunduk pada
ketentuan Buku III KUH Perdata. Sumber hukum utama Pengadaian adalah perjanjian sewa
menyewa yang diatur dalam KUH Perdata.

 Perjanjian Sewa Menyewa

Perjanjian Sewa Guna Usaha yang terjadi antara Lessor sebagai Perusahaan Pembiayaan


dan Lessee sebagai Perusahaan Pengguna barang modal digolongkan ke dalam “perjanjian
sewa menyewa” yang diatur dalam Pasal 1548 – 1580 KUH Perdata.

Menurut ketentuan Pasal 1548 KUH Perdata menegaskan bahwa Sewa Menyewa adalah
perjanjian bilateral, dengan mana pihak yang Menyewakan memberikan kepada pihak Penyewa
kenikmatan suatu barang selama waktu tertentu, dan Penyewa membayar harga sewa yang
disanggupinya.

Yang dimaksud objek perjanjian sewa menyewa dalam Sewa Guna Usaha hanya berupa
barang produksi (barang modal) untuk menjalankan usaha. Pihak yang Menyewakan (Lessor)
yang berkedudukan sebagai Kreditur dan pihak Penyewa (Lessee) yang berkedudukan
sebagai Debitur.

Aspek Perdata di Luar KUH Perdata

Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1969 tentang Badan Usaha Milik Negara dan peraturan
pelaksanaannya. Berlakunya undang-undang ini apabila Sewa Guna Usaha berbentuk hukum
Perusahaan Perseroan (Persero).

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas dan peraturan


pelaksanaannya. Berlakunya undang-undang ini apabila bentuk hukum Sewa Guna Usaha
adalah Perseroan Terbatas (PT).

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Agraria dan


peraturan pelaksanaannya. Berlakunya undang-undang ini apabila Perusahaan Sewa Guna
Usaha mengadakan perjanjian mengenai hak-hak atas tanah.
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dan peraturan
pelaksanaannya. Berlakunya undang-undang ini apabila Lessor melakukan pelanggaran
kewajiban dan larangan yang secara perdata merugikan Peminjam sebagai konsumen
(Lessee).

Aspek Hukum Publik

Undang-Undang Bidang Hukum Publik

Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1982 tentang Wajib Daftar Perusahaan dan peraturan
pelaksanaannya. Berlakunya undang-undang ini apabila Perusahaan Sewa Guna Usaha
melakukan pendaftaran, pendaftaran ulang, dan daftar likuidasi perusahaan

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 juncto Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang


Perbankan dan peraturan pelaksanaannya. Berlakunya undang-undang ini apabila Perusahaan
Sewa Guna Usaha berhubungan dengan Bank.

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan, Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1991 tentang Pajak Penghasilan, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1991
tentang Pajak Pendapatan, beserta peraturan pelaksanaannya. Berlakunya undang-undang ini
berkaitan dengan kewajiban Perusaha Sewa Guna Usaha membayar pajak bagi negara.

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1997 tentang Dokumen Perusahaan dan peraturan


pelaksanaannya. Berlakunya undang-undang ini berkaitan dengan kewajiban Perusahaan
Sewa Guna Usaha melaksanakan pembukuan perusahaan dan memelihara dokumen
perusahaan.

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dan peraturan


pelaksanaannya. Berlakunya undang-undang ini apabila Perusahaan Sewa Guna Usaha
melakukan pelanggaran kewajiban dan larangan undang-undang yang merugikan konsumen
(Lessee).

Peraturan Tentang Lembaga Pembiayaan

 Keputusan Presiden Nomor 61 Tahun 1961 tentang Lembaga Pembiayaan.


Pengadaian termasuk badan usaha yang melakukan kegiatan pembiayaan
dalam bentuk penyediaan dana. Dengan demikian, Pengadaian adalah
Perusahaan Pembiayaan.
 Keputusan Menteri Keuangan Nomor 1251 Tahun 1988 juncto Keputusan
Menteri Keuangan Nomor 468 Tahun 1995 tentang Ketentuan dan Tata Cara
Pelaksanaan Lembaga Pembiayaan.
 Keputusan Menteri Keuangan Nomor 1169 Tahun 1991 tentang Kegiatan Sewa
Guna Usaha (Leasing) yang didalamnya mengatur tentang kegiatan usaha,
perjanjian Sewa Guna Usaha, pelaksanaan hak opsi, perlakuan akutansi,
perpajakan, pelaporan, dan sanksi pelanggaran.

3. Modal Ventura (Ventura Capital)


Ventura adalah serapan dari venture yang berarti usaha yang mengandung risiko. Modal
Ventura adalah modal yang ditanamkan pada usaha yang mengandung risiko (risk capital).
Dikatakan mengandung risiko karena investasi tidak dikaitkan dengan jaminan (collateral).

Secara institusional, Modal Ventura merupakan pranata bisnis yang relatif masih baru, masih
belum memperoleh pengaturan yang memadai. Di samping itu, Modal Ventura sebagai bisnis
pembiayaan mempunyai sifat multi dimensi, yaitu sebagai :

1. Lembaga Keuangan (Financial Institution);


2. Lembaga Perusahaan penyertaan modal (Corporate Institution);
3. Lembaga penolong pengusaha lemah (Humanistic Institution).

Ada beberapa definisi tentang Modal Ventura yang dikemukakan para ahli, disamping
ketentuan hukum yang mengaturnya. Tony Lorenz (1985) merumuskan : “Modal Ventura adalah
investasi jangka panjang dalam bentuk penyediaan modal yang berisiko tinggi di mana
penyedia dana (venture capitalist) bertujuan utama memperoleh keuntungan (capital gain)
bukan pendapatan bunga atau dividen”.

Clinton Richardson ( 1987), mendifinisikan “Modal Ventura adalah dana yang diinvestasikan


pada Perusahaan Pasangan Usaha yang berisiko tinggi bagi investor”.

Robert White (1990), mendefinisikan “Modal Ventura adalah usaha penyediaan pembiayaan


untuk membentuk dan mengembangkan usaha-usaha baru di bidang teknologi dan
nonteknologi”.

Berdasarkan beberapa definisi diatas, maka dapat diinventarisir ciri-ciri Modal Ventura yakni :

1. bantuan pembiayaan pada Perusahaan Pasangan Usaha.


2. Bersifat sementara, sampai pada masanya dilakukan investasi.
3. Perusahaan Modal Ventura terlibat dalam manajemen Perusahaan Pasangan
Usahayang dibiayainya.
4. Pembiayaan bukan dalam bentuk pinjaman (loan), melainkan penyertaan modal
(equaty participation).
5. Pembiayaan itu berisiko tinggi karena modal usaha (risk capital), yang tidak
didukung oleh jaminan (collateral).
6. Motif utama adalah bisnis pembiayaan yang mengharapkan keuntungan (capital
gain) relatif tinggi sebagai imbalan pembiayaan risiko tinggi.
7. Pembiayaan umumnya berjangka panjang dari 5 (lima) sampai 10 (sepuluh)
tahun.
8. Pembiayaan ditujukan kepada perusahaan kecil atau masih baru, tetapi
berpotensi besar untuk berkembang dan prospek cerah, bidang teknologi atau
nonteknologi, atau usaha yang mengandung terobosan baru.

Pendekatan pemanfaatan Modal Ventura tidak hanya dilakukan dari segi kebutuhan ekonomi,
melaikan juga harus didukung oleh pendekatan yuridis (legal approach), sehingga diakui dan
berlaku dalam lalu lintas hubungan  bisnis. Aspek Hukum Modal Ventura dapat dilihat dari
Hukum Perdata dan Hukum Publik, yang dapat dijabarkan berikut ini :
1. Aspek Hukum Perdata
2. Asas Kebebasan Berkontrak

Kontak Modal Ventura dibuat berdasarkan atas kebebasan berkontrak, memuat rumusan
kehendak berupa kewajiban dan hak pihak Perusahaan Modal Ventura dan pihak Perusahaan
Pasangan Usaha. Hubungan hukum Modal Ventura selalu dibuat tertulis sebagai dokumen
hukum yang menjadi dasar kepastian hukum (legal certainty).

Kontak Modal Ventura merupakan dokumen hukum utama (main legal document) dibuat secara
sah memenuhi syarat-syarat yang ditetapkan dalam Pasal 1320 KUH Perdata. Akibat hukum
kontrak yang dibuat sah berlaku sebagai undang-undang bagi Perusahaan Modal Ventura dan
Perusahaan Pasangan Usaha (Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata).

 Undang-Undang Bidang Hukum Perdata

Sumber hukum utama yang hingga kini masih berlaku adalah KUH Perdata, khususnya
ketentuan-ketentuan tentang perikatan / perjanjian dalam Buku III KUH Perdata yang masih
relevan dengan Kontrak Modal Ventura. Selain itu belaku pula Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1995 tentang Perseroan Terbatas. Karena Perusahaan Modal Ventura adalah badan hukum
yang dapat berbentuk Perseroan Terbatas atau Perusahaan Perseroan (Pesero), yang
modalnya terbagi dalam bentuk saham, maka bentuk penyertaan modal pada Perusahaan
Pasangan Usaha dilakukan dengan investasi pembelian saham. Dengan demikian, Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas beserta peraturan pelaksanaannya
menjadi sumber hukum utama Modal Ventura.

Selain Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995, berlaku pula peraturan perundangan lainnya
yang mengatur segi hukum perdata, yakni :

1. Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1969 tentang Badan Usaha Milik Negara dan
peraturan pelaksanaannya. Berlakunya undang-undang ini apabila bentuk
hukum Perusahaan Modal Ventura adalah Perusahaan Perseroan (Persero).
2. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal dan peraturan
pelaksanaannya. Berlakunya undang-undang ini apabila Perusahaan Modal
Ventura melakukan jual beli saham di Pasar Modal.

2)  Aspek Hukum Publik

 Undang-Undang Bidang Hukum Publik

Berbagai undang-undang bidang administrasi negara yang menjadi sumber hukum utama
Modal Ventura meliputi :

Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1982 tentang Wajib Daftar Perusahaan dan peraturan
pelaksanaannya. Berlakunya undang-undang ini apabila Perusahaan Modal Ventura melakukan
pendaftaran, pendaftaran ulang, dan daftar likuidasi perusahaan.
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan, Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1991 tentang Pajak Penghasilan, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1991
tentang Pajak Pendapatan, beserta peraturan pelaksanaannya. Berlakunya undang-undang ini
berkaitan dengan kewajiban Perusaha Modal Ventura membayar pajak bagi negara.

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Agraria dan


peraturan pelaksanaannya. Berlakunya undang-undang ini apabila Perusahaan Modal Ventura
mengadakan perjanjian mengenai hak-hak atas tanah.

Peraturan tentang Lembaga Pembiayaan

Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 1973 tentang Pendirian PT (Persero) Bahana


Pembinaan Usaha Indonesia, sebagai Perusahaan Modal Ventura pertama di Indonesia.
Sahamnya dipegang oleh Departemen Keuangan dan Bank Indonesia. Modal Ventura diakui
senagai salah satu model penyaluran pembiayaan.

Keputusan Presiden Nomor 61 Tahun 1988 tentang Lembaga Pembiayaan, dan Modal Ventura
diakui sebagai salah satu model penyaluran pembiayaan.

Keputusan Menteri Keuangan Nomor 1251 Tahun 1988 juncto Keputusan Menteri Keuangan


Nomor 468 Tahun 1995 tentang Ketentuan dan Tata Cara Pelaksanaan Lembaga Pembiayaan.

4.Perdagangan Surat Berharga (Securitas Trade)

5. Anjak Piutang (Factoring)

6. Usaha Kartu Kredit (Credit Card)

7. Pembiayaan Konsumen (Consumers Finance)

Anda mungkin juga menyukai