Anda di halaman 1dari 5

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kode etik profesi merupakan bagian dari etika profesi. Kode etik profesi merupakan
lanjutan dari norma-norma yang lebih umum dan dirumuskan dalam etika profesi. Dengan
demikian kode etik profesi adalah sistem norma atau aturan yang ditulis secara jelas dan
tegas serta terperinci tentang apa yang baik dan tidak baik. Tujuan utama kode etik profesi
adalah memberi pelayanan khusus dalam masyarakat tanpa mementingkan kepentingan
pribadi atau kelompok.

B. Rumusan Makalah
Dalam makalah ini penulis memiliki rumusan masalah yang menjadi batasan
pembahasan masalah dalam makalah ini, antara lain :
1. Penegakan Kode Etik Hukum
2. Penyebab, Tujuan dan Sanksi Pelanggaran Etika
3. Pelembagaan Lembaga Etika
4. Sistem Pengawasan dan Audit
5. Organisasi Profesi Hukum di Indonesia
6. Landasan Hukum Organisasi Profesi

C. Tujuan Makalah
1. Mahasiswa mampu memahami Penegakan Kode Etik Hukum
2. Mahasiswa mampu memahami Penyebab, Tujuan dan Sanksi Pelanggaran Etika
3. Mahasiswa mampu memahami Pelembagaan Lembaga Etika
4. Mahasiswa mampu memahami Sistem Pengawasan dan Audit
5. Mahasiswa mampu memahami Organisasi Profesi Hukum di Indonesia
6. Mahasiswa mampu memahami Landasan Hukum Organisasi Profesi
BAB II
PEMBAHASAN

A. Penegakan Kode Etik Hukum

Menurut Sumaryono Kode etik memilik fungsi Sebagai sarana kontrol sosial,
pencegah apabila ada campur tangan pihak lain, pencegah apabila terjadi
kesalahpahaman dan konflik. Dan kode etik memiliki tujuannya untuk Menjunjung
tinggi harkat dan martabat profesi, menjaga dan memelihara kesejahteraan para
anggota, meningkatkan mutu profesi dan organisasi, meningkatkan layanan,
memperkuat organisasi, menghindari persaingan tidak sehat, menjalin hubungan yang
erat para anggota, dan menentukan baku standarnya dll.

Kode etik penegak hukum sangatlah penting untuk diketahui agar mencegah
penegak hukum melanggar kode etik profesi. Kode etik adalah konsepsi tentang
sesuatu baik buruknya sesuatu. Kode etik merupakan bagian yang berhubungan dalam
mengatur tingkah laku atau perilaku penegak hukum untuk mewujudkan penegak
hukum yang baik dan mentaati peraturan per Undang-Undangan yang berlaku.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia Penegak hukum adalah petugas yang
berhubungan dengan masalah peradilan untuk menegakkan suatu hukum. Pada
dasarnya etika profesi mengandung nilai-nilai yang memberikan tuntunan tingkah
laku, demekian juga dengan hukum menghendaki agar tingkah laku manusia sesuai
dengan aturan hukum yang ada.

Penegak hukum yang bersifat universal, mandiri dan bertanggung jawab agar
tidak semena-mena harus memiliki aturan peraturan perundang-undangan yakni kode
etik profesi. Agar menjalankan tugas sesuai dengan aturan yang ada. Penagak hukum
juga wajib mematuhi norma-norma yang ada seperti , kemanusiaan, keadilan,
kejujuran, agama serta melaksaanakan kode etik semestinya.

Kode etik profesi bagi para penegak hukum akan menjadi cermin bagi
masyarakat dalam menegakkan hukum, Hukum akan samakin melemah apabila para
penegak hukum tidak mampu menjadi teladan dalam menegakkan hukum itu sendiri.
Penegakan kode etik dilakukan dengan usaha melaksanakan kode etik sebagaimana
mestinya, supaya tidak terjadi pelanggaran karena kode etik termasuk bagian dari
hukum positif.

Jika penegak hukum tidak memiliki kode etik yang harus ditaati akan terjadi
penyalahgunaan profesi hukum, maka masyarakat yang mencari keadilan akan
semakin sulit untuk mempercayai penegak hukum. Maka dari itu kode etik sangatlah
penting untuk para penegak hukum yang ada di Indonesia untuk menjadi acuan dan
aturan untuk penagak hukum agar melaksanakan tugas dan wewenangnya sesuai
dengan per Undang-Undangan yang ada dan sebagai penagak hukum yang bisa
dipercayai masyarakat.

B. Penyebab, Tujuan dan Sanksi Pelanggaran Etika

C. Pelembagaan Lembaga Etika

Agenda pertama dan utama yang perlu mendapat prioritas adalah pembenahan,
penataan, dan pengintegrasian sistem etika kenegaraan secara terpadu. Tetapi agenda
selanjutnya adalah keterpaduan sistem etika jabatan publik pada umumnya dalam
rangka perwujudan sistem etika berbangsa sebagaimana telah ditentukan dalam
Ketetapan MPR No. VI/MPR/2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa. Khusus
mengenai etika kenegaraan, dapat dibatasi pengertiannya sepanjang menyangkut
jabatan-jabatan dalam kaitannya dengan fungsi-fungsi pemerintahan dan kenegaraan
(governing functions) dalam arti luas dan sempit sebagaimana telah atau akan diatur
dalam dan dengan undang-undang. Pengembangan etika kenegaraan ini memerlukan
penataan secara terpadu, yang berada dalam ranah atau cabang-cabang kekuasaan
eksekutif, legislatif, maupun dalam ranah kekuasaan kehakiman dan penegakan
hukum, serta dalam ranah kekuasaan campuran lainnya. Negara kita perlu
melembagakan atau mengintegrasikan fungsi-fungsi etika ini dalam satu kesatuan
sistem kelembagaan yang terpadu. Meskipun sistem norma kode etikanya beraneka
ragam, dan kelembagaan penegaknya juga bersifat sendiri-sendiri, tetapi negara kita
memerlukan satu kesatuan fungsi kelembagaan yang terpadu.

Sistem penegakan etika kehidupan bernegara sangat mungkin memerlukan


adanya 1 institusi yang tersendiri yang diberi tugas dan wewenang berdasarkan UU
atau bahkan UUD untuk melakukan fungsi koordinasi, fungsi pembinaan dan
pengawasan, ataupun fungsi koreksi untuk keadilan etis. Dua opsi yang dapat
dipertimbangkan adalah: (i) dibentuknya satu Mahkamah Kehormatan (MK) yang
sejajar dengan keberadaan Mahkamah Konstitusi (MK) dan Mahkamah Agung (MA),
atau (ii) peningkatan peran Komisi Yudisial menjadi institusi puncak sistem
penegakan kode etik pejabat negara dan pejabat publik, melalui perubahan UUD 1945
Di samping itu, seperti halnya dalam praktik sistem hukum yang mengenal
adanya konsepsi tentang hukum materiel dan hukum formil, saya menganjurkan
digunakannya juga pengertian yang sama di bidang etika, yaitu diperkenalkannya
istilah etika materiel dan etika formil. Infrastruktur etika kenegaraan yang mesti
dikembangkan pada pokoknya harus terdiri atas 3 aspek, yaitu (i) etika materiel yang
disusun dalam bentuk kode etika dan/atau kode perilaku, (ii) etika formil yang berisi 7
prosedur atau pedoman penegakan kode etika dan/atau kode perilaku, dan (iii) struktur
kelembagaan institusi penegak kode etika yang juga perlu pengaturan dengan undang-
undang mengenai susunan dan kedudukan, tugas dan wewenang, serta aspek-aspek
administrasi dan sumberdaya manusia pendukungnya.

Melakukan pengawasan terhadap manajemen membutuhkan strategi khusus untuk


menghadapi berbagai macam karakter manusia yang berada dalam lingkup kerjanya.
Tidak jarang akan terjadi penolakan terhadap pengawasan yang dilakukan. Beberapa
syarat agar pengawasan efektif menurut Stoner adalah sebagai berikut:
1. Akurat Informasi atas prestasi harus akurat. Ketidakakuratan data dari suatu sistem
pengawasan dapat mengakibatkan organisasi mengambil tindakan yang akan
menemui kegagalan untuk memperbaiki suatu masalah atau menciptakan masalah
yang tadinya tidak ada.
2. Sesuai waktu Informasi yang harus dihimpun, diarahkan, dan segera dievaluasi jika
akan diambil tindakan tepat pada waktunya guna menghasilkan perbaikan.
3. Objektif dan komprehensif Informasi dalam suatu sistem pengawasan harus mudah
dipahami dan dianggap objektif oleh individu yang menggunakannya. Makin
objektif sistem pengawasan, makin besar kemungkinannya bahwa individu dengan
sadar dan efektif akan merespon informasi yang diterima, demikian pula sebaliknya
4. Fokus pada pengawasan titik strategis Sistem pengawasan strategik sebaliknya
dipusatkan pada bidangbidang yang paling banyak kemungkinan akan terjadinya
deviasi dari standar, atau yang akan menimbulkan kerugian yang paling besar.
Selain itu sistem pengawasan strategik sebaiknya dipusatkan pada tempat di mana
tindakan perbaikan dapat dilaksanakan seefektif mungkin.
5. Realistis secara ekonomis Pengeluaran biaya untuk implementasi, pengawasan
harus ditekan seminimum mungkin, sehingga terhindar dari pemborosan yang tak
berguna.
6. Realistis secara organisatoris. Sistem pengawasan harus dapat digabungkan dengan
realitas organisasi. Misalkan individu harus dapat melihat hubungan antara tingkat
prestasi yang harus dicapainya dan imbalan yang akan menyusul kemudian.
7. Terkoordinasi dengan aliran kerja organisasi. Informasi pengawasan harus di
koordinasikan dengan arus pekerjaan diseluruh organisasi karena dua alasan.
Pertama, setiap langkah dalam proses pekerjaan dapat mempengaruhi keberhasilan
atau kegagalan seluruh operasi. Kedua, informasi pengawasan harus sampai pada
semua orang yang perlu untuk menerimanya.
8. Luwes Pada setiap organisasi pengawasan harus mengandung sifat fleksibel yang
sedemikian rupa, sehingga organisasi tersebut dapat segera bertindak
untuk mengatasi perubahan-perubahan yang merugikan atau memanfaatkan
peluang-peluang baru.
9. Preskriptif dan operasional Pengawasan yang efektif dapat mengidentifikasi setelah
terjadi deviasi dari standar, tindakan perbaikan apa yang perlu diambil. Informasi
harus sampai dalam bentuk yang dapat digunakan ketika informasi itu tiba pada
pihak yang bertanggungjawab untuk mengambil tindakan perbaikan.
10. Dapat diterima para anggota organisasi Agar sistem pengawasan dapat diterima
oleh para anggota organisasi, pengawasan tersebut harus berkaitan dengan tujuan
yang berarti dan diterima.

Tujuan tersebut harus mencerminkan bahasa dan aktivitas individu kepada situasi
tujuan tersebut dipertautkan. Sedangkan menurut Schermerhorn, agar pengawasan itu
efektif, haruslah memenuhi hal-hal sebagai berikut:
1. Berorientasi pada hal-hal yang strategis dan pada hasil-hasil.
2. Berbasis informasi.
3. Tidak kompleks.
4. Cepat dan berorientasi perkecualian.
5. Dapat dimengerti.
6. Luwes.
7. Konsisten dengan struktur organisasi.
8. Dirancang untuk mengakomodasi pengawasan diri.
9. Positif mengarah ke perkembangan.
10. Jujur dan objektif.

Anda mungkin juga menyukai