Anda di halaman 1dari 14

KEDUDUKAN ETIKA DALAM ADMINISTRASI PUBLIK

Oleh:

Nalendra Firman Sindhu Adji

205030100111055

FAKULTAS ILMU ADMINISTRASI PUBLIK

UNIVERSITAS BRAWIJAYA
A. PENDAHULUAN

1. Latar Belakang
Pada dewasa ini terlihat gejala-gejala kemerosotan etika. Cara pasti kiranya
agak sukar menentukan faktor penyebabnya. Kata-kata etika, tidak hanya terdengar
dalam ruang kuliah saja bdan tidak hanya menjadi monopoli kaum cendikiawan.
Diluar kalangan intelektual pun sering disinggung tentang hal-hal seperti itu. Jika
seseorang membaca surat kabar atau majalah, hampir setiap hari ditemui kata-kata
etika. Berulang kali dibaca kalimat-kalimat semacam ini. Dalam dunia bisnis etika
semakin merosot. Di televisi akhir-akhir ini banyak iklan yang kurang
memerhatikan etika. Bahkan dalam pidato para pejabat pemerintah kata etika
banyak digunakan, tetapi kenyataaannya masih banyak pejabat justru melanggar
etika.

Etika merupakan yang berbicara nilai etika dan norma etika, membicarakan
perilaku manusia dalam hidupnya. Sebagai cabang filsafat, etika sangat
menekankan pendekatan kritis dalam melihat nilai etika dan mengenai norma etika.
Etika merupakan sebuah refleksi kritis dan rasional mengenai nilai etika dan pola
perilaku hidup manusia. Etika membicarakan soal nilai yang merupakan salah satu
dari cabang filsafat. Etika bermaksud membantu manusia untuk bertindak secara
bebas dan dapat dipertanggung jawabkan karena setiap tindakannya selalu
dipertanggung jawabkan.

Etika sebagai cabang filsafat merupkan sebuah peranan seperti halnya


agama, politik, bahasa, dan ilmu-ilmu pendukung yang telah ada sejak dahulu kala
dan diwariskan secara turun temurun. Etika sebagai cabang filsafat menjadi
refleksi krisis terhadap tingkah laku manusia, maka etika tidak bermaksud untuk
membuat orang bertindak sesuatu dengan tingkah laku bagus saja. Ia harus
bertindak berdasarkan pertimbangan akal sehat, apakah bertentangan atau
membangun tingkah laku baik.
B. PEMBAHASAN
1. Definisi Etika

Dalam Ensiklopedi Indonesia, etika disebut sebagai “Ilmu tentang


kesusilaan yang menentukan bagaimana patutnya manusia hidup dalam
masyarakat; apa yang baik dan apa yang buruk”. Sedangkan secara etimologis,
Etika berasal dari kata ethos (bahasa Yunani) yang berarti kebiasaan atau watak.
Etika menurut bahasa Sansekerta lebih berorientasi kepada dasar-dasar, prinsip,
aturan hidup (sila) yang lebih baik (su). Etika menurut Bertens dalam (Pasolong,
2007:190) adalah kebiasaan, adat atau akhlak dan watak. Dari definisi tersebut
dapat disimpulkan bahwa masalah

etika selalu berhubungan dengan kebiasaan atau watak manusia (sebagai


individu atau dalam kedudukan tertentu), baik kebiasaan/watak yang baik maupun
kebiasaan/watak buruk. Watak

baik yang termanifestasikan dalam perilaku baik, sering dikatakan sebagai


sesuatu yang patut atau sepatutnya. Sedangkan watak buruk yang
termanifestasikan dalam perilaku buruk, sering dikatakan sebagai sesuatu yang
tidak patut atau tidak sepatutnya.

William K. Frankena dalam Kumorotomo (1994 : 7) Etika mencakup filsafat


moral atau pembenaran-pembenaran filosofis. Moralitas merupakan instrumen
kemasyarakatan yang berfungsi

sebagai penuntun tindakan (action guide) untuk segala pola tingkah laku
yang disebut bermoral. Dengan demikian, moralitas akan serupa dengan hukum
disatu pihak dan dengan etiket di pihak lain. Bedanya dengan etiket, moralitas
memiliki pertimbangan yang jauh lebih tinggi tentang „kebenaran‟ dan
„keharusan‟. Di samping itu, moralitas juga dapat dibedakan dengan hukum, sebab
ia tidak dapat diubah melalui tindakan legislatif, eksekutif maupun yudikatif.
Demikian pula sanksi dalam moralitas tidak melibatkan paksaan fisik atau
ancaman, melainkan lebih bersifat internal misalnya berwujud rasa bersalah, malu,
dan sejenisnya.
2. Konteks Etika

Etika adalah cabang ilmu filsafat yang membicarakan nilai dan moral yang
menentukan perilaku seseorang dalam hidupnya. Etika merupakan sebuah refleksi
kritis dan rasional mengenai nilai dan

norma moral yang menentukan dan terwujud dalam sikap serta pola perilaku
baik sebagai pribadi maupun sebagai kelompok.Sebagai suatu subyek, etika
berkaitan dengan konsep yang dimiliki oleh individu ataupun kelompok untuk
menilai apakah tindakan-tindakan yang telah dikerjakannya itu salah atau benar,
buruk atau baik. Etika adalah refleksi dari apa yang disebut dengan self control,
karena segala sesuatunya dibuat dan diterapkan dari dan untuk kepentingan
kelompok itu sendiri. Etika tidak mempersoalkan keadaan manusia, melainkan
mempersoalkan bagaimana manusia harus bertindak. Tindakan manusia ini
ditentukan oleh bermacam-macam norma, diantaranya norma hukum, norma
moral, norma agama, dan norma sopan santun. Norma hukum berasal dari hukum
dan perundang-undangan, norma agama berasal dari agama, norma moral berasal
dari suara hati dan norma sopan santun berasal dari kehidupan sehari-hari. Etika
tidak dapat menggantikan agama. Agama merupakan hal yang tepat untuk
memberikan orientasi moral. Pemeluk agama menemukan orientasi dasar
kehidupan dalam agamanya. Akan

tetapi agama itu memerlukan keterampilan etika agar dapat memberikan


orientasi, tak sekadar indoktrinasi. Sebagai aliran etis, tradisionalisme dapat
berpegang pada tradisi budaya/kultural yang ada dalam masyarakat sebagai
warisan nenek moyang, atau pada tradisi keagamaan yang bersumber pada wahyu
keagamaan. Tradisi etis itu tampak juga dalam bahasa, seperti petuah, nasihat,
pepatah, norma dan prinsip, dalam perilaku, seperti cara hidup, bergaul, bekerja,
dan berbuat, serta dalam pandangan dan sikap hidup secara keseluruhan. Bentuk
bahasa,

perilaku, pandangan, dan sikap hidup merupakan tempat menyimpan nilai-


nilai etis, wahana pengungkapan, dan sarana mewujudkannya. Dalam
penerapannya, etika melandasi lahir dan berkembangnya berbagai teori ilmu
pengetahuan dan terapannya di berbagai bidang, yakni: hukum, profesi, ekonomi,
administrasi, seni, sosial, dan politik.
3. Empat Hirarki Etika

A. Moralitas Pribadi

1. Konsep baik-buruk, benar-salah yang telahbterinternalisasi dalam diri individu.

2. Produk dari sosialisasi nilai masa lalu.

3. Moralitas pribadi adalah superego atau hati nurani yang hidup dalam jiwa dan
menuntun perilaku individu.

4. Konsistensi pada nilai mencerminkan kualitas kepribadian individu.

5. Moralitas pribadi menjadi basis penting dalam kehidupan sosial dan organisasi.

B. Etika Profesi

1. Nilai benar-salah dan baik-buruk yang terkait dengan pekerjaan profesional.

2. Nilai-nilai tersebut terkait dengan prinsip-prinsip profesionalisme (kapabilitas


teknis, kualitas kerja, komitmen pada profesi).

3. Dapat dirumuskan ke dalam kode etik profesional yangnberlaku secara universal


(cth:PP No. 42 tahun 2004 tentang Pembinaan Jiwa Korps dan Kode Etik PNS).

4. Penegakan etika profesi melalui sanksi profesi (pencabutan lisensi).

C. Etika Organisasi

1. Konsep baik-buruk dan benar-salah yang terkait dengan kehidupan organisasi.

2. Nilai tersebut terkait dengan prinsip-prinsip pengelolaan organisasi modern


(efisiensi, efektivitas, keadilan, transparansi, akuntabilitas, demokrasi).

3. Dapat dirumuskan ke dalam kode etik organisasi yang berlaku secara universal.

4. Dalam praktek penegakan kode etik organisasibdipengaruhi oleh kepentingan


sempit organisasi,bkepentingan birokrat, atau kepentingan politik daribpolitisi
yang membawahi birokrat.

5. Penegakan etika organisasi melalui sanksi organisasi.


D. Etika Sosial

1. Konsep benar-salah dan baik-buruk yang terkait dengan hubungan-hubungan


sosial.

2. Nilai bersumber dari agama, tradisi, dan dinamika sosial.

3. Pada umumnya etika sosial tidak tertulis, tetapi hidup dalam memori publik, dan
terinternalisasi melalui sosialisasi nilai di masyarakat.

4. Etika sosial menjadi basis tertib sosial [Jepang, tidak boleh mengganggu dan
merepotkan orang lain].

5. Masyarakat memiliki mekanisme penegakan etika sosial, yaitu melalui


penerapan sanksi-sanksi sosial [diberitakan sebagai tersangka].

Pembentukan dan Implementasi Etika

Terbentuknya etika administrasi publik tidak terlepas dari kondisi yang ada
di dalam masyarakat yang bersangkutan, sesuai dengan aturan, norma, kebiasaan
atau budaya di tengah-tengah masyarakat dalam suatu komunitas tertentu. Nilai-
nilai yang ada dan berkembang di dalam masyarakat mewarnai sikap dan perilaku
yang nantinya dipandang etis atau tidak etis dalam penyelenggaraan fungsi-fungsi
pemerintahan yang merupakan bagian dari fungsi aparat birokrasi itu sendiri.
Munculnya etika sebagai suatu pedoman bertingkah laku dapat terbentuk dalam
dua macam proses, yaitu :

Secara alamiah terbentuk dari dalam (internal) diri manusia karena


pemahaman dan keyakinan terhadap suatu nilainilai tertentu (khususnya
agama/religi). Diciptakan oleh aturan-aturan eksternal yang disepakati secara
kolektif, misalnya: sumpah jabatan, disiplin, dan sebagainya. Sumpah jabatan dan
peraturan disiplin PNS, pada gilirannya akan membentuk etika birokrasi. Contoh di
Singapura menunjukkan bahwa etika berdisiplin (antri, membuang sampah)
dibentuk oleh denda sangat besar bagi pelanggar. Sementara, implementasi etika
sebagai suatu pedoman bertingkah laku juga dapat dikelompokkan menjadi dua
aspek, yakni internal (ke dalam) dan eksternal (keluar). Aspek „kedalam‟,
seseorang akan selalu bertingkah laku baik meskipun tidak ada orang lain di
sekitarnya. Dalam hal ini, etika lebih dimaknakan sebagai moral. Sedangkan dalam
aspek „keluar, implementasi Etika akan berbentuk sikap/perbuatan/perilaku yang
baik dalam kaitan interaksi dengan orang lain.

Posisi Etika dalam Administrasi Publik

Etika administrasi publik pertama kali muncul pada masa klasik. Hal ini
disebabkan karena teori administrasi publik klasik (Wilson, Weber, Gulick, dan
Urwick) kurang memberi tempat padabpilihan moral (etika). Pada teori klasik
kebutuhan moral administrator hanyalah merupakan keharusan untuk menjalankan
tugas sehari-hari secara efisien. Dengan diskresi yang dimiliki, administrator
publik pun tidak hanya harus efisien, tapi juga harus dapat
mendefinisikankepentingan publik, barang publik dan menentukan pilihan-pilihan
kebijakan atau tindakan secara bertanggungjawab. Padahal etika merupakan
dimensi yang penting dalam administrasi publik.

Urgensi Etika Administrasi Publik

Pentingnya etika administrasi publik tersebut adalah sebagai berikut (Henry, 1995:
400). Alasan pertama, adalah adanya public interest atau kepentingan publik yang
harus dipenuhi oleh pemerintah karena pemerintahlah yang memiliki tanggung
jawab. Dalam memberikan pelayanan ini pemerintah diharapkan secara profesional
melaksanakannya, dan harus mengambil keputusan politik secara tepat mengenai
siapa mendapat apa, berapa banyak, di mana, kapan, dan sebagainya. Padahal,
kenyataan menunjukkan bahwa pemerintah tidak memiliki tuntunan kode etik atau
moral secara memadai.

Asumsi bahwa semua aparat pemerintah adalah pihak yang telah teruji selalu
membela kepentingan publik atau masyarakatnya, tidak selamanya benar. Banyak
kasus membuktikan bahwa kepentingan pribadi, keluarga, kelompok, partai dan
bahkan struktur yang lebih tinggi justru mendikte perilaku seorang aparatur.
Birokrat dalam hal ini tidak memiliki “independensi” dalam bertindak etis, atau
dengan kata lain, tidak ada “otonomi dalam beretika”.

Alasan kedua, lebih berkenaan dengan lingkungan di dalam birokrasi yang


memberikan pelayanan itu sendiri. Alasan ketiga, berkenaan dengan karakteristik
masyarakat publik yang terkadang begitu variatif sehingga membutuhkan
perlakuan khusus. Mempekerjakan pegawai negeri dengan menggunakan prinsip
“kesesuaian antara orang dengan pekerjaannya” merupakan prinsip yang perlu
dipertanyakan secara etis, karena prinsip itu akan menghasilkan ketidakadilan, di
mana calon yang dipekerjakan hanya berasal dari daerah tertentu yang relatif lebih
maju.

Alasan keempat, adalah peluang untuk melakukan tindakan yang


bertentangan dengan etika yang berlaku dalam pemberian pelayanan publik sangat
besar. Pelayanan publik tidak sesederhana sebagaimana dibayangkan. Begitu
kompleks sifatnya baik berkenaan dengan nilai pemberian pelayanan itu sendiri
maupun mengenai cara terbaik pemberian pelayanan publik itu sendiri.
Kompleksitas dan ketiakmenentuan ini mendorong pemberi pelayanan publik
mengambil langkah-langkah profesional yang didasarkan kepada “keleluasaan
bertindak” (discretion). Dan keleluasaan inilah yang sering menjerumuskan
pemberi pelayanan publik atau aparat pemerintah untuk bertindak tidak sesuai
dengan kode etik atau tuntunan perilaku yang ada.

Implementasi Etika Administrasi Publik

/Etika administrasi publik dapat digunakan sebagai rujukan atau referensi


bagi para birokrasi publik dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya yaitu
American Society for Administration

(ASPA). Pelayanan kepada masyarakat yaitu pelayanan di atas

pelayanan kepada diri sendiri;

1. Rakyat yang berdaulat dan mereka yang bekerja dalam instansi pemerintah dan
pada akhirnya bertanggung jawab kepada rakyat

2. Hukum mengatur semua tindakan dari instansi pemerintah

3. Manajemen yang efektif dan efisien merupakan dasar bagi birokrasi

4. Sistem penilaian kecakapan, kesempatan yang sama, dan asas-asas iktikad baik
akan didukung, dijalankan dan dikembangkan

5. Perlindungan terhadap kepercayaan rakyat sangat penting, konflik kepentingan,


penyuapan, hadiah, atau faviritisme yang merendahkan jabatan publik untuk
kepentingan pribadi tidak diterima.
6. Pelayanan kepada masyarakat menuntut kepekaan khusus dengan ciri-ciri sifat
keadilan, keberanian, kejujuran, persamaan, kompetensi dan kasih saying.

7. Hati nurani memegang peranan penting dalam memilih arah tindakan. Para
administrator publik tidak hanya terlibat untuk mencegah hal yang tidak etis, tetapi
juga untuk mengusahakan hal yang etis melalui pelaksanaan tanggung jawab
dengan penuh semangat dantepat pada waktunya.

Etika administrasi negara sangat erat berkaitan dengan etika kehidupan


berbangsa. Administrasi negara/publik tidak hanya terbatas pada kumpulan sketsa
yang digunakan untuk membenarkan kebijakan pemerintah atau hanya terbatas
pada suatu disiplin ilmu saja – putting the ideas (Peter Senge, 1990) tetapi lebih
jauh dari itu, administrasi negara dijelaskan Wilson (1978) sebagai suatu upaya
untuk menaruh perhatian – concern terhadap pelaksanaan suatu konstitusi
ketimbang upaya membuatnya. Jadi sangat jelas bahwa dalam administrasi negara
dikenal etika administrasi negara yang tujuannya adalah untukmenyelengarakan
kegiatan administrasi negara dengan baik, dengan memperhatikan kepentingan
masyarakat. Itu berarti, saat etika administrasi negara digunakan dengan baik oleh
parampenyelenggara negara (administrator) maka etika kehidupan berbangsa pun
dapat berlangsung dengan baik, sebaliknya, apabilaetika administrasi negara tidak
secara benar melandasi setiap, pergerakan dalam administrasi negara maka dapat
diindikasikan begitu banyaknya masalah yang berdampak pada kehidupan
berbangsa.

Etika administrasi negara sangat erat berkaitan dengan etika kehidupan


berbangsa. Administrasi negara/publik tidak hanya terbatas pada kumpulan sketsa
yang digunakan untuk membenarkan kebijakan pemerintah atau hanya terbatas
pada suatu disiplin ilmu saja – putting the ideas (Peter Senge, 1990) tetapi lebih
jauh dari itu, administrasi negara dijelaskan Wilson (1978) sebagai suatu upaya
untuk menaruh perhatian – concern terhadap pelaksanaan suatu konstitusi
ketimbang upaya membuatnya. Jadi sangat jelas bahwa dalam administrasi negara
dikenal etika administrasi negara yang tujuannya adalah untuk menyelengarakan
kegiatan administrasi negara dengan baik, dengan memperhatikan kepentingan
masyarakat. Itu berarti, saat etika administrasi negara digunakan dengan baik oleh
para penyelenggara negara (administrator) maka etika kehidupan berbangsa pun
dapat berlangsung dengan baik, sebaliknya, apabila etika administrasi negara tidak
secara benar melandasi setiap pergerakan dalam administrasi negara maka dapat
diindikasikan begitu banyaknya masalah yang berdampak pada kehidupan
berbangsa. Etika sebagai penentu keberhasilan atau kegagalan dalam kehidupan
berbangsa. Khususnya Etika Politik dan Pemerintah. Etika ini dimaksudkan untuk
mewujudkan pemerintahan yang bersih, efisien, dan efektif; menumbuhkan
suasana politik yang demokratis yang bercirikan keterbukaan, rasa tanggung
jawab, tanggap akannaspirasi rakyat; menghargai perbedaan; jujur dalam
persaingan; ketersediaan untuk menerima pendapat yang lebih benar walau datang
dari orang per orang ataupun kelompok orang; serta menjunjung tinggi hak asasi
manusia.

Etika pemerintahan mengamanatkan agar aparatur memiliki rasa kepedulian


tinggi dalam memberikan pelayanan kepada publik, siap mundur apabila dirinya
telah melanggar kaidah dan sistem nilai, atau tidak mampu memenuhi amanah
masyarakat, bangsa, dan negara. Sebaliknya, saat etika administrasi negara tidak
berjalan sebagaimana mestinya, maka tercipta suatu ketidakseimbangan yang
berujung pada masalah-masalah kompleks yang sulit diselesaikan di Indonesia.
Karena pada saat ini, dimana seharusnya Indonesia yang menganut sistem
demokrasi dapat lebih baik dengan perspektif dari rakyat, oleh rakyat untuk rakyat
ternyata harus terpuruk karena pada kenyataannya, hampir semua pejabat politik
dan pemerintah hanya memikirkan kepentingan diri pribadi dan kelompoknya.
Dengan melihat semua fakta itulah, perlu adanya kesadaran bagi seluruh rakyat
Indonesia akan pentingnya etika administrasi negara yang mendasari baik
buruknya suatu penyelenggaraan negara, dan kemudian etika administrasi negara
tersebut sangat menentukan bagaimana etika kehidupan berbangsa, khususnya
etika politik dan pemerintah.

Namun pada kenyataannya, banyak sudah contoh kasus yang ada di


Indonesia berkaitan dengan etika administrasi negara/publik. Mulai dari hal
terkecil saat pembuatan KTP, karena organisasi pemerintah tidak melangsungkan
hidupnya dengan etika, makadengan mudah terjadi praktek pungutan liar yang
merugikan masyarakat. Hal itu membuat penilaian tentang buruknya manajemen
pemerintahan yang ada. Seharusnya, dalam keberlangsungan negara, adanya
komunikasi sesuai etika dapat berlangsung dengan benar baik antara pejabat
pemerintah sebagai penyelenggara negara maupun antara rakyat dan pemerintah
agar tercipta suatu koordinasi yang kontekstual dan berdampak positif bagi rakyat
dan pemerintah. Dalam etika administrasi negara yang dapat dikatakan harus
melingkupi semua proses penyelenggaraan negara. Namun, pada prakteknya,
kepegawaian di Indonesia seringkali berjalan tidak sesuai dengan etika yang ada.
Dapat dilihat dari awal, proses seleksi saja sudah mengindikasikan adanya
kecurangan misalnya dengan adanya kasus penyuapan untuk diterima sebagai
PNS. Kecurangan ini kemudian berdampak buruk, karena dengankecurangan ini
akan timbul sumber daya manusia yang kurang berkualitas.

Faktor Perilaku Tidak Etis

Ada dua faktor yang menjadi penyebab timbulnya perilakub tidak etis yang
terjadi dalam praktek administrasi publik. Pertama, faktor internal yaitu faktor
pribadi orang yang melakukan tindakan mal-administrasi. Kedua, faktor eksternal,
yaitu faktor yang berada di luar diri pribadi orang yang melakukan tindakan mal-
administrasi, bisa, lemahnya peraturan perundangan, lemahnya pelaksanaan
pengawasan, dan lingkungan kerja yang memungkinkan terbukanya kesempatan
untuk melakukan tindakan mal-administrasi. Faktor Internal berupa kepribadian
seseorang. Faktor kepribadian ini berwujud suatu niat, kemauan, dorongan yang
tumbuh dari dalam diri seseorang untuk melakukan tindakan tersebut. Faktor ini
disebabkan oleh lemahnya mental seseorang, dangkalnya agama dan keimanan
mereka, sehingga memudahkan mereka untuk melakukan sesuatu tindakan
walaupun sesungguhnya mereka tahu bahwa tindakan yang akan mereka lakukan
itu merupakan suatu tindakan yang tidak baik, tercela, buruk baikmenurut nilai-
nilai sosial, maupun menurut ajaran agama mereka.

Namun karena rendahnya sikap mental mereka, dangkalnya keimanan dan


keagamaan mereka, maka manakala ada kesempatan ada niatan untuk melakukan
tindakan mal-administrasi dengan mudahnya mereka lakukan. Faktor Internal
banyak pula dipengaruhi oleh faktor eksternal: faktor kebutuhan keluarga,
kesempatan,lingkungan kerja, dan lemahnya pengawasan, dan lain sebagainya.

Faktor eksternal adalah faktor yang berada di luar diri orangyang melakukan
tindakan mal-administrasi, bisa berupa, lemahnya peraturan, lemahnya lembaga
kontrol, lingkungan kerja dan lain
sebagainya yang membuka peluang (kesempatan) untuk melakukan tindakan
korupsi. Meskipun aturan telah dibuat oleh pihak yang berwenang, tetapi masih
ada pihak yang menyalahgunakan haknya. Hal ini mengakibatkan tidak
terlaksananya proses dan kerja administrasi publik dengan baik dan benar.
Peraturan perundangan tempat mereka bekerja, merupakan suatu tatanan nilai yang
dibuat untuk diikuti dan dipatuhi oleh para pegawai dalam menjalankan tupoksi
yang diberikan. Manakala peraturan tadi memberi kelonggaran bagi pegawainya
untuk melakukan tindakan tidak etis dalam pelaksanaan administrasi publik,
karena peraturannya tidak jelas, sanksi yang diberikan lemah, dan lain sebagainya,
maka akan memberikan peluang (kesempatan) pegawai untuk melakukan tindakan
tersebut.

Peraturan Etika

Peraturan etika diperlukan untuk meredam kecenderungan kepentingan


pribadi. Etika bersifat kompleks, dalam banyak kasus bersifat dilematis, karena itu
diperlukan hal yang bisa memberikan kepastian tentang mana yang benar dan
salah, baik dan buruk. Penerapan peraturan etika dapat membuat perilaku etis
menimbulkan efek reputasi. Organisasi publik sekarang banyak dicemooh karena
kinerjanaya dinilai buruk, karena itu perlu etika. Etika dan hukum memiliki
keterkaitan satu sama lain. Keduanya mengatur perilaku individu. Namun terdapat
perbedaan: ilegalitas tidak selalu berarti tidak etis. Hukum bersifat eksternal dan
dapat ditegakkan tanpa melibatkan perasaan, atau kepercayaan orang (sasaran
hukum), sementara etika bersifat internal, subyektif, digerakkan oleh keyakinan
dan kesadaran individu.

Hukum dalam konteks administrasi adalah soal pemberian otoritas atau


instrumen kekuasaan. Basis dari hukum adalah etika, dan ketika hukum diterapkan
harus dikembalikan pada prinsipprinsip etika. Banyak kasus, secara hukum
dibenarkan tapi secaraetika dipermasalahkan (trend anak politisi yang jadi calon
anggota legislatif).

C. KESIMPULAN
Penerapan etika administrasi Publik memiliki banyak aspek yang harus
dijalankan dengan sebaik-baiknya, seperti menjalankan asas-asas birokrasi
pemerintahan yang baik, dengan mewujudkan prinsip demokratis, keadilan sosial
dan pemerataan, serta mewujudkan kesejahteraan umum. Penerapan etika
administrasi dalam pemerintahan perlu kesadaran aparat birokrasi untuk benar-
benar menjalankan tupoksi. Perlunya aturan-aturan untuk mengatur birokrat demi
konsistensi menerapkan etika dalam administrasi pemerintah. Melihat fakta yang
ada, tak sedikit penyelenggara negara (pejabat publik) belum mampu menerapkan
prinsip etika administrasi publik yang baik.
Daftar Pustaka
Henry,S. 1995. Kinerja dalam Organisasi. Yogyakarta:Kanisius.

Keban, Yeremias. T. 2004. Enam Dimensi Strategis Administrasi Publik, Konsep,


Teori, dan Isu. Yogyakarta. Gava Media.

Pasolong, Harbani. 2007. Teori Administrasi Publik. Bandung : Alfabeta.

Rokhman, Ali. Presentasi: Etika Administrasi Publik. Sadhana, Kridawati. 2010.


Etika Birokrasi Dalam Pelayanan publik. Penerbit Percetakan CV. Citra Malang.

The Liang Gie. 2006. Etika Administrasi Pemerintahan. Jakarta: Universitas


Terbuka.

Utomo, Tri Widodo W., 2000. Etika dan Hukum Administrasi Publik. STIA LAN
Bandung.
http://www.kumham-jakarta.info/download/karya-ilmiah/pelayananpublik/70-
etika-aparatur-dalam-pelayanan-publik/file

https://irvanamu.wordpress.com/category/makalah-etikaadministrasi-publik/

Anda mungkin juga menyukai