Anda di halaman 1dari 6

NAMA : JEREMIA MARSHALL TERRY

NIM : 041951853

TUGAS 1 HKUM440442

Menurut UUD 1945, pasal 24A angka (1) Undang-undang Dasar 1945 dikatakan bahwa
Mahkamah Agung berwenang mengadili pada tingkat kasasi, menguji peraturan perundang-
undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang, dan mempunyai wewenang
lainnya yang diberikan oleh undang-undang. Mahkamah Agung juga berwenang memberi
nasihat kepada pemerintah dalam semua masalah hukum dan bisa melengkapi hukum acara jika
perlu.

1. Berikan analisis Anda atas kedudukan Mahkamah Agung pada organisasi yudisial.

Jawaban :

Kedudukan Komisi Yudisial sesuai Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2011 dalam


halpengawasan hakim lebih menitikberatkan peran Komisi Yudisial dalam pengawasan
yangbersifat represif dibanding peran yang bersifat preventif dalam rangka menjaga
danmenegakan keluhuran martabat, serta perilaku hakim.

Kedudukan Komisi Yudisial dalam hal ini tidak memiliki peran yang signifikan dalam hal
pengawasan hakim, dikarenakan posisi Komisi Yudisial hanya sebagai pengawas eksternal
dalam kekuasaan kehakiman serta tidak mempunyai aturan yang mengikat bagi para hakim
untuk mematuhinya. Serta, Peran Komisi Yudisial sebagai pengawas eksternal diharapkan
bisa menutupi kelemahan-kelemahan pengawasan internal yang dilakukan oleh Mahkamah
Agung yang dinilai kurang efektif seperti adanya semangat untuk membela sesama hakim
yang membawa konsekuensi pada tidak objektifnya pengawasan, serta kurangnya transparansi
dan akuntabilitas. Pengawasan internal tidak dapat memberikan kesempatan bagi masyarakat
untuk menyampaikan pengaduan dan masyarakat tidak dapat mengakses pengawasan tersebut.

Urgensi dari Komisi Yudisial dalam upaya penegakan hukum di Indonesia. Pengawasan oleh
Komisi Yudisial ini pada prinsipnya bertujuan agar hakim agung dan hakim dalam
menjalankan tugas dan wewenangnya sungguh-sungguh didasarkan dan sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku, kebenaran, dan rasa keadilan masyarakat serta
menjunjung tinggi kode etik profesi hakim.

Apabila hakim agung dan hakim menjalankan tugas dan wewenangnya dengan baik dan
benar, berarti hakim yang bersangkutan telah menjunjung tinggi kehormatan, keluhuran
martabat serta perilaku hakim. Keadaan yang demikian itu tentu tidak hanya mendukung
terciptanya kepastian hukum dan keadilan, tetapi juga mewujudkan lembaga peradilan yang
bersih dan berwibawa, sehingga supremasi hukum dapat berjalan sebagaimana yang
diharapkan
Dalam putusan nomor :007/L/KY/II/2015 yang ditolak oleh Mahkamah Agung. Komisi
Yudisial tidak mempunyai kewenangan tersendiri untuk melakukan eksekusi terhadap
putusannya sendiri dikarenakan tidak ada kewajiban ataupun aturan untuk para hakim agar
mematuhi putusan Komisi Yudisial.

2. Berikan analisis Anda atas perubahan besar dalam struktur organisasi yudisial pada masa
reformasi.

Jawaban :

Indonesia telah beberapa kali mengalami perubahan konstitusi dan di setiap perubahan
konstitusi dimaksud terjadi perubahan rumusan pasal yang berkaitan dengan kekuasaan
kehakiman. Setidaknya hal ini dapat dilihat dari fakta perubahan pasal dan bagiankekuasaan
kehakiman antara yang dirumuskan di dalam UUD Tahun 1945 sebelum amandemen dan
pasca amandemen. Perubahan rumusan pasal seperti tersebut di dalam UUD Tahun 1945
pasca amandemen,seperti dirumuskan dalam Pasal 24, Pasal 24A, Pasal 24B dan Pasal 24C
memperlihatkan adanya perbaikan rumusan pasal yang mempunyai tujuan untuk menjadikan
kekuasaan kehakiman sebagai kekuasaan yang merdeka dengan tujuan menegakkan hukum
dan keadilan. Perbaikan lain yang dirumuskan dalam UUD Tahun 1945 meliputi: kesatu,
menjelaskansiapa saja yang melakukan kekuasaan kehakiman; kedua, apa saja wewenang dari
Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi dan Komisi Yudisial; ketiga, adanya perntah
untukmerumuskan susunan, kedudukan dan keanggotaan diatur di dalam undang-
undang;keempat, hukum acara dari Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi juga
diminta untukdiatur di dalam suatu undang-undang.

Gagasan Perubahan Konstitusi dalam Perspektif Kekuasaan

Kehakiman Kendat ipun telah dilakukan perubahan yang cukup signifikan dalam pengaturan
hal ichwal kekuasaan kehakiman di dalam UUD tahun 1945 pasca amandemen, masih
ditemukan beberapa hal lainnya yang dapat mengakibatkan tidak dapat dilaksanakannya
kekuasaan kehakiman secara terhormat dan bermartabat dengan akuntabilitas yang tinggi.
Publik telah mengetahui dan mahfum bahwa pada periode Orde lama dan Orde Baru
adamasalah utama yang dihadapi oleh kekuasaan kehakiman berkenaan dengan
intervensikekuasaan dan kepentingan politik serta eksekutif. Intervensi dimaksud dilakukan
melalui:

kesatu, kedudukan mahkamah ditempatkan sebagai bagian dari instrumen kekuasaan


politikOrde Lama untuk menjalankan politik “revolusioner” dari kekuasaan;kedua, pada
periode Orde Baru, mahkamah tidak lagi secara eksplisit menjadi bagian darikepentingan
tetapi ada “kontrol politik” terhadap tugas dan wewenang mahkamah. Kontrol dimaksud
antara lain meliputi: mekanisme rekruitmen hakim agung, pemilihan danpengangkatan ketua
mahkamah, kontrol eksekutif atas promosi dan mutasi para hakim dilingkungan mahkamah,
politik anggaran yang disusun dan dirumuskan dengan campurtangan yang cukup intensif dari
birokrasi pemerintahan;Pasca Orde Baru, masalah utama seperti diuraikan di atas tidak lagi
sepenuhnya dapatdidesakkan kepada mahkamah karena adanya rumusan pasal di dalam
konstitusi yangcukup tegas yang menyatakan kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan yang
merdekauntuk menyelenggarakan peradilan. De facto, Mahkamah Agung pada saat ini
sudah:kesatu, dapat melakukan promosi dan mutasi secara mandiri tanpa campur tangan lagi
dari birokrasi;

kedua, Ketua dan Wakil Ketua Mahkamah Agung maupun Mahkamah Konstitusi dipilih dari
dan oleh hakim agung dan hakim konstitusi sendiri; ketiga, mahkamah dapat menyusun dan
merumuskan secara mandiri anggaran yang diperlukan untuk menjalankan tugas, fungsi, dan
wewenangnya.Kendati ada perubahan yang menjaga dan mewujudkan eksistensi dan prinsip
dasar kekuasaan kehakiman, publik masih merasakan adanya fakta yang
memperlihatkan,kekuasaan kehakiman belum sepenuh-penuhnya menjadi terhormat,
bermartabat, dan mempunyai standar kinerja dengan akuntabilitas yang tinggi.Tentu saja,
pendapat publik tersebut tidak dapat menafikkan berbagai upaya yang terus menerus
dilakukan oleh mahkamah dan jajarannya.

Ada beberapa fakta yang senantiasa diajukan oleh sebagian publik untuk mendukung alasan
dan argumentasi tuntutannya yang secara sepihak, yaitu dengan menyatakan antara lain:
Peradilan yang sederhana, cepat dan biaya ringan belum sepenuhnya dapat diterapkansecara
absolut. Tunggakan perkara belum dapat diselesaikan secara tuntas, di samping begitu
banyaknya jumlah perkara yang diterima oleh Mahkamah Agung untuk diselesaikan.Fakta ini
berbanding terbalik dengan proses yang terjadi di Mahkamah Konstitusi yangsudah
menerapkan prinsip sederhana, cepat, dan biaya ringan dalam menanganiperkara-perkara yang
menjadi tugas dan wewenangnya.Publik belum secara luas bisa mendapatkan akses informasi
terhadap proses dan tahapanperadilan dari suatu perkara yang diajukannya, khususnya di
tingkat banding dan kasasi.Tidak jelasnya tahapan proses dan waktu penyelesaian perkara
membuat para justiabelmenjadi “gamang” dan bertanya-tanya, apakah kasusnya sedang atau
sudah ditangani olehpengadilan, baik pada tingkatan banding maupun mahkamah. Di sisi
lainnya, mahkamahjuga telah mengeluarkan Surat Edaran yang mengatur tentang akses
informasi.Proses peradilan yang memungkinkan belum dapat diwujudkan peradilan yang
bersihdengan akuntabilitas yang tinggi. Pada saat ini, mahkamah dan pengadilan di
bawahnyamempunyai keleluasaan untuk menggunakan kewenangannya secara bebas.
Independensiyang absolut tanpa disertai kontrol yang baik tidak akan menghasilkan
akuntabilitas, bahkanpotensial memunculkan potensi abuse of power;. Secara umum hendak
dikatakan bahwahal yang paling subtil dari kekuasaan kehakiman adalah adanya jaminan
kekuasaan yangmerdeka dalam menjalankan kekuasaan peradilan. Tidak ada kekuasaan
kehakiman jikaindependensi dalam menjalankan wewenangnya “dirampok” atau mudah
“diintervensi”.Periode Orde lama dan Orde Baru menjadi menjadi pelajaran penting ketika
kekuasaankehakiman dijadikan bagian dari kepentingan kekuasaan revolusi dan/atau Presiden
punyakekuasaan untuk menentukan siapa yang dapat menjadi hakim agung dan ketua
MahkamahAgung.Ada beberapa putusan pengadilan yang mendapat sorotan publik karena
bertentangandengan rasa keadilan masyarakat.

Bandingkan saja, putusan yang menyangkut nenekMinah, Jaksa Esther yang menggelapkan
barang bukti narkoba dan putusan GayusTambunan yang divonis bebas padahal diketahui
menerima gratifikasi hampir sekitar 25 miliar rupiah. Sebaliknya juga ada putusan yang
diapresiasi publik, seperti putusan dalamkasus Prita Mulyasar

Adanya sinaya elemen yang diajukan aktivis anti korupsi yang mensinyalir adanya
tendensiputusan pengadilan dalam kasus-kasus korupsi yang hukumannya ringan dan
bahkansebagiannya dibebaskan. ICW merilis berita bahwa putusan dengan hukuman
percobaan,sanksinya ringan dan malah dibebaskan.Berbagai uraian yang dikemukakan di atas
memperlihatkan tantangan lain yang kini munculyang ditengarai dapat mengakibatkan tidak
dapat dilaksanakannya kekuasaan kehakimansecara terhormat dan bermartabat dengan
akuntabilitas yang tinggi guna menegakkanhukum dan keadilan.Pada akhirnya, tantangan
dimaksud muncul dari berbagai fakta dalam penerapankekuasaan kehakiman telah dinilai
masyarakat bahwa peradilan belum sepenuhnya dapatditegakkan sesuai dengan tujuan dari
kekuasaan kehakiman yaitu menegakkan hukum dankeadilan.Jika fakta di atas dikaji secara
mendalam maka perlu diajukan suatu pertanyaan kritis,apakah fakta penerapan proses
peradilan di atas adalah problem penegakan hukum, dantidak berkaitan langsung dengan
rumusan pasal yang telah dikemukakan di dalam UUDTahun 1945 pasca amandemen?Begitu
Pula halnya dengan adanya fakta yang menegaskan, independensi yang absolutternyata
potensial menciptakan penyalahgunaan kekuasaan atau abuse of power sepertitelah
dikemukakan di atas. Ketidakprofesionalan, kesengajaan melakukan tindakan koruptif,dan
kesewenang-wenangan dapat berlindung di balik independensi sehingga tidak
hanyamerugikan para justiabel saja, tetapi juga merusak martabat dan kehormatan hakim
dankekuasaan kehakiman itu sendiri.Itu sebabnya pertanyaan yang perlu diajukan dengan
adanya diskursus publik dan adanyatuntutan yang kian menguat, apakah independensi harus
dilekatkan dan diletakkan jugadalam prinsip akuntabilitas sehingga kekuasaan kehakiman
seyogianya sebagai kekuasaanyang merdeka dan akuntabel.Independensi harus ditegakkan
sebagai satu sisi koin mata uang yang disertai akuntabilitaspada sisi lainnya. Hal itu
dimaksudkan agar independensi yang disertai akuntabilitas dapatsecara signifikan
meminimalisir suatu potensi yang menyebabkan terjadinya anarkisme dantindakan
koruptif.Berdasarkan seluruh uraian di atas maka ada kebutuhan untuk meningkatkan
kualitaskekuasaan kehakiman. Salah satu cara yang tersedia adalah melakukan
amandemenkonstitusi dan untuk itu diusulkan beberapa hal, yaituKonstitusi harus
merumuskan secara tegas dan jelas prinsip akuntabilitas. Prinsip dimaksudmenjadi prinsip
yang sangat penting dalam menjalankan kekuasaan kehakimanbersama-sama dengan prinsip
independensi. Terbuka peluang untuk menegaskan perlunyaprinsip profesional, jujur, dan adil
sebagai prinsip dasar dalam menjalankan kekuasaankehakiman karena penyelenggaraan
pemilu saja sesuai konstitusi harus dilakukan secarajujur dan adil selain langsung, umum,
bebas dan rahasia apalagi bila melaksanakankekuasaan kehakiman.

Adanya sinaya elemen yang diajukan aktivis anti korupsi yang mensinyalir adanya
tendensiputusan pengadilan dalam kasus-kasus korupsi yang hukumannya ringan dan
bahkansebagiannya dibebaskan. ICW merilis berita bahwa putusan dengan hukuman
percobaan,sanksinya ringan dan malah dibebaskan.Berbagai uraian yang dikemukakan di atas
memperlihatkan tantangan lain yang kini munculyang ditengarai dapat mengakibatkan tidak
dapat dilaksanakannya kekuasaan kehakimansecara terhormat dan bermartabat dengan
akuntabilitas yang tinggi guna menegakkanhukum dan keadilan.Pada akhirnya, tantangan
dimaksud muncul dari berbagai fakta dalam penerapan kekuasaan kehakiman telah dinilai
masyarakat bahwa peradilan belum sepenuhnya dapatditegakkan sesuai dengan tujuan dari
kekuasaan kehakiman yaitu menegakkan hukum dankeadilan.Jika fakta di atas dikaji secara
mendalam maka perlu diajukan suatu pertanyaan kritis,apakah fakta penerapan proses
peradilan di atas adalah problem penegakan hukum, dantidak berkaitan langsung dengan
rumusan pasal yang telah dikemukakan di dalam UUDTahun 1945 pasca amandemen?Begitu
Pula halnya dengan adanya fakta yang menegaskan, independensi yang absolutternyata
potensial menciptakan penyalahgunaan kekuasaan atau abuse of power sepertitelah
dikemukakan di atas. Ketidak profesionalan, kesengajaan melakukan tindakan koruptif,dan
kesewenang-wenangan dapat berlindung di balik independensi sehingga tidak hanya
merugikan para justiabel saja, tetapi juga merusak martabat dan kehormatan hakim
dankekuasaan kehakiman itu sendiri.Itu sebabnya pertanyaan yang perlu diajukan dengan
adanya diskursus publik dan adanyatuntutan yang kian menguat, apakah independensi harus
dilekatkan dan diletakkan jugadalam prinsip akuntabilitas sehingga kekuasaan kehakiman
seyogianya sebagai kekuasaanyang merdeka dan akuntabel.Independensi harus ditegakkan
sebagai satu sisi koin mata uang yang disertai akuntabilitaspada sisi lainnya. Hal itu
dimaksudkan agar independensi yang disertai akuntabilitas dapatsecara signifikan
meminimalisir suatu potensi yang menyebabkan terjadinya anarkisme dantindakan
koruptif.Berdasarkan seluruh uraian di atas maka ada kebutuhan untuk meningkatkan
kualitaskekuasaan kehakiman. Salah satu cara yang tersedia adalah melakukan
amandemenkonstitusi dan untuk itu diusulkan beberapa hal, yaituKonstitusi harus
merumuskan secara tegas dan jelas prinsip akuntabilitas. Prinsip dimaksudmenjadi prinsip
yang sangat penting dalam menjalankan kekuasaan kehakimanbersama-sama dengan prinsip
independensi. Terbuka peluang untuk menegaskan perlunyaprinsip profesional, jujur, dan adil
sebagai prinsip dasar dalam menjalankan kekuasaankehakiman karena penyelenggaraan
pemilu saja sesuai konstitusi harus dilakukan secara jujur dan adil selain langsung, umum,
bebas dan rahasia apalagi bila melaksanakankekuasaan kehakiman.

SUMBER :
A. Ahsin Thohari , “Kedudukan Komisi-komisi Negara dalam Struktur Ketatanegaraan
Indonesia”, (Jakarta: Jentera, 2006), Edisi 12 Tahun III, h. 33.

A. Ahsin Thohari , “Kedudukan Komisi-komisi Negara dalam Struktur Ketatanegaraan


Indonesia”, (Jakarta: Jentera, 2006), Edisi 12 Tahun III h. 13-14.

Yohanes Usfunan, “Komisi Yudisial, Bunga Rampai Refleksi Satu Tahun Komisi Yudisial,
(Jakarta: Komisi Yudisial RI, 2005), h. 194

Lihat konsideran huruf b Undang-undang Nomor 18 Tahun 2011 Tentang Komisi Yudis

Anda mungkin juga menyukai