Anda di halaman 1dari 3

Hidup, tetapi Dikubur Paksa

Sebelumnya, pernahkah kalian mendengar tentang organisasi masyarakat (ormas) yang


bernama Front Pembela Islam atau yang dikenal dengan nama FPI ? Mungkin kalian pernah
mendengar FPI sebagai ormas islam yang memimpin Aksi Bela Islam 212 tahun 2016 lalu? Atau
FPI sebagai raja sweeping tempat-tempat hiburan yang seringkali bentrok dengan aparat? Atau
bisa jadi kalian pernah mendengar FPI sebagai ormas yang selalu terdepan menolong umat saat
bencana alam? Banyak hal-hal kontroversial yang kita dengar dari organisasi ini, baik hal-hal
positif maupun negatif. Sayangnya, tak akan lagi kita lihat pergerakan ormas Islam ini karena
pada 30 Desember 2020 Front Pembela Islam tiba-tiba saja dibubarkan oleh pemerintah.

Sang oposisi besar pemerintah ini telah dibubarkan, dihentikan seluruh kegiatannya, dicabut
status hukumnya dan dilarang juga segala bentuk simbol dan kegiatannya. Tak tanggung-
tanggung, 6 menteri dan pimpinan lembaga negara yaitu Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian,
Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly, Menteri Komunikasi dan Informatika Johnny G Plate,
Jaksa Agung ST Burhanuddin, Kepala BNPT Boy Rafli Amar dan Kapolri Jenderal Idham Aziz
“bekerjasama” untuk membubarkan organisasi yang dipimpin oleh Habieb Rizieq Shihab itu.

Kini FPI diperlakukan bak mayat busuk ditengah jalan. Mereka dianggap mengganggu,
meresahkan dan harus segera disingirkan karena jikalau tidak, maka akan tetap tercium.
Padahal, jika FPI adalah direpresentasikan sebagai manusia, ia berhak untuk tetap hidup,
berjuang dan mempertahankan hak-haknya. Sebagai manusia, memang hakikatnya sebagai
tempat yang salah. Tetapi salah itu bukanlah alasan ia harus diperlakukan seperti ini.

Jika benar begitu, maka timbulah sebuah pertanyaan. Apa kesalahan FPI sehingga ia dipaksa
untuk dikubur walau ia masih tetap hidup?

Indonesia adalah sebuah negara demokrasi berbasis hukum. Setiap tindakan yang diambil di
negara ini harus berpatokan pada hukum yang berlaku. Begitu juga dalam pembubaran FPI ini.
Langkah pemerintah sebenarnya sesuai dengan UU No.16 tahun 2017 tentang Penetapan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 Atas Undang-Undang
Nomor 17 Tahun 2013 Tentang Organisasi Kemasyarakatan Menjadi Undang-Undang.

Memang Undang-Undang ini sempat menuai kontroversi disaat pembuatannya tahun 2017,
karena UU ini seolah mempermudah pemerintah untuk membubarkan ormas yang tak sejalan
dengan pemerintah, walau menurut penulis UU ini masih sejalan dengan prinsip demokrasi
hukum Indonesia. Pemerintah menyatakan bahwa Perpu ini dibuat akibat begitu banyaknya
ormas yang ada di Indonesia dengan berbagai pandangan dan telah banyak yang bertentangan
dengan Pancasila sehingga dibutuhkan perundang-undangan yang lebih tegas terhadap ormas-
ormas ini. Dan yang terpenting dalam berorganisasi harus sesuai dengan dasar negara kita,
Pancasila. Ini juga sudah jelas diterangkan dalam UU No.17 tahun 2013 pasal 2.

Harus kita ingat, hak kita dalam berorganisasi sudah diatur secara jelas dalam UUD RI 1945
pasal 28E ayat 3 bahwa kita berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan
pendapat. Tetapi, dalam menjalankan hak dan kebebasan kita wajib berpatokan pada batas-
batas hukum. Dalam UUD RI 1945 pasal 28J ayat 2 dinyatakan bahwa setiap hak yang kita
punya haruslah dijalankan sesuai hukum dan norma agar menciptakan sebuah perdamaian.
Singkatnya, kita masih boleh untuk berorganisasi asal sesuai dengan hukum yang berlaku.
Pembatasan ini bukan semena-mena ditujukan untuk merenggut hak kita, tetapi sebagai
penghormatan kita bagi hak dan kebebasan orang lain.

Jika begitu, kenapa FPI tetap dibubarkan begitu saja? Disini, pemerintah menganggap bahwa
FPI sudah banyak melakukan berbagai hal yang bertentangan dengan hukum, seperti aksi
sweeping yang seharusnya berada dalam ranah penegak hukum. Aksi ini acap kali berakhir
tindak kekerasan. Lalu, banyaknya anggota PFI yang terlibat dalam aksi terorisme sehingga FPI
terindikasi sebagai organisasi pendukung terorisme. Hal ini juga didukung dengan sebuah video
yang juga ditampilkan disaat pembacaan SKB pelarangan FPI dimana video ini berisi
pernyataan Rizieq Shihab yang mendukung organisasi terorisme yang bepusat di timur tengah,
ISIS (Islamic State in Iraq and Syiria) . Selain itu, sebenarnya FPI sudah bukan lagi ormas
berbadan hukum sejak tahun 2019. Tetapi sampai sebelum adanya SKB dari 6 Menteri dan
Pejabat Lembaga Negara itu ditetapkan, FPI masih tetap bergerak sebagai ormas. Selain itu, kini
puncak organisasi FPI juga sedang terkena kasus kriminal dalam hal chat sex, juga pelanggaran
terhadap pelanggaran PSBB saat kedatangannya dari Saudi arabia lalu dan acara pernikahan
putrinya.

Menurut penulis, tindakan pemerintah ini bukanlah tanpa sebab. Jika kita melihat sejarah
Indonesia masa awal kemerdekaan, banyak kelompok dan organisasi yang memberontak ingin
menghancurkan Pancasila sebagai dasar negara dan mengubahnya kepada dasar dan ideologi
yang mereka inginkan. Sebut saja seperti gerakan DI/TII juga PKI 1965. FPI juga sudah
menunjukkan indikasi terhadap hal ini, dimana FPI mengatakan bahwa demokrasi yang dianut
Indonesia adalah haram dan ingin mengubah Indonesia menjadi negara islam, yang berarti FPI
ingin mengubah dasar negara Pancasila.

Tetapi, tetap saja langkah pemerintah masih dinilai kurang tepat. Pemerintah tampaknya terlalu
“suka” untuk langsung menghakimi dari pada melakukan mediasi. Padahal, dalam pasal 40 ayat
1 UU No.17 tahun 2013 dinyatakan bahwa pemerintah dan/atau pemerintah daerah melakukan
pemberdayaan ormas untuk meningkatkan kinerja dan menjaga keberlangsungan hidup ormas.
Seharusnya, pemerintah membina FPI daripada membubarkannya seperti ini. Berdiskusi dan
berbincang adalah langkah tepat pemerintah membina FPI.

Pembubaran ini akhirnya menimbulkan berbagai stigma tak percaya dari ormas lainnya juga
masyarakat. Masyarakat telah mengganggap pemerintah telah merenggut hak masyarakat
untuk berorganisasi. Jika ini terus berlajut, maka pemerintah akan dianggap sebagai “penjahat”
denga FPI sebagai “ pihak yang ditindas”.

Jika kita kembali kepada kasus-kasus pelanggaran oleh FPI tadi, belum ada sebuah keputusan
resmi yang menyatakan bahwa FPI sebagai organisasi melakukan berbagai tindak kriminal tadi.
Kebanyakan dari kasus itu adalah dari para anggota FPI, bukanlah organisasinya. Selain itu,
dalam kasus ini janganlah kita terlalu berfokus pada sisi negatif saja. FPI juga sudah banyak
melakukan hal-hal yang berjasa bagi masyarakat. Yang paling jelas adalah sumbangsih FPI pada
saat bencana alam. Tsunami Aceh 2004, gempa Palu dan Banten 2019, juga bencana alam
lainnya yang pernah terjadi. FPI menjadi salah satu ormas terdepan membantu para umat yang
terkena musibah. Bahkan saat musibah gempa di Palu 2019, FPI telah hadir duluan membantu
masyarakat sebelum pemerintah bergerak.

Intinya, dari pada membubarkan FPI seperti ini yang pada akhirnya menimbulkan berbagai
stigma negatif masyarakat, lebih baik pemerintah meng-upgrade FPI. Rangkul organisasinya,
lalu bina anggotanya. Ingat bahwa FPI juga sudah banyak membantu masyarakat Indonesia,
bukan hanya bertindak melanggar hukum melulu. FPI juga merupakan representasi bahwa
ormas adalah bagian pemerintah yang merangkul masyarakat.

Berikan perhatian, rangkul ia dan bina ia jika salah. Jangan cuma “mengubur” dan “menembak”
saja.

Anda mungkin juga menyukai