Anda di halaman 1dari 12

ETIKA YUDIKATIF DAN PERMASALAHANNYA

Tugas Paper Mata Kuliah Etika Administrasi Publik


Dosen Pengampu : Dr.Drs. Mochammad Rozikin, M.AP.

Disusun oleh:
Shela Febri Anggraini
NIM. 205030100111093
Mata Kuliah Etika Administrasi Publik
Kelas B

UNIVERSITAS BRAWIJAYA
FAKULTAS ILMU ADMINISTRASI
PROGRAM STUDI ADMINISTRASI PUBLIK
MALANG
2021
BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Lembaga pemerintahan terdiri dari tiga lembaga, yang sering disebut dengan istilah
trias politica, terdiri atas lembaga eksekutif, lembaga legeslatif, dan lembaga yudikatif.
Masing-masing lembaga mempunyai tugas dan fungsi yang berbeda sesuai dengan perannya.
Dalam ketiga lembaga tersebut tentu ditemukan sebuah etika pemerintahan untuk mengatur
segala tindakan dari aparaturnya. Tidak terkecuali dengan lembaga yudikatif yang juga
menggunakan etika pemerintahan dalam menjalankan fungsinya.

Banyaknya permasalahan-permasalahan yang timbul dalam lembaga yudikatif


mengindikasikan bahwa masih kurangnya hukum dan peraturan yang mengaturnya. Hukum
disini tentu sangat dibutuhkan agar para aparaturnya memiliki sikap disiplin. Namun, hukum
saja tidak akan mampu untuk mengatasi permasalahan yang timbul dalam lembaga yudikatif
apabila tidak diimbangi dengan adanya etika dalam pelaksanaan lembaga yudikatif. Etika
dapat berfungsi sebagai pedoman tingkah laku para hakim dan lainnya. Etika juga bisa
menjadi filter tentang bagaimana cara bertindak dan berperilaku yang baik.

Pedoman berperilaku dalam lembaga yudikatif sering disebut sebagai etika yudikatif,
yang digunakan untuk mengatur tindakan aparaturnya agar sesuai dengan norma dan tidak
melanggar peraturan yang telah ditetapkan. Lembaga yudikatif merupakan salah satu
lembaga pemerintahan, untuk itu etika yudikatif juga erat kaitannya dengan etika
pemerintahan.

1.2. Rumusan Masalah


1. Apa yang dimaksud dengan etika yudikatif?
2. Bagaimana etika dan budaya hukum dalam peradilan?
3. Apa saja permasalahan yang muncul dalam etika yudikatif?
1.3. Tujuan
1. Mengetahui maksud dari etika yudikatif
2. Mengetahui etika dan budaya hukum dalam peradilan
3. Mengetahui permasalahan yang muncul dalam etika yudikatif
BAB II

PEMBAHASAN

2.1. Etika Yudikatif

Etika berasal dari bahasa Yunani yaitu “ethos” dalam bentuk tunggal mempunyai
banyak arti yaitu tempat tinggal yang biasa, padang rumput, kandang, kebiasaan, adat,
akhlak, watak, perasaan, sikap dan cara berfikir. Dalam bentuk jamak “ta etha” artinya adat
kebiasaan. Dalam Ensiklopedia Indonesia, Etika disebut sebagai ilmu tentang kesusilaan yang
menentukan bagaimana patutnya manusia hidup dalam masyarakat, apa yang baik dan apa
yang buruk.

Bertens dalam (Pasolong, 2007: 190) mengartikan etika sebagai berikut :

1. Etika diartikan sebagai nilai-nilai dan norma-norma moral yang menjadi pegangan
bagi seseorang atau sekelompok orang dalam mengatur tingkah lakunya. Dengan kata
lain, etika di sini diartikn sebagai sistem nilai yang dianut oleh sekelompok
masyarakat dan sangat mempengaruhi tingkah lakunya.
2. Etika diartikan sebagai kumpulan asas atau nilai moral, atau biasa disebut kode etik.
3. Etika diartikan sebagai ilmu tentang tingkah laku yang baik dan buruk. Etika
merupakan ilmu apabila asas-asas atau nilai-nilai etis yang berlaku begitu saja dalam
masyarakat dijadikan bahan refleksi atau kajian secara sistematis dan metodis.

Pengertian etika dari para filsuf atau ahli berbeda dalam pokok perhatiannya, antara lain:

1. Merupakan prinsip-prinsip moral yang termasuk ilmu tentang kebaikan dan sifat dari
hak (the principles of morality, including the science of good and the nature of the
rights).
2. Pedoman perilaku, yang diakui berkaitan dengan memperhatikan bagian utama dari
kegiatan manusia (the rules of conduct, recognize in respect to a particular class of
human actions).
3. Ilmu mengenai watak manusia yang ideal, dan prinsip-prinsip moral sebagai
individual (the science of human character in its ideal state, and moral principles as
of an individual).
4. Merupakan ilmu mengenai suatu kewajiban (the science of duty).
Etika mencerminkan perilaku dari seorang individu yang sesuai dengan norma yang
berlaku. Dalam kehidupan sehari-hari, etika sering disamakan dengan istilah moral, norma,
dan etiket. Etika selalu berhubungan dengan kebiasaan atau watak manusia, baik kebiasaan
atau watak yang baik maupun kebiasaan atau watak yang buruk.

Etika tidak dapat menggantikan agama. Agama merupakan hal yang tepat untuk
memberikan orientasi moral. Pemeluk agama menemukan orientasi dasar kehidupan dalam
agamanya. Akan tetapi, agama itu memerlukan sebuah keterampilan etika agar dapat
memberikan orientasi bukan hanya sekedar indoktrinasi.

Sedangkan etika yudikatif sendiri merupakan aturan yang mengatur perilaku dari para
anggota yudikatif dengan menetapkan apa yang dianggap sebagai tindakan yang dapat
diterima dan apa yang tidak. Etika yudikatif ditujukan untuk menciptakan budaya hukum dan
peradilan yang menempatkan pada kepatutan, ketepatan, transparansi dan kejujuran dari
perilaku anggota yudikatif.

2.2. Etika dan Budaya Hukum dalam Peradilan


2.2.1. Etika dalam Hukum dan Peradilan

Menurut Magnis Suseno, salah satu fungsi utama etika yaitu untuk membantu mencari
orientasi secara kritis ketika berhadapan dengan moralitas yang membingungkan. Etika
adalah pemikiran sistematis tentang moralitas dan yang dihasilkannya secara langsung bukan
kebaikan, melainkan suatu pengertian yang lebih mendasar dan kritis. Dengan begitu, etika
dapat diartikan sebagai sikap, kebiasaan, kepercayaan dari seseorang atau kelompok dengan
seorang atau kelompok yang lain yang menjadi pegangan bagi mereka dalam mengatur
perilaku.

Mengutip dari Ahmad Amin, jika dilihat hubungan etika dengan ilmu hukum tujuan
keduanya tidak dapat dipisahkan karena etika dan hukum mengatur perbuatan manusia untuk
kebahagiaan mereka. Namun demikian, makna lingkungan etika lebih luas. Etika
memerintahkan berbuat apa yang berguna dan melarang berbuat segala apa yang mudarat.

Ilmu hukum tidak demikian, karena banyak perbuatan yang jelas memberi manfaat,
tetapi tidak diperintahkan untuk dilakukan. Misalnya, berbuat baik kepada fakir miskin dan
perlakuan baik antara suami istri tidak perlu dibuat lagi. Demikian juga beberapa perbuatan
yang mendatangkan kemudaratan tidak dicegah oleh ilmu hukum, contohnya dusta dan
dengki.
Ketua Mahkamah Agung Amerika Serikat Earl Warren (1953-1969) pernah
mengatakan, “In civilized life, law floats in a sea of ethics” (Dalam kehidupan yang beradab,
hukum mengapung di atas etika). Earl Warren menyebut hukum itu sebagai sesuatu yang
hanya dapat tegak, berlayar, bergerak di atas etika. Etika adalah landasan bagi hukum
mengapung di atas samuderanya. Lebih lanjut beliau menyatakan, hukum itu tak mungkin
tegak dengan cara yang adil jika air samudera etika tidak mengalir atau tidak berfungsi baik.

Oleh sebab itu, agar hukum dapat tegak dan terjaga dengan baik, maka pembangunan
kesadaran etika masyarakat sangatlah urgen. Etika, pada dasarnya lebih luas daripada hukum.
Setiap pelanggaran terhadap hukum, kebanyakan adalah pelanggaran juga terhadap etika.
Akan tetapi sesuatu yang melanggar etika belum tentu melanggar hukum. Etika lebih luas,
bahkan dapat dipahami sebagai basis sosial bagi bekerjanya sistem hukum. Jika etika
diumpamakan sebagai samudera, maka hukum merupakan kapalnya.

Etika mempunyai peran penting bagi professional hukum (seperti hakim, jaksa,
advokat, polisi, notaris, dan lain sebagainya), khususnya bagi profesi hakim. Moralitas atau
etika adalah alat dorong terhadap keadaan jiwa yang diwujudkan dalam melaksanakan
profesinya. Secara filosofis sikap patuh profesional hukum terhadap kode etik merupakan
ketaatan naluriah, bersatu dengan pikiran, jiwa serta langkah perilaku para profesional.
Kepatuhan terbentuk dari masing-masing orang, bukan karena suatu paksaan. Pantulan sikap
etis profesional muncul, yakni ketika para profesional merasa jika ia melanggar kode etik.

Eksistensi kode etik profesi sangatlah penting. Kode etik memiliki tiga fungsi, yaitu
sebagai sarana kontrol sosial, sebagai pencegah campur tangan pihak lain, dan sebagai
pencegah kesalahpahaman dan konflik. Etika menurut Magnis Suseno berguna untuk
membantu manusia mencari orientasi secara kritis dalam berhadapan dengan moralitas yang
membingungkan.

Etika berhubungan erat dengan hukum. Keduanya memiliki persamaan begitu pula
perbedaan. Akan tetapi, perbedaan itu bukan untuk memisahkan keduanya. Persamaan etika
dan hukum, yakni keduanya memiliki sifat normative dan mengandung norma etik dan
bersifat mengikat. Selain itu, etika dan norma hukum mempunyai tujuan sosial yang sama,
yakni agar manusia berbuat baik sesuai dengan norma masyarakat dan bagi siapa yang
melanggar akan dikenai sanksi.
Perbedaan dari etika dan norma hukum berkaitan dengan sanksi, sebab sanksi
pelanggaran etika hanya berlaku bagi anggota golongan profesi tertentu semata. Sebaliknya,
sanksi norma hukum berlaku untuk semua orang berdasarkan wilayah territorial tertentu,
semua warga negara dan masyarakat. Apabila terjadi pelanggaran etika cukup ditangani oleh
perangkat organisasi profesi yang tunduk pada kode etik profesi bersangkutan. Jika
pelanggaran dalam bidang norma hukum diselesaikan oleh lembaga peradilan/pengadilan.

Hubungan antara penegakan etik dan penegakan hukum, Jimly Asshiddiqie


berpendapat, sebelum suatu tuduhan pelanggaran hukum dapat dibuktikan secara tuntas di
pengadilan, citra institusi publik tempat yang bersangkutan bekerja sudah hancur terlebih
dahulu di mata publik. Karena itu, pembinaan dan pengendalian perilaku ideal terhadap
orang-orang yang duduk dalam jabatan-jabatan publik dipandang lebih baik apabila
dilakukan melalui sistem etika (peradilan etik) terlebih dahulu, dan proses hukumnya tetap
berjalan kemudian.

Pada awal abad ke-20, mulai berkembang yang dinamakan tahap perkembangan etika
fungsional, di mana sistem etika mulai dipositivisasikan atau dikodifikasikan dalam bentuk
kode etik. Walaupun sifatnya masih tertutup dan dengan kewenangan yang terbatas. Di
Indonesia lembaga etik tersebut biasa disebut dengan istilah: Majelis Kehormatan atau
Dewan Kehormatan dan bersifat ad hoc, namun ada juga yang sudah bersifat permanen.

2.2.2. Budaya Hukum di Peradilan

Dalam sejarah peradaban, manusia sebagai makhluk termulia dengan karunia akal
dari-Nya senantiasa berusaha untuk menemukan cara-cara baru yang lebih efisien dan efektif
untuk meningkatkan hasil pekerjaan maupun manfaatnya. Hal ini dapat dicermati dari
perkembangan teknologi yang terus meningkat dengan kecepatan yang tidak pernah
terbayangkan sebelumnya.

Adapun manfaat yang diperoleh dari perkembangan teknologi adalah kemudahan


dalam menjalankan berbagai aktivitas kehidupan. Kemajuan dan perkembangan teknologi
yang sangat cepat tersebut bermanfaat bagi semua negara yang terkena dampaknya.
Perkembangan teknologi ini selain menimbulkan dampak positif, tetapi juga memiliki
dampak negatif, antara lain perubahan gaya hidup yang menjadikan beban ekonomi menjadi
semakin tinggi. Kondisi ini mendorong perilaku sebagian masyarakat untuk mendapatkan
hasil secara instan tanpa menghiraukan perlunya mengikuti proses ataupun prosedur yang
semestinya.

Masyarakat lebih mudah menerima dan mengkonsumsi produk asing serta berusaha
untuk memenuhi semua kebutuhan hidupnya dengan segala cara yang kurang bermoral.
Tindakan-tindakan itu melahirkan bentuk korupsi, kolusi, dan nepotisme. Kasus-kasua
korupsi yang marak terjadi di kalangan politisi, pemerintahan, maupun penegak hukum
dewasa ini merupakan fenomena yang menunjukkan bentuk perilaku menyimpang
masyarakat modern.

Bangsa Indonesia memiliki berbagai suku dengan variasi ragam budaya yang sangat
banyak. Namun jika menyangkut budaya hukum dalam konteks nasional berdasarkan teori
Lawrence M. Friedman sebagaimana penjelasan sebelumnya, maka budaya hukum di
Indonesia tidak saja dipengaruhi oleh dua unsur lainnya, yaitu struktur hukum dan substansi
hukum, melainkan juga dipengaruhi oleh sifat komunal mayoritas masyarakat di Indonesia.

Pengertian komunal menurut Kamus Bahasa Indonesia (KBBI) adalah (i)


bersangkutan dengan komune dan (ii) milik rakyat atau umum. Jadi sifat komunal
mengandung makna mementingkan kebersamaan dalam kelompok. Nilai-nilai kebersamaan
ini yang luhur dan baik diturunkan dari generasi ke generasi sebagai budaya bangsa dalam
berbagai bentuk tradisi, kebiasaan, dan adat istiadat.

Namun demikian, nilai komunal tersebut nampaknya belum dioptimalkan untuk


mendorong tumbuhnya sikap positif membangun nilai etik di berbagai strata sosial, akan
tetapi hanya efektif berfungsi jika yang dirasakan, dipikirkan, dan dilakukan itu berhubungan
dengan hal-hal yang diliputi semangat kemarahan, perusakan, kebencian, penghancuran.
Adapun terkait hal tersebut dapat dilihat pada contoh berikut: (i) merekrut orang untuk diajak
marah dan mengumbar kebencian secara bersama-sama lebih mudah daripada meyakinkan
orang untuk bertindak kebaikan, dan (ii) mengumpulkan orang untuk menebar sampah lebih
mudah daripada mengumpulkan orang yang sadar bahaya sampah.

Sinyalemen negatif terkait belum berfungsinya sifat komunal di atas tentu bukan
tanpa sebab. Hal tersebut sangat mungkin terjadi karena tekanan kehidupan sebagian
masyarakat dalam menghadapi dan sekaligus memenuhi kebutuhan diri maupun keluarganya
dengan gaya hidup yang lebih modern. Akan tetapi pada sisi lain, sebagian masyarakat tadi
secara hakekat masih jauh dari pola kehidupan modern yang menuntut sikap kedisiplinan,
profesionalitas, produktivitas, sportivitas, dan tanggung jawab, serta menjaga kepercayaan.

Kecenderungan pada sikap individualisme, konsumerisme dan hedonisme, serta


belum berfungsinya sifat komunal sebagaimana uraian di atas tentu saja tidak sesuai dengan
jati diri dan nilai-nilai luhur bangsa yang terkandung dalam Pancasila. Oleh karena itu, perlu
tindakan konkrit dan sistematis oleh lembaga resmi –maupun lembaga swasta– untuk segera
mengupayakan dan mendorong perkembangannya ke arah yang lebih ideal.

Dengan demikian etika dan budaya hukum sangat diperlukan dalam suatu sistem
hukum untuk mewujudkan penegakan hukum dalam mencapai keadilan yang diinginkan oleh
masyarakat. Soerjono Soekanto mengemukakan bahwa faktor-faktor penegakan hukum agar
dapat berjalan efektif, yaitu meliputi faktor hukumnya, dan faktor aparat penegak hukumnya,
faktor sarana prasarana untuk menunjang tegaknya hukum, serta faktor budaya hukum.

Penegakan hukum akan berjalan dengan baik apabila budaya hukum dari masyarakat
juga berkembang sesuai dengan etika yang berlaku di dalam kehidupan masyarakat. Oleh
karena itu penegakan etik sangat diperlukan agar penegakan hukum bisa berjalan dengan
baik. Jika kita bicara berkaitan dengan sistem norma hukum, maka akan terjadi perbedaan
yang prinsipil apabila dihubungkan dengan sikap atau perilaku dalam keyakinan keagamaan
yang dianut oleh para pemeluk ajaran agama yang berbeda-beda dan akan sulit untuk
dipertemukan. Namun, apabila kita bicara mengenai etika, maka pada pokoknya semua
agama selalu mengajarkan perilaku mulia dalam kehidupan bersama. Universalitas sistem
nilai etika ini dapat dengan mudah dijadikan sarana untuk mempersatukan umat manusia
yang berbeda-beda golongan dalam satu kesatuan sistem nilai luhur yang dapat membangun
integritas kehidupan bersama.

Untuk mewujudkan tegaknya hukum dan keadilan, kita harus membangun masyarakat
yang beretika dengan baik, yang merupakan cermin dari masyarakat yang sungguh-sungguh
menjalankan ajaran-ajaran agama yang diyakininya. Masyarakatyang beragama dengan baik
itu adalah masyarakat yang berperilaku dalam kehidupan bersama sesuai dengan standar-
standar etika dan perilaku yang ideal dalam kehidupan bersama.

Oleh karena itu, sistem norma etika juga dapat difungsikan sebagai filter dan
sekaligus penyanggah, serta penopang bagi bekerja serta efektifnya sistem norma hukum.
Setiap kali terjadi perilaku menyimpang, sebelum memasuki ranah hukum, maka sudah
tersedia sistem etika yang melakukan perbaikan atau koreksi.

Adapun hubungan budaya hukum dengan penegakan hukum juga sangat berpengaruh.
Sebagai contoh, dalam hal penyelesaian sengketa di Indonesia memiliki pola tersendiri.
Menurut Daniel S. Lev., budaya hukum di Indonesia dalam cara penyelesaian konflik
mempunyai karakteristik sendiri yang disebabkan oleh nilai-nilai tertentu. Kompromi dan
perdamaian merupakan nilai-nilai yang mendapat dukungan kuat dari masyarakat. Nilai-nilai
tersebut cenderung untuk memberikan tekanan pada hubungan-hubungan personal, solidaritas
komunal, serta penghindaran terhadap sengketa-sengketa.

2.3. Permasalahan Etika Yudikatif

Permasalahan etika yudikatif tidak jauh-jauh dari perilaku hakim pemegang


kekuasaan yudikatif lainnya. Pengaruh lingkungan setempat dan kebutuhan terhadap
pemenuhan gaya hidup modern dengan jalan pintas yang telah merasuk di berbagai strata
sosial, tentu berpengaruh juga terhadap sikap batin para hakim yang kurang kuat pegangan
atau pedoman hidup keagamaannya. Situasi dan kondisi demikian sejauh ini belum
mendapatkan pengawasan yang memadai oleh birokrasi di tingkat pimpinan ataupun
pengawas, sehingga berdampak terhadap kinerja dan kualitas-kualitas putusan hakim.

Hakim yang terkena pengaruh jalan pintas tersebut sesungguhnya memiliki ciri-ciri
yang mudah dikenali, antara lain melalui:

i. Cara penampilan diri dan keluarganya dalam kehidupan sehari-hari maupun lembaga
pendidikan yang dipilih untuk anak-anaknya tidak sepadan dengan profil penghasilan hakim
secara wajar – dan istrinya jika ikut bekerja;

ii. Pertimbangan hukum dan kualitas putusannya sering abai terhadap hukum acara maupun
nilai-nilai luhur yang diharapkan dimiliki oleh seorang hakim; dan

iii. Adanya beberapa laporan mengenai perilaku maupun keberatan atas putusan-putusan
hakim yang diajukan oleh para pihak yang berperkara.

Pada dasarnya independensi kekuasaan kehakiman dan akuntabilitas tersebut


merupakan dua sisi mata uang (koin) yang senantiasa menyatu. Dengan kata lain, konteks
kebebasan peradilan (independency of judiciary) haruslah diimbangi dengan pasangan
utamanya, yaitu akuntabilitas peradilan (accountability of judiciary).
Konsekuensi lanjutnya adalah adanya pengawasan atau kontrol yang –seharusnya–
melekat pada kinerja badan-badan peradilan, baik mengenai jalannya peradilan maupun
perilaku para aparatnya. Kondisi ini tentu saja sangat berpengaruh terhadap menurunnya
kualitas putusan, sehingga keadilan yang diharapkan dapat diperoleh di lembaga pengadil ini
tergantikan oleh putusanputusan yang semakin jauh dari rasa keadilan, sedangkan dampak
lanjutannya adalah wibawa peradilan yang juga menurun.

Putusan-putusan yang tidak berpihak pada rasa keadilan dan wibawa peradilan yang
terus menurun ini jika berlangsung lama akan menimbulkan stigma peradilan dan berpotensi
menjadi budaya hukum – negatif – yang menurut definisi KBBI sebagai sesuatu yang sudah
menjadi kebiasaan yang sudah sukar diubah.

Agar lembaga pengadil ini mampu memelihara dan menjaga wibawanya, maka tidak
saja diperlukan program penguatan pengawasan terhadap perilaku hakim, tetapi juga
diperlukan pembinaan dan peningkatan kapasitas hakim yang sistematis agar selalu siap
melakukan penanganan perkara yang terus meningkat baik dari jumlah maupun tingkat
kerumitannya. Di samping itu, hal yang tidak kalah penting adalah adanya kesinambungan
program yang mampu menggugah kesadaran dan jati diri terhadap tugas mulia yang
diembannya melalui internalisasi Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim (KEPPH).
BAB III

PENUTUP

3.1. Kesimpulan

Etika yudikatif merupakan aturan yang mengatur perilaku dari para anggota yudikatif
dengan menetapkan apa yang dianggap sebagai tindakan yang dapat diterima dan apa yang
tidak. Etika yudikatif ditujukan untuk menciptakan budaya hukum dan peradilan yang
menempatkan pada kepatutan, ketepatan, transparansi dan kejujuran dari perilaku anggota
yudikatif.

Etika berkaitan dengan hukum dan budaya peradilan. Etika dapat menyeimbangkan
hukum sekaligus menjadi penyempurna bagi keputusan hukum itu sendiri. Namun, etika
yudikatif tidak terlepas dari permasalahan-permasalahan. Salah satu permasalahan yang
dihadapi adalah sikap dan perilaku hakim yang bertentangan dengan norma dan aturan
sehingga kadang terjadi suatu keputusan peradilan yang tidak adil. Selain itu, tidak jarang
juga hakim yang melakukan praktek KKN.
DAFTAR PUSTAKA

Amin, A., 1995. Etika (Ilmu Akhlak). Jakarta: Bulan Bintang, halaman 9.

Jayus, J. A., 2015. Menggagas Peradilan Etik di Indonesia. Edisi 1. Jakarta: Sekretariat
Jenderal Komisi Yudisial Republik Indonesia.

Komisi Yudisial RI. 2017. Etika dan Budaya Hukum dalam Peradilan. Edisi 1. Jakarta:
Sekretariat Jenderal Komisi Yudisial Republik Indonesia.

Nurdin, I., 2017. Etika Pemerintahan Norma, Konsep, dan Praktek bagi Penyelenggara
Pemerintahan. Edisi 1. Yogyakarta: Lintang Rasi Aksara Books.

Saptono, A., 2014. Budaya Hukum & Kearifan Lokal Sebuah Perspektif Perbandingan.
Jakarta: FHUP Press.

Suseno, F. M., 1991. Etika Dasar: Masalah-Masalah Pokok Filsafat Moral. Yogyakarta:
Kanisius, halaman 15.

Anda mungkin juga menyukai