Anda di halaman 1dari 16

TUGAS SEBELUM UAS

Dosen Pengampu: Prof. Dr. Ir. Hapzi Ali, MM, CMA

PENERAPAN ETIKA BISNIS DAN GOOD GOVERNANCE PADA


DIREKTORAT JENDERAL PAJAK (DJP)

Disusun Oleh:

M. Iqbal Rasyid Supeni (55118110151)

PROGRAM STUDI MAGISTER MANAJEMEN

UNIVERSITAS MERCU BUANA

2019
ABSTRAK
Etika bisnis adalah acuan bagi organisasi dalam melaksanakan kegiatan usaha
termasuk dalam berinteraksi dengan pemangku kepentingan. Sedangkan good governace
merupakan seperangkat peraturan yang menetapkan hubungan antara pemangku kepentingan
sehubungan dengan hak-hak dan kewajiban mereka atau dengan kata lain sistem yang
mengarahkan dan mengendalikan organisasi. Baik etika bisnis maupun good governace perlu
diterapkan dalam sebuah organisasi terutama yang bergerak pada sektor pelayanan publik
guna memperoleh kepercayaan dari para pemangku kepentingan. Makalah ini bertujuan untuk
menjelaskan etika bisnis dan good governace di Direktorat Jenderal Pajak, salah satu instansi
pemerintah yang memberikan layanan sektor publik di bidang perpajakan. Metodologi
penelitian yang digunakan adalah metodologi pustaka dan observasi berdasarkan pengalaman
penulis dalam berhubungan dengan Direktorat Jenderal Pajak.

I. INTRODUCTION
Tuntutan terhadap penerapan etika bisnis dan good governance pada sektor publik
dalam beberapa tahun ini menjadi sebuah keharusan. Konsep etika bisnis dan good
governance muncul karena adanya ketidakpuasan pada kinerja pemerintahan yang selama ini
dipercaya sebagai penyelenggara urusan publik. Menerapkan praktik good governance dapat
dilakukan secara bertahap sesuai dengan kapasitas pemerintah, masyarakat sipil, dan
mekanisme pasar. Salah satu pilihan strategis untuk menerapkan good governance di
Indonesia adalah melalui penyelenggaraan pelayanan publik.
Pelayanan publik menjadi tolok ukur keberhasilan pelaksanaan tugas dan pengukuran
kinerja pemerintah melalui birokrasi. Pelayanan publik sebagai penggerak utama juga
dianggap penting oleh semua aktor dari unsur good governance. Para pejabat publik, unsur-
unsur dalam masyarakat sipil dan dunia usaha sama-sama memiliki kepentingan terhadap
perbaikan kinerja pelayanan publik. Ada tiga alasan penting yang melatarbelakangi bahwa
pembaharuan pelayanan publik dapat mendorong praktik good governance di Indonesia.
Pertama, perbaikan kinerja pelayanan publik dinilai penting oleh stakeholders, yaitu
pemerintah, warga, dan sektor usaha. Kedua. Pelayanan publik adalah ranah dari ketiga unsur
governance melakukan interaksi yang sangat intensif. Ketiga, nilai-nilai yang selama ini
mencirikan praktik good governance diterjemahkan secara lebih mudah dan nyata melalui
pelayanan publik.
Direktorat Jenderal Pajak sebagai instansi pemerintah yang memberikan layanan
sektor publik di bidang perpajakan juga harus menerapkan hal yang serupa. Penerapan etika
bisnis dan good governance yang baik pada Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dapat di lihat
dalam konteks mekanisme internal maupun mekanisme eksternal organisasi. Mekanisme
internal lebih fokus pada bagaimana pimpinan DJP mengatur jalannya organisasi sesuai
dengan prinsip-prinsip keterbukaan, keadilan dan dapat dipertanggungjawabkan. Mekanisme
eksternal lebih menekankan kepada bagaimana interaksi DJP dengan pihak eksternal berjalan
dengan harmonis tanpa mengabaikan pencapaian tujuan organisasi.

2
II. LITERATURE RIVIEW

Personal ethics and business ethics


Arti etika dapat dibedakan dari sisi praktis dan refleksi. Etika sebagai praktis yaitu
sejauhmana nilai-nilai dan norma-norma moral diterapkan dan dilaksanakan dalam berbagai
aktivitas dan kegiatan sehari hari atau dapat juga di artikan sebagai apa yang dilakukan sesuai
dengan nilai dan moral. Etika sebagai praktis berarti moral atau moralitas: apa yang harus
dilakukan, tidak boleh dilakukan , pantas dilakukan dan sebagainya. Etika sebagai refleksi
adalah pemikiran moral, dimana kita berfikir tentang apa yang dilakukan lebih spesifik yang
harus dilakukan atau tidak boleh dilakukan. Etika sebagai refleksi menyoroti dan menilai baik
buruknya perilaku orang.
Etika adalah cabang ilmu falsafat yang mempelajari baik buruknya perilaku manusia (
selaku orang yang menjalankan aktivitas bisnis di perusahaan). Etika bisnis dapat dijalankan
pada tiga tingkat yaitu makro, meso dan mikro. Pada tingkat makro, etika bisnis mempelajari
aspek-aspek moral dari system ekonomi sebagai keseluruhan. Pada tingkat madya (meso),
etika bisnis menyelidiki masalah etis di bidang organisasi dalam hal ini perusahaan, dan
stakeholder yang berkaitan langsung dengan aktivitas bisnis di perusahaan seperti lembaga
konsumen, pemasok (supplier), investor, pemerintah, lembaga sosial seperti sarikat pekerja,
dan sebagainya. Sedangkakan pada tingkat mikro, etika bisnis difokuskan pada individu
dalam hubungannya dengan ekonomi dan bisnis.
Etika berfungsi menggugah kesadaran moral pelaku bisnis untuk berbisnis secara baik
dan etis didasari nilai-nilai luhur yang bermanfaat bagi konsumen, masyarakat dan demi
menjaga nama baik bisnis sendiri dalam jangka panjang. Etika bisnis menjadi acuan bagi
pebisnis untuk berbisnis tanpa merugikan konsumen, buruh, karyawan, dan masyarakat luas.
Tiga dasar yang mendasari bisnis berlaku etis yaitu:
1. Pertama, value statements atau pernyataan nilai.
Banyak pernyataan nilai menegaskan bahwa perusahaan ingin beroperasi secara etis
serta fair dan menggaris bawwahi pentingnya integritas, teamwork, kredibilitas, dan
keterbukaan dalam komunikasi. Jadi nilai yang dikemukakan ini sering lebih luas
daripada nilai-nilai etis.

2. Kedua, Corporate Credo atau kredo perusahaan


Biasanya merumuskan tanggung jawab perusahaan terhadap para stakeholder,
khususnya konsumen, karyawan, pemilik saham, masyarakat umum dan lingkungan
hidup.

3. Kode etik
Kode etik ini menyangkut kebijakan etis perusahaan berhubungan dengan kesulitas
yang bisa timbul (dan mungkin dimasa lampau pernah timbul), seperti konflik
kepentingan, hubungan dengan pesaing dan pemasok, menerima hadiah, sumbangan
kepada partai politik dan sebagainya.

3
Morality and law
Moral berhubungan dengan manusia sebagai individu sedangkan hukum(kebiasaan,
sopan santun) berhubungan dengan manusia sebagai makluk sosial. Antara hukum dan moral
terdapat perbedaan dalam hal tujuan, isi, asal cara menjamin pelaksanaannya dan daya
kerjanya.
1. Perbedaan antara moral dan hukum dalam hal tujuan:
a. Tujuan moral adalah menyempurnaan manusia sebagai individu.
b. Tujuan hukum adalah ketertiban masyarakat
2. Perbedaan antara moral dan hukum dalam han isi :
a. Moral yang bertujuan penyempuraan manusia berisi atau memberi peraturan-
peraturan yang bersifat batiniah(ditujukan kepada sikap lahir).
b. Hukum memberi peraturan-peraturan bagi perilaku lahiriah.

Perbedaan diatas pertama kali dikemukakan oleh Emanuel Kant. Batasan perbedaan
tersebut jangan dilihat terlalu tajam, karena hukum tidak semata-mata (mutlak)
memperhatikan tindakan-tindakan lahiriah saja, demikian pula moral tidak hanya
memperhatikan perilaku batiniah saja.
Penjelasan bahwa hukum menghukum mereka yang melakukan delik hanya apabila
perbuatannya itu dapat dipertanggung jawabkan, yaitu kalau ada kesalahan. Itupun masih
dibedakan ada kesenjangan atau kelalaian atau tidak. Demikian pula hukum memberikan
akibat pada perbuatan yang dilakukan dengan iktikat baik atau tidak.

Etiquette and professional law


Kaedah-kaedah pokok dari etika profesi dibidang Hukum (Kieser:1986):
a. Profesi di bidang hukum harus dihayati sebagai suatu pelayanan tanpa pamrih (dis
intrestedness) yaitu pertimbangan yang diambil adalah kepentingan klien dan
kepentingan umum.
b. Bukan kepentingan pribadi dari pengemban profesi, jika hal ini diabaikan maka
pelaksanaan profesi akan mengarah kepada kemanfaatan yang menjurus kepada
penyalahgunaan profesi sehingga akhirnya merugikan kliennya.
c. Pelayanan profesi dengan mendahulukan kepentingan klien, yang mengacu pada
kepentingan atau nilai-nilai luhur sebagai manusia yang membatasi sikap dan
tindakan.
d. pengemban profesi harus berorientasi pada masyarakat secara keseluruhan.
e. pengemban profesi harus mengembangkan semangat solidaritas sesama rekan
seprofesi.

Peraturan Etika Lainnya :


a. Tindakan yang Bisa Didiskreditkan
1) Retensi dari catatan klien
2) Diskriminasi dan gangguan dalam praktek karyawan
3) Standar atas audit pemerintah dan persyaratan badan dan agensi pemerintah
4) Kelalaian dalam persiapan laporan atau catatan keuangan
5) Kegagalan mengikuti persyaratan dari badan pemerintah, komisi atau agen
regulasi lainnya
6) Permohonan atau pengungkapan dan jawaban ujian akuntan publik
7) Kegagalan memasukkan pajak penghasilan atau pembayaran kewajiban pajak
4
b. Periklanan dan Permohonan
c. Komisi dan Fee Penyerahan
d. Bentuk dan Nama Organisasi
1) Integritas dan Obyektivitas
2) Standar Teknis
3) Kerahasiaan
 Kebutuhan atas Kerahasiaan
 Pengecualian atas Kerahasiaan (Kewajiban yang berhubungan dengan standar
teknis, Panggilan Pengadilan, Peer Review, Respon kepada Divisi Etika
4) Fee Kontinjen

Management and ethics


Etika (ethics) adalah satu set kepercayaan, standar, atau pemikiran yang mengisi suatu
individu, kelompok atau masyarakat. Etika juga diartikan sebagai sistem dari prinsip-prinsip
moral atau aturan untuk bertindak (rule of conduct). Etika menyangkut perilaku, perbuatan
dan sikap manusia terhadap peristiwa penting dalam hidupnya. Isu etika hadir dalam sebuah
situasi ketika tindakan yang dilakukan oleh seseorang atau sebuah organisasi dapat
menimbulkan manfaat atau kerugian bagi yang lain.
Etika dalam organisasi atau etika manajemen perhatiannya meliputi tiga hal yaitu :
a. Hubungan organisasi atau perusahaan dengan karyawan,
b. Hubungan karyawan dengan organisasi,
c. Hubungan organisasi dengan pihak luar.

Pengertian Corporate Governance


Tata Kelola Perusahaan (corporate governance) adalah rangkaian proses, kebiasaan,
kebijakan, aturan, dan institusi yang memengaruhi pengarahan, pengelolaan, serta
pengontrolan suatu perusahaan atau korporasi. Tata kelola perusahaan juga mencakup
hubungan antara para pemangku kepentingan (stakeholder) yang terlibat serta tujuan
pengelolaan perusahaan. Pihak-pihak utama dalam tata kelola perusahaan adalah pemegang
saham, manajemen, dan dewan direksi. Pemangku kepentingan lainnya termasuk karyawan,
pemasok, pelanggan, bank dan kreditor lain, regulator, lingkungan, serta masyarakat luas.
Tata kelola perusahaan adalah suatu subjek yang memiliki banyak aspek. Salah satu
topik utama dalam tata kelola perusahaan adalah menyangkut masalah akuntabilitas dan
tanggung jawab mandat, khususnya implementasi pedoman dan mekanisme untuk
memastikan perilaku yang baik dan melindungi kepentingan pemegang saham. Fokus utama
lain adalah efisiensi ekonomi yang menyatakan bahwa sistem tata kelola perusahaan harus
ditujukan untuk mengoptimalisasi hasil ekonomi, dengan penekanan kuat pada kesejahteraan
para pemegang saham. Ada pula sisi lain yang merupakan subjek dari tata kelola perusahaan,
seperti sudut pandang pemangku kepentingan, yang menuntut perhatian dan akuntabilitas
lebih terhadap pihak-pihak lain selain pemegang saham, misalnya karyawan atau lingkungan.
Shleifer dan Vishny (1997) menyatakan bahwa corporate governance yang merupakan
konsep yang didasarkan pada teori keagenan, diharapkan bisa berfungsi sebagai alat untuk
memberikan keyakinan kepada para investor bahwa mereka akan menerima return atas dana
5
yang telah mereka investasikan. Corporate governance berkaitan dengan bagaimana para
investor yakin bahwa manajer akan memberikan keuntungan bagi mereka, yakin bahwa
manajer tidak akan mencuri/menggelapkan atau menginvestasikan ke dalam proyek-proyek
yang tidak menguntungkan berkaitan dengan dana/kapital yang telah ditanamkan oleh
investor, dan berkaitan dengan bagaimana para investor mengontrol para manajer. Dengan
kata lain corporate governance diharapkan dapat berfungsi untuk menekan atau menurunkan
biaya keagenan (agency cost).
Kemunculan istilah corporate governance digawangi oleh Cadbury pada tahun 1992.
Pada awalnya, Cadbury Committee mendefinisikan corporate governance sebagai suatu paket
kebijakan yang memuat uraian hubungan antara para pemegang saham, manajer, kreditur,
pemerintah, pekerja dan stakaholders lain, baik secara internal maupun eksternal, sebagai
suatu bentuk tanggung jawab.
CG sendiri pada dasarnya menyangkut hal -hal terkait siapa dan mengapa, atau bisa
diuraikan sebagai ; siapa (who) yang seharusnya mengendalikan jalannya kegiatan korporasi,
dan mengapa (why) harus dilakukan pengendalian terhadap jalannya kegiatan korporasi
tersebut. Kaen (2003) dalam Siallagan dan Machfoedz (2006: 4) mengungkapkan bahwa kata
“siapa” yang dimaksud dalam hal ini adalah para pemegang saham, sedangkan “mengapa”
adalah terkait hubungan antara pemegang saham dengan berbagai pihak yang berkepentingan
terhadap perusahaan.
Corporate governance menjadi konsep yang diajukan dengan tujuan untuk
meningkatkan kinerja perusahaan melalui monitoring kinerja manajemen, sertamenjamin
akuntabilitas manajemen terhadap stakeholder dengan didasarkan pada kerangka peraturan.
Jadi, tujuan penerapan konsep corporate governance adalah guna mencapai pengelolaan
perusahaan yang lebih transparan bagi semua pengguna laporan keuangannya. Apabila konsep
ini diterapkan dengan baik, maka pertumbuhan ekonomi diharapkan dapat terus mengalami
peningkatan bersamaan dengan transparansi pengelolaan perusahaan yang semakin baik.
Hingga pada akhirnya, dapat tercipta kondisi yang menguntungkan berbagai pihak. Dari
konsep inilah, penerapan corporate governance yang baik dipercaya mampu meningkatkan
nilai perusahaan.
Manfaat Corporate Govenrment
Beberapa manfaat yang dapat diperoleh dengan dilaksanakannya corporate
governance berdasarkan Forum for Coporate Governance in Indonesia (FCGI) (2001:4),
antara lain :
1. Meningkatkan kinerja perusahaan melalui terciptanya proses pengambilan keputusan
yang lebih baik, meningkatkan efisiensi operasional perusahaan serta lebih
meningkatkan pelayanan kepada stakeholders.
2. Mempermudah diperolehnya dana pembiayaan yang lebih murah dan tidak rigid
(karena faktor kepercayaan) yang pada akhirnya akan meningkatkan corporate value.
3. Mengembalikan kepercayaan investor untuk menanamkan modalnya di Indonesia.
4. Pemegang saham akan merasa puas dengan kinerja perusahaan karena sekaligus akan
meningkatkan shareholder’s value dan dividen. Khusus bagi BUMN akan dapat
membantu penerimaan bagi APBN terutama dari hasil privatisasi.

6
Good Corporate Government
Tujuan penerapan good corporate governance secara khusus adalah untuk
menciptakan nilai tambah bagi semua pihak yang berkepentingan. Pihak-pihak tersebut
meliputi pihak internal perusahaan seperti dewan direksi, dewan komisaris, karyawan, dan
juga pihak eksternal perusahaan meliputi investor kreditur, pemerintah, masyarakat, dan
pihak-pihak lain yang berkepentingan (stakeholders) (Arifin, 2005).
Meskipun penerapan GCG adalah hal penting bagi perusahaan mana pun di dunia,
namun dalam penerapannya tidak selalu sama. Di setiap negara, penerapan GCG dapat
berbeda. Perbedaan implementasi GCG dipengaruhi oleh sistem ekonomi, hukum, struktur
kepemilikan, serta sosial dan budaya.
Good Corporate Governance juga dapat menjadi jalan dalam upaya mengeliminasi
upaya rekayasa manajemen. Dengan adanya pembuatan peraturan tentang keharusan bagi
perusahaan untuk mengungkapkan informasi tertentu secara wajib (mandated disclosure) dan
sukarela (voluntary disclosure), maka diharapkan kualitas laporan keuangan yang
dipublikasikan dapat lebih baik dan transparan (Sulistyanto, 2008).
Implementasi Good Corporate Government
Secara umum, implementasi good corporate governance dipercaya dapat
meningkatkan kinerja atau nilai perusahaan (Siallagan, 2006). Konsep good corporate
governance sendiri mulai diperkenalkan di Indonesia sejak tahun 1999. Penerapan mekanisme
good corporate governance ditujukan untuk mengurangi terjadinya agency problem pada titik
terendah. Hal ini seperti yang diungkapkan Jensen dan Meckling (1976) dalam teori agensi-
nya, yang menyatakan bahwa agency problem dapat muncul karena adanya perbedaan
kepentingan antara pemilik perusahaan (Principal) dengan manajemen (Agent).
Al-Faki (2006) juga mengajukan pendapatnya yang menyatakan bahwa agar dapat
memunculkan keselarasan pemilik perusahaan dan manajemen, dibutuhkan adanya
transparansi dari pihak manajemen terhadap pemilik perusahaan, serta adanya keadilan bagi
stakeholders lain. Implementasi Good Corporate Governance dapat dilakukan melalui
beberapa cara seperti membangun kesetaraan, transparasi, akuntabilitas, dan responsibilitas
dalam mengelola perusahaan.
Prinsip Good Corporate Government
Implementasi Good corporate governance menganut beberapa prinsip. Menurut
Organization for Economic Cooperation and Development (OECD) dalam Indra dan Ivan
(2006:68), prinsip dasar GCG ada 4. Berikut adalah 4 prinsip GCG :
1. Transparansi Organisasi yang dikelola dengan mekanisme corporate governance,
harus mendasarkan pengelolaan perusahaan pada prinsip transparan. Artinya, setiap
tindakan pengambilan keputusan terkait harus diketahui oleh semua pihak.
2. Akuntabilitas Akuntabilitas artinya pengelolaan perusahaan yang dilakukan
manajemen harus seimbang. Semua pihak yang terkait harus terlibat dalam kegiatan
pengelolaan perusahaan.

7
3. Kewajaran (fairness) Dalam corporate governance, dianut prinsip kewajaran, yang di
dalamnya memuat angka-angka akuntansi seperti dalam laporan keuangan perusahaan.
III. METHODS
Untuk memperoleh data yang digunakan dalam tugas ini, penulis menggunakan
Metode pengumpulan data berupa studi kepustakaan dengan cara mengumpulkan data dari
beberapa buku, dan juga melakukan pencarian dan pengumpulan data melalui internet, dan
interaksi penulis dengan pihak Direktorat Jenderal Pajak.

IV. RESULT AND DISCUSSION


Ditjen Pajak merupakan unit eselon I di bawah Kementerian Keuangan yang
mempunyai tugas merumuskan serta melaksanakan kebijakan dan standardisasi teknis di
bidnag perpajakan. Tugas tersebut dapat dijabarkan lebih lanjut dalam penyelenggaraan
fungsi yang meliputi:

a. perumusan kebijakan di bidang perpajakan;


b. pelaksanaan kebijakan di bidang perpajakan;
c. penyusunan norma, standar, prosedur, dan kriteria di bidang perpajakan;
d. pemberian bimbingan teknis dan supervisi di bidang perpajakan;
e. pelaksanaan pemantauan, evaluasi, dan pelaporan di bidang perpajakan;
f. pelaksanaan administrasi Ditjen Pajak; serta
g. pelaksanaan fungsi lain yang diberikan oleh Menteri Keuangan.

Lingkup bidang perpajakan yang dikelola Ditjen Pajak meliputi adminsitrasi


pemungutan/pengumpulan pajak pusat, yaitu Pajak Penghasilan (PPh), Pajak Pertambahan
Nilai (PPN), Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM), Pajak Bumi dan Bangunan selain
sektor perkotaan dan pedesaan, serta Bea Meterai. Adapun pengelolaan pajak daerah
dilakukan oleh pemerintah daerah baik di tingkat provinsi maupun kabupaten kota.
Kedudukan DJP

8
VISI -

Menjadi Institusi Penghimpun Penerimaan Negara yang Terbaik demi Menjamin Kedaulatan
dan Kemandirian Negara

- MISI -

Menjamin penyelenggaraan negara yang berdaulat dan mandiri dengan:

1. mengumpulkan penerimaan berdasarkan kepatuhan pajak sukarela yang tinggi dan


penegakan hukum yang adil;
2. pelayanan berbasis teknologi modern untuk kemudahan pemenuhan kewajiban
perpajakan;
3. aparatur pajak yang berintegritas, kompeten dan profesional; dan
4. kompensasi yang kompetitif berbasis sistem manajemen kinerja.

Penerapan Etika Bisnis di Direktorat Jenderal Pajak

Sebagai bagian dari Kementerian Keuangan, Ditjen Pajak mengusung Nilai-Nilai


Kementerian Keuangan sebagai dasar dan fondasi bagi institusi, pimpinan, dan seluruh
pegawainya dalam mengabdi, bekerja, dan bersikap. Nilai-nilai Kementerian Keuangan terdiri
dari lima nilai yaitu:
1. INTEGRITAS : Berpikir, berkata, berperilaku dan bertindak dengan baik dan benar
serta
memegang teguh kode etik dan prinsip-prinsip moral.
2. PROFESIONALISME : Bekerja tuntas dan akurat atas dasar kompetensi terbaik
dengan penuh tanggung jawab dan komitmen yang tinggi.
3. SINERGI : Membangun dan memastikan hubungan kerjasama internal yang
produktif serta kemitraan yang harmonis dengan para pemangku kepentingan, untuk
menghasilkan karya yang bermanfaat dan berkualitas
4. PELAYANAN : Memberikan layanan yang memenuhi kepuasan pemangku
kepentingan yang dilakukan dengan sepenuh hati, transparan, cepat, akurat dan aman
5. KESEMPURNAAN : Senantiasa melakukan upaya perbaikan di segala bidang untuk
menjadi dan memberikan yang terbaik.

Selain menerapkan nilai-nilai Kementerian Keuangan Pegawai DJP juga wajib


mematuhi kode etik pegawai DJP. Kode etik DJP terdiri dari Kewajiban dan Larangan.

Setiap Pegawai mempunya i kewajiban untuk :


1. menghormati agama, kepercayaan, budaya, dan adat istiadat orang lain;
2. bekerja secara profesional, transparan, dan akuntabel;
3. mengamanka n data dan atau informasi yang dimilik i Direktorat Jenderal Pajak;
4. memberikan pelayanan kepada Wajib Pajak, sesama Pegawai, atau pihak lain
dalam pelaksanaan tugas dengan sebaik- baiknya;
5. mentaati perintah kedinasan;
9
6. bertanggung jawab dalam penggunaa n barang iventaris milik Direktorat Jenderal Pajak;
7. mentaati ketentuan jam kerja dan tata tertib kantor;
8. menjadi panutan yang baik bagi masyarakat dalam memenuhi kewajiban perpajakan;
9. bersikap, berpenampilan, dan bertutur kata secara sopan.

Setiap Pegawai dilarang:


1. bersikap diskriminatif dalam melaksanakan tugas;
2. menjadi anggota atau simpatisan aktif partai politik;
3. menyalahgunaka n kewenangan jabatan baik langsung maupun tidak langsung;
4. menyalahgunaka n fasilitas kantor;
5. menerima segala pemberian dalam bentuk apapun, baik langsung maupun tidak langsung,
dari Wajib Pajak, sesama Pegawai, atau pihak lain, yang menyebabkan Pegawai
yang menerima, patut diduga memiliki kewajiban yang berkaitan dengan jabatan
atau pekerjaannya;
6. menyalahgunaka n data dan atau informasi perpajakan;
7. melakukan perbuatan yang patut diduga dapat mengakibatkan gangguan, kerusakan
dan atau perubahan data pada sistem informasi milik Direktorat Jenderal Pajak;
8. melakukan perbuatan tidak terpuji yang bertentangan dengan norma kesusilaan dan
dapat merusak citra serta martabat Direktorat Jenderal Pajak.

Penerapan CGG di Direktorat Jenderal Pajak

Tugas Direktorat Jenderal Pajak sesuai amanat Peraturan Menteri Keuangan Nomor
234/PMK.01/2015 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Keuangan adalah
merumuskan dan melaksanakan kebijakan dan standardisasi teknis di bidang perpajakan.

Dalam mengemban tugas tersebut, DJP menyelenggarakan fungsi:


a. perumusan kebijakan di bidang perpajakan;
b. pelaksanaan kebijakan di bidang perpajakan;
c. penyusunan norma, standar, prosedur, dan kriteria di bidang perpajakan;
d. pemberian bimbingan teknis dan evaluasi di bidang perpajakan; dan
e. pelaksanaan administrasi DJP.

Selain berlandaskan pada Peraturan Menteri Keuangan Nomor 234/PMK.01/2015,


dalam pelaksanaan tugas dan fungsinya Direktorat Jenderal Pajak juga berlandaskan pada
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 210/PMK.01/2017 dan Peraturan Menteri
Keuangan Nomor 212/PMK.01/2017.

Organisasi DJP terbagi atas unit kantor pusat dan unit kantor operasional. Kantor
pusat terdiri atas Sekretariat Direktorat Jenderal, direktorat, dan jabatan tenaga pengkaji. Unit
kantor operasional terdiri atas Kantor Wilayah DJP (Kanwil DJP), Kantor Pelayanan Pajak
(KPP), Kantor Pelayanan, Penyuluhan, dan Konsultasi Perpajakan (KP2KP), dan Pusat
Pengolahan Data dan Dokumen Perpajakan (PPDDP).

Organisasi DJP, dengan jumlah kantor operasional lebih dari 500 unit dan jumlah
pegawai lebih dari 42.000 orang yang tersebar di seluruh penjuru nusantara, merupakan salah
satu organisasi besar yang ada dalam lingkungan Kementerian Keuangan. Segenap sumber
10
daya yang ada tersebut diberdayakan untuk melaksanakan pengamanan penerimaan pajak
yang beban setiap tahunnya semakin berat.

Tugas Unit dan Jabatan di Kantor Pusat DJP

1. Sekretariat Direktorat Jenderal


Melaksanakan koordinasi pelaksanaan tugas serta pembinaan dan pemberian
dukungan administrasi kepada semua unsur di DJP.
2. Direktorat Peraturan Perpajakan I
Merumuskan serta melaksanakan kebijakan dan standardisasi teknis di bidang
peraturan terkait ketentuan umum dan tata cara perpajakan, penagihan pajak dengan
surat paksa, Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, serta
Pajak Tidak Langsung Lainnya, dan Pajak Bumi dan Bangunan.
3. Direktorat Peraturan Perpajakan II
Merumuskan serta melaksanakan kebijakan dan standardisasi teknis di bidang
peraturan terkait pajak penghasilan, advokasi, pemberian bimbingan dan pelaksanaaan
advokasi, dan harmonisasi peraturan perpajakan.
4. Direktorat Pemeriksaan & Penagihan
Merumuskan serta melaksanakan kebijakan dan standardisasi teknis di bidang
pemeriksaan dan penagihan pajak.
5. Direktorat Intelijen Perpajakan
Merumuskan serta melaksanakan kebijakan dan standardisasi teknis di bidang intelijen
perpajakan.
6. Direktorat Ekstensifikasi & Penilaian
Merumuskan serta melaksanakan kebijakan dan standardisasi teknis di bidang
ekstensifikasi dan penilaian perpajakan.
7. Direktorat Keberatan & Banding
Merumuskan serta melaksanakan kebijakan dan standardisasi teknis di bidang
keberatan dan banding.
8. Direktorat Potensi, Kepatuhan & Penerimaan
Merumuskan serta melaksanakan kebijakan dan standardisasi teknis di bidang potensi,
kepatuhan, dan penerimaan.
9. Direktorat Penyuluhan, Pelayanan & Hubungan Masyarakat
Merumuskan serta melaksanakan kebijakan dan standardisasi teknis di bidang
penyuluhan, pelayanan dan hubungan masyarakat.
10. Direktorat Data dan Informasi Perpajakan
Merumuskan serta melaksanakan kebijakan dan standardisasi teknis di bidang data
dan informasi perpajakan.
11. Direktorat Kepatuhan Internal & Transformasi Sumber Daya Aparatur
Merumuskan serta melaksanakan kebijakan dan standardisasi teknis di bidang
kepatuhan internal dan transformasi sumber daya aparatur.
12. Direktorat Teknologi Informasi dan Komunikasi
Merumuskan serta melaksanakan kebijakan dan standardisasi teknis di bidang
teknologi informasi dan komunikasi.
13. Direktorat Transformasi Proses Bisnis
Merumuskan serta melaksanakan kebijakan dan standardisasi teknis di bidang
transformasi proses bisnis.
14. Direktorat Perpajakan Internasional
Merumuskan serta melaksanakan kebijakan dan standardisasi teknis di bidang
perpajakan internasional.
11
15. Direktorat Penegakan Hukum
Merumuskan serta melaksanakan kebijakan dan standardisasi teknis di bidang
penegakan hukum perpajakan.
16. Tenaga Pengkaji Bidang Ekstensifikasi & Intensifikasi Pajak
Mengkaji dan menelaah masalah di bidang ekstensifikasi dan intensifikasi pajak, serta
memberikan penalaran pemecahan konsepsional secara keahlian.
17. Tenaga Pengkaji Bidang Pengawasan & Penegakan Hukum Perpajakan
Mengkaji dan menelaah masalah di bidang pengawasan dan penegakan hukum
perpajakan, serta memberikan penalaran pemecahan konsepsional secara keahlian.
18. Tenaga Pengkaji Bidang Pembinaan & Penertiban Sumber Daya Manusia
Mengkaji dan menelaah masalah di bidang pembinaan dan penertiban sumber daya
manusia, serta memberikan penalaran pemecahan konsepsional secara keahlian.
19. Tenaga Pengkaji Bidang Pelayanan Perpajakan
Mengkaji dan menelaah masalah di bidang pelayanan perpajakan, serta memberikan
penalaran pemecahan konsepsional secara keahlian.

Tugas unit Kanwil DJP adalah melaksanakan koordinasi, bimbingan, pengendalian,


analisis, dan evaluasi atas pelaksanaan tugas KPP, serta penjabaran kebijakan dari kantor
pusat.
Unit ini dapat dibedakan atas:

1. Kanwil DJP Wajib Pajak Besar dan Kanwil DJP Jakarta Khusus yang berlokasi di
Jakarta; dan
2. Kanwil DJP selain Kanwil DJP Wajib Pajak Besar dan Kanwil DJP Jakarta Khusus
yang lokasinya tersebar di seluruh wilayah Indonesia.

Jumlah Kanwil DJP sebanyak 34 unit.

Unit KPP mempunyai tugas melaksanakan penyuluhan, pelayanan, dan pengawasan


kepada wajib pajak. Unit ini dapat dibedakan berdasarkan segmentasi wajib pajak yang
diadministrasikannya, yaitu:

1. KPP Wajib Pajak Besar, khusus mengadministrasikan wajib pajak besar nasional;
2. KPP Madya, khusus mengadministrasikan wajib pajak besar regional dan wajib pajak
besar khusus yang meliputi badan dan orang asing, penanaman modal asing, serta
perusahaan masuk bursa; dan
3. KPP Pratama, menangani wajib pajak lokasi.

Untuk menjangkau masyarakat yang tinggal di daerah-daerah terpencil yang tidak


terjangkau oleh KPP maka pelaksanaan pelayanan, penyuluhan, dan konsultasi perpajakan
dilaksanakan oleh unit KP2KP.

Sampai saat ini terdapat empat Unit Pelaksana Teknis (UPT) terdiri dari Pusat
Pengolahan Data dan Dokumen Perpajakan (PPDDP), Kantor Pengolahan Data dan Dokumen
Perpajakan (KPDDP), dan Kantor Layanan Informasi dan Pengaduan (KLIP).

PPDDP adalah unit yang berpusat di Jakarta dan mempunyai kantor operasional di
Jambi dan Makasar (KPDDP) yang mempunyai tugas melaksanakan penerimaan,

12
pemindaian, perekaman, dan penyimpanan dokumen perpajakan dengan memanfaatkan
teknologi informasi perpajakan.

KLIP adalah UPT DJP di bidang layanan pemberian informasi perpajakan,


penanganan pengaduan, dan pemberian imbauan kepada wajib pajak dengan memanfaatkan
teknologi informasi dan komunikasi yang berada di bawah dan bertanggung jawab langsung
kepada Direktur Jenderal Pajak.

Secara ringkas, struktur organisasi Ditjen Pajak dapat dibedakan atas kantor pusat dan
kantor operasional. Kantor pusat menjalankan fungsi perumusan kebijakan dan standardisasi
teknis, analisis dan pengembangan, serta pembinaan dan dukungan administrasi. Adapun
kantor operasional menjalankan fungsi teknis operasionan dan/atau teknis penunjang.

Kantor Pusat Ditjen Pajak terdiri atas Sekretariat Direktorat Jenderal, 14 unit
direktorat, dan 4 jabatan tenaga pengkaji.

Kantor operasional di lingkungan Ditjen Pajak terdiri atas Kantor Wilayah Ditjen
Pajak (Kanwil Ditjen Pajak); Kantor Pelayanan Pajak (KPP); Kantor Pelayanan Penyuluhan
dan Konsultasi Perpajakan (KP2KP); serta Unit Pelaksana Teknis (UPT).

UPT terdiri dari Pusat Pengolahan Data dan Dokumen Perpajakan (PPDDP), Kantor
Pengolahan Data dan Dokumen Perpajakan (KPDDP), dan Kantor Layanan Informasi dan
Pengaduan (KLIP).

Jumlah kantor operasional dapat dirinci sebagai berikut:

 34 Kantor Wilayah
 4 KPP Wajib Pajak Besar
 29 KPP Madya
 319 KPP Pratama
 204 KP2KP
 4 UPT

13
REFORMASI PERPAJAKAN
Reformasi perpajakan merupakan perubahan system perpajakan yang menyeluruh,
termasuk pembenahan administrasi perpajakan, perbaikan regulasi, dan peningkatan basis
perpajakan yang bertujuan menjadikan DJP sebagai institusi perpajakan yang kuat, kredibel
dan akuntabel. Dasar hukum pembentukan tim reformasi yaitu Keputusan Menteri Keuangan
Nomor KMK-885/KMK.03/2016 tentang Pembentukan Tim Reformasi Perpajakan (Tim
Reformasi).
Latar Belakang Pembentukan Tim Reformasi
• Sesuai dengan tujuan pembentukannya, UU Pengampunan Pajak ditujukan untuk
mendorong reformasi perpajakan menuju sistem perpajakan yang lebih berkeadilan,
serta perluasan data yang lebih valid komprehensif, dan terintegrasi dalam rangka
meningkatkan penerimaan pajak jangka pendek maupun jangka panjang yang
berkesinambungan
• Kebutuhan untuk mewujudkan suatu lembaga perpajakan yang kuat, kredibel, dan
akuntabel, secara struktur, kewenangan, dan kapasitas yang memadai (SDM,
anggaran, proses bisnis, sistem informasi, dan infrastruktur pendukung serta regulasi)
sehingga mampu mendeteksi potensi pajak yang ada dan merealisasikannya menjadi
penerimaan pajak secara efektif dan efisien.
Maksud dan TujuanPe mbentukan Tim Reformasi
Mempersiapkan dan mendukung pelaksanaan reformasi perpajakan yang mencakup
aspek Organisasi dan sumber daya manusia, teknologi informasi, basis data dan proses bisnis,
serta peraturan perundang-undangan guna meningkatkan kepercayaan Wajib Pajak terhadap
institusi perpajakan, kepatuhan Wajib Pajak, kehandalan pengelolaan basis data/administrasi
perpajakan, dan integritas serta produktivitas aparat perpajakan.

5 Pilar Reformasi Perpajakan


1. Pilar organisasi
Maksud reformasi organisasi di sini adalah struktur organisasi yang ideal dengan
memperhatikan cakupan wilayah geografis, karakteristik organisasi, ekonomi, kearifan
lokal, potensi penerimaan, dan rentang kendali yang memadai.
2. Pilar sumber daya manusia
Bertujuan mempersiapkan sumber daya manusia yang profesional, kompeten,
kredibel, berintegritas, dan dapat menjalankan proses bisnis dalam rangka
menghimpun penerimaan negara sesuai dengan potensi yang ada.
3. Pilar teknologi informasi dan basis data
Melakukan reformasi sistem informasi yang reliable dan andal untuk pengolahan data
perpajakan yang akurat.
4. Pilar Proses bisnis
Menyiapkan proses bisnis sederhana untuk membuat pekerjaan yang efektif, efisien,
akuntabel, berbasis teknologi informasi, dan mencakup seluruh pekerjaan.
5. Pilar peraturan
Melakukan reformasi peraturan yang memberikan kepastian hukum, menampung
dinamika kegiatan ekonomi yang berkembang, mengurangi biaya kepatuhan,
memperluas basis perpajakan, dan meningkatkan penerimaan pajak.

14
Timeline Reformasi Perpajakan

V. CONCLUSION & RECOMMENDATION

Kesimpulan
Direktorat Jenderal Pajak pada prinsipnya telah menerapkan etika bisnis dan good
governance. Hal ini dapat dilihat dari nilai-nilai dan kode etik yang telah dianut serta upaya
secara bertahap dalam melakukan reformasi perpajakan.
Saran
Perlu adanya peran serta seluruh pemangku kepentingan di Direktorat Jenderal Pajak
dalam rangka mensukseskan penerapan etika bisnis dan good governance secara baik dan
benar.

15
DAFAR PUSTAKA

Ali, Hapzi, 2019. Modul BE & GG, Universitas Mercu Buana.


Oesman, Abdoel Wahid, 2010. Mewujudkan Good Governance Direktorat Jenderal Pajak
dengan Reinveting Goverment, Jurnal Eksis, Vol 6 No 2, Hal 1479-1485
Maryam, Neneng Siti, 2016. Mewujudkan Good Governance Melalui Pelayanan Publik,
Jurnal Ilmu Politik dan Komunikasi, Vol VI No 1, Hal 1-18
Direktorat Jenderal Pajak, https://www.pajak.go.id/id, (19 Juli 2019, Jam 08.00)

16

Anda mungkin juga menyukai