Anda di halaman 1dari 10

Nama : Giffari Laili Mardliah

NIM : 048672978

TUGAS III
ILMU NEGARA

Soal 1 dan 2
Penyimpangan Pelaksanaan dalam Penegakan Hukum: Korupsi dan Sistem Peradilan
Undang-undang Dasar 1945 ("UUD 1945") menetapkan bahwa Indonesia adalah negara
berdasarkan hukum (rechtsstaat), dan bukan negara kekuasaan (machtstaat). Lebih lanjut Moh.
Yamin dalam bukunya yang berjudul "Pengertian tentang Negara Hukum" mendefinisikan
negara hukum (rechtsstaat) atau government of laws sebagai berikut:
"Kekuasaan yang dilakukan oleh pemerintah hanya berdasarkan dan berasal dari undang-undang
dan sekali-kali tidak berdasarkan kekuasaan senjata, kekuasaan sewenang-wenang atau
kepercayaan bahwa kekuatan badanlah yang boleh memutuskan segala pertikaian dalam negara."
Melihat definisi tersebut, dapat disimpulkan bahwa antara hukum dan kekuasaan saling
berhubungan satu sama lain. Hukum memerlukan kekuasaan bagi pelaksanaannya. Sebaliknya,
kekuasaan itu sendiri ditentukan batas-batasnya oleh hukum. Sehingga dalam bentuk slogan
dapat dikatakan bahwa: "hukum tanpa kekuasaan adalah angan-angan, kekuasaan tanpa hukum
adalah kelaliman.
Dalam suatu negara hukum, asas taat dan hormat pada hukum (respect for law) dapat terwujud
apabila pelaksanaan penegakan hukum dilakukan secara tegas, konsisten, dan tidak diskriminatif
terhadap setiap orang yang melakukan pelanggaran hukum. Setiap orang mempunyai kedudukan
dan hak yang sama di hadapan hukum (equality before the law), termasuk juga pihak penguasa
dan aparat penegak hukum.
Hukum harus dilaksanakan dan dijunjung tinggi oleh semua warga negara tanpa terkecuali.
Dengan kata lain, supremasi hukum (supremacy of law) merupakan syarat mutlak bagi suatu
negara hukum. Esensi dari supremasi hukum adalah bahwa kekuasaan itu dilakukan oleh hukum,
c.q. undang-undang dan bukan oleh manusia. Justice for all adalah esensi dari pencapaian
supremasi hukum dalam praktek sehari-hari.
Namun demikian, penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) oleh pemegang kekuasaan
dengan mengatasnamakan kepentingan dan kesejahteraan umum (public welfare) atau
mengatasnamakan peraturan hukum sering kali terjadi dalam suatu pemerintahan dari negara
yang berdasarkan hukum (pemerintahan konstitusional), termasuk negara Indonesia.
Kepentingan umum sering kali tidak dirumuskan secara jelas dalam peraturan perundang-
undangan, sehingga interprestasi yang sah dilakukan secara sepihak (justification) untuk
membenarkan tindakan pemegang kekuasaan. Hukum sering kali digunakan sebagai alat untuk
mencapai maksud dan tujuan penguasa yang sulit dipertanggungjawabkan secara konstitusional.
Terjadinya keadaan tersebut di atas tidak terlepas dari ketentuan-ketentuan yang diatur dalam
UUD 1945 itu sendiri. UUD 1945 menentukan pula bahwa Indonesia menganut paham
pembagian kekuasaan (distribution of powers). Pengaturan mengenai pembagian tugas antara
cabang-cabang kekuasaan seperti legislatif, eksekutif, dan yudikatif tidak diatur secara tegas,
sehingga menimbulkan kecenderungan lembaga yang satu lebih kuat dari yang lain.
Hal ini tentu jauh berbeda dengan negara-negara maju yang menganut paham pemisahan
kekuasaan atau separation of powers (Trias Politica murni), di mana pengaturan mengenai
pembagian kekuasaan dan tugas diantara badan eksekutif, legislatif, dan yudikatif diatur secara
tegas. Demikian juga pengaturan mengenai sistem checks and balances di antara badan-badan
tersebut.
Upaya pencapaian supremasi hukum di Indonesia
Melihat praktek penegakan hukum yang terjadi selama ini nampak bahwa pelaku-pelaku
ekonomi atau kaum intelektual kita miskin atau kurang memiliki budaya hukum. Apa yang
terjadi dalam praktek penegakan hukum di Indonesia tidak bisa dipisahkan dengan budaya
hukum Indonesia yang masih dipengaruhi oleh kultur budaya Indonesia. Terlebih lagi, budaya
hukum intelektual di negara kita masih rendah.
Salah satu upaya untuk memperbaiki penegakan hukum di Indonesia adalah dengan
memperbaiki lembaga/institusi hukum itu sendiri. Penyelenggaraan hukum di Indonesia selama
ini masih mengalami kemandekan oleh karena aparat-aparat penegak hukum itu sendiri bekerja
dalam suasana yang koruptif, mental dan integritas yang merosot serta profesionalisme yang
rendah.
Selama ini, tidak ada pengawasan bagi mereka yang bekerja di bidang hukum dalam
menjalankan tugasnya. Karena itu, diperlukan suatu lembaga pengawasan peradilan yang
independen, imparsial dan jujur (independent, impartial and honest judiciary) yang dapat
mengawasi terus-menerus setiap tindakan-tindakan koruptif, tidak bermoral dan beretika yang
dilakukan oleh para aparat penegak hukum, seperti polisi, jaksa, advokat, dan hakim.
Kondisi melemahnya upaya pencapaian supremasi hukum juga disebabkan oleh kinerja aparat
penegak hukum tersebut yang belum menunjukkan sikap yang profesional dan tidak memiliki
integritas dan moral yang tinggi. Sebagai bagian dari supremasi hukum, kelembagaan aparat
penegak hukum yang belum mandiri menjadi penyebab tidak berjalannya penegakan hukum
yang efektif, konsisten, dan indiskriminatif.
Selain itu, dirasakan oleh masyarakat kalau para aparat penegak hukum itu sendiri terlalu
berpihak pada pemerintah, sehingga masyarakat lebih memilih jalur hukum yang berlaku dalam
masyarakat dibandingkan dengan jalur penegakan hukum formal yang sebenarnya bertentangan
dengan prinsip negara hukum. Kondisi tersebut juga dibarengi dengan kurangnya koordinasi
antara lembaga peradilan dengan lembaga-lembaga penegak hukum lainnya.
Karena itu, perlu dilakukan reformasi secara menyeluruh dan total dalam bidang hukum,
terutama terhadap institusi aparat penegak hukum. Yang dimaksud dengan reformasi dalam
bidang hukum adalah perubahan dan pembaharuan total terhadap seluruh sistem hukum (legal
system) dan penegakan hukum (law enforcement), terutama terhadap lembaga-lembaga penegak
hukum, mengingat selama ini merekalah yang sebenarnya sumber dan turut menjadi bagian dan
terjadinya kekacauan hukum (judicial disarray) tersebut.
Dalam rangka reformasi hukum tersebut, perlu dilakukan pembenahan terhadap lembaga
peradilan dan lembaga penegak hukum lainnya yang membutuhkan perencanaan terarah dan
terpadu, realistis, serta mencerminkan prioritas dan aspirasi kebutuhan masyarakat. Dengan
demikian, diharapkan pula agar lembaga hukum tersebut berdiri secara independen, imparsial
dan jujur (independent, impartial and honest judiciary). Selain itu, pembenahan ini harus
didukung pula oleh peningkatan kualitas dan kemampuan aparat penegak hukum untuk lebih
profesional, memiliki integritas, berkepribadian, bermoral, dan beretika yang luhur.
Untuk itu, kita perlu memperbaiki sistem perekrutan bagi para penegak hukum. Terutama, untuk
hakim dan hakim agung, promosi jabatan, mengadakan pendidikan hukum lanjutan, pelatihan
dan seminar-seminar, pembekalan moral dan etika profesi hukum serta meningkatkan sistem
pengawasan secara konsisten dan terus-menerus. Selain itu, perlu diadakan pula peningkatan
kesejahteraan terhadap aparat penegak hukum. Dengan demikian, dapat menciptakan aparat
penegak hukum yang berintegritas, berkualitas, profesional, beretika, dan bermoral.
Reformasi total bidang hukum
Di dalam negara hukum semua orang dipandang sama di hadapan hukum (equality before the
law). Dengan demikian, sebagai negara berdasar hukum, Indonesia dapat menciptakan kepastian,
ketertiban, dan keadilan hukum bagi semua rakyatnya. Tetapi, pelaksanaan hukum di Indonesia
belum ditegakkan sepenuhnya. Hal ini dikarenakan oleh masih banyaknya kepentingan politik
untuk mempertahankan kekuasaan dan memperjuangkan kepentingannya sendiri dalam
pemerintahan.
Selain itu, melemahnya penegakan hukum di Indonesia dikarenakan aparat penegak hukum
seperti polisi, jaksa, advokat, dan hakim yang belum menunjukkan sikap profesional dan tidak
memiliki integritas serta moral yang tinggi oleh. Karena, selama ini mereka bekerja dalam
suasana yang koruptif, mental, dan integritas yang merosot serta profesionalisme yang rendah.
Oleh karena itu, untuk mencapai penegakan supremasi hukum perlu dilakukan reformasi total
dalam bidang hukum. Khususnya, terhadap lembaga legislatif, lembaga yudikatif dan lembaga
peradilan serta institusiinstitusi hukumnya itu sendiri. Ada beberapa hal yang dapat dilakukan
oleh masyarakat, LSM-LSM yang ada, dan pemerintah untuk memberantas praktek-praktek
KKN dalam lembaga peradilan dan institusi hukum kita, yaitu antara lain:
1. Perbaikan institusi aparat penegak hukum dalam hal sistem rekrutmen (seleksi), testing dan
persyaratan menjadi aparat penegak hukum yang baik, mengadakan program pelatihan atau
program Continuing Legal Education (CLE) secara konsisten dan memberikan pembekalan etika
profesi hukum secara bertahap dan terus-menerus, sehingga tercipta aparat penegak hukum yang
profesional. Selain itu, adanya kerja sama dan koordinasi yang solid dan terpadu diantara para
aparat penegak hukum serta terciptanya institusi-institusi penegak hukum yang berwibawa.
Khusus mengenai badan peradilan sebagai sentra penegakan hukum, dalam rangka memerangi
judicial corruption perlu diadakan program penggantian hakim secara bertahap. Antara lain,
dengan menerapkan pensiun dini para hakim atau melakukan pemecatan terhadap hakim yang
melakukan penyelewengan dan tindak pidana atau yang membuat putusan-putusan kontrovesial.
Dengan demikian, dapat diharapkan adanya badan peradilan yang berwibawa dan bebas KKN.
2. Perlu diperbaiki sistem administrasi yudisial (administration of justice) dan manajemen
peradilan. Caranya, antara lain lembaga peradilan merekrut orang-orang dari disiplin ilmu lain.
Misalnya orang yang memang mempunyai keahlian di bidang manajemen, komputer, data
processing, psikologi dan sebagainya. Jadi, sudah waktunya pengadilan memperbaiki
manajemennya karena salah satu alasan sistem hukum tidak jalan adalah akibat manajemen
pengadilan yang kurang baik.
3. Perlu dukungan dan peran serta masyarakat luas (public support) terhadap pemberantasan
setiap praktek-praktek korupsi (KKN). Oleh karena itu, diperlukan diseminasi program Gerakan
Nasional Anti-Korupsi secara terus-menurus dan disosialisasikan sejak dini kepada masyarakat,
sehingga masyarakat tahu dan mewaspadai bahaya korupsi dan dengan berani melawan,
mengadu, melaporkan praktek-praktek korupsi yang dilakukan oleh para aparat penegak hukum
serta menolak atau jangan larut terlibat dalam suap, pungli, dan sebagainya.
4. Mendidik masyarakat agar menyadari bahwa korupsi merupakan perbuatan yang
merendahkan harkat dan martabat manusia (human dignity) Indonesia serta menciptakan corrupt
or inefficient governance, sehingga bangsa Indonesia tidak bisa berdiri sejajar dengan bangsa-
bangsa lain. Bangsa Indonesia menjadi bangsa yang tidak mandiri, manajemen pemerintah
menjadi tidak efisien dan tidak efektif, menjadi bangsa yang tidak produktif. Kehidupan
masyarakat menjadi tidak tentram karena masyarakat harus menanggung pajak yang tinggi.
Selain itu, mengakibatkan defisit APBN yang harus ditutup dengan cara menaikkan pajak,
menaikkan harga BBM, tarif listrik, bea masuk, tol, biaya angkutan, dan lain-lain.
Apabila masyarakat tidak dididik dan diberi kesadaran akan bahaya korupsi, maka masyarakat
akan tetap beranggapan bahwa korupsi adalah suatu perbuatan yang wajar. Dan pada akhirnya,
masyarakat akan menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuannya.

Sumber: https://www.hukumonline.com/berita/baca/hol6953/font-size1-
colorff0000bpenyimpangan-pelaksanaan-dalam-penegakan-hukumbfontbrkorupsi-dan-sistem-
peradilan?page=all
Pertanyaan
1. Berikan analisis permasalahan yang terjadi dalam sistem peradilan seperti kasus di atas
menggunakan kerangka konsep negara bersusun tunggal!
Jawab :
Negara bersusunan tunggal, yakni kekuasaan untuk mengatur seluruh daerahnya ada di
tangan pemerintah pusat. Pemerintah pusat memegang kedaulatan sepenuhnya, baik ke
dalam maupun ke luar. Hubungan antara pemerintah pusat dengan rakyat dan daerahnya
dapat dijalankan secara langsung. Dalam negara kesatuan hanya ada satu konstitusi, satu
kepala negara, satu dewan menteri (kabinet), dan satu parlemen. Demikian pula dengan
pemerintahan, yaitu pemerintah pusatlah yang memegang wewenang tertinggi dalam
segala aspek pemerintahan. Ciri utama negara kesatuan adalah supremasi parflemen
pusat dan tiadanya badan-badan lain yang berdaulat. Pilihan bentuk negara
(staatsvormen) sebagai sebuah negara kesatuan (unitary state, eenheidstaat) merupakan
pilihan final bagi bangsa Indonesia. Negara kesatuan adalah negara unitaris dan bersusun
tunggal. Konsekuensi sebagai sebuah negara kesatuan adalah kewenangan pemerintahan
terpusat di tingkat pemerintahan pusat dan daerah otonom merupakan bentukkan
pemerintahan pusat. Dengan kata lain, seluruh kewenangan dalam penyelenggaraan
pemerintahan pada hakekatnya merupakan milik pemerintah pusat, dan sebagian dari
kewenangan tersebut baru akan menjadi milik daerah otonom bila diserahkan kepada
daerah oleh Pemerintah melalui desentralisasi. Indonesia sebagai sebuah negara
kesatuan, dalam praktik penyelenggaraan urusan pemerintahan sepanjang perjalanan
sejarah mengalami pasang surut. Dimulai sejak awal kemerdekaan sampai saat ini terjadi
perubahan perubahan, baik dari sisi konsep maupun kecenderungannya ke arah
sentralisasi atau desentralisasi. Pasang surut tersebut berlangsung sangat dinamis,
puncaknya terjadi praktek penyelenggaraan urusan pemerintahan yang sangat sentralistis
dalam kurun waktu yang lama di masa orde baru, yang mengakibatkan pembangunan
untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat tidak tercapai dan proses demokratisasi
tidak berjalan seperti yang diharapkan. Hukum yang berada di negara Indonesia ini masih
menunjukkan adanya ketidakefektifan dalam berjalannya hukum. Proses penegakan
hukum masih jauh dari harapan kita semua, hukum tumpul keatas dan hukum tajam
kebawah. Rasa keadilan tidak menyentuh bagi kelas bawah, sedangkan mereka yang
memiliki kelas sosial lebih tinggi maka akan dengan mudah mendapatkan perlakuan yang
lebih istimewa. Kasuskasus yang mengemuka terdapat sebuah problematika dalam
penegakan hukum. Seolah-olah hukum dapat diperjualbelikan. Hukum semestinya dapat
berjalan secara efektif apabila semua sadar diri akan pentingnya menjunjung tinggi nilai-
nilai hukum yang berada dalam masyarakat. Gejala sosial yang muncul dari penerapan
hukum adalah suatu bentuk dari ilmu sosiologi hukum Dalam sistem peradilan negara
bersusun tunggal, terdapat beberapa permasalahan yang dapat terjadi seperti yang terjadi
pada kasus di atas. Salah satu permasalahan yang muncul adalah kurangnya keberhasilan
dalam menjalankan proses peradilan secara adil dan transparan. Hal ini disebabkan oleh
adanya kecenderungan untuk memihak pada pihak yang memiliki kekuatan atau
pengaruh yang lebih besar, serta adanya praktik korupsi dan nepotisme dalam sistem
peradilan.
Sumber :
https://an-nur.ac.id/bentuk-bentuk-negara/#:~:text=Negara%20Kesatuan%20adalah
%20negara%20bersusunan,daerahnya%20dapat%20dijalankan%20secara%20langsung.
https://lib.ui.ac.id/file?file=digital/128750-T%2026625-
Analisis%20juridisPendahuluan.pdf

https://www.researchgate.net/publication/
357620756_Ketidakadilan_Hukum_Kasus_Korupsi_di_Indonesia
2. Dari contoh kasus di atas, bagaimana pelaksanaan kekuasaan yuridis pada negara
kesatuan dan federal menggunakan rujukan teori ahli!
Jawab :
Dalam pelaksanaan kekuasaan yuridis pada negara kesatuan, kekuasaan yuridis berada
di tangan pemerintah pusat dan dijalankan melalui sistem peradilan nasional. Sedangkan
dalam negara federal, kekuasaan yuridis dibagi antara pemerintah pusat dan pemerintah
daerah, dan dijalankan melalui sistem peradilan federal dan negara bagian. Menurut
teori ahli, negara federal memiliki kelebihan dalam memberikan kekuasaan yang lebih
terdesentralisasi pada pemerintah daerah, sehingga dapat lebih responsif terhadap
kebutuhan lokal. Namun, negara kesatuan memiliki kelebihan dalam menjaga kesatuan
dan stabilitas negara secara keseluruhan.
Pelaksanaan kekuasaan yuridis (hukum) pada negara kesatuan dan negara federal dapat
dibedakan berdasarkan struktur pemerintahan dan pembagian kekuasaan di antara
entitas-entitas dalam negara tersebut. Berikut adalah penjelasan mengenai pelaksanaan
kekuasaan yuridis pada negara kesatuan dan negara federal, dengan rujukan kepada
teori ahli yaitu Negara Kesatuan adalah negara yang memiliki pemerintahan sentral
yang kuat dan memiliki wewenang tunggal dalam membuat undang-undang dan
mengatur seluruh wilayah negara. Dalam negara kesatuan, kekuasaan yuridis dijalankan
oleh pemerintah pusat.
Teori Hans Kelsen: Ahli hukum Hans Kelsen menyatakan dalam teori "Hukum Murni"
bahwa kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif berada di tangan pemerintah pusat.
Pemerintah pusat membuat undang-undang, menjalankan kebijakan, dan menjalankan
sistem peradilan di seluruh negara. Menurut Kelsen, negara merupakan suatu tertib
hukum yang muncul karena diciptakannya peraturan-peraturan hukum yang
menentukan bagaimana orang di dalam masyarakat atau negara itu harus bertanggung
jawab terhadap perbuatannya. Peraturan- peraturan hukum itu berlaku mengikat, artinya
bahwa setiap orang harus menaatinya. Jadi, negara adalah suatu tertib hukum yang
memaksa.
Teori Montesquieu: Ahli politik Montesquieu dalam teori "Pemisahan Kekuasaan"
menyatakan bahwa kekuasaan harus dipisahkan antara lembaga legislatif, eksekutif, dan
yudikatif. Namun, dalam negara kesatuan, pemisahan ini biasanya dilakukan secara
fungsional, di mana pemerintah pusat memiliki kekuasaan utama dalam ketiga lembaga
tersebut.
Negara Federal adalah negara yang terdiri dari entitas-entitas yang otonom, seperti
negara bagian atau provinsi, yang memiliki pemerintahan sendiri dan mempertahankan
sebagian kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Dalam negara federal, kekuasaan
yuridis dibagi antara pemerintah pusat dan entitas-entitas daerah.
Morrisan, juga menyatakan bahwa dalam negara federal kekuasaan dibagi antara pusat
dan daerah atau bagian dalam negara itu sedemikian rupa sehingga masing-masing
daerah atau bagian dalam negara itu bebas dari campur tangan satu sama lain dan
hubungannya sendiri-sendiri terhadap pusat. Pemerintah pusat memiliki kekuasaan
sendiri, demikian juga daerah atau bagian masing-masing mempunyai kekuasaan yang
tidak lebih tinggi atau lebih rendah dari yang lainnya. Pendapat tersebut jika dikaitkan
dengan Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 Pasal 10 ayat (1) dan (2) dapatlah
dikatakan bahwa antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah telah memiliki
kekuasaan masing-masing yang sederajat dan tidak ada saling campur tangan.
Penegasannya dapat dilihat dari kewenangan yang dimiliki oleh seorang kepala daerah
terhadap daerahnya atas inisiatif dan parakarsa dari masyarakatnya sendiri tanpa ada
campur tangan dari pemerintah pusat dalam nuansa otonomi. Sebagaimana dituangkan
dalam Pasal 1 ayat (6)“ daerah otonom yang selanjutnya disebut daerah adalah kesatuan
masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas.
Teori Johannes Althusius yaitu Ahli politik Johannes Althusius dalam teori
"Pemerintahan Federal" menekankan pentingnya pembagian kekuasaan antara
pemerintah pusat dan entitas-entitas daerah. Menurutnya, entitas-entitas daerah
memiliki otonomi dan kekuasaan legislatif sendiri yang diatur oleh konstitusi federal,
sementara pemerintah pusat juga memiliki kekuasaan legislatif tertentu. Teori
Alexander Hamilton: Salah satu Bapak Pendiri Amerika Serikat, Alexander Hamilton,
dalam tulisan Federalist mendiskusikan peran dan kewenangan yudikatif dalam negara
federal. Ia menyatakan pentingnya memiliki sistem pengadilan federal yang mandiri dan
memiliki kekuasaan untuk memutuskan sengketa antara pemerintah pusat dan entitas-
entitas daerah. Dalam negara federal, kekuasaan yuridis secara umum terbagi antara
pemerintah pusat dan entitas-entitas daerah. Pemerintah pusat memiliki kekuasaan
tertentu, sementara entitas-entitas daerah juga memiliki otonomi
Sumber :
https://media.neliti.com/media/publications/43244-ID-bentuk-negara-republik-
indonesia-ditinjau-pengaturan-tentang-pemerintahan-daerah.pdf

https://layanan.hukum.uns.ac.id/data/RENSI%20file/Buku%20ISHARYANTO/
14.%20BUKU%20ILMU%20NEGARA%20%282016%29.pdf
https://dkpp.go.id/wp-content/uploads/2018/11/
pengantar_ilmu_hukum_tata_negara.pdf.pdf
https://www.mahkamahagung.go.id/id/artikel/4206/pembangunan-hukum-perdata-
melalui-yurisprudensi

Soal 3
Negara mempunyai kekuasaan untuk menjalankan tugasnya mewujudkan tujuan awal berdirinya
negara. Masing-masing kekuasaan menjalankan peran masing-masing agar tidak terjadi saling
tindih kewajiban. Kekuasaan satu dengan lainnya tidak boleh dirangkap oleh satu
orang/lembaga.
Pertanyaan
3. Dari pernyataan di atas, buatlah analisis perbandingan konsep pemisahan kekuasaan
menurut John Locke dengan Montesqueu!
Jawab :
John Locke (1632-1704) Dalam pandangan Locke, keadaan alamiah (saat individu
belum memformasi negara) bukanlah keadaan kacau, melainkan keadaan dalam suasana
yang tertib. Dalam buku Two Treaties of Government (1689) Locke menguraikan cikal
bakal konsepnya mengenai pemisahan kekuasaan, terutama dalam bab XII yang
membicarakan “kekuasaan legislatif, eksekutif, dan federatif dari negara.” Locke
mengajarkan cikal bakal konsep balance of power dengan memungkinkan rakyat
‘memecat’ raja yang melanggar perjanjian masyarakat, melalui mana rakyat telah
melimpahkan kekuasaan kepada raja untuk menjalankan pemerintahan. Rakyat dengan
senang hati telah mengikatkan diri pada perjanjian masyarakat justru untuk melindungi
lives, liberty, dan estates mereka.

Sementara menurut John Locke, kekuasaan itu dibagi tiga, yaitu:


a. Kekuasaan legislatif, bertugas untuk membuat peraturan dan undang-undang.
b. Kekuasaan eksekutif, bertugas untuk melaksanakan undang-undang yang ada di
dalamnya termasuk kekuasaan untuk mengadili.
c. Kekuasaan federatif, tugasnya meliputi segala tindakan untuk menjaga keamanan
negara dalam hubungan dengan negara lain seperti membuat aliansi dan sebagainya
(dewasa ini disebut hubungan luar negeri).
Monstesqieu (1689-1755) Montesqieu mengembangkan lebih jauh konsep John Locke
mengenai monarki konstitusional, di mana kekuasaan yang satu membatasi kekuasaan
yang lain. Kekuasaan absolut dicegahnya melalui pemisahan kekuasaanyang membagi
negara ke dalam tiga poros kekuasaan yaitu eksekutif, legislatif, dan yudisial. Menurut
konsep ini, kekuasaan eksekutif ada pada raja, yang menjadwalkan kerja legislatif, dan
mempunyai veto terhadap keputusan legislatif, yang diatur menurut konsep perwakilan.
Kekuasaan yudisial adalah kekuasaan independen. Ajaran Montesqiue berdampak
langsung pada robohnya paham absolutisme yang sampai zaman itu terutama
diwujudkan pada pemerintahan monarki.
Montesquieu dalam masalah pemisahan kekuasaan membedakan pada tiga bagian,
yaitu:
a. Kekuasaan legislatif, bertugas untuk membuat undang-undang.
b. Kekuasaan eksekutif, bertugas untuk menyelenggarakan undang-undang (tetapi
oleh Montesquieu diutamakan tindakan di bidang politik luar negeri).
c. Kekuasaan yudikatif, bertugas untuk mengadili atas pelanggaran undang-undang.
Menurut Montesquieu dalam setiap pemerintahan tiga jenis kekuasaan itu mesti terpisah
satu sama lainnya, baik mengenai tugas (functie) maupun mengenai alat perlengkapan
(organ) yang melakukannya. Menurut ajaran ini tidak dibenarkan adanya campur tangan
atau pengaruh-mempengaruhi, antara yang satu dengan yang lainnya. Oleh karena itu
ajaran Montesquieu disebut pemisahan kekuasaan artinya ketiga kekuasaan itu masing-
masing harus terpisah baik lembaganya maupun orang yang menanganinya

Sumber:
https://mediaindonesia.com/politik-dan-hukum/497653/simak-pembagian-
kekuasaan-menurut-montesquieu-dan-john-locke

https://layanan.hukum.uns.ac.id/data/RENSI%20file/Buku%20ISHARYANTO/
14.%20BUKU%20ILMU%20NEGARA%20%282016%29.pdf

Anda mungkin juga menyukai