Disusun Oleh:
2019
ABSTRAK
Etika bisnis adalah acuan bagi organisasi dalam melaksanakan kegiatan usaha
termasuk dalam berinteraksi dengan pemangku kepentingan. Sedangkan good governace
merupakan seperangkat peraturan yang menetapkan hubungan antara pemangku kepentingan
sehubungan dengan hak-hak dan kewajiban mereka atau dengan kata lain sistem yang
mengarahkan dan mengendalikan organisasi. Baik etika bisnis maupun good governace perlu
diterapkan dalam sebuah organisasi terutama yang bergerak pada sektor pelayanan publik
guna memperoleh kepercayaan dari para pemangku kepentingan. Makalah ini bertujuan untuk
menjelaskan etika bisnis dan good governace di Direktorat Jenderal Pajak, salah satu instansi
pemerintah yang memberikan layanan sektor publik di bidang perpajakan. Metodologi
penelitian yang digunakan adalah metodologi pustaka dan observasi berdasarkan pengalaman
penulis dalam berhubungan dengan Direktorat Jenderal Pajak.
I. INTRODUCTION
Tuntutan terhadap penerapan etika bisnis dan good governance pada sektor publik
dalam beberapa tahun ini menjadi sebuah keharusan. Konsep etika bisnis dan good
governance muncul karena adanya ketidakpuasan pada kinerja pemerintahan yang selama ini
dipercaya sebagai penyelenggara urusan publik. Menerapkan praktik good governance dapat
dilakukan secara bertahap sesuai dengan kapasitas pemerintah, masyarakat sipil, dan
mekanisme pasar. Salah satu pilihan strategis untuk menerapkan good governance di
Indonesia adalah melalui penyelenggaraan pelayanan publik.
Pelayanan publik menjadi tolok ukur keberhasilan pelaksanaan tugas dan pengukuran
kinerja pemerintah melalui birokrasi. Pelayanan publik sebagai penggerak utama juga
dianggap penting oleh semua aktor dari unsur good governance. Para pejabat publik, unsur-
unsur dalam masyarakat sipil dan dunia usaha sama-sama memiliki kepentingan terhadap
perbaikan kinerja pelayanan publik. Ada tiga alasan penting yang melatarbelakangi bahwa
pembaharuan pelayanan publik dapat mendorong praktik good governance di Indonesia.
Pertama, perbaikan kinerja pelayanan publik dinilai penting oleh stakeholders, yaitu
pemerintah, warga, dan sektor usaha. Kedua. Pelayanan publik adalah ranah dari ketiga unsur
governance melakukan interaksi yang sangat intensif. Ketiga, nilai-nilai yang selama ini
mencirikan praktik good governance diterjemahkan secara lebih mudah dan nyata melalui
pelayanan publik.
Direktorat Jenderal Pajak sebagai instansi pemerintah yang memberikan layanan
sektor publik di bidang perpajakan juga harus menerapkan hal yang serupa. Penerapan etika
bisnis dan good governance yang baik pada Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dapat di lihat
dalam konteks mekanisme internal maupun mekanisme eksternal organisasi. Mekanisme
internal lebih fokus pada bagaimana pimpinan DJP mengatur jalannya organisasi sesuai
dengan prinsip-prinsip keterbukaan, keadilan dan dapat dipertanggungjawabkan. Mekanisme
eksternal lebih menekankan kepada bagaimana interaksi DJP dengan pihak eksternal berjalan
dengan harmonis tanpa mengabaikan pencapaian tujuan organisasi.
2
II. LITERATURE RIVIEW
3. Kode etik
Kode etik ini menyangkut kebijakan etis perusahaan berhubungan dengan kesulitas
yang bisa timbul (dan mungkin dimasa lampau pernah timbul), seperti konflik
kepentingan, hubungan dengan pesaing dan pemasok, menerima hadiah, sumbangan
kepada partai politik dan sebagainya.
3
Morality and law
Moral berhubungan dengan manusia sebagai individu sedangkan hukum(kebiasaan,
sopan santun) berhubungan dengan manusia sebagai makluk sosial. Antara hukum dan moral
terdapat perbedaan dalam hal tujuan, isi, asal cara menjamin pelaksanaannya dan daya
kerjanya.
1. Perbedaan antara moral dan hukum dalam hal tujuan:
a. Tujuan moral adalah menyempurnaan manusia sebagai individu.
b. Tujuan hukum adalah ketertiban masyarakat
2. Perbedaan antara moral dan hukum dalam han isi :
a. Moral yang bertujuan penyempuraan manusia berisi atau memberi peraturan-
peraturan yang bersifat batiniah(ditujukan kepada sikap lahir).
b. Hukum memberi peraturan-peraturan bagi perilaku lahiriah.
Perbedaan diatas pertama kali dikemukakan oleh Emanuel Kant. Batasan perbedaan
tersebut jangan dilihat terlalu tajam, karena hukum tidak semata-mata (mutlak)
memperhatikan tindakan-tindakan lahiriah saja, demikian pula moral tidak hanya
memperhatikan perilaku batiniah saja.
Penjelasan bahwa hukum menghukum mereka yang melakukan delik hanya apabila
perbuatannya itu dapat dipertanggung jawabkan, yaitu kalau ada kesalahan. Itupun masih
dibedakan ada kesenjangan atau kelalaian atau tidak. Demikian pula hukum memberikan
akibat pada perbuatan yang dilakukan dengan iktikat baik atau tidak.
6
Good Corporate Government
Tujuan penerapan good corporate governance secara khusus adalah untuk
menciptakan nilai tambah bagi semua pihak yang berkepentingan. Pihak-pihak tersebut
meliputi pihak internal perusahaan seperti dewan direksi, dewan komisaris, karyawan, dan
juga pihak eksternal perusahaan meliputi investor kreditur, pemerintah, masyarakat, dan
pihak-pihak lain yang berkepentingan (stakeholders) (Arifin, 2005).
Meskipun penerapan GCG adalah hal penting bagi perusahaan mana pun di dunia,
namun dalam penerapannya tidak selalu sama. Di setiap negara, penerapan GCG dapat
berbeda. Perbedaan implementasi GCG dipengaruhi oleh sistem ekonomi, hukum, struktur
kepemilikan, serta sosial dan budaya.
Good Corporate Governance juga dapat menjadi jalan dalam upaya mengeliminasi
upaya rekayasa manajemen. Dengan adanya pembuatan peraturan tentang keharusan bagi
perusahaan untuk mengungkapkan informasi tertentu secara wajib (mandated disclosure) dan
sukarela (voluntary disclosure), maka diharapkan kualitas laporan keuangan yang
dipublikasikan dapat lebih baik dan transparan (Sulistyanto, 2008).
Implementasi Good Corporate Government
Secara umum, implementasi good corporate governance dipercaya dapat
meningkatkan kinerja atau nilai perusahaan (Siallagan, 2006). Konsep good corporate
governance sendiri mulai diperkenalkan di Indonesia sejak tahun 1999. Penerapan mekanisme
good corporate governance ditujukan untuk mengurangi terjadinya agency problem pada titik
terendah. Hal ini seperti yang diungkapkan Jensen dan Meckling (1976) dalam teori agensi-
nya, yang menyatakan bahwa agency problem dapat muncul karena adanya perbedaan
kepentingan antara pemilik perusahaan (Principal) dengan manajemen (Agent).
Al-Faki (2006) juga mengajukan pendapatnya yang menyatakan bahwa agar dapat
memunculkan keselarasan pemilik perusahaan dan manajemen, dibutuhkan adanya
transparansi dari pihak manajemen terhadap pemilik perusahaan, serta adanya keadilan bagi
stakeholders lain. Implementasi Good Corporate Governance dapat dilakukan melalui
beberapa cara seperti membangun kesetaraan, transparasi, akuntabilitas, dan responsibilitas
dalam mengelola perusahaan.
Prinsip Good Corporate Government
Implementasi Good corporate governance menganut beberapa prinsip. Menurut
Organization for Economic Cooperation and Development (OECD) dalam Indra dan Ivan
(2006:68), prinsip dasar GCG ada 4. Berikut adalah 4 prinsip GCG :
1. Transparansi Organisasi yang dikelola dengan mekanisme corporate governance,
harus mendasarkan pengelolaan perusahaan pada prinsip transparan. Artinya, setiap
tindakan pengambilan keputusan terkait harus diketahui oleh semua pihak.
2. Akuntabilitas Akuntabilitas artinya pengelolaan perusahaan yang dilakukan
manajemen harus seimbang. Semua pihak yang terkait harus terlibat dalam kegiatan
pengelolaan perusahaan.
7
3. Kewajaran (fairness) Dalam corporate governance, dianut prinsip kewajaran, yang di
dalamnya memuat angka-angka akuntansi seperti dalam laporan keuangan perusahaan.
III. METHODS
Untuk memperoleh data yang digunakan dalam tugas ini, penulis menggunakan
Metode pengumpulan data berupa studi kepustakaan dengan cara mengumpulkan data dari
beberapa buku, dan juga melakukan pencarian dan pengumpulan data melalui internet, dan
interaksi penulis dengan pihak Direktorat Jenderal Pajak.
8
VISI -
Menjadi Institusi Penghimpun Penerimaan Negara yang Terbaik demi Menjamin Kedaulatan
dan Kemandirian Negara
- MISI -
Tugas Direktorat Jenderal Pajak sesuai amanat Peraturan Menteri Keuangan Nomor
234/PMK.01/2015 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Keuangan adalah
merumuskan dan melaksanakan kebijakan dan standardisasi teknis di bidang perpajakan.
Organisasi DJP terbagi atas unit kantor pusat dan unit kantor operasional. Kantor
pusat terdiri atas Sekretariat Direktorat Jenderal, direktorat, dan jabatan tenaga pengkaji. Unit
kantor operasional terdiri atas Kantor Wilayah DJP (Kanwil DJP), Kantor Pelayanan Pajak
(KPP), Kantor Pelayanan, Penyuluhan, dan Konsultasi Perpajakan (KP2KP), dan Pusat
Pengolahan Data dan Dokumen Perpajakan (PPDDP).
Organisasi DJP, dengan jumlah kantor operasional lebih dari 500 unit dan jumlah
pegawai lebih dari 42.000 orang yang tersebar di seluruh penjuru nusantara, merupakan salah
satu organisasi besar yang ada dalam lingkungan Kementerian Keuangan. Segenap sumber
10
daya yang ada tersebut diberdayakan untuk melaksanakan pengamanan penerimaan pajak
yang beban setiap tahunnya semakin berat.
1. Kanwil DJP Wajib Pajak Besar dan Kanwil DJP Jakarta Khusus yang berlokasi di
Jakarta; dan
2. Kanwil DJP selain Kanwil DJP Wajib Pajak Besar dan Kanwil DJP Jakarta Khusus
yang lokasinya tersebar di seluruh wilayah Indonesia.
1. KPP Wajib Pajak Besar, khusus mengadministrasikan wajib pajak besar nasional;
2. KPP Madya, khusus mengadministrasikan wajib pajak besar regional dan wajib pajak
besar khusus yang meliputi badan dan orang asing, penanaman modal asing, serta
perusahaan masuk bursa; dan
3. KPP Pratama, menangani wajib pajak lokasi.
Sampai saat ini terdapat empat Unit Pelaksana Teknis (UPT) terdiri dari Pusat
Pengolahan Data dan Dokumen Perpajakan (PPDDP), Kantor Pengolahan Data dan Dokumen
Perpajakan (KPDDP), dan Kantor Layanan Informasi dan Pengaduan (KLIP).
PPDDP adalah unit yang berpusat di Jakarta dan mempunyai kantor operasional di
Jambi dan Makasar (KPDDP) yang mempunyai tugas melaksanakan penerimaan,
12
pemindaian, perekaman, dan penyimpanan dokumen perpajakan dengan memanfaatkan
teknologi informasi perpajakan.
Secara ringkas, struktur organisasi Ditjen Pajak dapat dibedakan atas kantor pusat dan
kantor operasional. Kantor pusat menjalankan fungsi perumusan kebijakan dan standardisasi
teknis, analisis dan pengembangan, serta pembinaan dan dukungan administrasi. Adapun
kantor operasional menjalankan fungsi teknis operasionan dan/atau teknis penunjang.
Kantor Pusat Ditjen Pajak terdiri atas Sekretariat Direktorat Jenderal, 14 unit
direktorat, dan 4 jabatan tenaga pengkaji.
Kantor operasional di lingkungan Ditjen Pajak terdiri atas Kantor Wilayah Ditjen
Pajak (Kanwil Ditjen Pajak); Kantor Pelayanan Pajak (KPP); Kantor Pelayanan Penyuluhan
dan Konsultasi Perpajakan (KP2KP); serta Unit Pelaksana Teknis (UPT).
UPT terdiri dari Pusat Pengolahan Data dan Dokumen Perpajakan (PPDDP), Kantor
Pengolahan Data dan Dokumen Perpajakan (KPDDP), dan Kantor Layanan Informasi dan
Pengaduan (KLIP).
34 Kantor Wilayah
4 KPP Wajib Pajak Besar
29 KPP Madya
319 KPP Pratama
204 KP2KP
4 UPT
13
REFORMASI PERPAJAKAN
Reformasi perpajakan merupakan perubahan system perpajakan yang menyeluruh,
termasuk pembenahan administrasi perpajakan, perbaikan regulasi, dan peningkatan basis
perpajakan yang bertujuan menjadikan DJP sebagai institusi perpajakan yang kuat, kredibel
dan akuntabel. Dasar hukum pembentukan tim reformasi yaitu Keputusan Menteri Keuangan
Nomor KMK-885/KMK.03/2016 tentang Pembentukan Tim Reformasi Perpajakan (Tim
Reformasi).
Latar Belakang Pembentukan Tim Reformasi
• Sesuai dengan tujuan pembentukannya, UU Pengampunan Pajak ditujukan untuk
mendorong reformasi perpajakan menuju sistem perpajakan yang lebih berkeadilan,
serta perluasan data yang lebih valid komprehensif, dan terintegrasi dalam rangka
meningkatkan penerimaan pajak jangka pendek maupun jangka panjang yang
berkesinambungan
• Kebutuhan untuk mewujudkan suatu lembaga perpajakan yang kuat, kredibel, dan
akuntabel, secara struktur, kewenangan, dan kapasitas yang memadai (SDM,
anggaran, proses bisnis, sistem informasi, dan infrastruktur pendukung serta regulasi)
sehingga mampu mendeteksi potensi pajak yang ada dan merealisasikannya menjadi
penerimaan pajak secara efektif dan efisien.
Maksud dan TujuanPe mbentukan Tim Reformasi
Mempersiapkan dan mendukung pelaksanaan reformasi perpajakan yang mencakup
aspek Organisasi dan sumber daya manusia, teknologi informasi, basis data dan proses bisnis,
serta peraturan perundang-undangan guna meningkatkan kepercayaan Wajib Pajak terhadap
institusi perpajakan, kepatuhan Wajib Pajak, kehandalan pengelolaan basis data/administrasi
perpajakan, dan integritas serta produktivitas aparat perpajakan.
14
Timeline Reformasi Perpajakan
Kesimpulan
Direktorat Jenderal Pajak pada prinsipnya telah menerapkan etika bisnis dan good
governance. Hal ini dapat dilihat dari nilai-nilai dan kode etik yang telah dianut serta upaya
secara bertahap dalam melakukan reformasi perpajakan.
Saran
Perlu adanya peran serta seluruh pemangku kepentingan di Direktorat Jenderal Pajak
dalam rangka mensukseskan penerapan etika bisnis dan good governance secara baik dan
benar.
15
DAFAR PUSTAKA
16