Anda di halaman 1dari 10

ETIKA LEGISLATIF DAN PERMASALAHANNYA

Tugas Paper Mata Kuliah Etika Administrasi Publik


Dosen Pengampu : Dr.Drs. Mochammad Rozikin, M.AP.

Disusun oleh:
Shela Febri Anggraini
NIM. 205030100111093
Mata Kuliah Etika Administrasi Publik
Kelas B

UNIVERSITAS BRAWIJAYA
FAKULTAS ILMU ADMINISTRASI
PROGRAM STUDI ADMINISTRASI PUBLIK
MALANG
2021
BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Etika merupakan pedoman manusia untuk bertindak dan berperilaku. Etika


berhubungan erat dengan moral. Moral merupakan hal-hal yang mendorong manusia untuk
melakukan tindakan-tindakan yang baik. Moral juga dapat diartikan sebagai sarana untuk
mengukur benar tidaknya manusia. Perbuatan yang dilakukan manusia tergantung dengan
moral yang dimilikinya. Moral lebih ditekankan pada tingkah laku yang bersifat spontan
sehingga dapat mencerminkan karakter atau sifat-sifat dari setiap individu.

Sebagai pedoman tingkah laku, etika juga terdapat di dalam badan-badan negara
termasuk badan legislatif. Maraknya patologi birokrasi yang sedang terjadi sekarang ini
menandakan bahwa dipelukannya aturan atau pedoman untuk bertingkah laku yang baik bagi
para administrator publik. Pedoman tingkah laku inilah yang akan membantu untuk
menghilangkan patologi birokrasi yang ada.

Pedoman tingkah laku yang ada dalam badan legislatif diharapkan dapat menjadikan
para birokrat memiliki tingkah laku yang baik sehingga bisa menjalankan tugasnya dengan
penuh tanggung jawab. Pedoman tingkah laku inilah yang disebut dengan etika legislatif.

1.2. Rumusan Masalah


1. Apa yang dimaksud dengan etika legislatif?
2. Apa saja penyimpangan perilaku anggota legislatif?
3. Apa solusi yang dapat dibuat untuk mengatasi penyimpangan perilaku anggota
legislatif?
1.3. Tujuan
1. Mengetahui maksud dari etika legislatif
2. Mengetahui bentuk-bentuk penyimpangan perilaku anggota legislatif
3. Mengetahui solusi yang dapat dibuat untuk mengatasi penyimpangan perilaku
anggota legislatif
BAB II

PEMBAHASAN

2.1. Etika Legislatif

Etika legislatif merupakan tindakan yang mengatur perilaku dari para legislator
dengan menetapkan apa yang dianggap sebagai tindakan yang dapat diterima dan apa yang
tidak. Etika legislatif ditujukan untuk menciptakan budaya politik yang menempatkan
penekanan pada kepatutan, ketepatan, transparansi dan kejujuran dari perilaku anggota
dewan.

Ada tiga pendekatan untuk mengetahui etika legislatif anggota dewan, yaitu :

1. Etika Minimalis

Etika ini memerintahkan dilarangnya beberapa tindakan yang buruk, seperti korupsi,
dengan membuat aturan internal objektif yang berlaku bagi anggota dewan. Contoh
penerapan etika minimalis di tubuh dewan adalah dibentuknya aturan tata tertib dank ode
etik yang diterbitkan di internal parlemen serta dibentuknya sebuah badan kehormatan.

2. Etika Fungsionalis

Etika fungsionalis menawarkan basis fungsional bagi para legislator. Etika tersebut
mendefinisikan tugas bagi anggota dewan dalam lingkup fungsi mereka sebagai wakil
rakyat. Anggota dewan harus memahami mengapa mereka dipilih dan untuk apa mereka
duduk di kursi dewan perwakilan. Bila hal ini tidak dipahami dengan baik, maka menjadi
anggota legislatif lebih diartikan sebagai suatu pekerjaan dan mata pencarian. Banyak dari
calon anggota legislatif yang mengalami gangguan jiwa dikarenakan mengalami
kekalahan dalam pemilihan umum. Seharusnya anggota dewan mampu menempatkan diri
bahwa menjadi legislator adalah amanah, bukan pekerjaan. Jika ditempatkan sebagai
pekerjaan, tentunya mereka akan bekerja kepada siapa saja yang mampu membayar
tinggi. Pada akhirnya akan mengakibatkan mudahnya anggota dewan melakukan korupsi
yang berupa sumbangan, bantuan, atau lainnya yang masuk ke kantong anggota dewan.

3. Etika Rasionalis

Fondasi rasional menyadarkan para legislator bahwa mereka harus bertugas pada prinsip-
prinsip hakiki politik, seperti keadilan, kebebasan, atau kebaikan bersama. Berdasarkan
pendekatan etika rasionalis, maka anggota legislatif dilarang melakukan tindakan
memperkaya diri dengan melawan hukum, baik atas nama kepentingan pribadi, golongan,
maupun partainya. Saat anggota dewan telah duduk di kursi parlemen, maka atasan
mereka bukan lagi partai, bukan pula petinggi partai, melainkan rakyat dan konstituen.

Etika legislatif dapat dilakukan jika tuntutan-tuntutannya diinterprestasikan dalam


konteks proses legislator. Tuntutan-tuntutan itu membatasi perilaku legislator, tetapi tidak
dengan cara mencegah mereka menjalankan peran mereka sebagai wakil rakyat. Artinya
tuntutan yang memberikan tuntunan agar anggota dewan dapat berperilaku terhormat sebagai
wakil rakyat di parlemen.

2.2. Penyimpagan Perilaku Anggota Legislatif

Anggota dewan yang seharusnya dapat menjadi contoh bagi rakyatnya, ternyata tidak
semuanya memiliki perilaku yang positif. Ada beberapa penyimpangan perilaku yang
dilakukan oleh anggota dewan. Perilaku-perilaku tersebut diantaranya :

a. Rasa tanggung jawab yang rendah dalam pengelolaan dana publik dan melalukan
studi banding yang tidak menghasilkan.
b. Melakukan pembentukan peraturan perundang-undangan tanpa didahului naskah
akademik, perda inisisi yang tidak terdaftar dalam Prolegnas atau Prolegda, peraturan
perundang-undangan temporal. Perda dibuat untuk memberikan dasar pembenar
(jastifikasi/legalisasi) terhadap kegiatan yang merusak atau mencemari lingkungan
dan eksploitasi sumber daya alam secara berlebihan.
c. Adanya penerimaan uang atau barang atau sesuai janji dari pihak di luar Dewan untuk
memuat sesuatu kebijakan sesuai permintaan kepentingan pihak tersebut ke dalam
peraturan perundang-undangan yang sedang dibahas, meminta komisis dari hasil kerja
sama dengan pihak ketiga dalam pengadaan atau penjualan barang dan jasa yang
seharusnya masuk ke kas negara, menerima pemberian dalam berbagai bentuk yang
berhubungan dengan jabatannya dan berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya.
d. Melibatkan tenaga ahli tetapi tidak memiliki kualifikasi intelektual, akademik, dan
pengalaman yang memadai.
e. Melakukan pengawasan yang diterjemahkan sebagai sarana mencari kesalahan dan
kelemahan pemerintah/eksekutif secara mengada-ada, pengawasan dilakukan
cenderung untuk menjatuhkan lawan politik atau pemerintah yang sedang berkuasa,
pengawasan dilakukan untuk mencari imbal jasa dan untuk keuntungan
pribadi/golongan.

Selain beberapa penyimpangan yang dilakukan oleh anggota legislative tersebut, ada
pula perilaku tidak etis yang dilakukan oleh anggota dewan yang sangat bertentangan dengan
etika. Beberapa perilaku tersebut diantaranya :

1. Bermain game pada saat mengikuti rapat. Contohnya seperti yang dilakukan oleh
Anggota Komisi II DPR dari Fraksi Partai Demokrat yang tertangkap kamera
sedang asik bermain game saat rapat kerja Komisi II DPR dengan Kementrian
Dalam Negeri ketika membahas evaluasi program e-KTP di Komplek Parlemen.
2. Menonton film porno. Hal ini dilakukan oleh Anggota Komisi V DPR dari Fraksi
PKS yang tertangkap kamera sedang menonton video prono saat rapat paripurna
DPR tahun 2011.
3. Tidur saat Sidang Paripurna. Kejadian ini dilakukan oleh mantan menpora saat
menjabat sebagai anggota Komisi I DPR. Pada saat itu ia diketahui sedang tidur
saat rapat paripurna pembahasan kenaikan harga BBM subsidi April 2012. Ia
mengakui dirinya tidur namun ia menjelaskan bahwa dirinya tidur saat skorsing
rapat.
4. Bolos rapat. Kasus bolosnya anggota DPR saat rapat bukanlah persoalan baru.
Meski demikian, tetap saja ada absensi kosong saat rapat kerja per komisi maupun
rapat paripurna.
5. Adanya absensi istimewa. Hal ini dilakukan oleh anggota Komisi I DPR dari
Partai Demokrat yang kedapatan tanda tangan absensi rapat paripurna yang
diantarkan oleh Pasukan Pengamanan Presiden (Paspampres).
6. Merokok di ruang rapat. Anggota Komisi X DPR dari Fraksi Partai Demokrat
kedapatan merokok di dalam ruangan rapat saat mengadakan rapat kerja dengan
Pengurus Besar Persatuan Guru seluruh Indonesia dan Komite Perjuangan Guru
Honorer Jawa Barat.
7. Berantem sesame Kolega Dewan. Anggota Komisi III DPR Partai Demokrat
bersama koleganya dari partai PPP hamper terlibat adu jotos ketika mengadakan
rapat kerja dengan Kejaksaan Agung.

2.3. Penyebab Penyimpangan Perilaku Anggota Legislatif


Dalam kacamata etika administrasi (publik) munculnya kecenderungan abuse of
power dari pejabat atau organisasi publik (termasuk legislatif) terjadi akibat adanya
responsibilitas yang saling bertentangan (conflicting responsibilities) akibat dari status dan
peran yang harus dimainkannya. Cooper (1990) mengemukakan bahwa kecenderungan
penyimpangan tersebut berakar dari 3 hal pokok. Pertama, conflict of authority. Sering
dikemukakan bahwa legislatif memperoleh hak dan kewenangannya atas dasar legalitas
formal yang kuat, baik bersumber dari konstitusi maupun kebijakan organiknya. Hak budget
diakui secara formal sebagai salah satu fungsi kelembagaan legislatif terpenting. Namun tidak
jarang konflik justru terjadi akibat adanya perbedaan tafsir dari dua sumber kewenangan pada
tingkatan yang berbeda.
Secara etis, legitimasi lembaga kekuasaan akan sangat tergantung pada
kemampuannya mengakomodasi harapan dan keinginan rakyat (people’s will). Dalam
konteks ini konflik akan terjadi jika tindakan legislatif tidak sesuai (incompatible) dengan
kehendak rakyat atau bertentangan dengan rasa keadilan masyarakat. Kasus aktual
menunjukan konflik bentuk terakhir ini. Legislatif bersikukuh bahwa penggunaan APBD
untuk mereka bukan merupakan abuse of power karena prosesnya telah dikukuhkan melalui
proses legalformal berupa UU, Peraturan Pemerintah ataupun Perda. Namun dalam kacamata
publik hal itu justru dipandang sebagai tindakan yang kurang tepat (improper) karena
ditengarai ada unsur pengabaian transparansi, misalokasi untuk kebutuhan lain yang
disembunyikan dan berkurangnya hak publik/rakyat terhadap porsi anggaran yang menyentuh
kebutuhan dasar mereka.
Kedua, conflict of role. Peran merupakan aspek dinamis dari sebuah status yang
mencerminkan ekspektasi atas perilaku atau tindakan yang seharusnya dilakukan. Ekspektasi
tersebut biasanya dikaitkan dengan upaya penerapan nilai- nilai (values) yang sesuai dengan
statusnya. Status sebagai anggota legislatif, misalnya, mengharuskan mereka untuk
menjunjung tinggi nilai-nilai luhur seperti kejujuran, kredibilitas, integritas, daya tanggap
(responsiveness), adanya keinginan untuk bekerjasama (cooperativeness) maupun
kecenderungan untuk berfikir dan bertindak secara menyeluruh (comprehensiveness). Konflik
akan terjadi bila peran yang seharusnya dimainkan tidak sesuai dengan situasi objektif yang
ada.
Ketiga, conflict of interest. Pada dasarnya masalah konflik kepentingan bersumber
dari adanya “ketegangan” (tension) antara kepentingan dan kewajiban, antara preferensi
terhadap kehidupan pribadi dan kewajiban dari peran yang harus dijalankan oleh pejabat atau
organisasi publik. Bila merujuk pada pendapat Kenneth Kernaghan, seperti dikutip Cooper
(1990), konflik kepentingan akan terjadi bila pejabat maupun organisasi publik (termasuk
legislatif di dalamnya), dengan kewenangan yang dimilikinya, melakukan upaya
pemengaruhan (influencing) terhadap pencapaian tujuan yang bisa mengakomodasi
kepentingan pribadinya atau institusinya. Kepentingan yang dimaksudkan disini bisa
berbentuk kepentingan ekonomi, afeksi, status sosial, kekuasaan, hubungan sosial,
kemakmuran pribadi, kemakmuran pihak lain (terutama yang menyangkut kroni), dan
pengakuan (recognition) dari pihak lain.
Melihat akar permasalah serta potensi dampak yang ditimbulkan seperti yang telah
dipaparkan diatas, menjadi jelas kiranya betapa urgent untuk mengajukan sejumlah
alternative solusi yang dipandang tepat agar abuse of power dapat dihindarkan, atau
setidaknya dapat dieliminasi.

2.4. Solusi Penyimpangan Perilaku Anggota Legislatif

Perilaku buruk yang dilakukan oleh anggota dewan pada dasarnya disebabkan karena
lemahnya penempatan makna hukum dan etika dalam kehidupan mereka. Hukum cenderung
hanya dipahami sebagai suatu kepastian belaka, tidak dipahami pada makna lain seperti
kemanfaatan dan keadilan. Sehingga ketika ada suatu sikap yang dianggap bertentangan
dengan keinginannya, maka dianggap bertentangan dengan ideologi yang diyakininya sebagai
kepastian. Padahal sikap dan tindakannya malah bertentangan dengan etika yang merupakan
acuan hukum itu sendiri. Etika yang bersumber dari pandangan moral masyarakat dianggap
sebagai suatu kebenaran yang dapat mengesampingkan hukum itu sendiri.
Solusi yang ditawarkan dari permasalahan ini adalah legislasi etik. Dengan merujuk
pada pendapat Steiberg dan Austern (1990) legislasi etik merupakan upaya untuk membuat
hukum dan aturan-aturam untuk memperoleh dan mengatur tindakan etis. Menurut mereka
“perilaku etis tidak hanya cukup mengandalkan adanya kodifikasi dan penegakan pedoman
etis saja, tetapi juga membutuhkan adanya praktek manajemen pemerintahan yang sistematis
untuk mendukung elemen preventif dan proaktif dari tindakan tersebut”. Dari konsep tersebut
ada beberapa hal yang penting dicacat. Pertama, secara hakiki legislasi etik dapat dilihat dari
produk kodifikasi hukum serta aturan lainnya yang sengaja dibuat untuk menjamin adanya
konsistensi tindakan yang dinilai benar secara etis. Kedua, legislasi etik bertujuan untuk
mendapatkan dan mengatur tindakan pelaku agar selaras dengan prinsip-prinsip etika. Ketiga,
legislasi etik ini secara luas mengatur tindakan individu maupun institusi publik
penyelenggaraan negara, baik eksekutif, legistalif, maupun yudikatif. Jadi, keberadaan
legislasi etik ini tidak hanya mengatur etika legislative saja, namun juga tersebar luas dalam
praktek di berbagai cabang pemerintahan yang lain.
Upaya legislasi etik ini sekaligus mencoba untuk mengeliminasi adanya pandangan
bahwa masalah etis hanya merupakan wacana dan sifatnya tidak mengikat atau memaksa.
Kalaupun ada tindakan yang dinilai tidak etis, sanksi yang diberikan biasanya hanya berupa
sanksi moral. Sebaliknya, legislasi etik melangkah lebih jauh lagi dengan berupaya untuk
mengidentifikasi sejumlah tindakan yang diklasifikasikan sebagai etis dan tidak etis dalam
persepsi publik, sanksi atas pelanggaran terhadapnya serta mengatur prosedur untuk
menyalurkan keluhan (ethics complain procedure) yang datang baik dari individu,
masyarakat maupun lembaga (Menzel, 1995). Tujuan utama dari ethics law ini adalah
mencegah para pejabat publik (termasuk legislatif) menyelewengkan kekuasaan dan
statusnya sebagai pejabat publik untuk kepentingan pribadinya.
Secara prinsipil ada 5 kategori pembatasan yang secara normative harus
dipertimbangkan dalam legislasi etik. Pertama, prinsip yang berkaitan dengan hal-hal yang
bersifat resmi. Prinsip ini memberikan batasan terhadap penggunaan jabatan untuk
keuntungan ekonomi, kontrak, pekerjaan dan hak-hak istimewa bagi legislator serta rekan
dekatnya. Kedua, prinsip keuntungan pribadi. Prinsip ini membatasi keikutsertaan legislative,
baik secara individual maupun institusional, dalam sidang atau tindakan komisi legislatif
sepanjang hal itu menyangkut kepentingan pribadi legislator maupun rekanannya. Ketiga,
prinsip keuntungan privat. Prinsip ini memberikan batasan terhadap penggunaan sumberdaya
publik untuk kepentingan privat. Keempat, prinsip yang berkenaan dengan pemberian atau
hadiah. Prinsip ini memberikan batasan terhadap penerimaan hadiah, layanan dan hal-hal
menguntungkan lainnya bagi legislator atau rekanannya. Kelima, prinsip ketidakpatutan.
Prinsip ini memberikan batasan terhadap tindakan mewakili klien dihadapan legislator atau
agensi pemerintah sepanjang hal itu menyangkut kepentingan rekanan legislator.
BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Etika legislatif merupakan tindakan yang mengatur perilaku dari para legislator
dengan menetapkan apa yang dianggap sebagai tindakan yang dapat diterima dan apa yang
tidak. Etika legislatif ditujukan untuk menciptakan budaya politik yang menempatkan
penekanan pada kepatutan, ketepatan, transparansi dan kejujuran dari perilaku anggota
dewan.
Penyimpangan-penyimpangan tindakan anggota legislatif dapat diatasi dengan
membuat legislasi etik. Legislasi etik merupakan upaya untuk membuat hukum dan aturan-
aturam untuk memperoleh dan mengatur tindakan etis.
DAFTAR PUSTAKA

Hernawan, D. (2004). Legislasi Etik: Sebuah Alternatif Solusi Bagi Legitimasi Baru
Legislatif. Jurnal Administrasi Publik. Vol.3(1) : 55 – 71.

Yatim, R. (2021). Etika Legislatif untuk Wakil Rakyat. Journal of the Malaysian Parliament.
Vol.1 : 1 – 17.

Yuniningsih, T., dkk. (2017). Bunga Rampai Etika Administrasi Publik. Semarang: Program
Studi Doktor Administrasi Publik Press FISIP-UNDIP.

Yunus, N.R. (2014). Etika dan Moralitas Politik Anggota Dewan. Jurnal Ilmu Syariah, FAI
UIKA BOGOR. Vol.2(2) : 255 – 274.

Anda mungkin juga menyukai